PERBEDAAN WAKTU PANEN TERHADAP SINTASAN LARVA IKAN RAINBOW ASAL DANAU KURUMOI (Melanotaenia parva)


Oleh : Siti Subandiyah, Rina Hirnawati, Sukarman

Balai Riset Budidaya Ikan Hias
Jl. Perikanan No 13 Pancoran Mas – Depok


ABSTRAK

Ikan hias rainbow asal danau kurumoi (Melanotaenia parva) merupakan ikan hias asli Indonesia yang berasal dari Papua dan khusus berasal dari danau Kurumoi. Ikan melanoteania parva memijah secara alami dengan cara menempelkan telur pada tanaman air (shelter) dan menetas, namun banyak mengalami kematian ditingkat larva. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui umur larva (waktu panen) yang tepat bagi sintasan (kelangsungan hidup) larva. Pemanenan larva dilakukan pada umur yang berbeda yaitu 4 hari, 5 hari, 6 hari, 7 hari dan 8 hari setelah larva menetas. Masing-masing perlakuan diulang 3 kali, menggunakan wadah pemeliharaan berupa baskom diisi air 1 liter, dengan kepadatan 10 ekor/liter. Pakan yang diberikan adalah nauplii artemia dan air hijau (plankton). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanenan larva pada umur 6 hari memberikan sintasan yang paling bagus yaitu 96,66% dan diikuti pemanenan umur 7 hari mencapai 93%. Sedangkan pemanenan larva pada umur 4,5 dan 8 hari banyak mengalami kematian, dengan sintasan 50-80%.

Kata kunci : waktu, panen, larva, rainbow.

PENDAHULUAN   
 Ikan rainbow adalah ikan hias air tawar endemik, yang sebagian besarnya hidup di Papua hingga Australia. Ikan rainbow terdiri atas 2 famili, 10 genus dan 92 spesies, 52 spesies diantaranya adalah genus Melanotaenia. Pada umunya, ikan rainbow hidup pada kondisi perairan dangkal dan mengalir tenang. Ikan rainbow banyak ditemukan di danau-danau vulkanik dan sungai karstik dengan kandungan kalsium yang tinggi (Pouyaud, dkk., 2007). Ikan rainbow kurumoi (Melanotaenia parva) sendiri merupakan ikan hias asli Indonesia yang berasal dari Papua yaitu dari danau Kurumoi.
Ikan rainbow termasuk ikan yang rentan terhadap perubahan lingkungan, baik terhadap lingkungan baru maupun perubahan di habitat aslinya. Habitat asalnya di Papua merupakan daerah yang masih asli, namun sering terjadi perubahan alam yang mengakibatkan beberapa spesies ikan rainbow berkurang bahkan mengalami kepunahan. Ekspedisi ikhtiologi hasil kerjasama IRD-Balai Riset Budidaya Ikan Hias-BRKP- APSOR pada tahu 2007, berhasil mengoleksi 18 spesies rainbow jenis Melanotaenia. Ekspedisi ini berhasil menemukan spesies ikan rainbow yang telah lama dinyatakan punah, yaitu M. ayamarulusis dan menyatakan M. parva saat ini dalam status kritis hampir punah. Bahkan menemukan juga spesies baru M. tasinensis (kadarusman et al., 2010).
Kualitas air tempat hidup ikan rainbow dihabitat aslinya adalah suhu 25-27oC, konduktifitas ± 300μS (Kadarusman, dkk., 2007), pH 6,5-7,8 dan DO >5 ppm (Tappin, 2010). Di loka Riset Budidaya Ikan Hias Depok telah mengkoleksi ikan rainbow dari Papua dan sebagian telah dievaluasi reproduksi dan pertumbuhannya. Kegiatan reproduksi sering mengalami kendalam terutama pada pada saat larva. Belum stabilnya produksi larva maupun ikan rainbow asal Papua menindikasikan adanya kebutuhan penelitian lebih lanjut untuk menghasilkan teknik budidaya yang tepat. Kematian larva sering tinggi pada saat awal-awal pemeliharaan. Faktor kematian larva bisa dari kesesuaian pakan awal, lingkungan (kualitas air) dan penanganan termasuk waktu panen (pemindahan larva).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui umur larva (waktu panen) yang tepat bagi sintasan (kelangsungan hidup) larva khususnya rainbow kurumoi.

