definisi Al-Quran dan Hadits

BAB I
PENDAHULUAN
1.1     Latar Belakang Masalah
Islam merupakan agama yang dibawa Muhammad yang menggunakan Al-Quran sebagai sumber hukum islam yang pertama, dan menjadi tuntunan bagi seluruh umat manusia khususnya umat muslim. Al-Quran mencakup semua aspek kehidupan, hanya saja, berwujud teks yang sangat global sekali, sehingga dibutuhkan penjelas sekaligus penyempurna akan eksistensinya. Untuk itu, terdapat sumber hukum islam yang kedua, yaitu Hadits.
Al-Quran adalah firman Allah swt. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. melalui perantaraan Malaikat Jibril yang diturunkan secara berangsur-angsur dan membacanya bernilai ibadah. Sedangkan Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. baik dari perkataan, perbuatan, maupun persetujuan Nabi Muhammad saw.
Al-Quran dan Haditt merupakan sumber hukum dan pedoman hidup utama ummat islam sebagaimana sabda Rasulullah saw. : “Sesungguhnya Aku tinggalkan kepada kalian 2 perkara, jika kalian berpegang teguh pada kedua perkara ini niscaya kalian tidak akan sesat selama-lamanya yaitu kitab Allah (Al-Quran) dan sunnahku (Hadist Rasulullah)”. Ini karena Al-Quran dan hadits dapat membekali seseorang dengan dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadits sebagai pedoman dalam menyikapi dan menghadapi persoalan kehidupan, seperti masalah aqidah, keimanan, ibadah, hukum pergaulan hidup dan sebagainya. Dua pedoman umat muslim ini saling berhubungan satu sama lain, karena Al-Quran tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya Hadits sebagai penjelas Al-Quran yang masih bersifat global.

1.2     Rumusan Masalah
          1. Apakah definisi Al-Quran dan Hadits?
2. Bagaimana aspek yang terdapat pada Al-Quran dan Hadits?
3. Apa perbedaan antara Al-Quran dan Hadits?

1.3     Tujuan
1.    Untuk dapat mengetahui definisi Al-Quran dan Hadits
2.    Untuk dapat mengetahui dan memahami berbagai aspek yang terdapat pada Al-Quran (meliputi kandungan dan nama lain), dan Hadits (meliputi fungsi dan macam-macam Hadits
3.    Untuk dapat mengetahui dan memahami perbedaan antara Al-Quran dan Hadits

























BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Al-Quran beserta aspek-aspeknya
2.1.1 Pengertian Al-Quran
Secara Bahasa (Etimologi)
Quran menurut bahasa berarti “bacaan” atau “yang dibaca” sebagaimana terdapat di dalam Al-Quran surat Al-Qiyamah ayat 18 :
ﻗُﺮْﺁﻧَﻪ ﻓَﺎﺗَّﺒِﻊ ﻗَﺮَﺃْﻧَﺎﻩُ ﻓَﺈِﺫَﺍ , ﻭَﻗُﺮْﺁﻧَﻪ ﺟَﻤْﻌَﻪﻋَﻠَﻴْﻨَﺎ ﺇِﻥَّ
Artinya :
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacanya Maka ikutilah bacaannya itu.”
Secara Syari’at (Terminologi)
Sedangakan menurut  istilah, Al-Quran adalah : Kitab suci yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. Sebagai petunjuk bagi manusia, yang tertulis daalam mushaf, yang sampai kepada kita dengan cara mutawatir, dan membacanya dipandang sebagai ibadah.
Adalah Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas.
تَعْقِلُونَ  لَعَلَّكُمْ  عَرَبِيًّا  قُرْآنًا  أَنْزَلْنَاهُ  إِنَّا
Dan firman-Nya, “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (Yusuf : 2) Allah ta’ala telah menjaga Al-Quran yang agung ini dari upaya merubah, menambah, mengurangi atau pun menggantikannya.
Al-Quran disampaikan kepada kita secara mutawatir, baik melalui tulisan atau bacaan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dan terpelihara dari perubahan dan pergantian . Sebagaimana telah disebutkan bahwa sedikitpun tidak ada keraguan atas kebenaran dan kepastian isi Al-Quran itu, dengan kata lain Al-Quran itu benar-benar datang dari Allah. Oleh karena itu hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Quran merupakan aturan-aturan yang wajib diikuti oleh manusia sepanjang masa. Banyak ayat-ayat yang menerangkan bahwa Al-Quran itu benar-benar datang dari Allah.
Dalam surah An Nisa ayat 10 yang artinya, “Sesungguhnya telah kami turunkan kepada engkau (Muhammad) kitab Al-Quran dengan membawa kebenaran”. Surah An Nahl ayat 89, “Dan telah kami turunkan kepada engkau (Muhammad) kitab Al-Quran untuk menjelaskan segala sesuatu dan ia merupakan petunjuk, rahmat serta pembawa kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”. Dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Quran yang menerangkan bahwa Al-Quran itu benar-benar datang dari Allah.
Al-Quran adalah  mu’jizat bagi Nabi Muhammad saw. berarti, tidak akan ada seorang manusia atau jin, sekalipun mereka berkumpul bersama-mana antara manusia dan jin untuk membuat yang serupa dengan Al-Quran, pasti mereka tidak akan mampu membuatnya.
Dari berbagai ta’rif tersebut dapat disimpilkan bahwa Al-Quran ialah Kalam Allah yang diturunkan berangsur-angsur melalu Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad dan disampaikan kepada umat manusia secara mutawatir dan ditulis serta dihafal oleh umat Islam sejak Nabi Muhammad masih hidup hingga kini, berpahala bagi pembacanya, diawali dari surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.


