BAB I
PENDAHULUAN
Hakikat pembelajaran konstruktivistik oleh Brooks &
Brooks dalam Degeng mengatakan bahwa pengetahuan adalah non-objective, bersifat
temporer, selalu berubah, dan tidak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan
pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta
interpretasi. Mengajar berarti menata lingkungan agar si belajar termotivasi
dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si
belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergentung
pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya.
Nasib
pendidikan di Indonesia berada di persimpangan jalan. Pemerintah menuntut
peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan yang berkualitas
dan pada saat yang bersamaan menetapkan standar kelulusan secara nasional
melalui Ujian Nasional. Hal ini diperparah lagi adanya target kelulusan dengan
persentase yang tinggi oleh pemerintah kabupaten. Bagi sekolah unggulan yang
menetapkan standar kualitas inputnya, why
not! Tetapi bagi sekolah yang menerima anak hanya sekedar
memenuhi kewajiban belajar sembilan tahun, Banyak
Jalan menuju Roma!.
Disadari
atau tidak, energy kreativitas guru saat ini tersedot banyak untuk menyiapkan
anak lulus ujian nasional. Apalah artinya pembelajaran yang berkualitas kalau
toh dalam ujian nasional anak tidak lulus!. Beberapa sekolah bahkan melibatkan
pihak luar (baca:
Bimbingan belajar) untuk melatih anak mengerjakan soal-soal latihan
di luar jam sekolah. Kondisi ini, menyebabkan orang tua terbebani dengan biaya
sekolah tambahan, anak terbebani dengan jam belajar tambahan pada saat mereka
seharusnya bermain. Anak terpaksa harus menanggung beban stress yang tinggi.
Sebuah kenyataan yang sulit diterima oleh nurani para penerus perjuangan Ki
Hajar Dewantara, demi memenuhi target politis pemerintah dan opini konservatif
masyarakat yang menjadikan kelulusan sebagai satu-satunya indikator kualitas
sebuah sekolah dan seorang anak bangsa.
Pendidikan harus dikembalikan pada kithahnya. Di dalam UU RI No. 20 tahun
2003 tentang sistem pendidikan nasional (Bab II/Pasal 3) menyatakan bahwa
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.
Sains
sebagai mata pelajaran yang memberikan pengalaman pembelajaran cara berpikir
dari suatu struktur pengetahuan yang utuh, dapat menjadikan undang-undang
sebagai starting point
dalam pengembangan pembelajarannya. Sains menggunakan pendekatan empiris yang
sistematis dalam mencari penjelasan alami tentang fenomena alam. Dengan
demikian, pembelajaran sains menjadi wahana dalam menyiapkan anak sebagai
anggota masyarakat agar dapat berpartisipasi dalam memenuhi kebutuhan dan
mengkaji solusi atas masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat.
Prinsip pembelajaran sains adalah mengeksplorasi fakta-fakta aktual, di
mana anak dapat belajar merespon informasi terbaru dan melakukan eksperimen
untuk menguji hipĆ³tesis, yang memberikan ruang bagi anak agar dapat
mengembangkan kemampuan menganalisa, mengevaluasi dan mencipta. Dengan fakta
yang ditemukan, anak dengan segala potensinya hendaknya dapat menggagas sebuah
solusi kreatif dengan mengonstruksi sebuah fakta baru.
Salah
satu tantangan besar yang dihadapi guru saat ini yakni bagaimana membantu anak
mengembangkan kemampuan berpikir (thinking
skills), melangkah dari pengalaman konkret ke berpikir abstrak yang
dapat menghasilkan “loncatan intuitif” melalui sebuah desain pembelajaran
aktif. Piagetian-based
education mengakui pentingnya menyiapkan lingkungan di mana anak
dapat melangkah dari pengalaman konkret menuju ke menemukan konsep, dan
mengaplikasikan konsep. Mengetahui sebuah objek atau peristiwa, tidak
sesederhana melihatnya dan menggambarkannya. Mengetahui objek berarti berbuat
terhadapnya, memodifikasinya, mentransformasi dan memahami proses
transformasinya, dan sebagai konsekuensi dari pemahaman terhadap objek adalah
mengkontruksinya.
