BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk Tuhan yang mampu berpikir dan bertindak. Kemampuan
yang dimilikinya tersebut, didasari karena Allah SWT telah membekalinya dengan
berbagai macam daya dan potensi. Sebagaimana yang terdapat dalam Al Qur’an yang
berbunyi :
لَقَدْ خَلَقْنَا الاِنْسَانَ فِى أَحْسَنِ
تَقْوِيْمٍ {التين
: ٤}
Artinya : Sungguh Kami telah
menciptakan manusia dalam rupa (bentuk) yang sebaik-baiknya. (QS. At Tien Ayat 4)
M. Quraish Shihab dalam bukunya “Membumikan
Al Qur’an (Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat)”, mengatakan
bahwa Allah menganugerahkan manusia empat daya[1]:
1.
Daya tubuh yang mengantar manusia
berkekuatan fisik. Berfungsinya organ tubuh dan panca indera berasal dari daya
ini.
2.
Daya hidup yang menjadikannya
memiliki kemampuan mengembangkan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan serta
mempertahankan hidupnya dalam menghadapi tantangan.
3.
Daya akal yang memungkinkannya
memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi.
4.
Daya kalbu yang meyakinkannya
bermoral, merasakan keindahan , kelezatan iman dan kehadiran Allah. Dari daya
inilah lahir intuisi dan indra keenam.
Guna memberdayakan semua daya tersebut menuju kesempurnaan, pendidikan
memegang peranan penting di dalamnya. Pendidikan adalah aktivitas dan usaha
manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina potensi-potensi
pribadinya, yaitu rohani (pikir, karsa, cipta, rasa, dan budi nurani) dan
jasmani (panca indra, serta keterampilan)[2].
Pendidikan yang di dalamnya terdapat proses belajar mengajar mempunyai tujuan
yang jelas. Tujuan sebagai arah dari proses belajar mengajar pada hakikatnya
adalah rumusan tingkah laku yang diharapkan dapat dikuasai oleh siswa setelah
menerima dan menempuh pengalaman belajaranya.[3]
Dalam Sistem Pendidikan Nasional, rumusan tujuan pendidikan baik tujuan
kurikulum maupun tujuan instruksional menggunakan klasifikasi hasil belajar
dari Benyamin Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah,
yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotoris. Dari ketiga ranah
tersebut, ranah kognitiflah yang paling banyak dinilai oleh para guru di
sekolah. Karena berkaitan dengan kemampuan para siswa dalam menguasai
pelajaran,[4]
sementara ranah afektif dan psikomotoris sering terabaikan. Padahal tidak
demikian seharusnya.
Jika kita melihat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Bab II pasal 3
yang berbunyi:
“Pendidikan
Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung
jawab,”[5]
Pasal di atas secara tegas menjelaskan bahwa, fungsi pendidikan
seharusnya tidak hanya memfokuskan pada kualitas pemikiran siswa saja, atau
dengan kata lain bagaimana sikap, tingkah laku, kecakapan, dan kemandirian
seorang siswa harus diberikan penilaian tersendiri pada setiap akhir kegiatan
pembelajaran.
Fenomena yang masih terjadi dalam proses pengajaran adalah belum
optimalnya perlibatan emosi sebagai unsur pendukung dalam belajar. Para guru lebih sering mengeksplorasi aspek kognitif.
Padahal proses belajar tidak terpisah dari perasaan siswa, termasuk dalam hal
ini belajar Agama. Ada
gambaran umum bahwa ketika siswa belajar ia merasa takut untuk membuat
kesalahan, ataupun perasaan tidak percaya diri ketika mengerjakan soal yang
diberikan oleh seorang guru. Ia dihinggapi oleh perasaan tidak aman (insecurity), terancam (threat), rasa cemas (anxiety), dan perasaan lain yang dapat
menghambat proses belajarnya.[6]
Penyebab dari semua itu seringkali bukan terletak pada ketidakmampuan siswa,
tetapi karena faktor emosi yang mempengaruhi mereka. Dalam kondisi seperti
inilah faktor Kecerdasan Emosi menjadi sangat berperan.
Selama ini banyak anggapan bahwa IQ merupakan tolok ukur kecerdasan
seseorang. Hasil tes itu pun seolah menjadi jaminan bahwa mereka yang ber-IQ
tinggi pasti berhasil, karena hasil tes tersebut dianggap mewakili segenap
kemampuan seseorang. Dari pandangan yang muncul seperti ini, mengakibatkan para
orang tua sibuk mengikutsertakan anak-anak mereka menjalani tes intelegensi.
