KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah swt. serta dengan rahmat
dan karuniaNya, makalah ini dapat kami buat sebagaimana tugas yang diwajibkan. Sebagai
bahan pembelajaran, dengan harapan makalah ini dapat diterima dan dipahami bersama.
Dalam segala keterbatasan, makalah ini memuat tentang semua materi mengenai
Etos Kerja.
Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas Mata Kuliah Al-Qur’an-Al-Hadits. Kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga
makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kami dengan kerendahan hati meminta maaf jika terdapat kesalahan dalam penulisan makalah
ini. Dengan harapan makalah ini dapat diterima oleh Bapak dan dapat di jadikan
sebagai acuan dalam proses pembelajaran kami.
Jakarta, 21 November 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN………………………………………………………..……...1
A. Latar
Belakang………………………………………………………..……...1
B. Rumusan
Masalah……………………………………………………..……..1
C. Tujuan
Makalah……………………………………………………..……….2
BAB II
PEMBAHASAN……………………………………………………..………....3
A. Pengertian
Etos Kerja……………………………………………………..…3
A.1 Dalil Al-Qur’an tentang Keseimbangan
Usaha Duniawi dan Ukhrawi……………………………………………………………….....4
B. Ciri-Ciri
Etos Kerja dalam Islam…………………………......………….......6
C. Etika
Kerja Menurut Islam……………………………………………….….8
C.1
Hadits tentang Etika Kerja dalam Islam…………………………..12
D. Aspek
Pekerjaan dalam Islam……………………………………………...12
E. Konsep
Kerja dalam Islam…………………………………………………13
E.1 Hadits
tentang Etos Kerja…………………………………………15
BAB III
PENUTUP…………………………………………………………………....17
A. Kesimpulan………………………………………………………..………..17
DAFTAR
PUSTAKA…………………………………………………………...……...18
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Etos
kerja dalam arti luas menyangkut akan akhlak dalam pekerjaan. Untuk bisa
menimbang bagaimana akhlak seseorang dalam bekerja sangat tergantung dari cara
melihat arti kerja dalam kehidupan, cara bekerja dan hakikat bekerja. Dalam
Islam, iman banyak dikaitkan dengan amal. Dengan kata lain, kerja yang
merupakan bagian dari amal tak lepas dari kaitan iman seseorang. Idealnya,
semakin tinggi iman itu maka semangat kerjanya juga tidak rendah. Ungkapan iman
sendiri berkaitan tidak hanya dengan hal-hal spiritual tetapi juga program
aksi.
Dalam
kehidupan sehari-hari sebagai umat Islam selain diperintahkan untuk beribadah
Allah memerintahkan untuk bekerja (berusaha). Bekerja
merupakan melakukan suatu kegiatan demi mencapai tujuan, selain mencari rezeki
namun juga cita-cita. Dalam bekerja diwajibkan memilih pekerjaan yang baik dan
halal, karena tidak semua pekerjaan itu diridhai Allah SWT.
Di dalam
Al-Qur’an dan Hadist sudah jelas tentang pekerjaan yang baik dan bagaimana kita
memperoleh rezeki dengan cara yang diridhai Allah SWT. Hal ini sangat penting
sekali dibahas, karena semua orang dunia ini pasti membutuhkan sandang, pangan, maupun papan. Disini pasti manusia
berlomba-lomba atau memenuhi kebutuhannya tersebut dengan bekerja untuk
mendapatkan yang diinginkan sehingga kita juga harus tahu, bahwa semua yang
kita dapatkan semuanya dari Allah SWT dan itu semua hanya titipan-Nya semata. Sebagai umatnya diwajibkan
mengembangkannya dengan baik dan hati-hati. Untuk itu Dalil Qur’an dan Hadist tentang Etos Kerja ini
sangat diperlukan demi kelangsungan umat sehari-hari.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka
kami selaku pemakalah merumuskan
masalah yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain sebagai berikut:
1. Apa pengertian
Etos Kerja Menurut etimologi dan istilah dalam islam?
2.
Bagaimana ciri-ciri
Etos Kerja dalam islam?
3.
Bagaimana etika
kerja menurut Syariat Islam?
4.
Bagaimana
aspek-aspek pekerjaan dalam islam?
5.
Bagaimana konsep kerja dalam islam?
C.
Tujuan pembuatan makalah
mengenai etos kerja ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk memenuhi tugas
mata kuliah Al-Qur’an dan Hadist
2.
Untuk
mengetahui tentang pengertian, ciri-ciri, etika, dan aspek-aspek serta konsep kerja dalam etos kerja baik dalam aspek umum maupun berdasarkan ajaran islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Etos Kerja
Ethos berasal dari bahasa Yunani yang berarti sikap, kepribadian,
watak, karakter serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak saja dimiliki
oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat. Ethos dibentuk oleh
berbagai kebiasaan, pengaruh, budaya serta sistem nilai yang diyakininya.
Menurut Anoraga (2009), etos kerja merupakan suatu pandangan dan sikap
suatu bangsa atau umat terhadap kerja. Bila individu-individu dalam komunitas
memandang kerja sebagai suatu hal yang luhur bagi eksistensi manusia, maka etos
kerjanya akan cenderung tinggi. Sebaliknya sikap dan pandangan terhadap kerja
sebagai sesuatu yang bernilai rendah bagi kehidupan, maka etos kerja dengan
sendirinya akan rendah.