Pembelajaran
meliputi tiga hal utama yaitu fakta, konsep dan nilai. Fakta-fakta yang
dieksplorasi harus dapat dikonseptualisasi untuk melahirkan nilai-nilai yang
dapat diaplikasikan dalam kehidupan. Dengan demikian, ketika anak belajar maka
sesungguhnya diharapkan dapat melatih dan mengembangkan skill belajar (soft skill) yang
meliputi self
management skills, thinking
skills, research
skills, communication
skills, social
skills, dan problem
solving skills.
Dengan
semakin meningkatnya tantangan kehidupan di masa depan, menuntut pengembangan
teori dan siklus belajar secara berkesinambungan. Siklus belajar yang
dikembangkan dalam sebuah sistem pembelajaran menentukan terbentuknya karakter
yang diharapkan pada diri anak. Karakter berpikir yang kreatif dan membebaskan
dapat menjadi modal utama bagi anak untuk menjadi manusia mandiri dalam
kehidupan masa depan yang kompetitif. Proses pembelajaran yang berkarakter,
membiasakan anak belajar dan bekerja terpola dan sistematis, baik secara
individual maupun kelompok dengan lingkungan yang menyediakan ruang bagi anak
untuk berkreasi dan mencipta.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Siklus Belajar
Siklus Belajar adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada siswa
(student centered). Siklus Belajar merupakan rangkaian tahap-tahap kegiatan
(fase) yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga siswa dapat menguasai
kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan
berperanan aktif.
Pada dasarnya Siklus belajar lahir dari paradigma konstruktivisme belajar
yang lain termasuk teori konstruktivisme sosial Vygotsky dan teori belajar
bermakna Ausubel[1]. Siklus belajar melalui
kegiatan dalam tiap fase mewadahi siswa untuk secara aktif membangun
konsep-konsepnya sendiri dengan cara berinteraksi dengan lingkungan fisik
maupun sosial. Implementasi LC dalam pembelajaran sesuai dengan pandangan kontruktivis
yaitu:
1.
Siswa belajar secara aktif. Siswa mempelajari
materi secara bermakna dengan bekerja dan berpikir. Pengetahuan dikonstruksi
dari pengalaman siswa.
2.
Informasi baru dikaitkan dengan skema yang
telah dimiliki siswa. Informasi baru yang dimiliki siswa berasal dari
interpretasi individu
3.
Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan
penemuan yang merupakan pemecahan masalah[2].
Akan tetapi, fase-fase dalam siklus belajar mempunyai korespondensi dengan mental
functioning dari Piaget. Piaget menyatakan bahwa belajar merupakan
pengembangan aspek kognitif yang meliputi: struktur, isi, dan fungsi. Struktur
intelektual adalah organisasi-organisasi mental tingkat tinggi yang dimiliki
individu untuk memecahkan masalah-masalah. Isi adalah perilaku khas individu
dalam merespon masalah yang dihadapi. Sedangkan fungsi merupakan proses
perkembangan intelektual yang mencakup adaptasi dan organisasi[3]. Adaptasi terdiri atas
asimilasi dan akomodasi. Pada proses asimilasi individu menggunakan struktur
kognitif yang sudah ada untuk memberikan respon terhadap rangsangan yang
diterimanya. Dalam asimilasi individu berinteraksi dengan data yang ada di
lingkungan untuk diproses dalam struktur mentalnya. Dalam proses ini struktur
mental individu dapat berubah, sehingga terjadi akomodasi. Pada kondisi ini
individu melakukan modifikasi dari struktur yang ada, sehingga terjadi
pengembangan struktur mental. Pemerolehan konsep baru akan berdampak pada
konsep yang telah dimiliki individu. Individu harus dapat menghubungkan konsep yang
baru dipelajari dengan konsep-konsep lain dalam suatu hubungan antar konsep.
