A. Pengembangan Tes Lisan
Tes lisan yakni
tes yang pelaksanaannya dilakukan dengan
mengadakan tanya jawab secara langsung antara
pendidik dan peserta didik. Tes ini termasuk kelompok tes
verbal, yaitu tes soal dan jawabannya menggunakan bahasa lisan[1].
Dari segi persiapan dan cara bertanya, tes lisan dapat dibedakan menjadi
dua yakni: (1) Tes lisan bebas, yaitu pendidik dalam memberikan soal
kepada peserta didik tanpa menggunakan pedoman yang dipersiapkan secara
tertulis; (2) Tes lisan berpedoman, yaitu pendidik menggunakan
pedoman tertulis tentang apa yang akan ditanyakan kepada peserta didik.
Secara umum tes lisan memiliki
kelebihan dan kelemahan. Kelebihan tes lisan adalah:
1. Dapat
menilai kemampuan dan tingkat pengetahuan yang dimiliki
peserta didik, sikap, serta kepribadiannya karena
dilakukan secara berhadapan langsung.
2. Bagi
peserta didik yang kemampuan berpikirnya relative lambat sehingga
sering mengalami kesukaran dalam memahami
pernyataan soal, tes bentuk ini dapat menolong sebab
peserta didik dapat menanyakan langsung kejelasan pertanyaan
yang dimaksud.
3. Hasil
tes dapat langsung diketahui peserta didik.
4. Meminimalkan
terjadi penyontekan.
5. Peserta
didik dapat mengemukakan argumentasi.
6. Dapat
mengvaluasi kemampuan penalaran dan kemampuan berbahasa
7. Ujian
dapat luas dan mendalam.
Kelemahan tes lisan yakni:
1. Subjektivitas
pendidik sering mencemari hasil tes.
2. Waktu
pelaksanaan yang diperlukan relatif cukup lama.
3. Jika
peserta didik memiliki sifat gugup dapat mengganggu kelancaran menjawab.
4. Sangat
memungkinkan ketidak adilan
5. Kurang
reliabel.
Hal-hal yang perlu mendapat
perhatian dalam pelaksanaan tes lisan antara lain adalah sebagai berikut.
1. Pertahankanlah
situasi evaluasi dalam pelaksanaan tes lisan. Guru harus tetap menyadari bahwa
tujuan evaluasi adalah untuk mendapatkan gambaran tentang prestasi
belajar yangdicapai olehmurid-murid.
2. Janganlah
guru membentak-bentak seorang murid karena murid tersebut memberikan
jawaban yang menurut penilaian guru merupakan jawaban yang sangat
“tolol”.
3. Jangan
pula ada kecenderungan untuk membantu seoarang murid yang sedang di
tes denganmemberikan kunci-kunci tertentu karena kita merasa
kasihan atau simpati pada murid tersebut. Hal ini bertentangan dengan
prinsip-prinsip evaluasi karena kita bertindak tidak adil terhadap murid yang
lain[2].
4. Siapkanlah
terlebih dahulu suatu rencana pertanyaan serta score jawaban yang dimintauntuk
setiap pertanyaan. Hal ini untuk menjaga agar guru jangan samapai terkecoh
oleh jawaban yangngelantur dari murid-murid.
5. Laksanakanlah
skoring secara teliti terhadap setiap jawaban yang diberikan oleh murid.
Tata cara pelaksanaan tes lisan
adalah sebagai berikut.
1. Langsung
kepada individu.
2. Menyebar
kepada semua siswa.
3. Retorik,
guru bertanya, siswa diberi waktu untuk menjawab, tetapi guru yang
menjawab.
4. Balikan,
pertanyaan siswa dijawab guru selanjutnya
guru bertanya lagi kepada siswa yang bertanya.
5. Terusan,
pertanyaan peserta dibalikan untuk dijawab oleh peserta lainnya.
Manfaat pertanyaan dengan
tes lisan adalah sebagai berikut.
1. Mengembangkan
pemahaman siswa.