BAHAN DAN METODE

            Penelitian dilakukan  di Balai Riset Budidaya Ikan Hias. Tahap pertama adalah pemijahan secara alami menggunakan 30 ekor induk, terdiri dari 10 ekor induk betina dan 20 ekor induk jantan, yang diberi pakan alami berupa cacing darah (blood worm) dan pellet udang. Wadah yang digunakan adalah kontainer dengan volume 1000 liter, dilengkapi dengan filter dan didalamnya ditaruh shelter (tempat untuk meletakan telur). Telur yang dihasilkan diangkat bersama shelternya dan diinkubasi. Setelah 6-7 hari telur menetas menjadi larva dan shelter diangkat. Perhitungan larva atau pemanenan dilakukan pada hari ke 4, 5, 6, 7 dan 8 masing-masing sebanyak 10 ekor dipindahkan dalam bak plastik yang telah diisi air sebanyak 2 liter dan diberi aerasi. Pengamatan dilakukan setiap hari dan dicatat jumlah larva yang hidup. Setelah umur 30 hari larva pada masing-masing perlakuan diukur berat dan panjangnya. Sebagai data pendukung dilakukan pengujian kualitas air setiap 10 hari sekali.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Sintasan
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kematian larva umunya terjadi pada pemeliharaan hari ke-2 sampai ke-13 untuk semua perlakuan. Hal ini diduga karena proses adanya adaptasi pada lingkungan baru yang menyebabkan stress. Namun demikian kemampuan adaptasi larva pada masing-masing perlakuan berbeda. Perlakuan A (panen hari ke-4), kematian larva terjadi pada hari ke-4 setelah pemeliharaan sebanyak 10%, dan kemudian mengalami kematian lagi pada hari ke-7 dan ke-11 berturut-turut 3,3% dan 6,7%. Pada hari ke-12 sampai dengan perhitungan akhir yaitu pada hari ke-30 larva bisa bertahan hidup tanpa mengalami kematian dengan sintasan sebesar 80%.
Hal serupa terjadi pada perlakuan B (panen hari ke-5), kematian larva berturut-turut terjadi pada hari ke- 4, 5, 10, 12 dan 13 dengan nilai kematian sebanyak 3,3%, 3,4%, 16,7%, 6,7% dan 3,3%. Sintasan larva perlakuan B pada akhir penelitian hanya mencapai 66,7%. Dugaan sementara terkait dengan perlakuan A dan B, larva  rainbow kurumoi (Melanotaenia parva) pada usia 4-5 hari baru mengalami perubahan pada bagian mulut dan fungsi enzimatis pada saluran pencernaan. Bukaan mulut larva kurumoi sudah terjadi pada usia 2 hari, namun kemampuan saluran pencernaan memanfaatkan nutrisi dari luar (pakan) secara optimal belum diketahui pasti waktu tepatnya. Sehingga pemanfaatan energi dan nutrisi dari sisa kuning telur dialokasikan untuk kebutuhan hidup pokok dan perubahan-perubahan sistem enzim dalam saluran pencernaan. Oleh karena itu pada saat dilakukan pemanenan, larva diduga tidak mampu mengalokasikan nutrisi dari kuning telur untuk pemulihan stress akibat handling dan adaptasi lingkungan baru. Hal tersebut menyebabkan kematian yang dimulai pada hari ke-4 setelah pemindahan larva.
Kematian larva tidak terjadi pada perlakuan C (panen hari ke-6) diawal pemeliharaan. Kemungkinan besar, larva rainbow kurumoi masih memiliki nutrisi yang tersisa dalam kuning telur tetapi telah mampu memanfaatkan pakan alami secara baik. Pada hari ke-11 larva ikan rainbow kurumoi belum mengalami kematian (sintasan =100%), dan baru ada kematian pada hari ke-12 yaitu 3,3% (1 ekor). Perlakuan C menghasilkan sintasan terbaik dibandingkan perlakuan lainnya yaitu senilai 96,7%. Hasil ini diikuti oleh perlakuan D (penen hari ke-7) dengan sintasan akhir 93,3%. Perbedaannya, perlakuan D mengalami kematian larva pada hari ke-5 dan ke-7 yaitu 3.3% dan 3,4%.
Lain halnya dengan perlakuan E (panen hari ke-8), sintasan akhir yang didapatkan hanya mencapai 87,6% lebih baik dibandingkan perlakuan A dan B, namun masih dibawah perlakuan C dan D. Tidak diketahui pasti penyebab kematian larva pada perlakuan E yang terjadi pada hari ke-3, 6 dan 7 dengan nilai berturut-turut 6,7%, 3,3% dan 3,3%. Pola kematian larva pada perlakuan E berbeda dengan perlakuan A dan B.  Kematian pada perlakuan A dan B berlangsung lama yaitu antara hari ke-4 sampai hari ke-13, dan persentasi kematian tertinggi tidak hanya terjadi pada awal pemanenan (A=10% pada hari ke-4, dan B =16,3% pada hari ke-10). Sedangkan kematian tinggi pada perlakuan E (6,7%) terjadi pada awal pemeliharaan, dan selanjutnya menurun hingga larva bisa bertahan hidup sampai akhir pemeliharaan. Ada kemungkinan faktor penanganan dan perubahan lingkunan turut berperan. Sintasan larva rainbow kurumoi untuk masing-masing perlakuan dapat dilihat pada grafik 1.1.