Konsep yang baru harus diorganisasikan dengan konsep-konsep lain yang telah
dimiliki. Organisasi yang baik dari intelektual seseorang akan tercermin dari
respon yang diberikan dalam menghadapi masalah. Karplus dan Their mengembangkan strategi pembelajaran yang
sesuai dengan ide Piaget di atas. Dalam hal ini siswa diberi kesempatan untuk
mengasimilasi informasi dengan cara mengeksplorasi lingkungan, mengakomodasi
informasi dengan cara mengembangkan konsep, mengorganisasikan informasi dan
menghubungkan konsep-konsep baru dengan menggunakan atau memperluas konsep yang
dimiliki untuk menjelaskan suatu fenomena yang berbeda. Implementasi teori
Piaget oleh Karplus dikembangkan menjadi fase eksplorasi, pengenalan konsep,
dan aplikasi konsep . Unsur-unsur teori belajar Piaget (asimilasi, akomodasi,
dan organisasi) mempunyai korespondensi dengan fase-fase dalam Siklus Belajar.
Pada mulanya siklus belajar terdiri atas tiga fase yaitu fase-fase
eksplorasi (exploration), pengenalan konsep (concept introduction), dan
aplikasi konsep (concept application).LC tiga fase saat ini telah dikembangkan
dan disempurnakan menjadi 5 dan 6 fase. Pada LC 5 fase, ditambahkan tahap
engagement sebelum exploration dan ditambahkan pula tahap evaluation pada
bagian akhir siklus. Pada model ini, tahap concept
introduction dan concept application masing-masing diistilahkan menjadi
explaination dan elaboration. Karena itu LC 5 fase sering dijuluki LC 5E
(Engagement, Exploration, Explaination, Elaboration, dan Evaluation). Pada LC 6
fase, ditambahkan tahap identifikasi tujuan pembelajaran pada awal kegiatan[4].
Pengembangan fase-fase LC dari 3 fase menjadi 5 atau 6 fase pun masih
tetap berkorespondensi dengan mental functioning dari Piaget. Fase engagement dalam LC 5E termasuk dalam
proses asimilasi, sedangkan fase evaluation masih merupakan proses organisasi.
B. Fase-fase
dalam Siklus Belajar
Dalam siklus belajar terdapat lima fase yaitu
Engagement, Exploration, Explanation, Elaboration dan Evaluation atau disebut
juga dengan Learning Cycle (LC) 5E, Penjelasan tentang kelima fase tersebut
sebagai berikut:
1.
Fase Pendahuluan (Engagement)
Kegiatan pada fase ini bertujuan
untuk mendapatkan perhatian siswa, men-dorong kemampuan berpikir, membantu
mereka mengakses pengetahuan awal yang telah dimilikinya. Timbulnya rasa ingin
tahu siswa tentang tema atau topik yang akan dipelajari dengan memberikan
pertanyaan-pertanyaan kepada siswa tentang fakta/fenomena yang berhubungan
dengan materi yang akan dipelajari. Misalnya dalam mempelajari “Zat dan
Wujudnya” guru dapat mulai dengan pertanyaan: “mengapa setelah beberapa hari
disimpan di lipatan-lipatan kain, kapur barus itu mengecil?”.
2.
Fase Eksplorasi (Exploration)
Pada fase ini siswa diberi
kesempatan untuk bekerja baik secara mandiri maupun kelompok tanpa instruksi
secara langsung dari guru. Siswa bekerja memanipulasi suatu objek, melakukan
percobaan (secara ilmiah), melakukan pengamatan, mengumpulkan data, merespon informasi
baru, mengeksplorasi fakta-fakta dengan petunjuk sederhana, melakukan sharing
pengetahuan dengan orang lain, atau menggali informasi dari guru, ahli/pakar
atau sumber-sumber yang lain sampai pada membuat suatu kesimpulan dari
percobaan yang dilakukan.