Terkadang pihak sekolah juga mewajibkan murid-muridnya untuk mengikuti semacam
ini. Alasannya tentu saja dapat ditebak, ingin mengetahui bakat anak tersebut,
selain tentu saja tingkat kecerdasannya. Padahal, anak itu masih duduk di taman
kanak-kanak.[7]
Meskipun banyak ahli yang berpendapat bahwa perlibatan emosi sangatlah
penting dalam segala aktifitas, termasuk dalam hal ini aktifitas belajar,
tetapi penempatam IQ sebagai salah satu determinan penting tetaplah dibutuhkan
dengan proporsi yang wajar. Munculnya kecerdasan emosi merupakan suatu reaksi
terhadap penyanjungan berlebihan terhadap IQ. Kehadiran topik kecerdasan emosi
merupakan reaksi untuk mengukuhkan kembali manusia, bukan hanya aspek kognitif
saja, tetapi aspek emosi juga sangat berpengaruh terhadap keberhasilan. Dalam
mempelajari Fisika pun sering kita jumpai kenyataan bahwa banyak siswa yang
mengalami kesulitan belajar karena pengelolaan emosi yang kurang baik, bukan
semata-mata karena faktor ketidakmampuan.
Daniel Goleman, seorang professor dari Universitas Harvard menjelaskan
bahwa ada patokan lain yang menentukan tingkat kesuksesan seseorang. Dalam
bukunya yang terkenal, Emotional
Intelligence, mengungkapkan bahwa tingkat emosi manusia lebih mampu
memperlihatkan keseuksesan seseorang.
Kecerdasan Emosi (EQ) tumbuh seiring dengan pertumbuhan seseorang sejak
lahir hingga meninggal dunia. Pertumbuhan EQ dipengaruhi oleh lingkungan,
keluarga, dan contoh-contoh yang didapatnya sejak lahir dari orang tuanya.
Dalam dunia pendidikan, kecerdasan yang dimiliki oleh siswa bukan menjadi
sebuah acuan dasar untuk mengatakan berhasil tidaknya proses penyelenggaraan
pendidikan. Namun yang dapat dijadikan catatan dalam menilai berhasil tidaknya
proses tersebut adalah berdasarkan output yang dihasilkan oleh siswa yang
bersangkutan, baik dari aspek kognitif, afektif atau psikomotoris yang mereka
dapatkan.
Dengan demikian, untuk lebih memahami keterkaitan antara hasil belajar
(sebagai output dari pengajaran) dengan kecerdasan emosi yang dimiliki siswa,
dapat dilakukan sebuah penelitian. Atas dasar ini, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul skripsi “Hubungan
Kecerdasan Emosional Terhadap Hasil Belajar Fisika Siswa Kelas XI di SMA Plus Pembangunan Jaya
Bintaro”.
B. Identifikasi Masalah
Dari
latar belakang masalah diatas, masalah-masalah dapat diidentifikasi sebagai
berikut:
- Bagaimana pengaruh kecerdasan emosional
terhadap motivasi siswa?
- Apa yang menjadi catatan keberhasilan siswa
dalam belajar?
- Mana yang lebih penting dikembangkan,
kecerdasaan intelektual atau kecerdasan emosional?
- Bagaimana hubungan kecerdasan emosional dengan
hasil belajar Fisika?
C. Pembatasan Masalah
Karena keterbatasan peneliti,
maka peneliti perlu memberikan pembatasan masalah yang akan diteliti. Penelitian
ini dibatasi hanya pada hubungan kecerdasan emosional terhadap hasil belajar
fisika siswa. Kecerdasan emosional dan hasil belajar fisika siswa dimaksud
adalah:
1. Penelitian dilakukan
pada siswa Kelas XI SMA Plus Pembangunan Jaya Tahun Akademik 2010/2011
2. Kecerdasan emosional
yang dikemukakan oleh Daniel goleman yang selanjutnya akan dibahas dalam Bab II
skripsi ini.
3. Hasil belajar Fisika
diperoleh dari hasil ujian akhir semester siswa.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka rumusan masalah yang
dikemukakan adalah sebagai berikut:
- Apakah
terdapat hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional siswa dengan
Hasil belajar Fisika ?