2.1.2        Kandungan Al-Quran
a.    Pokok-pokok isi Al-Quran
Al-Quran adalah kitab suci yang merupakan pedoman hidup dan dasar setiap langkah hidup. Al-quran bukan sekedar mengatur hubungan manusia dengan Rabbnya, tetapi juga mengatur hubungan manusia dan alam sekitarnya. Singkatnya, Al-quran mengatur dan memimpin semua segi kehidupan manusia demi kebahagiaan hidup didunia dan di akhirat.
Pokok-pokok isi Al-Quran tersebut yaitu:
1)      Tentang masalah aqidah, keimanan dan wa’ad waid
2)      Tentang akhlakul karimah
3)      Tentang masalah ibadah
4)      Tentang hukum-hukum pergaulan hidup manusia di dunia
5)      Tentang kisah-kisah orang dahulu kala

b.    Asas-asas Al-Quran dalam menetapkan hukum
Dalam Al-Quran, Allah telah menetapkan hukum-hukumNya bagi manusia untuk mengatur kehidupan mereka didunia ini secara baik. Dalam menetapkan hukum-hukumNya, Allah memperlihatkan beberapa asas penetapan hukum sebagai berikut :
1)   Tidak bermaksud untuk menyusahkan dan menyulitkan keadaan hamba-Nya, tetapi semata-mata untuk tercapinya kesenangan mereka baik di dunia maupun di akhirat kelak.
2)   Hukumnya telah diukur oleh Allah swt menurut kesanggupan manusia.
3)   Al-Quran dalam menetapkan hukum tidak langsung menghapuskan hukum yang berlaku pada masa jahiliyah tetapi secara berangsur-angsur sedikit demi sedikit.
4)   Al-Quran sebagai mukjizat yaitu berarti bahwa tak seorangpun atau kelompok manapun yang sanggup menandingi kehebatan Al-Quran tersebut.
5)   Al-Quran berlaku sepanjang masa
Sebelum Allah swt menurunkan kitab suci Al-Quran kepada Nabi Muhammad saw, telah diturunkan beberapa kiab suci kepada Rasul terdahulu untuk disampaikan kepada umatnya masing-masing.

2.1.3        Nama lain bagi Al-Quran
a.    Al-Kitab atau Kitabullah
Hal ini terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 2 :

Artinya:
Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”.

b.    Al-Furqan berarti pembeda, yaitu membedakan antara yang benar dan batil/salah, sebagaimana firman Allah :
Artinya:
“Maha Agung (Allah) yang telah menurunkan Al-Furqan kepada hamba-Nya, agar ia menjadi peringatan kepada seluruh alam”

c.    Adz-Dzikru berarti peringatan yakni peringatan bagi yang melupakan Tuhan, sebagaimana firman Allah :
Artinya:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Adz-Dzikru (Al-Quran) dan sesungguhnya Kami pulla yang menjaganya” (Q.S al-hijr:9)


d.    Mushaf atau Suhuf yang berarti lembaran-lembaran.
Nama ini dipergunakan sejak masa Khalifah Abu Bakar ra. sewaktu beliau mulai mengumpulkan catatan-catatan Al-Quran yang masih berserakan di tangan para sahabat. Firman Allah swt:
Artinya:
(yaitu) seorang Rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (Al-Quran)” (Q.S Al-Bayyinah : 2)
2.2 Hadits
2.2.1 Pengertian Hadits
Secara Bahasa (Etimologi)
Hadis atau al- hadits menurut bahasa adalah al- jadid yang artinya (sesuatu yang baru) artinya yang berarti menunjukkan kepada waktu yang dekat atau waktu yang singkat seperti حَدِيْثُ العَهْدِ فِى أْلإِسْلَامِ (orang yang baru masuk/ memeluk islam). Hadis juga sering disebut dengan al- khabar, yang berarti berita, yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain, sama maknanya dengan hadis.
Secara Syari’at (Terminologi)
Secara terminologis adalah “Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan sebagainya”.[1]

Pengertian hadits menurut istilah dari 3 sudut pandang Ulama :
a.           Menurut para Muhadditsun (ahli hadits)
Hadits didefinisikan sebagai segala riwayat yang berasal dari Rasulullah baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan (taqrir), sifat fisik dan tingkah laku, beliau baik sebelum diangkat menjadi rasul (seperti tahannuts beliau di gua Hiro’) maupun sesudahnya”. Karena para muhadditsun meninjau bahwa pribadi Nabi Muhammad itu adalah sebagai uswatun hasanah , sehingga segala yang berasal dari beliau baik ada hubungannya dengan hukum atau tidak, dikategorikan sebagai hadits.[2]
b.       Menurut para ahli ushul fiqh (ushuliyyun)
          Para ushuliyyun mendefinisikan hadits sebagai segala sesuatu yang diambil dari Nabi saw, yang terdiri dari sabda, perbuatan, dan persetujuan beliau.[3]
c.       Menurut sebagian ulama (jumhur ulama)
          Menurut sebagian ulama antara lain at-Thiby, sebagaimana dikutip M. Syuhudi Ismail, mengatakan bahwa hadits adalah segala perkataan , perbuatan, dan takrir nabi, para sahabat, dan para tabiin.
          Ada banyak ulama periwayat hadits, namun yang sering dijadikan referensi hadits-haditsnya ada tujuh ulama, yakni: Imam Bukhari , Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Ahmad,, Imam Nasa'I, Imam Ibnu Majah.
          Pemberitaan terhadap hal-hal yang didasarkan kepada Nabi Muhammad SAW disebut berita yang marfu’, sedangkan yang disandarkan kepada sahabat disebut berita mauquf dan yang disandarkan kepada tabi’iy disebut maqthu’.[4]