Selain itu, pada tahap ini siswa diberi kesempatan untuk
memanfaatkan panca inderanya semaksimal mungkin dalam berinteraksi dengan
lingkungan melalui kegiatan-kegiatan seperti praktikum, menganalisis artikel,
mendiskusikan fenomena alam, mengamati fenomena alam atau perilaku sosial, dan
lain-lain. Sehingga, dari kegiatan ini diharapkan timbul ketidakseimbangan
dalam struktur mentalnya (cognitive disequilibrium) yang ditandai dengan
munculnya pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada berkembangnya daya nalar
tingkat tinggi (high level reasoning) yang diawali dengan kata-kata seperti
mengapa dan bagaimana (Dasna, 2005, Rahayu, 2005). Munculnya pertanyaan-pertanyaan tersebut
sekaligus merupakan indikator kesiapan siswa untuk menempuh fase berikutnya.
3. Fase Penjelasan (Explanation)
Pada fase ini diharapkan terjadi
proses menuju kesetimbangan antara konsep-konsep yang telah dimiliki siswa
dengan konsep-konsep yang baru dipelajari melalui kegiatan-kegiatan yang
membutuhkan daya nalar seperti menelaah sumber pustaka dan berdiskusi.
Kegiatan pada fase ini bertujuan
untuk melengkapi, menyempurnakan, dan mengembangkan konsep yang diperoleh
siswa. Guru menjelaskan konsep yang dipahaminya dengan kata-katanya sendiri,
menunjukkan contoh-contoh yang berhubungan dengan konsep untuk melengkapi
penjelasannya, serta bisa memperkenalkan istilah-istilah baru yang belum
diketahui siswa. Pada kegiatan yang berhubungan dengan percobaan, guru dapat
memperdalam hubungan antar variable atau kesimpulan yang diperoleh siswa. Sehingga,
siswa dapat meningkatkan pemahaman konsep yang baru diperolehnya.
4. Fase Penerapan Konsep (Elaboration)
Kegiatan belajar ini mengarahkan
siswa menerapkan konsep-konsep yang telah dipahami dan keterampilan yang
dimiliki pada situasi baru. Kegiatan fase ini bertujuan untuk meningkatkan
pemahaman siswa tentang apa yang telah mereka ketahui, sehingga siswa dapat
melakukan akomodasi melalui hubungan antar konsep dan pemahaman siswa menjadi
lebih mantap. Selain itu, fase ini juga bertujuan untuk meningkatkan motivasi
belajar siswa,karena siswa mengetahui penerapan nyata dari konsep yang mereka
pelajari.
5. Fase Evaluasi (Evaluation)
Pada tahap akhir, evaluation, dilakukan
evaluasi terhadap efektifitas fase-fase sebelumnya dan juga evaluasi terhadap
pengetahuan, pemahaman konsep, atau kompetensi siswa melalui problem solving
dalam konteks baru yang kadang-kadang mendorong siswa melakukan investigasi
lebih lanjut.
Berdasarkan tahapan-tahapan dalam
metode pembelajaran bersiklus seperti dipaparkan di atas, diharapkan siswa
tidak hanya mendengar keterangan guru tetapi dapat berperan aktif untuk
menggali dan memperkaya pemahaman mereka terhadap konsep-konsep yang
dipelajari.
C.
Macam-macam Siklus
Belajar
Terdapat
tiga macam siklus, yaitu deskriptif, empirikal-abduktif, dan
hipotetikal-deduktif. Perbedaan ketiga macam siklus belajar hanya terletak pada
usaha siswa mendeskripsikan sifat-sifat atau generalisasi eksplisit dan menguji
hipotesis-alternatif.
1)
Pada siklus
belajar deskriptif, siswa menemukan dan mendeskripsikan pola empirik dalam
konteks yang khas.
2)
Pada siklus
belajar empirikal-abduktif, siswa juga menemukan, seperti pada siklus pertama
(eksplorasi), tetapi telah melangkah lebih jauh, yaitu dengan menciptakan
sebab-sebab yang mungkin ada pada pola tersebut.