2. Mengembangkan
kemampuan berpikir dan membuat keputusan.
3. Mengaktifkan kedua belah pihak guru dan siswa.
Adapun pengembangan tes lisan pada
dasarnya sama dengan tes uraian. Perbedaannya selain dalam pelaksanannya, juga
keragaman dari aitem yang diberikan kepada responden. Pada tes uraian satu
format aitem dapat diberikan pada satu kelas responden, sementara pada tes
lisan satu format aitem hanya dapat diberikan pada seorang responden atau
paling banyak pada tiga orang responden saja. Hal ini dilakukan untuk
menghindari responden berikutnya dapat menebak aitem yang akan diberikan.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penyusunan item tes lisan adalah
sebagai berikut.
1. Buatlah
format aitem dengan beberapa kemungkinan jawaban serta bobot skornya. Sebagai
contoh dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1 : Format Item Tes Lisan
No.
|
Pertanyaan
|
Kemungkinan Jawaban
|
Skor
|
1
|
|||
2
|
|||
3
|
2. Siapkan
beberapa format aitem yang parallel untuk beberapa orang responden, kalaupun
sama maksimal hanya diperuntukkan untuk tiga orang responden saja.
3. Untuk
memenuhi persyaratan parallel maka setiap aitem harus memiliki isi, derajat
kesukaran, dan waktu untuk menjawab yang sama.
4. Dalam
mengajukan pertanyaan penguji dapat melakukan pendalaman untuk mengetahui
tingkat penguasaan yang sebenarnya.
B. Pengembangan Tes Perbuatan
Tes
perbuatan yakni tes
yang menuntut jawaban peserta didik dalam bentuk perilaku, tindakan, atau
perbuatan. Labih jauh Stigins (1994) mengemukakan “tes tindakan adalah suatu
bentuk tes yang peserta didiknya diminta untuk melakukan kegiatan khusus di
bawah pengawasan penguji yang akan engobservasi penampilannya dan membuat
keputusan tentang kualitas hasil belajar yang didemonstrasikan “peserta didik
bertindak sesuai dengan apa yang diperintahkan dan ditanyakan[3]. Penilaian tes perbuatan dilakukan sejak peserta didik melakukan persiapan,
melaksanakan tugas, sampai dengan hasil akhir yang dicapainya. Untuk menilai
tes perbuatan pada umumnya diperlukan sebuah format pengamatan, yang bentuknya
dibuat sedemikian rupa sehingga tutor dapat menuliskan angka-angka yang
diperolehnya pada tempat yang sudah disediakan. Bentuk formatnya dapat
disesuaikan menurut keperluan.
Tes perbuatan dimaksudkan
untuk mengukur keterampilan siswa dalam melakukan suatu kegiatan. Dalam tes
perbuatan, persoalan disajikan dalam bentuk tugas yang harus dikerjakan oleh
testi. Pada intinya, ada dua unsure yang bisa dijadikan bahan penilaian dalam
tes perbuatan, yaitu proses dan produk. Pengukuran proses merujuk kepada
pengukuran keterampilan dari kemahiran testi melakukan suatu kegiatan ,
sedangkan pengukuran produk merujuk kepada segi kualitas hasil.
Tes perbuatan memiliki beberapa keunggulan, yaitu sebagai berikut.
1.
Cocok digunakan untuk mengukur aspek perilaku psikomotor.
2.
Dapat digunakan untuk mengecek kesesuaian antar pengetahuan, teori, dan
keterampilan mempraktekannya.
3.
Tidak ada kesempatan untuk menyontek.
Ada pula kelemahan-kelemahan Tes Perbuatan, antara lain :
1.
Lebih sulit dalam mengadakan pengukuran.
2.
Memerlukan biaya yang relative besar
3.
Memerlukan waktu yang relatif.