2.2.2   Istilah-istilah dalam Ilmu Hadits
·           Sanad  yaitu rangkaian urutan-urutan perawi suatu hadits yang merupakan jalan yang menyampaikan orang kepada matan hadits.
·           Matan  yaitu teks atau isi hadits yang diriwayatkan oleh sanad, letaknya sesudahnya sanad berakhir.
·           Rawi    yaitu yang meriwayatkan, menyampaikan, atau memindahkan hadits kepada oraqng lain, atau orang yang membukukannya dalam suatu kumpulan hadits, dengan menyebutkan sanadnya.
·           Rijalul hadits   yaitu tokoh terkemuka yang diakui keabsahannya sebagai rawi hadits.
·           Isnad   yaitu menyebutkan sanad suatu hadits yang selalu dilakukan oleh seorang rawi.

2.2.3. Fungsi Hadits
Dalam agama Islam, hadits atau sunnah Nabi mempunyai kedudukan dan peranan utama yaitu merupakan sumber atau landasan pokok yang kedua bagi ajaran Islam sesudah Al-Quran. Sedangkan fungsinya, yang merupakan pelaksanaan daripada dua tugas pokok Nabi Muhammad saw adalah :
a.         Memberikan penjelasan atau perincian mengenai isi kandungan ayat Al-Quran sebagai sumber ajaran Islam yang pertama. Hal ini ditegaskan oleh firman Allah dalam Al-Quran yang artinya “ Telah kami turunkan adzdzikru (Al-Quran) kepadamu Muhammad untuk kamu jelaskan kepada manusia apa-apa yang telah diturunkan kepada mereka.” Contoh dari fungsi ini : Nabi melakukan sholat dan mengerjakan haji, sedang para sahabat mengikutinya. Lalu beliau bersabda : “Lakukanlah sholat seperti kamu melihat bagaimana aku melakukan sholat.” Dan “Ambillah pelaksanaan hajimu dari saya.” Contoh lain, nash-nash Al-Quran mengharamkan bangkai dan darah secara mutlak, dalam surat Al-Maidah Ayat 3 “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi. Dan seterusnya. “Kemudian As-sunnah mentaqyidkan kemutlakannya dan mentakhsiskan keharamannya, beserta menjelaskan macam-macam bangkai dan darah, dengan sabdanya: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai, dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai itu ialah bangkai ikan air dan bangkai belalang, sedang dua macam darah itu ialah hati dan limpa Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati di dalam Al-Quran.
b.         Menetapkan beberapa ketentuan atau hukum yang belum disebutkan dalam Al-Quran, seperti yang dimaksudkan dalam firman Allah yang artinya “Apa yang nabi Muhammad berikan kepadamu, ambillah dan apa yang dia cegahkan kepadamu, hindarilah.”. Contohnya “ Nabi melarang untuk  mengawini sekaligus seorang wanita dengan bibinya atau dengan keponakan perempuannya,”
Dalam hubungan dengan Al-Quran, maka As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, pensyarah, dan penjelas daripada ayat-ayat tertentu. Fungsi As-Sunnah dalam hubungan dengan Al-Quran itu adalah sebagai berikut :
1.      Bayan Tafsir
Yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadits : “Shallu kamaa ro-aitumuni ushalli” (Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah merupakan tafsiran daripada ayat Al-Quran yang umum, yaitu : “Aqimush-shalah” (Kerjakan shalat). Demikian pula hadits: “Khudzu ‘anni manasikakum” (Ambillah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsir dari ayat Al-Quran “Waatimmulhajja.”[5] (Dan sempurnakanlah hajimu).
2.      Bayan Taqrir
Yaitu As-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Quran. Seperti hadits yang berbunyi: “Shoumu liru’yatihiwafthiru liru’yatihi” (Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat Al-Quran dalam surat Al-Baqarah [6] : 185.
3.      Bayan Taudhih
Yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Quran, seperti pernyataan Nabi : “Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati”, adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-Quran dalam surat at-Taubah: 34, yang artinya sebagai berikut : “Dan orang-orang yang menyimpan mas dan perak kemudian tidak membelanjakannya dijalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih”.
4.      Bayan at-Tasyri`
Kata at-tasyri` ,artinya pembuatan, mewujudkan,atau menetapkan aturan atau hukum. Maka yang di maksud dengan bayan at-tasyri` di sini ialah penjelasan hadis yang berupa mewujudkan, mengadakan atau menetapkan suatu hukum atau aturan-aturan syara` yang di dapati nashnya dalam Al-qur`an.[7]
5.         Bayan an-Nasakh
Kata an-nasakh secara bahasa, bermacam-macam arti. Bisa berarti al-ibthal (membatalkan), atau al-ijalah (menghilangkan), atau at-tahwil (memindahkan), atau at-tagyir (mengubah). Dari pengertian di atas, bahwa ketentuan yang datang kemudian dapat menghapus ketentuan yang datang terdahulu. Hadis sebagai ketentuan yang dating kemudian dari pada al-Qur`an dalam hal ini dapat menghapus ketentuan atau isi kandungan Al-Quran.[8]