3)
Pada siklus
belajar hipotetikal-deduktif, siswa mengemukakan per-tanyaan-pertanyan sebab
musabab yang dapat menimbulkan beberapa macam penjelasan.
D.
Implementasi Siklus
Belajar
Siklus belajar dapat dimplementasikan
dalam pembelajaran bidang-bidang sains maupun sosial. Implementasi LC dalam
pembelajaran menempatkan guru sebagai fasilitator yang mengelola berlangsungnya
fase-fase tersebut mulai dari perencanaan (terutama pengembangan perangkat
pembelajaran), pelaksanaan (terutama pemberian pertanyaan-pertanyaan arahan dan
proses pembimbingan) sampai evaluasi. Efektifitas implementasi LC biasanya
diukur melalui observasi proses dan pemberian tes. Jika ternyata hasil dan
kualitas pembelajaran tersebut ternyata belum memuaskan, maka dapat dilakukan
siklus berikutnya yang pelaksanaannya harus lebih baik dibanding siklus
sebelumnya dengan cara mengantisipasi kelemahan-kelemahan siklus sebelumnya,
sampai hasilnya memuaskan.
E.
Penggunaan
Siklus Belajar dalam Pembelajaran Fisika
Beberapa hal ini berkaitan erat dengan proses
pembelajaran fisika adalah elemen-elemen pokok dalam pembelajaran itu sendiri,
misalnya bahan dan aktifitas yang menarik siswa, terbentuk pola pikir jika…
dan… maka…, munculnya jawaban atau cara yang lebih efektif, munculnya uraian,
prakiraan atau data baru, tersedianya kesempatan untuk memeriksa sejauh mana
konsep baru dapat diterapkan dalam konteks lain, sifat khas pelajaran, sifat
khas perilaku siswa dan sifat khas perilaku guru. Hal-hal tersebut dikenalkan untuk
mencapai pembelajaran fisika yang efektif dengan tujuan agar tercapainya guru
yang sukses.
Dalam
mendesain pembelajaran disarankan untuk meningkatkan pengetahuan konsep dan
keterampilan pikir dengan memperhatikan elemen-lemen di atas. Demi tecapainya
pembelajaran yang efektif perlu dimonitor pelaksanaannya melalui beberapa
pertanyaan mengungkap sifat-sifat khas pelajaran dan perilaku siswa dan guru
sebagai penginvestigasi kegiatan siswa oleh guru itu sendiri atau oleh orang
lain, misalnya teman sejawat dan kepala sekolah.
F.
Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Siklus Belajar
Dalam siklus belajar, proses pembelajaran bukan lagi sekedar transfer
pengetahuan dari guru ke siswa, seperti dalam falsafah behaviorisme, tetapi
merupakan proses pemerolehan konsep yang berorientasi pada keterlibatan siswa
secara aktif dan langsung. Proses pembelajaran demikian akan lebih bermakna dan
menjadikan skema dalam diri siswa menjadi pengetahuan fungsional yang setiap
saat dapat diorganisasi oleh siswa untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi.
Hasil-hasil penelitian di perguruan tinggi dan sekolah menengah tentang
implementasi siklus belajar dalam pembelajaran sains menunjukkan keberhasilan
model ini dalam meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar siswa[5]. Marek dan Methven[6] menyatakan bahwa siswa
yang gurunya mengimplementasikan siklus belajar mempunyai ketrampilan
menjelaskan yang lebih baik dari pada siswa yang gurunya menerapkan metode
ekspositori. Cohen dan Clough[7] menyatakan bahwa siklus
belajar merupakan strategi jitu bagi pembelajaran sains di sekolah menengah
karena dapat dilakukan secara luwes dan memenuhi kebutuhan nyata guru dan
siswa. Dilihat dari dimensi guru penerapan strategi ini memperluas wawasan dan
meningkatkan kreatifitas guru dalam merancang kegiatan pembelajaran. Sedangkan
ditinjau dari dimensi siswa, penerapan strategi ini memberi keuntungan sebagai
berikut:
1.