Menurut Sinamo (2005), etos kerja adalah seperangkat perilaku positif yang
berakar pada keyakinan fundamental yang disertai komitmen total pada paradigma
kerja yang integral. Menurutnya, jika seseorang, suatu organisasi, atau suatu
komunitas menganut paradigma kerja, mempercayai, dan berkomitmen pada paradigma
kerja tersebut, semua itu akan melahirkan sikap dan perilaku kerja mereka yang
khas. Itulah yang akan menjadi budaya kerja.
Sinamo (2005) juga memandang bahwa etos kerja merupakan fondasi dari sukses
yang sejati dan otentik. Pandangan ini dipengaruhi oleh kajiannya terhadap
studi-studi sosiologi sejak zaman Max Weber di awal abad ke-20 dan
penulisan-penulisan manajemen dua puluh tahun belakangan ini yang semuanya
bermuara pada satu kesimpulan utama bahwa keberhasilan di berbagai wilayah
kehidupan ditentukan oleh perilaku manusia, terutama perilaku kerja. Sebagian
orang menyebut perilaku kerja ini sebagai motivasi, kebiasaan (habit)
dan budaya kerja. Sinamo lebih memilih menggunakan istilah etos karena
menemukan bahwa kata etos mengandung pengertian tidak saja sebagai perilaku
khas dari sebuah organisasi atau komunitas, tetapi juga mencakup motivasi yang
menggerakkan mereka, karakteristik utama, spirit dasar, pikiran dasar, kode
etik, kode moral, kode perilaku, sikap-sikap, aspirasi-aspirasi,
keyakinan-keyakinan, prinsip-prinsip, dan standar-standar.
Melalui berbagai pengertian
diatas baik secara etimologis maupun istilah dapat disimpulkan bahwa etos kerja
merupakan seperangkat sikap atau pandangan mendasar yang dipegang sekelompok
manusia untuk menilai bekerja sebagai suatu hal yang positif bagi peningkatan
kualitas kehidupan, sehingga mempengaruhi perilaku kerjanya.[1]
Dalil Qur’an Mengenai Keseimbangan Usaha
Duniawi maupun Ukhrawi
Æ÷tGö/$#ur
!$yJÏù 9t?#uä
ª!$# u#¤$!$#
notÅzFy$# ( wur ÐÐÈ
Artinya :
“Dan carilah pada apa yang
Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah
kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan.”
Analisis QS. Al-Qashash
ayat 77
Penjelasan pada ayat ini Allah memrintahkan kepada orang-orang yang beriman agar dapat
menciptakan keseimbangan antara usaha untuk memperoleh keperluan duniawi dan
usaha untuk keperluan ukhrawi. Dalam kaitannya dengan keseimbangan urusan
duniawi dan ukhrawi, diriwayatkan oleh Ibnu Askar bahwa Nabi SAW bersabda,
“Kerjakanlah urusan duniamu seakan-akan kamu akan hidup selamanya, dan
beramallah (Beribadah) untuk akhiratmu sekan-akan kamu akan mati besok” (HR. Ibnu Askar). Selanjutnya
ayat di atas Allah memerintahkan supaya berbuat baik kepada diri dan sesamanya
(orang lain). Kebaikan Allah yang maha rahman dan rahim keada seluruh
makhluk-Nya tidak terhitung jumlahnya. Jenis-jenis perbuatan baik itu sangat
beragam, misalnya membantu orang yang membutuhkan pertolongan, menyantuni anak
yatim, bepartisipasi membangun masid, madrasah, jalan umum dan lain-lain. Berbuat
baik kepada orang lain artinya melakukan perbuatan yang baik dan berguna untuk
kepentingan orang lain, dengan segala potensi yang dimiliki. Maka perbuatan
baik itu bisa dilakukan dengan ucapan, tenaga, harta, ilmu dan lain-lain. Dan
berbuat baik terhadap diri sendiri, yaitu memelihara dan menjaga diri dari
bahaya. Misalnya memelihara diri supaya sehat jasmani dan rohani, dengan
memakan makanan yang halal lagi baik, berobat ketika sakit dan lain-lain.[2]
Diakhir ayat ini Allah juga
memerintahkan kepada manusia agar tidak berbuat kerusakan di muka bumi, seperti
menebang hutan tanpa perhitungan, mencemari air maupun udara, bahkan terhadap
sesama manusia saling menfitnah, adu domba, permusuhan dan pembunuhan. Semua itu sangat
di benci Allah, karena akan berakibat kerusakan alam dan hancurnya kedamaian
makhluk hidup.
Hal-hal yang Menunjukkan dan Menerapkan Prilaku Beretos
Kerja
a. Allah SWT memerintahkan kepada orang mukmin agar
mengupayakan keseimbangan dalam memenuhi kepentingan duniawi dan ukhrawi.
b. Allah SWT memerintahkan agar selalu berbuat baik terhadap
diri dan sesamanya sebagaimana dia teah berbuat baik kepada manusia.
c. Allah memerintahkan kepada manusia agar tidak berbuat
kerusakan dimuka bumi, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang demikian
itu.
QS. Al-Mujadalah: 11
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) @Ï% öNä3s9 (#qßs¡¡xÿs? Îû ħÎ=»yfyJø9$# (#qßs|¡øù$$sù Ëx|¡øÿt ª!$# öNä3s9 (
#sÎ)ur @Ï% (#râà±S$# (#râà±S$$sù Æìsùöt ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uy 4
ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×Î7yz ÇÊÊÈ
Artinya:
“Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah
dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah,
niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan.”