2.2.4 Macam-Macam Hadits
Dilihat dari segi pengertiannya, maka hadits terbagi ke dalam :
1.         Hadits qouliyah
Yaitu ucapan-ucapan yang disampaikan Nabi saw. Dalam bernagai kesempatan dan keadaan yang berhubungan dengan penetapan hokum atau ketentuan-ketentuan lain dalam Islam, seperti ucapan Nabi.
2.         Hadits fi’liyah
Yaitu perbuatan-perbuatan atau tindakan-tindakan yang dilakukan untuk memberikan tuntunan atau contoh-contoh pelaksanaan ibadah atau urusan-urusan lain dalam Islam, seperti bagaimana Nabi melakukan sholat dan haji, bagaimana beliau bersikap terhadap tamu, anak yatim, orangtua dsb.
3.         Hadits taqririyah
Yaitu pernyataan persetujuan terhadap suatu perbuatan yang dilakukan seseorang dihadapan atau perbuatan seseorang di tempat lain yang dilaporkan kepada beliau, lalu beliau diam menandakan persetujuan atau ketidakberatannya.


Ditinjau dari bentuknya, hadits dapat dibedakan dalam dua kategori:
1.         Hadis Qudsy
Yaitu pernyataan-pernyataan Rasul saw yang beliau nisbat (sandar)kan kepada ALLAH SWT, redaksi riwayatnya biasanya seperti ini; “Rasul bersabda; Allah berfirman....” atau secara langsung dalam redaksi riwayat dikatakan, “Rasul berscerita dari Tuhannya, bahwa........

Contoh:
عن ابى ذر رضى الله عنه قال : قال رسول الله صلعم : يقول الله عز وجل : ( من جاء بالحسنة فله عشر امثالها اوازيد, ومن جاء بالسيئة فجزاء سيئة مثلها او اغفر....الحديث . رواه مسلم)