Pada intinya ada tiga perangkat alat yang perlu
disiapkan untuk melakukan suatu tes perbuatan, yaitu tugas yang harus
dikerjakan oleh testi beserta petunjuk pengerjaanya, pedoman pengamatan, dan
perlengkapan praktek. Dalam menyiapkan hal-hal tersebut perlu memperhatikan
kaidah-kaidah sebagai berikut.
1.
Jabarkanlah kegiatan
yang akan dipraktekkan ke dalam unsure-unsurnya. Dalam
pedoman pengamatan, unsur-unsur kegiatan yang akan dipraktekkan perlu
dijabarkan secara rinci. Hal ini penting dilakukan agar pengamatan dapat
dilakukan secara cermat. Dalam menjabarkan unsure-unsur pertimbangkanlah
unsure-unsur kegiatan mana yang pokok dan penting diamati, sehingga pengukuran
bisa representative.
2.
Susunlah
unsur – unsur prilaku yang akan di ukur dalam pedoman pengamatan secara logis. Untuk memudahkan pengecekan kegiatan, unsur – unsur kegiatan perlu disusun
secara logis . Penyusunan mungkin bisa didasarkan pada urutan langkah – langkah
kegiatan atau urutan pentingnya unsur – unsur kegiatan.
3.
Buatlah
petunjuk pengerjaan yang jelas dan lengkap. Petunjuk
pengerjaan perlu disiapkan secara jelas dan lengkap, kalau perlu lengkap dengan
langkah-langkahnya. Petunjuk yang kurang jelas bisa menyebabkan testi ragu-ragu
dalam melakukan kegiatan. Identifikasi alat-alat
perlengkapan yang diperlukan Agar pelaksanaan tes tindakan
dapat dilakukan sebagaimana mestinya, perlu disiapkan alat-alat yang perlu
untuk tes. Alat-alat ini perlu diidentifikasi secara cermat, sebab ketidak
lengkapan alat-alat ini bisa menyebabkan ujian tidak dapat dilakukan atau
setidak-tidaknya menggangu kelancaran pelaksanaannya.
4.
Pertimbangn
kemungkinan Pelaksanaan. Dalam merancang tes tindakan
perlu dipertimbangkan secara matang, kemungkinan- kemungkinan pelaksanaannya,
apakah tes akan dilakukan dalam kondisi nyata atau dalam bentuk simulasi.
Kemudian bagaimana pula dengan fasilitas yang tersedia. Cek apakah sudah
lengkap seperti yang dibutuhkan atau tidak.
Secara garis besar pelaksanaan tes tindakan
dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut.
1.
Mengecek
kelengkapan peralatan yang diperlukan. Ini penting dilakukan, sebab ketidak
lengkapan peralatan bisa mengakibatkan gagalnya pelaksanaan
ujian.
2.
Menyiapkan
pedoman pengamatan (Pedoman pemberian angka).
3.
Memberikan
petutunjuk kepada testi tentang apa yang harus dikerjakan. Petunjuk bisa disampaikan secara tertulis atau secara lisan. Testi meragakan kegiatan, dan penguji mengamati secara seksama. Penguji segera memberikan angka terhadap aspek kegiatan testi setelah
selesai peragaan.
Dalam melaksanakan tes perbuatan itu, ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan oleh tester.
1.
Tester harus
mengamati dengan teliti, cara yang ditempuh oleh tester dalam menyelesaikan
tugas yang di tentukan.
2.
Agar dapat
di capai kadar obyektivitas setinggi mungkin, hendaknya testr jangan berbicara
atau berbuat sesuatu yang data mempengaruhi tester yang sedang mengerjakan
tugas tesebut.
3.
Dalam
mengamati tester yang sedang melaksanakan tugas itu, hendaknya tester telah
menyiapkan instumen berupa lembar penilaian yang di dalamya telah ditentukan
hal-hal apsajkah yang harus di amati dan di berikan penilaian[4].
C. Validitas
Instrumen
Karakter
pertama dan memiliki peranan sangat penting dalam instrument evaluasi
adalah valid. Suatu instrument dikatakan valid, seperti yang duterangkan oleh
Gay (1983) dan Johnson & Johnson (2002), apabila instrument yang digunakan
dapat mengukur apa yang seharusnya diukur[5].