Pertumbuhan (Bobot dan Panjang)
            Hasil penelitian menunjukan bahwa ada perbedaan berat dan panjang badan  larva akibat perbedaan perlakuan, seperti tercantum pada tabel 1.1.

  Tabel 1.1. Bobot, Panjang Total dan Sintasan Larva Setelah Pemeliharaan 30 Hari
Perlakuan
Bobot (gram)
Panjang (mm)
Sintasan (%)
A (Penen Hari ke-4)
0,0210
13,63
80,00
B (Penen Hari ke-5)
0,0215
12,96
66,66
C (Penen Hari ke-6)
0,0718
13,80
96,66
D (Penen Hari ke-7)
0,0223
12,73
93,30
E (Penen Hari ke-8)
0,0206
12,24
86,66

            Perlakuan C (panen hari ke-6) menghasilkan larva dengan robot badan tertinggi yaitu 0,0718 gram, diikuti perlakuan D (0,223 gram). Larva dari perlakuan E (0,0206 gram) bobotnya justru lebih kecil dibandingkan dengan perlakuan A (0,0210 gram)  dan B (0,0215 gram), padahal sintasan yang dihasilkan perlakuan E lebih tinggi. Hal ini menunjukkan minimnya hubungan antara sintasan dan bobot badan larva pada penelitian ini. Bobot badan dan sintasan larva umunya dipengaruhi oleh kesesuaian usuran pakan larva dan kelimpahannya, namun dalam penelitian ini faktor ketepatan umur panen  mungkin lebih dominan. Panjang larva rata-rata mencapai 13,1± 0,64, artinya perlakuan hampir tidak berpengaruh terhadap panjang larva. Namun demikian larva dengan ukuran paling besar (perlakuan C) tetap memiliki panjang total tertinggi (13,80 mm). Daya dukung lingkungan juga berperan besar dalm hal ini. Daya dukung lingkungan dari suatu tempat pemeliharaan yang sesuai dengan kemampuan suatu tempat diperlukan untuk mendukung kelangsungan hidup ikan tertinggi, pertumbuhan dan pertumbuhan optimal. Sebelum ada indikasi terjadinya pencemaran, dan selama daya dukung ini masih belum terlampaui, maka tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan masih dapat mencapai maksimum (Hepler dan Preginim, 1984).
Lingkungan dan Kualitas Air
            Paramenter kualitas air yang perlu dikelola dalam budidaya ikan adalah suhu, oksigen terlarut, derajat keasaman dan amoniak. Penurunan kualitas air akan menyebabkan nafsu makan ikan berkurang, timbulnya hama dan penyakit serta berujung kematian pada ikan (Boyd, 1990).
Suhu air merupakan parameter kualitas air yang sangat penting karena berpengaruh langsung terhadap aktifitas dan proses metabolisme, serta berpengaruh tidak langsung terhadap kandungan oksigan terlarut (Boyd, 1990).Wardoyo (1975) menambahkan bahwa, suhu perairan akan mempengaruhi sifat  fisika dan kimia air dan fisiologi ikan. Kenaikan suhu masih bisa ditolelir dengan meningkatnya metabolisme, sedangkan penurunan suhu akan mengakibatkan aktifitas mikro organisme menurun. Selain itu kenaikan suhu juga akan meningkatkan kebutuhan energi pemeliharaan dari ikan dan ikan akan lebih aktif mencari makan (Hoar ddk., 1979).
Larva rainbow sebaiknya dipelihara pada suhu 24-280C (Tappin, 2010), untuk mencapai sintasan yang optimal. Pada penelitian ini tidak ada perbedaan antara sumber air dan kualitas air yang digunakan serta dilakukan didalam satu ruangan yang sama. Data kualitas air dapat dilihat pada tabel 1.2 berikut ini :
Tabel 1.2 Data Koalitas Air Selama Penelitian
Sampling Ke-
Suhu 0C
DO
pH
NH3
I
25,3-26,5
7,20-7,95
6-7,5
0,00015-0,00072
II
25,3-26,4
7,22-7,96
6-7,5
0,00030-0,00145
III
25,2-26,5
7,35-7,96
6-7,5
0,00015-0,00111
           