“Dari Abu Dzar r.a ujarnya: Rasulullah saw. Bersabda: firman Allah ‘azza wa jalla: Siapa yang menjalankan kebaikan,ia berhak menerima sepuluh kali lipat atau lebih; sedang siapa yang berbuat kejahatan, maka balasannya satu kejahatan yamg sepadan atau bahkan aku ampuni, dan seterusnya.” (Riwayat Muslim)
Hadis Qudsy itu tidak banyak, hanya berjumlah kurang lebih seratus hadis, yang oleh sebagian ulama’ dihimpun dalam sebuah kitab.[9]
2.         Hadis Nabawi
Hadis nabawi yaitu pernyataan-pernyataan Rasul saw yang beliau nisbatkan pada diri sendiri. Misal “Rasul bersabda.......”(tanpa ada penyebutan bahwa isi sabdanya berasal dari Allah). Berikut ini adalah karakteristik hadis nabawi:
a.       Tauqify(dogmatis), yaitu hadis yang isi pikiran atau substansinya dari Allah (bisikan wahyu), namun redaksinya disusun Nabi sendiri. Contoh: “Islam dibangun atas lima pilar perkara: syahadat, shalat, zakat, haji, dan puasa dibulan ramadhan”.
b.      Taufiqy(aspiratif),yaitu hadis yang sebenarnya merupakan bentuk ijtihad atau kreativitas intelektual pribadi Rasulullah saw sendiri. Hadis seperti ini hanya berkaitan dengan perkara-perkara dunia yang tidak ada aturan baku dalam agama. Contohnya adalah hadis nabi tentang siasat perang, teori pertanian dan lain-lain.
Ditinjau dari kuantitasnya (dari segi bilangan perawinya) dibagi menjadi :
1.         Hadits Mutawatir
            Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang menurut kebiasaan mereka terhindar dari melakukan dusta mulai dari awal hingga akhir sanad”. Atau : “hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap tingkatan sanadnya menurut akal tidak mungkin para perawi tersebut sepakat untuk berdusta dan memalsukan hadits, dan mereka bersandarkan dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat diketahui dengan indera seperti pendengarannya dan semacamnya”. Syarat Hadits Mutawatir : (1) Diriwayatkan oleh banyak perawi. Meskipun muhaditsin (ahli hadist) berbeda pendapat mengenai seberapa banyak jumlah sedikitnya perawi ini, namun pendapat yang dipilih setidaknya mencapai 10 orang, (2)   Banyaknya orang yang meriwayatkan ini harus ada dalam setiap tingkatan (tabaqat/generasi), (3)   Menurut akal tidak mungkin perawi ini mempunyai kesepakatan untuk berdusta ketika meriwatkan hadist, (4)   Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan pemberitaanya bersifat indrawi (proses pendengaran dan penglihatan langsung).
Macam-macam hadits mutawatir:
(1)       Mutawatir Lafzhi, yaitu apabila sama dalam makna dan lafznya, contohnya: “Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku (Rasulullah Saw) maka dia akan disiapkan tempat duduknya dari api neraka.” Hadits ini telah diriwayatkan lebih dari 70 orang shahabat, dan diantara mereka termasuk 10 orang yang dijamin masuk surga.
(2)       Mutawatir Ma’ nawy, yaitu mutawatir dalam maknanya sedangkan lafaznya tidak. Misalnya, hadits-hadits tentang mengangkat tangan ketika berdoa.
(3)       Mutawatir Amaly, sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal itu berasal dari agama dan telah mutawatir di antara kaum muslimin bahwa Nabi melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya atau serupa dengan itu. Contoh : Kita melihat dimana saja bahwa salat Zuhur dilakukan dengan jumlah rakaat sebanyak 4 (empat) rakaat dan kita tahu bahwa hal itu adalah perbuatan yang diperintahkan oleh Islam dan kita mempunyai sangkaan kuat bahwa Nabi Muhammad SAW melakukannya atau memerintahkannya demikian.
2.         Hadits Ahad
         Suatu hadis (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadis mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadis tersebut masuk ke dalam hadis mutawatir.
         Macam-macam hadits ahad : (1) Hadist Masyhur, adalah hadits yang diriwayatkan oleh 3 perawi atau lebih pada setiap thabaqah (tingkatan) tetapi belum mencapai batas mutawatir. (2) Hadist ‘Aziz, adalah Suatu hadits yang perawinya tidak lebih dari dua orang dalam semua thabaqat sanad. (3) Hadits Gharrib, adalah hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi secara sendiri.
Pembagian hadits gharib : (1) Gharib Muthlaq, disebut juga : Al-Fardul-Muthlaq, yaitu bilamana kesendirian (gharabah periwayatan terdapat pada asal sanad (shahabat). Misalnya hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam ”Bahwa setiap perbuatan itu bergantung pada niatnya” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadits ini diriwayatkan sendiri oleh Umar bin Al-Khaththab, lalu darinya hadits ini diriwayatkan oleh Alqamah. Muhammad bin Ibrahim lalu meriwayatkannya dari Alqamah. Kemudian Yahya bin Sa’id meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim. Kemudian setelah itu, ia diriwayatkan oleh banyak perawi melalui Yahya bin Sa’id. Dalam gharib muthlaq ini yang menjadi pegangan adalah apabila seorang shahabat hanya sendiri meriwayatkan sebuah hadits. (2)   Gharib Nisbi, disebut juga : AL-Fardun-Nisbi, yaitu apabila keghariban terjadi pada pertengahan sanadnya, bukan pada asal sanadnya. Maksudnya satu hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari satu orang perawi pada asal sanadnya, kemudian dari semua perawi itu hadits ini diriwayatkan oleh satu orang perawi saja yang mengambil dari para perawi tersebut. Misalnya : Hadits Malik, dari Az-Zuhri (Ibnu Syihab), dari Anas radliyallahu’anhu  : “Rasulullah SAW. memerintahkan kepada kami agar kita membaca Al-Fatihah dan surat yang mudah dari Al-Quran” Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Malik dari Az-Zuhri. Dinamakan dengan gharib nisbi karena kesendirian periwayatan hanya terjadi pada perawi tertentu.
Ditinjau dari segi kualitasnya segi sifat perawi, sanad, dan matannya
1.         Hadits Shahih
Hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak berillat, dan tidak janggal.[10] Syarat-syarat hadits shahih : Diriwayatkan oleh perawi yang adil., kedhabitan perawinya sempurna, sanadnya bersambung, tidak ada cacat atau illat, matannya tidak syaz atau janggal.
Macam-macam hadits shahih : (1)   Shahih li dzatihi, yaitu hadits shahih yang memenuhi syarat-syarat diatas. Contoh: Rasulullah SAW bersabda, “Islam itu dibangun di atas lima perkara. Syahadat bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, puasa bulan Ramadhan dan berhajji.” (2)   Shahih li ghairihi, yaitu hadits yang keadaan perawinya kurang hafidz dan dlabith tetapi mereka masih terkenal orang yang jujur hingga karenya berderajat hasan, lalu didapati padanya jalan lain yang serupa atau lebih kuat, hal-hal yang dapat menutupi kekurangan yang menimpanya itu. Contoh: Seandainya aku tidak menyusahkan ummatku, pastilah aku perintahkan mereka untuk menggosok gigi tiap akan shalat (HR Bukhari Muslim) Hadits ini bila kita riwayatkan dari Bukhari dan Muslim, menjadi hadits yang shahih dengan sendirinya. Karena keduanya meriwayatkan dari jalan Al-A’raj bin Hurmuz (117 H) dari Abi Hurairah ra. Isnad ini dengan jelas menetapkan keshahihan hadits. Namun bila kita lihat lewat jalur periwayatan At-Tirmizy, maka hadits ini statusnya menjadi shahih li ghairihi (menjadi shahih karena ada hadits lainnya yang shahih). Berbeda dengan Bukhari dan Muslim, At-Tirmizy meriwayatkan hadits ini lewat jalur Muhammad bin Amir yang kurang kuat ingatannya. Lalu lewat jalur Abu Salamah dari Abu Hurairah ra. Maka segala riwayatnya dianggap hasan saja. Namun karena ada riwayat yang shahih dari jalur lain, maka jadilah hadits ini shahih li ghairihi.
2.         Hadist Hasan
         Hadits yang pada sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta, tak ada kejanggalan pada matannya.[11] Macam-macam hadist Hasan : (1)   Hasan Lidzatihi, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rowi yang adil tapi hafalannya kurang sempurna dengan sanad bersambung dan selamat dari keganjilan dan kecacatan. Jadi, tidak ada perbedaan antara hadits ini dengan hadits shohih lidzatihi kecuali dalam satu persyaratan, yaitu hadits hasan lidzatihi itu kalah dalam sisi hafalan.Misalnya perkataan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,“Sholat itu dibuka dengan bersuci, diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.” (2)   Hasan Lighairihi, adalah hadits yang dho’ifnya ringan dan memiliki beberapa jalan yang bisa saling menguatkan satu dengan yang lainnya karena menimbang didalamnya tidak ada pendusta atau rowi yang pernah tertuduh membuat hadits palsu. Misalnya,Hadits dari Umar ibn Khatthab rodhiallahu’anhu berkata bahwasannya Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam jika mengangkat kedua tangannya dalam do’a maka beliau tidak menurunkannya hingga mengusapkan kedua tangan ke wajahnya. (HR. Tirmidzi) Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom berkata, “Hadits ini memiliki banyak hadits penguat dari riwayat Abu Daud dan yang selainnya. Gabungan hadits-hadits tersebut menuntut agar hadits tersebut dinilai sebagai hadits hasan. Dan dinamakan hasan lighoirihi karena jika hanya melihat masing-masing sanadnya secara bersendirian maka hadits tersebut tidak mencapai derajat hasan. Namun, bila dilihat keseluruhan jalur periwayatan maka hadits tersebut menjadi kuat hingga mencapai derajat hasan.
3.         Hadist Dha’if
Hadits dhaif ialah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits sahih dan hadits hasan sebagaimana disebutkan di atas.[12]