meningkatkan motivasi belajar karena siswa
dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran
2.
membantu mengembangkan sikap ilmiah siswa
3.
pembelajaran menjadi lebih bermakna
Adapun kekurangan
penerapan strategi ini yang harus selalu diantisipasi diperkirakan sebagai
berikut[8]:
1.
efektifitas pembelajaran rendah jika guru
kurang menguasai materi dan langkah-langkah pembelajaran
2.
menuntut kesungguhan dan kreativitas guru
dalam merancang dan melaksanakan proses pembelajaran
3.
memerlukan pengelolaan kelas yang lebih
terencana dan terorganisasi
4.
memerlukan waktu dan tenaga yang lebih banyak
dalam menyusun rencana dan melaksanakan pembelajaran.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
·
Siklus Belajar adalah suatu model
pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered). Siklus Belajar
merupakan rangkaian tahap-tahap kegiatan (fase) yang diorganisasi sedemikian
rupa sehingga siswa dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai
dalam pembelajaran dengan jalan berperanan aktif.
·
Fase-fase
dalam siklus belajar:
1. Fase Engage (Menarik Perhatian-Mengikat); Fase engage merupakan
fase awal. Pada fase ini guru menciptakan situasi teka-teki yang
sesuai dengan topic yang akan dipelajari siswa. Guru dapat mengajukan
pertanyaan (misalnya: mengapa hal ini terjadi? Bagaimana cara mengetahuinya?
dll) dan jawaban siswa digunakan untuk mengetahui hal-hal apa saja yang telah
diketahui oleh mereka. Fase ini dapat pula digunakan untuk mengidentifikasi
miskonsepsi siswa.
2. Fase Exploration (Eksplorasi); Selama
fase eksplorasi, siswa harus diberi kesempatan untuk bekerja sama dengan
teman-temannya tanpa arahan langsung dari guru. Fase ini menurut teori Piaget
merupakan fase “ketidakseimbangan” dimana siswa harus dibuat bingung. Fase ini
merupakan kesempatan bagi siswa untuk menguji hipotesis atau prediksi mereka,
mendiskusikan dengan teman sekelompoknya dan menetapkan keputusan.
3. Fase Explain (Menjelaskan); Pada
fase ini guru mendorong siswa untuk menjelaskan konsep dengan kalimat mereka
sendiri.
4. Fase Elaborate; Pada
fase ini siswa harus mengaplikasikan konsep dan kecakapan yang telah mereka
miliki terhadap situasi lain.
5. Fase Evaluate (Evaluasi); Evaluasi dilakukan selama pembelajaran dilangsungkan. Guru bertugas
untuk mengobservasi pengetahuan dan kecakapan siswa dalam mengaplikasikan
konsep dan perubahan berfikir siswa.
·
Siklus belajar mempunyai tiga jenis siklus belajar, yaitu deskriptif,
empirikal-abduktif, dan hipotetikal-deduktif. Perbedaan ketiga macam siklus
belajar hanya terletak pada usaha siswa mendeskripsikan sifat-sifat atau
generalisasi eksplisit dan menguji hipotesis-alternatif.
·
Keuntungan
menggunakan model pembelajaran siklus belajar:
1.
meningkatkan motivasi belajar karena siswa
dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran
2.
membantu mengembangkan sikap ilmiah siswa
3.
pembelajaran menjadi lebih bermakna
·
Kekurangan penerapan model ini adalah:
1.
efektifitas pembelajaran rendah jika guru
kurang menguasai materi dan langkah-langkah pembelajaran
2.
menuntut kesungguhan dan kreativitas guru
dalam merancang dan melaksanakan proses pembelajaran
3.
memerlukan pengelolaan kelas yang lebih
terencana dan terorganisasi
4.
memerlukan waktu dan tenaga yang lebih banyak
dalam menyusun rencana dan melaksanakan pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, M. 1995. Pengembangan
Program Pengajaran Bidang Studi Kimia. Surabaya :
Airlangga University Press.