- Apa faktor
pendukung dan penghambat antara kecerdasan emosional dengan Hasil belajar Fisika
Siswa Kelas XI SMA Plus Pembangunan Jaya Bintaro?
E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat
penelitian ini adalah:
1. Kegunaan
Akademis.
Menurut peneliti, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi
dan dokumentasi ilmiah untuk perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam
bidang pendidikan dan proses pembelajarannya melalui beberapa cara, diantaranya
yaitu kecerdasan emosional siswa.
2. Kegunaan
Praktis.
Penelitian ini diharapkan menambah wawasan baru khususnya bagi peneliti
tentang peranan kecerdasan emosional terhadap hasil belajar Fisika siswa
sehingga kontribusi dalam proses pengajaran dapat mudah dilakukan.
[1] M.
Quraish Shihab, “Membumikan Al Qur’an :
Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung : Mizan, 2000), Cet ke-XXI, h. 281
[2]
Tim Dosen FIP-IKIP Malang .
“Pengantar Dasar-dasar Kependidikan”.
(Surabaya :
Usaha Nasional. 1987). Cet ke-III. h.7
[3]
Nana Sujana. “Penilaian Hasil Proses
Belajar Mengajar”. (Bandung :
PT. Remaja Rosda Karya. 2001) Cet ke-VII. h.22
[4]
Ibid. h. 22-23
[5]
Undang-undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 2003. Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bab II Pasal 3.
[6] C.A.
Curran, Conseling Learning in Second
Language, (Apple Rivers, III : Apple Rivers Press, 1967), p. 28
[7]
C.A Curran, Penentu Sukses: IQ atau EQ,
Femina, 9 Agustus 1997
BAB II
DESKRIPSI TEORITIS, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS
A. Deskripsi Teoritik
1. Hakikat Hasil Belajar
a) Pengertian Belajar
Setiap Individu dalam rentang
hidupnya tentu belajar, baik belajar secara formal maupun belajar non formal.
Belajar merupakan proses pengumpulan atau penghafalan suatu fakta dalam bentuk
informasi atau materi pelajaran, demikianlah sebagian orang menafsirkan arti
belajar.[1]
Ada pula yang
menyebutkan bahwa belajar merupakan latihan seperti kegiatan membaca dan
menulis.[2]
Dari pernyataan tersebut makna belajar terlihat kurang lengkap. Untuk
menghindarinya maka beberapa ahli dalam dunia pendidikan mencoba untuk merumuskan
definisi belajar sebagai berikut.
Gagne seperti dikutip oleh
Munandir mengemukakan bahwa belajar adalah perubahan dalam disposisi insani
atau kapabilitas, yang dapat diretensi (disimpan) dan yang bukan menyangkut
individu lagi.[3]
Hilgrad dan Bower dalam Purwanto
mengemukakan bahwa belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang
terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalaman yang
berulang-ulang dalam situasi itu, dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat
dijelaskan atas dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan atau keadaan
sesaat seseorang.[4]
Wittig seperti dikutip oleh Syah
mengemukakan bahwa belajar merupakan perubahan yang relatif menetap yang
terjadi dalam segala macam atau keseluruhan tingkah laku suatu organisme
sebagai hasil pengalaman.[5]
Pada definisi yang dikemukakan oleh Writtig menekankan pada perubahan yang
menyangkut seluruh aspek psiko-fisik organisme yang didasarkan pada kepercayaan
bahwa tingkah laku lahiriah organisme itu sendiri buka indikator adanya
peristiwa belajar, karena proses belajar itu tidak dapat di observasi secara
langsung.[6]
Ketiga pengertian yang
dikemukakan oleh Gagne, Hilgrid dan Writtig menekankan bahwa proses belajar
mengharuskan perubahan pada diri individu. Gagne menggunakan istilah perubahan
dalam disposisi insani. Sementara dua ahli lainnya lebih menekankan pada
perubahan tingkah laku individu. Beberapa ahli lain juga mencoba untuk
menggulirkan idenya tentang definisi dari belajar, seperti:
Tirtarahardja dan Sula
mengemukakan bahwa belajar diartikan sebagai aktivitas pengembangan diri
melalui pengalaman, bertumpu pada kemampuan diri belajar di bawah bimbingan pengajar.[7]
Tirta dan Sula memiliki ide yang
berbeda tentang belajar, walaupun tujuan akhir dari belajar-menurut penulis-
ini tetap sama seperti tiga ahli sebelumnya bahwa belajar berarti adanya
perubahan pada diri individu. Namun, Tirta dan Sula lebih menekankan pada
pengembangan diri melalui pengalaman, sehingga terlihat belajar sebagai suatu
proses yang tidak hanya dilakukan di sekolah saja. Walaupun anggapan ini
dipatahkan pada bagian akhir definisi ini bahwa proses belajar ini di bawah
bimbingan pengajar.