Pernyataan
serupa juga disampaikan oleh Scarvia B. Anderson bahwa “A test is valid if
it measures what is purpose to measure”. Atau jika diartikan krang lebih,
sebuah tes dikatakan valid apabila tes tersebut mengukur apa yang hendak
diukur. Dalam bahasa Indonesia “Valid” disebut dengan istilah “Sahih”. Validitas
instrument suatu evaluasi, tidak lain adalah derajat yang menunjukkan dimana
suatu tes mengukur apa yang hendak diukur[6].
Validitas suatu instrument evaluasi mempunyai beberapa makna penting
diantaranya seperti berikut:
1.
Validitas
berhubungan dengan ketepatan interpretasi hasil tes atau instrument evaluasi
untuk group individual dan bukan instrument itu sendiri.
2.
Validitas
diartikan sebagai derajat yang menunjukkan kategori yang bisa mencakup kategori
rendah, menengah dan tinggi.
3.
Prinsip
suatu tes valid, tidak universal. Validitas suatu tes yang perlu diperhatikan
oleh para peneliti adalah bahwa Ia hanya valid untuk suatu tujuan tertentu
saja.
Secara metodologis validitas suatu tes dapat dibedakan
menjadi empat macam, yaitu validitas isi, validitas konstruk, validitas
konkruen dan validitas prediksi[7].
Macam-macam validitas tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
1.
Validitas
isi
Yang
dimaksud validitas isi ialah derajat dimana sebuah tes evaluasi mengukur
cakupan substansi yang ingin diukur. Untuk mendapatkan validitas isi memerlukan
dua spek penting, yaitu valid isi dan valid teknik sampling.Valid isi mencakup
khususnya, hal-hal yang berkaitan dengan apakah item-item evaluasi
menggambarkan pengukuran dalam cakupan yang ingin diukur. Sedangkan validitas
teknik sampling pada umunya berkaitan dengan bagaimanakah baiknya suatu sampel
tes mempresentasikan total cakupan isi[8].
Sebuah tes
dikatakan memiliki validitas isi apabila mengukur tujuan khusus tertentu yang
sejajar dengan materi atau isi pelajaran yang diberikan[9].
Oleh karena materi yang diberikan tertera dalam kurikulum maka validitas isi
juga disebut validitas kurikuler.
2.
Validitas
Konstruk
Validitas konstruk merupakan derajat yang menunjukkan
suatu tes mengukur sebuah konstruk sementara atau Hyptotetical construct.
Secara definitife, konstruk merupakan suatu sifat yang tidak dapat diobservasi,
tetapi kita dapat merasakan pengaruhnya melalui salah satu atau dua indera kita[10].
Sebuah tes dikatakan memiliki validitas konstruksi
apabila butir-butir soal yang membangun tes tersebut mengukur setiap aspek
berfikir seperti disebutkan dalam tujuan instruksional khusus[11].
Dengan kata lain jika butir-butir soal mengukur aspek berfikir tersebut sudah
sesuai dengan aspek berfikir yang menjadi tujuan instruksional.
3.
Validitas
Konkruen
Validitas konkruen adalah derajat dimana skor dalam
suatu tes dihubungkan dengan skor lain yang telah dibuat. Tes dengan validitas
konkruen biasanya diadministrasi dalam waktu yang sama atau dengan criteria
valid yang sudah ada. Sering kali juga terjadi bahwa tes dibuat atau
dikembangkan untuk pekerjaan yang sama seperti beberapa tes lainnya, tetapi
dengan cara yang lebih mudah dan lebih cepat. Validitas konkruen ditentukan
dengan membangun analisis hubungan dan perbedaan[12].
4.