Macam-macam hadist Dha’if :
·               Karena gugurnya rawi
            Yang dimaksud dengan gugurnya rawi adalah tidak adanya satu atau beberapa rawi, yang seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada permulaan sanad, maupun pada pertengahan atau akhirnya. Ada beberapa nama bagi hadits dhaif yang disebabkan karena gugurnya rawi, antara lain yaitu : (1)   Hadits Mursal, menurut bahasa, berarti hadits yang terlepas. Para ulama memberikan batasan bahwa hadits mursal adalah hadits yang gugur rawinya di akhir sanad. Yang dimaksud dengan rawi di akhir sanad ialah rawi pada tingkatan sahabat yang merupakan orang pertama yang meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW. (penentuan awal dan akhir sanad adalah dengan melihat dari rawi yang terdekat dengan imam yang membukukan hadits, seperti Bukhari, sampai kepada rawi yang terdekat dengan Rasulullah). Jadi, hadits mursal adalah hadits yang dalam sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi, sebagai rawi yang seharusnya menerima langsung dari Rasulullah. (2)   Hadits Munqathi’, hadits yang gugur seorang rawinyasebelum sahabat, di satu tempat atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut.[13](3)   Hadits Mu’dhal, menurut bahasa adalah hadits yang sulit dipahami. Batasan yang diberikan para ulama bahwa hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang rawinya, atau lebih, secara beriringan dalam sanadnya. (4)   Hadits mu’allaq, menurut bahasa berarti hadits yang tergantung. Batasan para ulama tentang hadits ini ialah hadits yang gugur satu rawi atau lebih di awal sanad atau bisa juga bila semua rawinya digugurkan (tidak disebutkan).
·               Karena cacat pada matan atau rawi
                   Banyak macam cacat yang dapat menimpa rawi ataupun matan. Seperti pendusta, fasiq, tidak dikenal, dan berbuat bid’ah yang masing-masing dapat menghilangkan sifat adil pada rawi. Sering keliru, banyak waham, hafalan yang buruk, atau lalai dalam mengusahakan hafalannya, dan menyalahi rawi-rawi yang dipercaya. Ini dapat menghilangkan sifat dhabith pada perawi. Adapun cacat pada matan, misalkan terdapat sisipan di tengah-tengah lafadz hadits atau diputarbalikkan sehingga memberi pengertian yang berbeda dari maksud lafadz yang sebenarnya. (1)   Hadits Maudhu’, menurut bahasa, hadits ini memiliki pengertian hadits palsu atau dibuat-buat. Para ulama memberikan batasan bahwa hadis maudhu’ ialah hadits yang bukan berasal dari Rasulullah SAW. Akan tetapi disandarkan kepada dirinya. Golongan-golongan pembuat hadits palsu yakni musuh-musuh Islam dan tersebar pada abad-abad permulaan sejarah umat Islam, yakni kaum yahudi dan nashrani, orang-orang munafik, zindiq, atau sangat fanatic terhadap golongan politiknya, mazhabnya, atau kebangsaannya. (2)   Hadits matruk atau hadits mathruh, yaitu hadits yang menyendiri dalam periwayatan, diriwayatkan oleh orang yang tertuduh dusta dalam perhaditsan.[14] (3)   Hadits Munkar, secara bahasa berarti hadits yang diingkari atau tidak dikenal. Batasan yang diberikan para ‘ulama bahwa hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah dan menyalahi perawi yang kuat. (4)   Hadits Mu’allal, menurut bahasa berarti hadits yang terkena illat . Para ulama memberi batasan bahwa hadits ini adalah hadits yang mengandung sebab-sebab tersembunyi , dan illat yang menjatuhkan itu bisa terdapat pada sanad, matan, ataupun keduanya. (5)   Hadits mudraj, hadist ini memiliki pengertian hadits yang dimasuki sisipan, yang sebenarnya bukan bagian dari hadits itu. Contoh: Rasulullah bersabda : “Saya adalah za’im (dan za’im itu adah penanggung jawab) bagi orang yang beriman kepadaku, dan berhijrah; dengan tempat tinggal di taman surga”. Kalimat akhir dari hadits tersebut adalah sisipan (dengan tempat tinggal di taman surga), karena tidak termasuk sabda Rasulullah SAW. (6)   Hadits Maqlub, menurut bahasa berarti hadits yang diputarbalikkan. Para ulama menerangkan bahwa terjadi pemutarbalikkan pada matannya atau pada nama rawi dalam sanadnya atau penukaran suatu sanad untuk matan yang lain. (7)   Hadits Syadz, secara bahasa hadits ini berarti hadits yang ganjil. Batasan yang diberikan para ulama, hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dipercaya, tapi hadits itu berlainan dengan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang juga dipercaya. Haditsnya mengandung keganjilan dibandingkan dengan hadits-hadits lain yang kuat. Keganjilan itu bisa pada sanad, pada matan, ataupun keduanya.
2.3    Perbedaan Al-Quran dan Hadits
Perbedaan Al-Quran dan Hadits secara umum yakni[15]:
1.    Al-Quran adalah kitab suci yang berisi kebenaran serta hukum-hukum dan firman Allah, yang kemudian dibukukan menjadi satu bundel, untuk seluruh umat manusia. Sedangkan Hadits yakni kumpulan yang khusus memuat sumber hukum Islam setelah al Qur'an berisikan aturan pelaksanaan, tata cara akhlak, ucapan yang dinisbatkan kepada Rasulullah.
2.    Al-Quran memiliki nilai kebenaran yang qoth’i (absolut), sedangkan Hadits adalah zhanni (relatif) kecuali Hadits Mutawatir.
3.    Seluruh ayat Al-Quran harus dijadikan pedoman hidup, namun tidak pada semua Hadits karena disamping ada Hadits yang Shahih ada pula Hadits yang Dha’if.
4.    Makna Al-Qur’a sudah pasti otentiklafazh dan maknanya, sedangkan hadits tidak.
5.    Apabila Al-Quran berbicara tentang masalah-masalah Aqidah atau hal-hal yang ghaib maka setiap muslim wajib mengimaninya. Pada Hadits ada yg wajib diimani dan ada yang tidak.
Perbedaan antara Al-Quran dan Hadits Qudsi. Di antaranya adalah sebagai berikut [16] :
1.    Jika seseorang membaca Hadits Qudsi, maka hal tesebut tidak dianggap sebagai ibadah kepada Allah SWT. Sedangkan jika membaca Al-Quran, maka setiap huruf akan diganjar pahala. Dan setiap hurufnya akan dibalas dengan 10 kebaikan.
2.    Allah SWT menantang siapa saja yang mampu membuat tandingan semisal Al-Quran namun tidak ada yang mampu meskipun hanya satu surat. Hal ini tidak dijumpai pada Hadits Qudsi.
3.    Allah SWT yang menjaga keshahihan dan keontetikan Al-Quran. Sedangkan Hadits Qudsi boleh jadi mempunyai derajat yang shahih, hasan, bahkan ada yang dha’if (lemah) dan maudhu’ (palsu). Di dalam Hadits Qudsi juga terdapat tambahan/pengurangan riwayat dan hal tersebut tidak mungkin dijumpai dalam Al-Quran.
4.    Jika kita mengutip Al-Quran dalam bahasa Arab, maka kita tidak boleh mengutipnya hanya dengan makna. Jadi harus sesuai dengan apa yang ada di dalam mushaf. Hal ini merupakan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Sedangkan untuk Hadits Qudsi, maka boleh menukilnya dengan makna saja. Dan mayoritsa ‘ulama membolehkannya.
5.    Al-Quran disyari’atkan dibaca di dalama shalat, dan shalat tidak akan sah jika tanpa bacaan Al-Quran (misalnya surah Al-Fatihah). Dan hal ini berbeda dengan Hadits Qudsi.
6.    Mushaf Al-Quran tidak boleh disentuh kecuali oleh orang yang dalam keadaan suci (telah berwudhu’). Berbeda dengan Hadits Qudsi yang jika dikumpulkan menjadi suatu buku, maka boleh menyentuhnya meskipun dalam keadaan belum berwudhu’.
7.    Al-Quran tidak boleh dibaca seseorang yang sedang dalam keadaan junub (berhadats besar). Ia hanya boleh membacanya ketika telah mandi junub (mandi wajib), atas pendapat yang paling kuat. Dan hal ini berbeda dengan Hadits Qudsi.
8.    Al-Quran berasal dari periwatan yang sangat valid, pasti, dan diyakini kebenarannya. Siapa saja yang mengingkari 1 huruf saja di dalam Al-Quran, maka ia dihukumi kafir karena perbuatannya. Berbeda dengan Hadits Qudsi jika mengingkarinya karena menganggap hadits tersebut tidak shahih, maka tidak bisa dihukumi kafir. Namun hal ini bisa menjadi kafir apabila ia mengingkarinya dalam keadaan berilmu, kemudian mendustakannya, padahal itu shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Perbedaan antara Al-qura’n dengan Hadis Nabawi dapat dilihat dibawah ini[17]:
1.    Al-Quran mukjizat Rasul sedangkan Hadits bukan mukjizat sekalipun Hadits Qudsi.
2.    Al-Quran terpelihara dari berbagai kekurangan dan pendistorsian tangan orang-orang jahil (lihat QS. Al-Hijr : 9) sedangkan hadis tidak terpelihara seperti Al-Quran. Namun hubungan keduanya tidak bias dipisahkan antara satu dengan yang lain. Maka terpeliharanya Al-Quran berarti pula terpeliharanya Hadits.
3.    Al-Quran diriwayatkan seluruhnya secara mutawatir sedangkan Hadits tidak banyak diriwayatkan secara mutawatir. Mayoritas Hadits diriwayatkan secara Ahad.
4.    Kebenaran ayat-ayat Al-Quran bersifat qath‟i al-wurud (pasti atau mutlakkebenarannya) dan kafir yang menginkarinya. Sedangkan hadits kebanyakan bersifat zhanni al-wurud (relatif kebenarannya) kecuali yang mutawatir.
5.    Al-Quran memiliki redaksi dan lafal nya dari Allah dan Hadits Nabawidari Nabi sendiri berdasarkan Wahyu Allah atau Ijtihad yang sesuai dengan Wahyu.
6.    Kewahyuaan Al-Quran disebut dengan wahyu  matluw (wahyu  yang dibacakan sedangkan  kewahyuan sunnah disebut wahyu ghayr matluw (wahyu yang tidak dibacakan) tetapi terlintas dalam  hati secara jelas dan yakin kemudian diungkapkan nabi dengan redaksinya sendiri.
7.    Al-Quran hanya dinisbahkan kepada Allah, sedangkan Hadits Nabawi dinisbahkan kepada Rasulullah.