Asbabu Nuzul QS. Al-Mujadalah: 11
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hati
dari Muqatil bin Hibban, bahwa pada suatu hari, yaitu hari Jum’at para pahlawan
perang Badar datang ketempat pertemuan yang penuh sesak. Orang-orang
pada tidak mau memberi tempat kepada yang baru datang itu, sehingga terpaksa
mereka berdiri. Rasulullah menyuruh berdiri pada orang-orang yang lebih dahulu
duduk. Sedang para pahlawan Badar disuruh duduk ditempat mereka. Orang-orang
yang disuruh pindah tempat merasa tersinggung perasaannya. Kemudian turunlah
ayat ini sebagai perintah kaum Muslimin untuk menaati perintah Rasulullah dan
memberi kesempatan duduk kepada sesama mukmin.[3]
Analisis QS. Al-Mujadalah ayat 11
Pada bagian akhir dari ayat 11 di
atas menjelaskan bahwa Allah akan mengangkat tinggi-tinggi kedudukan orang yang
beriman dan orang-orang yang berilmu. Orang-orang mukmin
diangkat oleh Allah dan Rasul-Nya, sedangkan orang-orang berilmu diangkat
kedudukannya karena mereka dapat memberi banyak manfaat kepada orang lain. Ilmu
disini tidak terbatas pada ilmu-ilmu agama atau keakheratan saja, tetapi
menyangkut ilmu-ilmu keduniawian. Apapun ilmu yang dimiliki seseorang bila ilmu
itu bermanfaat bagi dirinya dan orang lain maka akan mejadi pusaka bagi
pemiliknya, selain amal jariyah dan anak shaleh.[4]
Hal-hal yang Menunjukkan dan Menerapkan Perilaku Beretos
Kerja
a.
Sesama mukmin hendaknya saling memberi kelapangan atau
berlapang-lapang dada terutama didalam majlis, sebagai bentuk penghargaan,
penghormatan dan kepedulian terhadap sesama saudara.
b.
Allah mengangkat derajat kepada orang-orang yang beriman
dan orang-orang yang menuntut ilmu beberapa derjat. Dan dengan ilmunya itu
mereka bisa mengamalkan ilmunya di sekolah-sekolah atau di perguruan tinggi.
c.
Allah
dan Rasulnya sangat menghormati orang-orang yang berilmu, karena jasanya umat
terbimbing menuju kehidupan yang benar dan pada kehidupan yang lebih baik.
B.
Ciri
- Ciri Etos Kerja Islami
Dan dalam batas-batas tertentu, ciri-ciri etos kerja
islami dan ciri-ciri etos kerja tinggi pada umumnya banyak keserupaannya,
utamanya pada dataran lahiriahnya. Ciri-ciri tersebut antara lain :
1. Baik dan Bermanfaat
Islam hanya memerintahkan atau menganjurkan
pekerjaan yang baik dan bermanfaat bagi kemanusiaan, agar setiap pekerjaan
mampu memberi nilai tambah dan mengangkat derajat manusia baik secara individu
maupun kelompok.
2. Kemantapan atau perfectness
Kualitas kerja yang mantap atau perfect merupakan
sifat pekerjaan Tuhan (baca: Rabbani),
kemudian menjadi kualitas pekerjaan yang islami yang berarti pekerjaan
mencapai standar ideal secara teknis. Untuk itu, diperlukan dukungan
pengetahuan dan skill yang
optimal. Dalam konteks ini, Islam mewajibkan umatnya agar terus menambah atau mengembangkan ilmunya dan tetap berlatih.
3.
Kerja Keras, Tekun dan Kreatif.
Kerja keras, yang dalam Islam diistilahkan dengan mujahadah
dalam maknanya yang luas seperti yang didefinisikan oleh Ulama adalah ”istifragh
ma fil wus’i”, yakni mengerahkan segenap daya dan kemampuan yang ada
dalam merealisasikan setiap pekerjaan yang baik. Dapat juga
diartikan sebagai mobilisasi serta optimalisasi sumber daya. Sebab,
sesungguhnya Allah SWT telah menyediakan fasilitas segala sumber daya yang
diperlukan, tinggal peran manusia sendiri dalam
memobilisasi serta mendaya gunakannya secara optimal, dalam rangka melaksanakan
apa yang Allah ridhai.
4.
Berkompetisi
dan Tolong-menolong
Al-Qur’an
dalam beberapa ayatnya menyerukan persaingan dalam kualitas amal shalih. Pesan persaingan
ini kita dapati dalam beberapa ungkapan Qur’ani yang bersifat “amar” atau
perintah, seperti “fastabiqul khairat” (maka, berlomba-lombalah
kamu sekalian dalam kebaikan. Oleh karena dasar semangat dalam
kompetisi islami adalah ketaatan kepada Allah dan ibadah serta amal
shalih, maka wajah persaingan itu tidaklah seram; saling mengalahkan atau
mengorbankan. Akan tetapi, untuk saling membantu (ta’awun).
5.
Objektif
(Jujur)
Sikap
ini dalam Islam diistilahkan dengan shidiq, artinya mempunyai kejujuran
dan selalu melandasi ucapan, keyakinan dan amal perbuatan dengan
nilai-nilai yang benar dalam Islam. Tidak ada kontradiksi antara realita
dilapangan dengan konsep kerja yang ada. Dalam dunia kerja dan usaha kejujuran
ditampilakan dalam bentuk kesungguhan dan ketepatan, baik ketepatan waktu,
janji, pelayanan, mengakui kekurangan, dan kekurangan tersebut diperbaiki
secara terus-menerus, serta menjauhi dari berbuat bohong atau menipu.
6.
Disiplin atau
Konsekuen
Selanjutnya
sehubungan dengan ciri-ciri etos kerja tinggi yang berhubungan dengan sikap
moral yaitu disiplin dan konsekuen, atau dalam Islam disebut dengan amanah.