Validitas
Prediksi
Validitas
prediksi adalah derajat yang menunjukkan suatu tes dapat memprediksi tentang
bagaimana baik seseorang akan melakukan suatu prospek atau tugas atau
pekerjaan yang direncanakan. Validitas prediksi suatu tes pada umumnya
ditentukan dengan membangun hubungan antara skor tes dan beberapa ukuran
keberhasilan dalam situasi tertentu yang digunakan untuk memprediksi
keberhasilan, yang selanjutnya disebut sebagai predictor. Sedangkan tingkah
laku yang diprediksi disebut kriterion[13].
Memprediksi
artinya meramal, dan meramal selalun mengenai hal yang akan datang jika
sekarang belum terjadi[14].
Sebuah tes memiliki validitas prediksi atau validitas ramalan apabila mempunyai
kemampuan untuk meramalkan apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi hasil tes
evaluasi tidak valid. Beberapa faktor tersebut secara garis besar dapat
dibedakan menurut sumbernya, yaitu faktor internal dari tes, faktor eksternal
tes, dan faktor yang berasal dari siswa yang bersangkutan.
1.
Faktor yang
berasal dari dalam tes
a.
Arahan tes
yang disusun dengan makna tidak jelas sehingga dapat mengurangi validitas tes
b.
Kata-kata
yang digunakan dalam struktur instrument evaluasi, tidak terlalu sulit
c.
Item tes
dikonstruksi dengan jelas.
d.
Tingkat
kesulitan item tes tidak tepat dengan materi pembelajaran yang diterima siswa.
e.
Waktu yang
dialokasikan tidak tepat, hal ini termasuk kemungkinan terlalu kurang atau
terlalu longgar.
f.
Jumlah item
terlalu sedikit sehingga tidak mewakili sampel
g.
Jawaban
masing-masing item evaluasi bisa diprediksi siswa
2.
Faktor yang
berasal dari administrasi dan skor tes.
a.
Waktu
pengerjaan tidak cukup sehingga siswa dalam memberikan jawaban dalam situasi
tergesa-gesa.
b.
Adanya
kecrangan dalam tes sehingga tidak membedakan antara siswa yang belajar dengan
melakukan kecurangan.
c.
Pemberian
petunjuk dari dari pengawas yang tidak dapat dilakukan pada semua siswa.
d.
Teknik
pemberian skor yang tidak konsisten.
e.
Siswa tidak
dapat memngikuti arahan yang diberikan dalam tes baku.
f.
Adanya joki
(orang lain bukan siswa) yang masuk dalam menjawab item tes yang diberikan.
3.
Faktor yang
berasal dari jawaban siswa
Seringkali
terjadi bahwa interpretasi terhadap item-item tes evaluasi tidak valid, karena
dipengaruhi oleh jawaban siswa dari pada interpretasi item-item pada tes
evaluasi[15].
Sebuah tes dikatakan memiliki validitas jika hasilnya
sesuai dengan kriterium, dalam arti memilki kesejajaran antara hasil tes
tersebut dengan kriterium. Teknik yang digunakan untuk mengetahui kesejajaran
adalah dengan teknik korelasi product moment yang dikemukakan oleh pearson.
D.
Reliabelitas Instrumen
Relaibelitas
adalah karakter lain dari evaluasi. Reliabelitas juga dapat diartikan sama
dengan konsistensi atau keajegan[16].
Suatu instrument evaluasi dikatakan mempunyai nilai reliabelitas tinggi,
apabila tes yang dibuat mempunyai hasil konsisten dalam mengukur yang hendak
diukur.
Sehubungan
dengan reliabelitas ini Scarvia B. Anderson dan kawan-kawan menyatakan bahwa
persyaratan bagi tes, yaitu validitas dan reliabelitas ini penting. Dalam hal
ini validitas lebih penting, dan reliabelitas ini perlu, karena menyokong
terbentuknya validitas. Sebuah tes mungkin reliable tapi tidak valid.
Sebaliknya tes yang valid biasanya reliable.