Spears dalam Suryabrata
berpendapat bahwa belajar adalah mengamati, membaca, menirukan, mencoba sesuatu
oleh diri mereka sendiri, mendengarkan dan mengikuti petunjuk.[8]
Pengertian yang diajukan oleh
Spears lebih cenderung kepada imitasi dan identifikasi kepada yang lain.
Keanekaragaman pendapat tentang
definisi belajar merupakan suatu fenomena yang wajar karena adanya perbedaan
sudut pandang. Namun dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa belajar merupakan usaha sadar yang dilakukan oleh seseorang melalui
serangkaian proses latihan atau pengalaman sehingga terjadi perubahan yang
lebih baik dari sebelumnya. Perubahan itu meliputi pengetahuan, kebiasaan,
sikap, dan tingkah laku.
b) Pengertian Pembelajaran Fisika
Pembelajaran berasal dari kata
belajar dan diambil imbuhan pe-an. Pembelajaran merupakan proses belajar.
Definisi secara harfiah akan dikemukakan oleh Degeng dalam Fatimah yang
menyebutkan bahwa pembelajaran merupakan sebuah upaya untuk membelajarkan
siswa. Dari definisi tersebut mengandung makna bahwa terdapat sebuah kegiatan
memilih, menetapkan dan mengembangkan metode atau strategi yang optimal untuk
mencapai hasil pembelajaran yang diharapkan.[9]
Pembelajaran pada umumnya dilakukan
di lembaga pendidikan baik formal maupun non formal. Pembelajaran melibatkan
siswa dan guru. Setiap guru menginginkan proses pembelajaran yang dilakukan
berkualitas. Pembelajaran yang berkualitas adalah pembelajaran yang efektif,
efisien dan menarik.[10]
Sehingga diharapkan dengan pembelajaran berkualitas hasil belajar pun dapat
ideal. Saparahayuningsih berpendapat bahwa tercapainya hasil belajar yang ideal
sangat tergantung dari kegiatan belajar mengajar yang dikelola oleh guru dan
kegiatan belajar siswa selama mengikuti pelajaran, baik di dalam kelas maupun
di luar kelas.[11]
Terlepas dari kemampuan guru yang mampu atau tidak mengelola pembelajaran yang
berkualitas, kerja sama, dan peran serta siswa pun mempunyai andil yang cukup
besar dalam keberhasilan belajar. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa komponen
kehidupan tidak pernah dapat berdiri sendiri tanpa adanya dukungan dari
lingkungan sekitar. Oleh sebab itu, maka interaksi yang harmonis antara siswa
dan guru akan lebih membantu tercapainya suatu tujuan pembelajaran.
Pada saat ini terdapat dua
kecenderungan dalam pembelajaran Fisika, yaitu: kecenderungan penggunaan
pendekatan konstruktivisme dan kecenderungan digunakannya pembelajaran
konstektual.
Pendekatan konstruktivisme
menekankan pentingnya siswa untuk membangun sendiri pengetahuan. Dari
pendekatan ini dikembangkan pembelajaran kooperatif. Menurut Priyono,
pembelajaran kooperatif lebih menghargai siswa sebagai makhluk bermasyarakat “homo
homini socius” daripada pembelajaran konvensional yang cenderung
menonjolkan aspek kompetisi dan individualistic yang bersifat “homo homini
lupus”.[12]
Pendekatan konstruktivisme lebih memberikan kebebasan siswa untuk memilih apa
yang dia inginkan dalam belajar. Karena siswa sendiri yang membangun
pengetahuannya, guru hanya sebagai pembimbing saja.
Sementara pada pembelajaran
konstektual lebih menekankan pada konteks sebagai awal pembelajaran sebagai
ganti pengenalan konsep dengan abstrak. Pada pendekatan ini siswa dibekali oleh
kekonkretan konsep yang abstrak. Sehingga diharapkan dapat memahami konsep
bahasan yang hendak dibahas.