Sikap bertanggung jawab terhadap amanah merupakan
salah satu bentuk akhlaq bermasyarakat secara umum, dalam konteks ini adalah
dunia kerja. Allah memerintahkan untuk menepati janji adalah bagian dari dasar
pentingnya sikap amanah. Janji
atau uqud dalam ayat tersebut mencakup seluruh hubungan, baik dengan Tuhan,
diri sendiri, orang lain dan alam semesta, atau bisa dikatakan mencakup seluruh
wilayah tanggung jawab moral dan sosial manusia. Untuk menepati amanah tersebut
dituntut kedisiplinan yang sungguh-sungguh terutama yang berhubungan dengan
waktu serta kualitas suatu pekerjaan yang semestinya dipenuhi.
7.
Konsisten dan
Istiqamah
Istiqamah
dalam kebaikan ditampilkan dalam keteguhan dan kesabaran sehingga menghasilkan
sesuatu yang maksimal. Istiqamah merupakan hasil dari suatu proses yang
dilakukan secara terus-menerus. Proses itu akan menumbuh-kembangkan suatu
sistem yang baik, jujur dan terbuka, dan sebaliknya keburukan dan
ketidakjujuran akan tereduksi secara nyata. Orang atau lembaga yang istiqamah
dalam kebaikan akan mendapatkan ketenangan dan sekaligus akan mendapatkan
solusi daris segala persoalan yang ada. Inilah janji Allah kepada hamba-Nya yang konsisten/istiqamah.
8.
Percaya
diri dan Kemandirian
Sesungguhnya daya inovasi dan kreativitas hanyalah
terdapat pada jiwa yang merdeka, karena jiwa yang terjajah akan terpuruk dalam
penjara nafsunya sendiri, sehingga dia tidak pernah mampu mengaktualisasikan
aset dan kemampuan serta potensi ilahiyah yang ia miliki yang sungguh sangat
besar nilainya. Semangat berusaha dengan jerih payah diri sendiri merupakan hal
sangat mulia posisi keberhasilannya dalam usaha pekerjaan.
9.
Efisien dan
Hemat
Agama
Islam sangat menghargai harta dan kekayaan. Jika orang mengatakan bahwa agama
Islam membenci harta, adalah tidak benar. Yang dibenci itu ialah mempergunakan
harta atau mencari harta dan mengumpulkannya untuk jalan-jalan yang tidak
mendatangkan maslahat, atau tidak pada tempatnya, serta tidak sesuai dengan
ketentuan agama, akal yang sehat dan ‘urf (kebiasaan yang baik).
Demi kemaslahatan harta tersebut, maka sangat dianjurkan untuk berperilaku
hemat dan efisien dalam pemanfaatannya, agar hasil yang dicapai juga maksimal.
Namun sifat hemat di sini tidak sampai kepada kerendahan sifat yaitu kikir atau
bakhil. Sebagian ulama membatasi sikap hemat yang dibenarkan kepada
perilaku yang berada antara sifat boros dan kikir, maksudnya hemat itu berada
di tengah kedua sifat tersebut. Kedua sifat tersebut akan berdampak negatif
dalam kerja dan kehidupan, serta tidak memiliki kemanfaatan sedikit pun,
padahal Islam melarang sesorang untuk berlaku yang tidak bermanfaat.[5]
C.
Etika Kerja Dalam Islam
Dalam
memilih seseorang ketika akan diserahkan tugas, rasulullah melakukannya dengan
selektif. Diantaranya dilihat dari segi keahlian, keutamaan (iman) dan
kedalaman ilmunya. Beliau senantiasa mengajak mereka agar itqon dalam bekerja.
Sebagaimana dalam awal tulisan ini dikatakan bahwa banyak ayat al-Qur’an
menyatakan kata-kata iman yang diikuti oleh amal saleh yang orientasinya kerja
dengan muatan ketaqwaan.
Pandangan
Islam tentang pekerjaan perlu kiranya diperjelas dengan usaha sedalam-dalamnya.
Sabda Nabi SAW yang amat terkenal bahwa nilai-nilai suatu bentuk kerja
tergantung pada niat pelakunya. Dalam sebuah hadits diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim, Rasulullah bersabda bahwa “sesungguhnya (nilai) pekerjaan itu
tergantung pada apa yang diniatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Tinggi rendahnya nilai kerja itu diperoleh seseorang tergantung
dari tinggi rendahnya niat. Niat juga merupakan dorongan batin bagi seseorang
untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu. Nilai suatu pekerjaan
tergantung kepada niat pelakunya yang tergambar pada firman Allah SWT agar kita
tidak membatalkan sedekah (amal kebajikan) dan menyebut-nyebutnya sehingga
mengakibatkan penerima merasa tersakiti hatinya.
Adapun hal-hal yang penting
tentang etika kerja yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut :
1.
Adanya keterkaitan individu
terhadap Allah, kesadaran bahwa Allah melihat, mengontrol dalam kondisi apapun
dan akan menghisab seluruh amal perbuatan secara adil kelak di akhirat.
Kesadaran inilah yang menuntut individu untuk bersikap cermat dan bersungguh-sungguh
dalam bekerja, berusaha keras memperoleh keridhaan Allah dan mempunyai hubungan
baik dengan relasinya. Dalam sebuah hadis rasulullah bersabda, “sebaik-baiknya
pekerjaan adalah usaha seorang pekerja yang dilakukannya secara tulus.” (HR
Hambali)
2.