Ada beberapa
tipe reliabelitas yang digunakan dalam kegiatan evaluasi dan masing-masing
reliebelitas mempunyai konsistensi yang berbeda-beda[17].
Beberap tipe reliebelitas di antaranya: tes-retes, ekivalen, dan belah dua yang
ditentukan melalui korelasi. Berbagai tipe tersebut akan diuraikan sebagai
berikut:
1.
Relibalelitas
Dengan Tes-Retes
Reliabelitas tes-retes tidak lain adalah derajat yang
menunjukkan konsistensi hasil sebuah tes dari waktu ke waktu. Tes-Retes
menunjukkan variasi skor yang diperoleh dari penyelenggaraan satu tes evaluasi
yang dilaksanakan dua kali atau lebih, sebagai akibat kesalahan pengukuran.
Dengan kata lain, kita tertarik dalam mencari kejelasan bahwa skor siswa
mencapai suatu tes pada waktu tertentu adalah sama hasilnya, ketika siswa itu
dites lagi dengan tes yang sama. Dengan melakukan tes-retes tersebut. Seorang guru
akan mengetahui seberapa jauh konsistensi suatu tes mengukur apa yang ingin
diukur[18].
Sedangkan Metode tes ulang (tes-retes) dilakukan untuk
menghindari dua penyusunan dua seri tes[19].
Dalam menggunakan teknik atau metode ini pengetes hanya memiliki satu seri tes
tapi dicobakan dua kali. Oleh karena tesnya satu dan dicobakan dua kali, maka
metode ini dapat disebut juga dengan single-test-double-trial-method.
Reliebelitas
tes retes dapat dilakukan dengan cara seperti berikut:
a.
Selenggarakan
tes pada suatu kelompok yang tepat sesuai dengan rencana.
b.
Setelah
selang waktu tertentu, misalnya satu minggu atau dua minggu, lakukan kembali
tes yang sama dengan kelompok yang sama tersebut.
c.
Korelasikan
kedua hasil tes tersebut.
Jika hasil
koefisien menunjukkan tinggi, berarti reliabilias tes adalah bagus. Sebaliknya,
jika korelasi rendah, berarti tes tersebut mempunyai konsistensi rendah[20].
2.
Reliabelitas
Dengan Bentuk Ekivalensi
Sesuai dengan namanya yaitu ekivalen, maka tes
evaluasi yang hendak diukur reliabelitasnya dibuat identik dengan tes acuan.
Setiap tampilannya, kecuali substansi item yang ada, dapat berbeda. Kedua tes
tersebut sebaliknya mempunyai karate yang sama. Karakteristik yang dimaksud
misalnya mengukur variabel yang sama, mempunyai jumlah item sama, struktur
sama, mempunyai tingkat kesulitan dan mempunyai petunjuk, cara penskoran, dan
interpretasi yang sama[21].
Tes
reliabelitas secara ekivalen dapat dilaksanakan dengan mengikuti
langkah-langkah sebagai berikut:
a.
Tentukan
sasaran yang hendak dites
b.
Lakukan tes yang
dimaksud kepada subjek sasaran tersebut.
c.
Administrasinya
hasilnya secara baik.
d.
Dalam waktu
yang tidak terlalu lama, lakukan pengetesan yang kedua kalinya pada kelompok
tersebut
e.
Korelasikan
kedua hasil skor tersebut.
Perlu
diketahui juga bahwa tes ekivalensi mempunyai kelemahan yaitu bahwa membuat dua
buah tes yang secara esensial ekivalen adalah sulit. Akibatnya akan selalu
terjadi kesalahan pengukuran[22].
Pernyataan lain juga disampaikan oleh Arikunto, kelemahan dari metode ini
adalah pengetes pekerjaannya berat karena harus menyusun dua seri tes[23].
Lagi pula harus tersedia waktu yang lama untuk mencobakan dua kali tes.
3.