Dalam mempelajari Fisika
kemampuan ingatan dan ketelitian kerja yang diikuti dengan sikap ilmiah akan
saling terkait dalam meningkatkan kebermaknaan konsep dasar Fisika. Dalam
proses pembelajaran, khususnya Fisika seorang siswa dituntut untuk menguasai
tiga domain atau ranah yang meliputi:
1) Kognitif, memiki enam
taraf yaitu: pengetahuan,n pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan
evaluasi,
2) Afektif, meliputi:
memperhatikan, merespon, menghayati nilai, mengorganisasikan dan memperhatikan
nilai atau seperangkat nilai,
3) Psikomotorik, meliputi:
persepsi, set, respon terbimbing, respon mekanistis, dan respon kompleks.[13]
c) Hakikat Hasil Belajar Fisika
Beberapa ahli dalam dunia
pendidikan merumuskan definisi hasil belajar seperti Romiszowski dalam
Anaktototy mengemukakan bahwa hasil belajar merupakan tingkah laku yang dapat
diukur dengan tes tentang bidang yang dipelajari.[14]
Skinner dalam Ibrahim mengemukakan bahwa hasil belajar merupakan respon
(tingkah laku) yang baru. Tingkah laku yang dimaksud meliputi pengetahuan,
sikap, dan keterampilan.[15]
Kedua pengertian ini menjelaskan bahwa hasil belajar seorang peserta didik
ditandai dengan adanya perubahan tingkah laku baru.
Bloom dalam Anaktototy
mendefinisikan hasil belajar sebagai hasil perubahan tingkah laku yang meliputi
tiga ranah yakni; ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik.[16]
Gagne dan Briggs dalam Anaktototy berpendapat bahwa hasil belajar adalah
gambaran kemampuan yang diperoleh seseorang setelah mengikuti proses belajar
yang dapat diklasifikasikan ke dalam lima
kategori yaitu; keterampilan intelektual, strategi kognitif, informasi verbal,
keterampilan motorik, dan sikap.[17]
Bloom berpendapat bahwa ada tiga
dimensi hasil belajar yaitu dimensi kognitif, dimensi afektif dan dimensi
psikomotorik. Dimensi kognitif adalah kemampuan yang berhubungan dengan
berpikir, mengetahui dan memecahkan masalah seperti pengetahuan, aplikatif,
sintesis, analisis, dan evaluasi. Dimensi afektif adalah kemampuan yang
berhubungan dengan sikap, nilai, minat, dan apresiasi. Sedangkan dimensi
psikomotorik adalah kemampuan yang berhubungan dengan keterampilan motorik.[18]
Ketiga dimensi ini saling terkait dan tidak dapat dipisahkan, namun sekolah
lebih sering menelaah dimensi kognitif dan melupakan dimensi afektif dan
dimensi psikomotorik karena tidak dapat dipungkiri beban kurikulum yang
menggelayuti pemikiran pendidik dan kenyataan di lapangan yang jauh berbeda
dengan yang diharapkan suatu pendidikan ideal cukup membuat keadaan pendidik
sangat dilematis.
Reigeluth (1983) menyatakan bahwa
hasil pembelajaran secara umum dapat dikategorikan menjadi tiga indikator
yaitu:
1) Efektifitas pembelajaran
yang biasanya diukur dengan tingkat keberhasilan (prestasi) siswa dari berbagai
sudut.
2) Efisiensi pembelajaran
yang biasanya diukur dari waktu belajar dan atau biaya pembelajaran.
3) Daya tarik pembelajaran
yang selalu diukur dari tendensi siswa ingin belajar secara terus menerus.[19]
Dari pengertian di atas dapat
ditarik suatu kesimpulan bahwa hasil belajar adalah suatu kinerja (performance)
yang diindikasikan sebagai suatu kapabilitas (kemampuan) yang telah diperoleh.
d) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Hasil belajar siswa dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Menurut Syah, faktor-faktor yang mempengaruhi hasil
belajar dirumuskan ke dalam tiga kelompok, yaitu:
1) Faktor internal siswa
yang meliputi aspek fisiologis dan aspek psikologis (Intelegensi, sikap siswa,
bakat siswa, minat siswa dan motivasi siswa),
2) Faktor eksternal siswa
yang meliputi lingkungan sosial dan lingkungan non-sosial,
Menurut Guarsa dan Suryabrata,
secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi belajar dan hasil belajar
digolongkan sebagai berikut:
1) Faktor endogen yang
dibedakan menjadi dua yaitu:
(a) Faktor fisiologis adalah
yang berhubungan dengan jasmani dan panca indera.