Berusaha dengan cara yang halal
dalam seluruh jenis pekerjaan. Firman Allah SWT : “Hai orang-orang yang
beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan
bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” (QS. al-Baqarah:
172)
3.
Dilarang memaksakan seseorang,
alat-alat produksi atau binatang dalam bekerja, semua harus dipekerjakan secara
professional dan wajar.
4.
Islam tidak membolehkan pekerjaan
yang mendurhakai Allah yang ada kaitannya dengan minuman keras, riba dan
hal-hal lain yang diharamkan Allah.
5.
Professionalisme yaitu kemampuan
untuk memahami dan melakukan pekerjaan sesuai dengan prinsip-prinsip keahlian.
Pekerja tidak cukup hanya memegang teguh sifat amanah, kuat dan kreatif serta
bertaqwa tetapi dia juga mengerti dan benar-benar menguasai pekerjaannya. Tanpa
professionalisme suatu pekerjaan akan mengalami kerusakan dan kebangkrutan juga
menyebabkan menurunnya produktivitas bahkan sampai kepada kesemrautan manajemen
serta kerusakan alat-alat produksi.
Dalil Al-Qur’an
tentang Etika Kerja dalam Islam
QS. Al-Jumu’ah ayat
9-11
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) ÏqçR Ío4qn=¢Á=Ï9 `ÏB ÏQöqt ÏpyèßJàfø9$# (#öqyèó$$sù 4n<Î) Ìø.Ï «!$# (#râsur yìøt7ø9$# 4 öNä3Ï9ºs ×öyz öNä3©9 bÎ) óOçGYä. tbqßJn=÷ès? ÇÒÈ
#sÎ*sù ÏMuÅÒè% äo4qn=¢Á9$# (#rãϱtFR$$sù Îû ÇÚöF{$# (#qäótGö/$#ur `ÏB È@ôÒsù «!$# (#rãä.ø$#ur ©!$# #ZÏWx. ö/ä3¯=yè©9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÉÈ
#sÎ)ur (#÷rr&u ¸ot»pgÏB ÷rr& #·qølm; (#þqÒxÿR$# $pkös9Î) x8qä.ts?ur $VJͬ!$s% 4 ö@è% $tB yZÏã «!$# ×öyz z`ÏiB Èqôg¯=9$# z`ÏBur Íot»yfÏnF9$# 4 ª!$#ur çöyz tûüÏ%κ§9$# ÇÊÊÈ
Artinya:
9. Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk
menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli [1475] yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.
10.
Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi;
dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung.
11. Dan
apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju
kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah:
"Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan
perniagaan", dan Allah sebaik-baik pemberi rezki.
[1475] Maksudnya: apabila imam Telah naik mimbar dan
muazzin Telah azan di hari Jum'at, Maka kaum muslimin wajib bersegera memenuhi
panggilan muazzin itu dan meninggalakan semua pekerjaannya.
Asbabun
Nuzul
Di dalam suatu hadis diriwayatkan oleh Jabir disebutkan
sebagai berikut:
“ketika Rasulullah Saw berkhutbah
pada hari Jumat, tiba-tiba datanglah rombongan unta (pembawa dagangan), maka
cepat-cepatlah sahabat Rasulullah Swt. mengunjunginya sehingga tidak tersisa
lagi (sahabat yang mendengarkan khutbah)
kecuali 12 orang. Yaitu Saya (Jabir), Abu Bakar dan Umar termasuk mereka yang
tinggal. Maka Allah Swt. pun menurunkan ayat: wa iza ra'au tijaratan au lahwan
sampai akhir surat. (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan Turmuzi dari Jabir bin Abdullah)
Makna
Mufradat
·
نودي
للصلاة : yang dimaksud dengan nuudiya lis sholat di
sini adalah adzan (panggilan/ seruan) di mana khotib telah duduk di atas
mimbar, karena di masa Rasulullah tidak ada adzan selain itu. Atau bisa juga
berarti adzan yang kedua yakni sejak masa khalifah Utsman bin Affan sampai
zaman kita sekarang, beliau menambahkan adzan menjadi dua kali karena banyaknya
manusia yang masih berada di luar mesjid ketika itu
· فاسعوا :berarti famsyuu
(berjalanlah kalian)
· فانتشروا :menyebarlah
·
من فضل الله :
yang dimaksud
dengan karunia Allah adalah rezki yang Allah karuniakan
Analisis QS. Al-Jumu’ah ayat 9-11
Ayat
Qur’an surat al-Jum’ah
ayat 9 di atas berkenaan dengan seruan Allah SWT kepada orang-orang yang
beriman agar segera mendirikan shalat Jum’ah dan meninggalkan jual beli. Diakhir ayat ini ditegaskan, bahwa menaati perintah Allah
dengan melaksanakan shalat jum’at adalah lebih baik bagi orang-orang yang
memahainya sebab selain akan memperoleh keridhoan Allah, shalat jum’at dapat
menimbulkan persatuan dan kesatuan antara umat Islam, akan memperkuat tali
ukhuwah Islamiyah karena shalat jum’at dilakukan dengan berjamaah. Pada ayat 10
ditegaskan lagi, yaitu apabila telah ditunaikan shalat, maka bersegeralah
mencari karunia Allah, kembali pada kegiatan masing-masing bertebaran dimuka
bumi untuk mencari rizki yang halal dan baik.[6]
Diakhir ayat, Allah SWT menganjurkan bahwa dalam mencari rizki supaya
banyak berdzikir kepada-Nya agar memperoleh keberuntungan. Dzikir artinya
ingat atau menyebut. Dzikrullah adalah bagian terpenting dalam kehidupan umat
Islam, baik dalam kaitannya dengan masalah aqidah, ubudiyah dan akhlak. Baik
dalam hubungan dengan Allah maupun hubungan sesama manusia, Rasulullah adalah
orag yang paling banyak berdzikir, selalu ingat kepada Allah baik dalam situasi
dan kondisi apapun.