Budiasih, E. , Widarti, H.R. 2004. Penerapan
Pendekatan Daur Belajar (Learning Cycle) dalam Pembelajaran Matakuliah
Praktikum Kimia Analisis Instrumen. Jurnal Pendidikan dan pembelajaran Vol
10 (1), hal 70-78.
Dasna, I.Wayan. 2005. Kajian
Implementasi Model Siklus Belajar (Learning Cycle) dalam Pembelajaran Kimia. Makalah Seminar Nasional MIPA dan
Pembelajarannya. FMIPA UM –
Dirjen Dikti Depdiknas. 5 September 2005.
Dasna I, Wayan. 2005. Model Siklus Belajar (Learning
Cycle) Kajian Teoritis dan Implementasinya dalam Pembelajaran Kimia.
Malang : Universitas Negeri Malang
Fajaroh, F.,
Dasna, I.W. 2003. Penggunaan Model Pembelajaran Learning Cycle Untuk
Meningkatkan Motivasi Belajar Dan Hasil Belajar Kimia Zat Aditif Dalam Bahan
Makanan Pada Siswa Kelas Ii Smu Negeri 1 Tumpang – Malang. Jurnal
Pendidikan dan Pembelajaran Vol 11 (2) Oktober 2004, hal 112-122.
Hudojo, H. 2001. Pembelajaran
Menurut Pandangan Konstruktivisme. Makalah Semlok Konstruktivisme sebagai
Rangkaian Kegiatan Piloting JICA. FMIPA UM. 9 Juli 2001.
Iskandar, S.M.
2005. Perkembangan dan Penelitian Daur Belajar. Makalah Semlok Pembelajaran
Berbasis Konstruktivis. Jurusan Kimia UM. Juni 2005.
Rahayu, S., Prayitno. 2005. Penggunaan
Strategi Pembelajaran Learning Cycle-Cooperative Learning 5E (LCC-5E). Makalah Seminar Nasional MIPA dan
Pembelajarannya. FMIPA UM – Dirjen Dikti Depdiknas. 5 September 2005.
Soebagio dkk. 2000. Penggunaan Siklus belajar dan Peta Konsep
untuk Peningkatan Kualitas Pembelajaran Konsep Larutan Asam-Basa. PPGSM.
[1] Fajaroh, F.,
Dasna, I.W. 2003. Penggunaan Model Pembelajaran Learning Cycle Untuk
Meningkatkan Motivasi Belajar Dan Hasil Belajar Kimia Zat Aditif Dalam Bahan
Makanan Pada Siswa Kelas Ii Smu Negeri 1 Tumpang – Malang. Jurnal
Pendidikan dan Pembelajaran Vol 11 (2) Oktober 2004, hal 112-122.
[2] Hudojo, H. 2001. Pembelajaran
Menurut Pandangan Konstruktivisme. Makalah Semlok Konstruktivisme sebagai
Rangkaian Kegiatan Piloting JICA. FMIPA UM. 9 Juli 2001.
[3] Arifin, M. 1995. Pengembangan
Program Pengajaran Bidang Studi Kimia. Surabaya: Airlangga University
Press.
[4] Iskandar, S.M.
2005. Perkembangan dan Penelitian Daur Belajar. Makalah Semlok Pembelajaran
Berbasis Konstruktivis. Jurusan Kimia UM. Juni 2005.
[5] Budiasih, E. ,
Widarti, H.R. 2004. Penerapan Pendekatan Daur Belajar (Learning Cycle) dalam
Pembelajaran Matakuliah Praktikum Kimia Analisis Instrumen. Jurnal Pendidikan dan pembelajaran Vol 10 (1), hal 70-78.
[7] Soebagio dkk.
2000. Penggunaan Siklus belajar dan Peta Konsep untuk Peningkatan Kualitas
Pembelajaran Konsep Larutan Asam-Basa. PPGSM.
No comments:
Post a Comment