Reliebilitas
Dengan Bentuk Belah Dua
Menurut
Sukardi (2008: 47) Reliabilitas belah dua ini termasuk reliabilitas yang
mengukur konsistensi internal. Yang dimaksud konsistensi internal adalah salah
satu tipe reliabilitas yang didasarkan pada keajegan dalam setiap item tes
evaluasi. Relibilitas belah dua ini pelaksanaanya hanya satu kali. Cara
melakukan reliabilitas belah dua pada dasarnya dapat dilakukan dengan urutan
sebagai berikut:
a.
Lakukan
pengetesan item-item yang telah dibuat kepada subjek sasaran.
b.
Bagi tes
yang ada menjadi dua atas dasar dua item, yang paling umum dengan membagi item
dengan nomor ganjil dengan item dengan nomor genap pada kelompok tersebut.
c.
Hitung skor
subjek pada kedua belah kelompok penerima item genap dan item ganjil.
d.
Korelasikan
kedua skor tersebut, menggunakan formula korelasi yang relevan dengan teknik
pengukuran[24]. Untuk
mengetahui seluruh tes harus digunakan rumus Spearman-Brown.
Koefisien reliabilitas dapat dipengaruhi oleh waktu
penyelenggaraan tes-retes. Interval penyelenggaraan yang terlalu dekat atau
terlalu jauh, akan mempengaruhi koefisien reliabilitas[25].
Faktor-faktor
lain yang juga mempengaruhi reliabilitas instrument evaluasi di antaranya
sebagai berikut:
1.
Panjang tes, semakin
panjang suatu tes evaluasi, semakin banyak jumlah item materi pembelajaran
diukur.
2.
Penyebaran
skor, koefisien reliabelitas secara langsung dipengaruhi oleh bentuk sebaran skor
dalam kelompok siswa yang di ukur. Semakin tinggi sebaran, semakin tinggi
estimasi koefisien reliable.
3.
Kesulitan
tes, tes normative yang terlalu mudah atau terlalu sulit untuk siswa, cenderung
menghasilkan skor reliabilitas rendah.
4.
Objektifitas,
yang dimaksud dengan objektif yaitu derajat dimana siswa dengan kompetensi
sama, mencapai hasil yang sama.
Kesimpulan
1. Tes
lisan adalah tes yang pelaksanaannya
dilakukan dengan mengadakan tanya jawab secara
langsung antara pendidik dan peserta didik. Tes perbuatan yakni tes yang menuntut jawaban
peserta didik dalam bentuk perilaku, tindakan, atau perbuatan.
2.
Karakter pertama dan memiliki
peranan sangat penting dalam instrument evaluasi adalah valid.
Validitas instrument suatu evaluasi, tidak lain adalah derajat yang menunjukkan
dimana suatu tes mengukur apa yang hendak diukur
3.
Relaibelitas
adalah karakter lain dari evaluasi. Reliabelitas juga dapat diartikan sama
dengan konsistensi atau keajegan. Suatu instrument evaluasi dikatakan mempunyai
nilai reliabelitas tinggi, apabila tes yang dibuat mempunyai hasil konsisten
dalam mengukur yang hendak diukur.
DAFTAR
PUSTAKA
Arikunto, S. 1997. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan.
Jakarta: Bumi Aksara
Sukardi. 2008. Evaluasi Pendidikan. Jakarta:
Bumi Aksara
Arifin, Z. 2012. Evaluasi Pembelajaran, Prinsip, Teknik, Prosedur. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Thoha, M. 2003.
Kepemimpinan Dalam Manajemen. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
Wayan, N. 1986. Evaluasi Pendidikan.
Surabaya: Usaha Nasional
Purwanto, M. N. 2006. Prinsip-prinsip
dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
[1] Thoha Miftah, Kepemimpinan Dalam Manajemen, (Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada, 2003), Hlm
61.
[3] Drs. Zainal Arifin, M.Pd., Evaluasi Pembelajaran, Prinsip, Teknik, Prosedur, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), Hlm 149-150
[4] M.
Ngalim, Purwanto, Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2006), Hlm 156-157.
No comments:
Post a Comment