Dalam ayat 11 ditegaskan tentang sikap sebagian orang-orang mukmin yang
masih silau dengan pernagaan, dengan duniawi, padaha mereka saat itu sedang
mendengarkan khutbah Nabi Muhammad SAW. keudian turunlah ayat ini yang
menegaskan bahwa apa yang disisi Allah adalah jauh lebih baik dari pada
permainan dan perniagaan. Dan diujung ayat ini ditegaskan pula Allah itu
sebaik-baik pember rizki. Oleh karena itu, kepada-Nyalah kita arahkan usaha dan
ikhtiyar untuk memperoleh rizki yang halal dan mengikuti petunjuk-petunjuk-Nya.
Hal-hal yang Menunjukkan dan Menerapkan Prilaku Beretos Kerja
a. Shalat jum’at adalah suatu kewajiban bagi orang-orang
yang beriman, karenanya bila waktunya telah tiba maka harus meinggalkan segala
kesibukan dan aktifitas duniawi.
b. Bila shalat jum’at telah ditunaikan, maka dapat
melanjutkan aktifitasnya kembali, bertebaran dimuka bumi untuk mencari karunia
Allah yang halal lagi baik, serta banyak berdzikir kepada Allah dalam mencari
rizki.
c. Manusia sering silau terhadap gemerlapnya duniawi,
sehingga lebih memprioritaskan kepentingan duniawi dari pada kepentingan
ukhrawi. d. Allah menegaskan bahwa apa yang ada disisi Allah lebih baik dari
pada segala urusan aktifitas duniawi.
Hadits
tentang Etika Kerja dalam Islam
عَنْ أَنَسٍ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ
سَلَّمَ يَقُوْلُ : اَلْلهُمَ إِنِّى أَعُوْذُبِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ
وَالجُبْنِ وَأَعُوْذُبِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَفِتْنَةِ الْمَحْيَا
وَالْمَمَاتِ. (رواه مسلم)
Terjemah:
“Dari Anas
ra. Ia berkata, Rasulullah saw bersabda, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu
dari sifat lemah, malas, dan penakut. Dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa
kubur, ujian hidup dan ujian mati.” (HR.Muslim)
عَنْ
أَنَسٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَيْسَ
بِخَيْرِكُمْ مَنْ تَرَكَ دُنْيَاهُ لِأَخِرَتِهِ وَتَرَكَ أَخِرَتَهُ لِدُنْيَاهُ
حَتَّى يُصِيْبَ مِنْهُمَا جَمِيْعًا فَإِنَّ الدُّنْيَا بَلاَغٌ إِلَآ
الْأَخِرَةِ وَلاَ تَكُوْنُوْا كَلاًّ عَلَى النَّاسِ (رَوَاه ابن عساكر)
Terjemah:
“Dari Anas ra berkata: Rasulullah saw bersabda, “Tidak baik
orang yang meninggalkan dunia untuk kepentingan akhirat saja, atau meninggalkan
akhirat untuk kepentingan dunia saja, tetapi harus memperoleh kedua-duanya. Karena
kehidupan dunia mengantarkan kamu menuju akhirat. Oleh karena itu jangan
sekali-kali menjadi beban orang lain.” (HR. Ibnu `Asakir)
D.
Aspek Pekerjaan dalam Islam
Aspek pekerjaan dalam Islam meliputi empat hal
yaitu :
1. Memenuhi kebutuhan
sendiri
Islam sangat menekankan kemandirian bagi pengikutnya. Seorang
muslim harus mampu hidup dari hasil keringatnya sendiri, tidak bergantung pada
orang lain. Rasullullah memberikan contoh kemandirian
yang luar biasa, sebagai pemimpin nabi dan pimpinan umat Islam beliau tak segan
menjahit bajunya sendiri, beliau juga seringkali turun langsung ke medan jihad,
mengangkat batu, membuat parit, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan lainnya.
Para sahabat juga memberikan contoh bagaimana
mereka bersikap mandiri, selama sesuatu itu bisa dia kerjakan sendiri maka dia
tidak akan meminta tolong orang lain untuk mengerjakannya. Contohnya, ketika
mereka menaiki unta dan ada barangnya yang jatuh maka mereka akan mengambilnya
sendiri tidak meminta tolong lain.
2.
Memenuhi kebutuhan keluarga
Bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang menjadi
tanggungannya adalah kewajian bagi seorang muslim.
Rasulullah saw bersabada, “Cukuplah seseorang dianggap
berdosa jika ia menelantarkan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya”. (HR.
Ahmad, Abu Daud dan al-Hakim)
Menginfaqkan harta bagi keluarga adalah hal yang harus diutamakan,
baru kemudian pada lingkungan terdekat, dan kemudian lingkungan yang lebih
luas.
3. Kepentingan seluruh
makhluk
Pekerjaan yang dilakukan seseorang bisa menjadi sebuah
amal jariyah baginya.
Dari Anas, Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah seorang
mukmin menanam tanaman, atau menabur benih, lalu burung atau manusia atau hewan
pun makan darinya kecuali pasti bernilai sedekah baginya”. (HR Bukhari)
Dalam
era modern ini banyak sekali pekerjaan kita yang bisa bernilai sebagai amal
jariyah. Misalnya kita membuat aplikasi atau tekhnologi yang berguna bagi umat
manusia. Karenanya umat Islam harus cerdas agar bisa menghasilkan
pekerjaan-pekerjaan yang bernilai amal jariyah.