(b) Faktor psikologis
meliputi: intelegensi, bakat, motivasi, dan konsentrasi,
2) Faktor eksogen adalah
bahan yang dipelajarinya, lingkungan alami dan sosial, instrumental (kurikulum,
program, sarana/fasilitas dan guru/tenaga pengajar).[21]
Menurut Semiawan faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil belajar anak adalah:[22]
1. Pemenuhan kebutuhan
psikologis anak yang meliputi: kebutuhan primer, pangan, sandang, dan perumahan
serta kasih sayang, penghargaan terhadap dirinya serta peluang untuk mengaktualisasikan
diri.
2. Kemampuan intelektual,
meliputi:
- Kemampuan
intelektual kognitif berupa intelegensi.
- Kemampuan
intelektual non kognitif berupa emosi, motivasi, kepribadian serta
pengaruh lingkungan.
3. Pengembangan
kreativitas.
Menurut Roesyiatiashy dalam Ilyas
menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi hasil belajar diantaranya adalah
pribadi siswa, pribadi guru, struktur jaringan, sekolah sesuai institusi dan faktor-faktor
situasional.[23]
Secara garis besar faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil belajar siswa dibagi menjadi dua yaitu faktor internal
dan eksternal siswa. Faktor internal siswa meliputi psikologis dan psikis itu
sendiri dan faktor eksternal siswa meliputi lingkungan di luar diri siswa.
2. Hakikat Kecerdasan
Emosional
a) Pengertian Emosi
Emosi sejak lama dianggap
memiliki kedalaman dan kekuatan sehingga dalam bahasa Latin, emosi dijelaskan
sebagai motus anima yang arti harfiahnya “jiwa yang menggerakkan kita”.[24]
Akar kata emosi adalah movere, kata kerja bahasa Latin yang berarti
“menggerakkan, bergerak”.[25]
Emosi mempunyai peran dalam
peningkatan proses konstruksi pikiran dalam berbagai bentuk pengalaman
kehidupan manusia.[26]
Solvey dan Mayers mendefinisikan emosi sebagai respon terorganisasi, termasuk sistem
fisiologis, yang melewati berbagai batas sub-sistem psikologis, misalnya
kognisi, motivasi, dan pengalaman.[27]
Pengertian ini memberitahukan bahwa emosi merupakan respon atau stimulus yang
diperoleh dari lingkungan sekitar yang terorganisasi dengan baik yang melewati
sub-sistem psikologis.
Crow dan Crow dalam Hartati
menyebutkan bahwa emosi merupakan suatu keadaan yang bergejolak dalam diri
individu yang brfungsi sebagai inner adjustment terhadap lingkungan
untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan individu.[28]
Emosi
pada definisi ini berperan dalam pengambilan keputusan yang menentukan
kesejahteraan dan keselamatan individu.
Ibda menyebutkan bahwa emosi
merupakan suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya –suatu keadaan biologis
dan psikologis- dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak.[29]
Dari beberapa pendapat di atas,
maka emosi merupakan suatu respon atas rangsangan yang diberikan –baik dari
lingkungan maupun dari dalam diri individu sendiri- sehingga individu dapat
menentukan pilihan dalam hidup yang menentukan kehidupannya.
Terdapat dua macam pendapat tentang
terjadinya emosi yaitu pendapat navistik dan pendapat empiristik. Pendapat
navistik beranggapan bahwa emosi pada dasarnya merupakan bawaan sejak lahir,
sementara pendapat empiristik beranggapan bahwa emosi dibentuk oleh pengalaman
dan proses belajar.[30]
Sebagian
beranggapan bahwa perasaan dan emosi adalah sama. Namun, Sabri dalam bukunya mengungkapkan
bahwa antara perasaan dan emosi adalah berbeda. Pada perasaan terdapat
kesediaan kontak dengan situasi luar (baik positif maupun negatif) sedangkan
pada emosi kontak itu seolah-olah menjadi retak dan terputus (misalnya
terkejut, ketakutan, mengantuk dan lain sebagainya).[31]
b) Pengertian Kecerdasan
Kecerdasan merupakan istilah umum
untuk menggambarkan ‘kepintaran’ atau ‘kepandaian’ orang.[32]
Beberapa ahli mencoba merumuskan definisi kecrdasan diantaranya adalah:
Suharsono menyebutkan bahwa
kecerdasan adalah kemampuan untuk memecahkan masalah secara benar, yang secara relatif
lebih cepat dibandingkan dengan usia biologisnya.[33]
Definisi dari Suharsono dan Gardner menyebutkan bahwa
kecerdasan merupakan suatu kemampuan individu untuk memecahkan masalahnya. Jika
Suharsono menilai kecerdasan dari sudut pandang waktu sementara Gardner menilainya dari
sudut pandang tempat/area.