BAB III
PENUTUP
3.1    Kesimpulan
          Al-Quran merupakan kitab suci yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. Sebagai petunjuk bagi manusia ,yang tertulis daalam mushaf , yang sampai kepada kita dengan cara mutawatir , dan membacanya dipandang sebagai ibadah. Sedangkan Hadits merupakan ialah ucapan, perbuatan, dan taqrir yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw.
          Nama-nama lain bagi Al-Quran adalah : Al-Kitab, Al-Furqon, Adz-dzikru, Asy-Syifa dan sebagainya. Selain itu, kandungan dalam Al-Quran terdiri dari : (1) pokok-pokok isi Al-Quran, maliputi tentang masalah aqidah, keimanan, ibadah, pergaulan dan sebagainya, (2) Asas-asas Al-Quran dalam menetapkan hukum, (3) Al-Quran sebagai mukjizat, dan (4) Al-Quran berlaku sepanjang masa.
          Fungsi Hadits terhadap Al Qur’an adalah untuk memperkokoh isi kandungan al-Qur’an, untuk memberikan rincian dan tafsiran global (mujmal), memberikan persyaratan/batasan (taqyid) ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhsis) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat umum.
Al-Quran dan Hadits memiliki beberapa perbedaan, antara lain : Al-Quran adalah kitab suci yang berisi kebenaran serta hukum-hukum dan firman Allah, Sedangkan Hadits yakni kumpulan yang khusus memuat sumber hukum Islam setelah Al-Quran berisikan aturan pelaksanaan, tata cara akhlak, ucapan yang dinisbatkan kepada Rasulullah. Serta seluruh ayat Al-Quran harus dijadikan pedoman hidup, namun tidak pada semua Hadits karena disamping ada Hadits yang Shahih ada pula Hadits yang Dha’if.
3.2    Saran
Jadikan Al-Quran dan Hadits sebagai pedoman dalam menyikapi dan menghadapi persoalan kehidupan. Pelajari dan pahami keduanya secara benar dalam berbagai aspek.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Djaliel, Maman. Alquran-hadits. Bandung: Armico. 2009.