4. Bekerja sebagai wujud penghargaan terhadap pekerjaan itu sendiri
Islam sangat menghargai pekerjaan, bahkan seandainya
kiamat sudah dekat dan kita yakin tidak akan pernah menikmati hasil dari
pekerjaan kita, kita tetap diperintahkan untuk bekerja sebagai wujud penghargaan
terhadap pekerjaan itu sendiri. Hal ini bisa dilihat dari hadist berikut :
Dari Anas RA, dari Rasulullah saw, beliau bersabda, “Jika
hari kiamat terjadi, sedang di tanganmu terdapat bibit tanaman, jika ia bisa
duduk hingga dapat menanamnya, maka tanamlah “ (HR Bukhari dan Muslim).[7]
E. Konsep Kerja dalam Islam
“Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya
serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan
dikembalikan kepada (Allah) Yang mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu
diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” (QS. At-Taubah ayat 105).
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib manusia
sebelum mereka mengubah apa yang ada pada dirinya. (QS.
Ar-Ra’du ayat 11).
“dan bahwasannya seorang manusia
tidak akan memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. (QS. Al-Najm ayat 39).
Kemuliaan seorang manusia itu
bergantung kepada apa yang dilakukannya. Dengan itu, sesuatu amalan atau
pekerjaan yang mendekatkan seseorang kepada Allah adalah sangat penting serta
patut untuk diberi perhatian. Amalan atau pekerjaan yang demikian selain
memperoleh keberkahan serta kesenangan dunia, juga ada yang lebih penting yaitu
merupakan jalan atau tiket dalam menentukan tahap kehidupan seseorang di
akhirat kelak, apakah masuk golongan ahli surga atau sebaliknya. Istilah
‘kerja’ dalam Islam bukanlah semata-mata merujuk kepada mencari rezeki untuk
menghidupi diri dan keluarga dengan menghabiskan waktu siang maupun malam, dari
pagi hingga sore, terus menerus tak kenal lelah, tetapi kerja mencakup segala
bentuk amalan atau pekerjaan yang mempunyai unsur kebaikan dan keberkahan bagi
diri, keluarga dan masyarakat sekelilingnya serta negara.
Islam menempatkan kerja atau amal
sebagai kewajiban setiap muslim. Kerja bukan sekedar upaya mendapatkan rezeki
yang halal guna memenuhi kebutuhan hidup, tetapi mengandung makna ibadah
seorang hamba kepada Allah, menuju sukses di akhirat kelak. Oleh sebab itu,
muslim mesti menjadikan kerja sebagai kesadaran spiritualnya.
Dengan semangat
ini, setiap muslim akan berupaya maksimal dalam melakukan pekerjaannya. la
berusaha menyelesaikan setiap tugas dan pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya
dan berusaha pula agar setiap hasil kerjanya menghasilkan kualitas yang baik
dan memuaskan. Dengan kata lain, ia akan menjadi
orang yang terbaik dalam setiap bidang yang ditekuninya. Ada
dua tahapan yang harus dilakukan seseorang agar prestasi kerja meningkat dan
kerjapun bernilai ibadah:
1. Kerja Ikhlas: Betapa banyak para pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya dengan tekun,
cerdas, gigih dan penuh tanggungjawab namun jauh dari nilai-nilai keikhlasan
akhirnya menjadi petaka. Bekerja dengan dilandasi keikhlasan
adalah suatu keharusan agar materi dari hasil kerja didapat sementara pahala
diraih. Sesuai dengan doa yang seringkali dibaca ‘fiddunya hasanah wafil
akhiroti hasana.
”Dan katakanlah
: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan
melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang
mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa
yang telah kamu kerjakan” (al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 105)
2.
Kerja keras
dan cerdas: Ukuran kerja
keras adalah kesempatan berbuat, tanpa pamrih, bekerja maksimal dan Kepasifan
dalam menghadapi pekerjaan membatasi seseorang tidak berusaha meningkatkan
kemampuan profesionalismenya. Profesionalisme
biasanya dijadikan ukuran dalam peningkatan prestasi di setiap pekerjaan. Dalam
mengerjakan sesuatu, seorang muslim selalu melandasinya dengan mengharap ridha
Allah. Ini berimplikasi bahwa ia tidak boleh melakukan sesuatu dengan sembrono,
sikap seenaknya, dan secara acuh tak acuh. Sehubungan dengan ini, optimalisasi
nilai hasil kerja berkaitan erat dengan konsep ihsan. Ihsan berkaitan dengan
etos kerja, yaitu melakukan pekerjaan dengan sebaik mungkin, sesempurna mungkin
atau seoptimal mungkin.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib manusia
sebelum mereka mengubah apa yang ada pada dirinya. (al-Qur’an Surat
Ar-Ra’du ayat 11).
“dan bahwasannya seorang manusia tidak akan memperoleh
selain apa yang telah diusahakannya” (QS. Al-Najm ayat 39).
Dengan kata lain, orang yang berkerja
adalah mereka yang menyumbangkan jiwa dan tenaganya untuk kebaikan diri,
keluarga, masyarakat dan negara tanpa menyusahkan orang lain. Oleh karena itu, kategori ahli Syurga seperti yang
digambarkan dalam Al-Qur’an bukanlah orang yang mempunyai
pekerjaan/jabatan yang tinggi dalam suatu perusahaan/instansi sebagai manajer,
direktur, teknisi dalam suatu bengkel dan sebagainya. Tetapi sebaliknya
Al-Quran menggariskan golongan yang baik lagi beruntung (al-falah) itu adalah
orang yang banyak taqwa kepada Allah, khusyu sholatnya, baik tutur katanya,
memelihara pandangan dan kemaluannya serta menunaikan tanggung jawab sosialnya
seperti mengeluarkan zakat dan lainnya.