Amstrong berpendapat bahwa
kecerdasan merupakan kemampuan untuk menangkap situasi baru serta kemampuan
untuk belajar dari pengalaman masa lalu seseorang. Kecerdasan bregantung pada
konteks, tugas serta tuntutan yang diajukan oleh kehidupan kita dan bukan
tergantung pada nilai IQ, gelar dari perguruan tinggi atau reputasi bergengsi.[35]
Dari beberapa pengertian
kecerdasan yang telah dikemukakan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
kecerdasan adalah kemampuan seseorang untuk memberikan solusi terbaik dalam
penyelesaian masalah yang dihadapinya sesuai dengan kondisi ideal suatu
kebenaran.
Kecerdasan-kecerdasan tersebut
dapat dijabarkan sebagai berikut: kecerdasan linguistik yaitu kemampuan
membaca, mrnulis dan berkomunikasi dengan kata-kata atau bahasa. Kecerdasan
logis-matematis yaitu kemampuan berfikir (menalar) dan menghitung, berfikir
logis dan sistematis. Kecerdasan visual-spasial yaitu kemampuan berfikir
menggunakan gambar, memvisualisasikan hasil masa depan. Kecerdasan musikal
yaitu kemampuan menggubah atau mencipta musik, dapat bernyanyi dengan baik atau
memahami dan mengapresiasi musik serta menjaga ritme. Kecerdasan
kinestetik-tubuh yaitu kemampuan menggunakan tubuh secara terampil untuk
memecahkan masalah, mencipatakan barang serta dapat mengemukakan gagasan dan
emosi. Kecerdasan interpersonal yaitu kemampuan bekerja secara efektif dengan
orang lain dan berempati. Kecerdasan interpersonal yaitu kemampuan menganalisis
diri sendiri, membuat rencana dan menyusun tujuan yang akan dicapai.
Kecerdasan yang dikemukakan oleh Gardner ini dikenal juga
sebagai ‘multiple intelligence’. Pembagian kecerdasan oleh gardner ini telah membuka
paradigma baru dari sebuah kata kecerdasan. karena berdasarkan
pembagian-pembagian kecerdasan. Menurutnya cerdas itubukan semata dapat
memiliki skor tinggi seaktu ujian namun cerdas itu beraneka ragam.
Menurut Renzulli dalam Woolfolk,
kecerdasan memiliki tiga faktor, yaitu:[37]
1. Kemampuan umum di atas
rata-rata.
2. Mempunyai motivasi dan
komitmen tinggi pada tugas untuk mencapai prestasi dan
3. Berkreativitas tinggi.
Kecerdasan orang banyak
ditentukan oleh struktur otak. Otak besar dibagi dalam dua belahan otak yang
disambung oleh segumpal serabut yang disebut corpus callosum. Belahan
otak kanan menguasai belahan kiri badan dan sebaliknya belahan otak kiri
menguasai belahan kanan badan. Belahan otak kiri bertugas untuk merespon
hal-hal yang sifatnya linier, logis dan teratur sementara otak belahan kanan
bertugas untuk imaginasi dan kreativitas.[38]
c) Hakikat Kecerdasan
Emosional
Setiap individu memiliki emosi.
Emosi mempunyai ranah tersendiri dalam bagian hidup individu. Seseorang yang
dapat mengelola emosinya dengan baik artinya emosinya cerdas, hal ini lebih
dikenal dengan suatu istilah ‘Kecerdasan Emosional’, beberapa ahli mencoba
merumuskan definisi dari kecerdasan emosional, diantaranya adalah Arief Rahman
menyebutkan bahwa kecerdasa emosional adalah metability yang menentukan
seberapa baik manusia mampu menggunakan keterampilan-keterampilan lain yang
dimilikinya, termasuk intelektual yang belum terasah.[39]
Bar-On seperti dikutip oleh Stein
dan Book mengemukakan bahwa kecerdasan emosional adalah serangkaian kemampuan,
kompetensi dan kecakapan non-kognitif, yang mempengaruhi kemampuan seseorang
untuk berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan.[40]
Dua definisi tentang kecerdasan
emosional yang dikemukakan oleh Rahman dan Bar-on lebih menekankan pada hasil
yang didapat oleh individu jika menggunakan kemampuan emosionalnya secara
optimal.