            Derajat keasaman (pH) adalah nilai negatif logaritmo dari konsentrasi ion hidrogen (pH=-Log [H+]. Kisaran nilai pH yang cocok untuk kehidupan ikan adalah 6,5-9,0 (Boyd, 1979). Menurut Wardoyo (1975), derajat keasaman dibawah 4,0 dan diatas 11,0 akan menyebabkan kematian pada ikan.
            Kandungan oksigen terlarut mutlak diperlukan oleh ikan untuk pernafasan. Perairan yang baik harus mengandung oksigen tidak kurang dari 4 mg/liter, oksigen kurang dari 1 mg/liter dapat meyebabkan kematian pada ikan (Pascod, 1973). Oksigen terlarut dalam perairan itu sendiri didapatkan dari difusi oksigen dari udara bebas kedalam air. Kebutuhan ikan akan oksigen terlarut bervariasi tergantung dari jenis, stadia dan aktivitasnya. Ikan pada stadium dini (larva) memerlukan lebih banyak oksigen. Pada penelitian ini kadungan oksigen terlarut  lebih dari 4mg/liter, sehingga sudah sesuai untuk larva.
KESIMPULAN
            Waktu panen larva rainbow kurumoi (Melanotaenia parva) berpengaruh terhadap sintasan tetapi tidak berkorelasi terhadap panjang dan bobot badan larva pada akhir penelitian. Sintasan tertinggi didapatkan dari perlakuan C (panen hari ke-6), diikuti perlakuan D dan E berturut-turut 96,66%, 93,3% dan 86,66% Sedangkan sintasan perlakuan A dan B hanya mencapai 80% dan 66,66%. Bobot badan tertinggi diperoleh dari perlakuan C yaitu 0,0718 gram tetapi panjang badan untuk setiap perlakuan hampir sama (13,1± 0,64). Rekomendasi waktu panen larva rainbow kurumoi  adalah 6-7 hari setelah larva menetas.
UCAPAN TERIMAKASIH
            Penulis mengucapkan terimakasih kepada IRD dan Balai Riset Budidaya Ikan Hias yang telah memberikan kesempatan untuk meneliti ikan rainbow hasil ekspedisi IRD.
PUSTAKA
Boyd, C.E.1990. Water Quality in Pond Culture. Auburn University Agricultural Experiment Station. P: 482.
Boyd, C.E. 1979. Water Quality in Warm Water Fish Ponds. Auburn University, Department of Fisheries and Allied Aquaculture. Alabama. p: 359
Hepler, B. dan Preginin, Y.1981. Commercial Fish Farming With Spesial Reference to Fish Culture in Israel. John Willey and Sons, New York.
Hoar, W.S; D.J. Raudall dan J.R. Brett. 1979. Fish Physiology Vol III. Academic Press.
Kadarusman, Sudarto,E., Paradis dan L. Pouyoud. 2010. Scription of Melanotaenia fasinensis, new spesies of rainbow fish (melanotaeniidae) from west papua. Indonesia With comment on the rediscovery of M. ayamaruensis and the endargered of M. parva. Journal of Cybium 2010.34(2):207-215
Pauyoud, L., Kadarusman dan Sudarto. 2007. Laporan Ekspedisi Ilmiah Rainbow Fish, kerjasama IRD Indonesia, Akademi Perikanan Sorong dan Badan Riset Kaleutan dan Perikanan. (tidak dipublikasi)
Tappin, A.R. 2010. Rainbow Fish : Their Care and keeping in Capacity . Art Publication.

Wardoyo, S.T.H. 1975. Pengelolaan Kualitas Air. Institut Pertanian Bogor. Hal: 41

No comments:

Post a Comment