Golongan ini mungkin terdiri dari pegawai, supir, tukang
sapu ataupun seorang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap. Sifat-sifat di
ataslah sebenarnya yang menjamin kebaikan dan kedudukan seseorang di
dunia dan di akhirat kelak. Jika membaca hadits-hadits Rasulullah
SAW tentang ciri-ciri manusia yang baik di sisi Allah, maka tidak heran bahwa
diantara mereka itu ada golongan yang memberi minum anjing kelaparan, mereka
yang memelihara mata, telinga dan lidah dari perkara yang tidak berguna, tanpa
melakukan amalan sunnah yang banyak dan seumpamanya.
Hadits tentang Etos Kerja
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ
حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ أَبِيهِ عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : الْيَدُ الْعُلْيَا
خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ
عَنْ ظَهْرِ غِنًى وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ وَمَنْ يَسْتَغْنِ
يُغْنِهِ اللَّهُ وَعَنْ وُهَيْبٍ قَالَ أَخْبَرَنَا هِشَامٌ عَنْ أَبِيهِ عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِهَذَا(صحيح
البخاري)
Terjemah:
“Tangan diatas
lebih baik daripada tangan dibawah, dan mulailah dari orang yang menjadi
tanggunganmu. Dan sebaik-baiknya sedekah itu adalah dari punggung orang kaya
dan barang siapa yang minta dijaga maka Allah akan menjaganya dan barang siapa
yang minta kaya maka Allah akan memberinya kecukupan.”
Analisis hadits:
- Pemberi lebih baik dari pada penerima, maka dari itu
orang dilarang meminta-minta walaupun itu sangat darurat. Namun budaya
sekarang adalah orang suka meminta-minta.
- Mulai sedekah dari orang yang ditanggungnya yaitu
keluarga yang menjadi tanggungannya, yang wajib diberikan nafaqah
kepadanya. Maka seseorang itu harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan
keluarganya.
- Sebaik-baik sedekah adalah dari punggungnya orang kaya.
Maksudnya dari orang kaya apabila bersedekah hal itu menunjukkan
kesyukurannya.
Apabila orang yang beriman dan minta untuk dijadikan kaya
dan dia juga berusaha sungguh-sungguh maka Allah akan mewujudkan keinginannya
itu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan sebelumnya,
maka kami menyimpulkan bahwa:
1.
Etos
kerja merupakan seperangkat sikap atau pandangan mendasar yang dipegang
sekelompok manusia untuk menilai bekerja sebagai suatu hal yang positif bagi peningkatan
kualitas kehidupan, sehingga mempengaruhi perilaku kerjanya.
2.
Ciri-ciri
etos kerja mencakup beberapa hal, yaitu Baik dan Bermanfaat, Kemantapan
atau perfectness, Kerja Keras,
Tekun dan Kreatif, Berkompetisi dan Tolong-menolong, Objektif (Jujur), Disiplin atau
Konsekuen, Konsisten dan Istiqamah, Percaya diri dan Kemandirian,
dan Efisien dan Hemat.
3.
Hal-hal yang penting tentang etika
kerja yang harus diperhatikan yaitu, adanya keterkaitan individu terhadap
Allah, berusaha dengan cara yang halal dalam seluruh jenis pekerjaan, dilarang
memaksakan seseorang, alat-alat produksi atau binatang dalam bekerja, islam
tidak membolehkan pekerjaan yang mendurhakai Allah yang ada kaitannya dengan
minuman keras, riba dan hal-hal lain yang diharamkan Allah, dan
professionalisme.
4.
Ada dua tahapan yang harus dilakukan seseorang
agar prestasi kerja meningkat dan kerjapun bernilai ibadah, yaitu: Kerja ikhlas
dan kerja keras.
5.
Etos
kerja yang baik juga berdasar pada dalil-dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits yang
membahas secara rinci semua spek bekerja yang baik dan benar tidak hanya
menurut kehidupan bermasyarakat tetapi juga tepat menurut ajaran syariat islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali,
Muhammad Daud. 1998. Pendidikan Agama
Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Hamzah,
Ya’qub. 1992. Etos Kerja Islami.
Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya
Jamil,
Ahmad. 2004. Al-Fatih. Gresik: CV Putra Kembar
Mulyadi.
2003. Al-Qur’an Hadits. Semarang: PT
Toha Putra
Syukur,
Aisyah, dkk. 2004. Al-Qur’an Hadits.
Gresik: CV Gani dan Son
Buyahaerudin. Etos Kerja. http://www.buyahaerudin.com/2013/11/etos kerja.html.
2013. Diakses pada tanggal
18 November 2014 pukul 19.43 WIB
[1] Hamzah, Ya’qub, Etos Kerja Islami,
(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), hlm. 6
[2] Mulyadi, Al-Qur’an Hadits, (Semarang: PT
Toha Putra, 2003), hlm. 67
[3] Jamil, Ahmad, Al Fatih, (Gresik: CV Putra
Kembar, 2004), hlm. 38
[6] Ali, Muhammad Daud, Pendidikan Agama
Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 55
[7] Buyahaerudin, Etos Kerja, http://www.buyahaerudin.com/2013/11/etos-kerja.html, diakses pada tanggal 18 November 2014
pukul 19.43 WIB
No comments:
Post a Comment