Anonim. 2013. Sumber Utama Ajaran Islam. (http://www.islamnyamuslim.com/2013/03/sumber-ajaran-islam.html). (Diakses tanggal 18 Oktober 2014)

Al-Qaththa, Manna’ Khalil. Studi Ilmu-ilmu Al-Quran, Cet. 8, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa.

Fathur Rahman. 1991. Ikhtishar Mushthalahul Hadits. Yogyakarta: Alma’arif. 2004.

Habsyi, Ash-shidiqieqy. Ilmu Al-Quran dan Tafsir. Semarang:Pustaka Rizki Putra. 2009.

Khon, Abdul Madjid. Ulumul Hadis, Cet. II. Jakarta:  Amzah. 2009.

Manna`Al-Qaththan, Syaikh. Pengantar Studi Imu Hadis. Jakarta: Pustaka Alkausar. 2005

Nata,Abuddin. Al-Quran dan Hadits. Jakarta : Rajawali Press. 1992.

Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadis. Jakarta: Gaya Media Pratama. 1996.

Saputra, Munzier. Ilmu  Hadis. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. 1993.  





         



[1] Munzier Saputra,ilmu  Hadis, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1993),  hal 50
[2] Ibid , hal 52
[3] Abuddin nata, Al-Quran dan hadits, (Jakarta : Rajawali Press, 1992), hal 188
[4] Syaikh Manna`Al-Qaththan, Pengantar Studi Imu Hadis, (Jakarta, Pustaka Alkausar, 2005), hal 50

[5] Utang Ranuwijaya,Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama,1996), hal 27
[6] Ibid, hal 29
[7] Ibid, hal 33
[8] Ibid, hal 37
[9] Fathur Rahman, Ikhtishar Mushthalahul Hadits, (Yogyakarta: Alma’arif, 1991), hal 51
[10] Abuddin nata, Al-Quran dan Hadits, (Jakarta : rajawali Press, 1992), hal 231
[11] Ibid., hal 233
[12] Ibid, hal 235
[13] Ibid, hal 237
[14] Ibid, hal 235
[15] Anonim, Sumber Utama Ajaran Islam, http://www.islamnyamuslim.com/2013/03/sumber-ajaran-islam.html (Diakses tanggal 18 Oktober 2014).
[16] Manna’ Khalil Al-Qaththa, Studi Ilmu-ilmu Al-Quran, Cet. 8, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2004), hal. 26-27.
[17] Dr. H. Abdul Madjid Khon, Ulumul Hadis, Cet. II,  (Jakarta:  Amzah, 2009),  hal 4-15.

No comments:

Post a Comment