Salovey dan Mayor dikutip oleh
Stein dan Book mengemukakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk
mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran,
memahami persaan dan maknanya dan mengendalikan perasaan secara mendalam
sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual. [41]
Goleman dalam Nggermanto
mangatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali perasaan
kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan
dalam hubungan dengan orang lain.[42]
Dari beberapa definisi para ahli
di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kecerdasan emosional adalah suatu
kemampuan yang dimiliki individu untuk dapat mengggunakan perasaannya secara
optimal guna mengenali dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya.
Kecerdasan emosional yang
dimaksud peneliti adalah kempuan untuk individu untuk mengelai perasaannya
sehingga dapat mengatur dirinya sendiri dan menimbulkan motivasi dalam dirinya
untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Sementara di lingkungan sosial ia mampu
berempati dan membina hubungan baik
terhadap orang lain.
Emosi manusia dikoordinasi oleh
otak. Bagian otak yang yang mengatur emosi adalah sistem limbiks.
Struktur-struktur dalam sistem limbic mengelola beberapa aspek emosi, yaitu
pengenalan emosi melalui ekspresi wajah, tendensi berprilaku dan penyimpanan
memori emosi. Folkerts (1999) menjelaskan bahwa sistem limbiks terdiri atas
empat sub-struktur, yaitu Thalamus dan hypothalamus, amigdala, hipokampus dan
lobus frontalis.[43]
Thalamus menerima informasi dari
lingkungan sekitar yang ditangkap oleh indera sedang hypothalamus mengambil
informasi dar bagian tubuh yang lain. Amigdala menginterprestasikan dan
sekaligus menyimpannya sebagai arti emosi. Hipokampus mendukung kerja amigdala
dalam menyimpan memori emosi, mengonsolidasi memori non-emosi secara detail dan
meanyampaikan memori tersebut ke jaringan memori yang berbeda di otak. Lobus
frontalis bertanggung jawab dalam pengaturan emosi sehingga memunculkan respon
emosi yang tepat.[44]
Kinerja otak sebagai pusat
koordinasi dapat dijabarkan sebagai berikut: informasi-informasi yang diterima
alat indera akan dibawa oleh thalamus melewati sinapsis tinggal menuju
amigdala, sedang sebagian besar lainnya dikirim ke neokorteks. Percabangan
tersebut memungkinkan amigdala dapat memberikan respon emosi tanpa pengolahan
informasi dan analisis dari neokorteks. Kasus tersebut disebut Goleman sebagai
“pembajakan emosi”.[45]
Kecerdasan emosilah yang
memotivasi kita untuk mencar manfaat dan potensi uni kita dan menaktifkan
aspirasi dan nilai-nilai kita yang paling dalam, mengubahnya dari apa yang kita
pikirkan menjadi apa yang kita jalani.[46]
Bagan 1
Bagan Model Kecerdasan Emosional Reuver Bar On
Kinerja Efektif
1) Ranah intrapribadi
memiliki lima
skala, yaitu kesadaran diri, sikap asertif, kemandirian, penghargaan diri, dan
aktualisasi diri.
2) Ranah antarpribadi
memiliki tiga skala, yaitu empati, tanggung jawab sosial, dan hubungan
antarpribadi.
3) Ranah penyesuaian
diri/orientasi kognitif memiliki tiga skala, yaitu uji realitas, sikap
fleksibel, dan pemecahan masalah.
4) Ranah pengendalian
stress memiliki dua skala, yaitu ketahanan menanggung stress, dan pengendalian
impuls.
5) Ranah suasana
hati/afeksi memiliki dua skala, yaitu optimisme dan kebahagiaan.
Hal ini serupa dengan pendapat
Segal (2000) bahwa wilayah EQ adalah hubungan pribadi dan antarpribadi; EQ
bertanggung jawab atas harga diri, kesadaran diri, kepekaan sosial, dan
kemampuan adaptasi sosial.[48]
1) Empati
Merasakan yang dirasakan oleh orang lain dan
memahami perspektifnya, menumbuhkan hubungan saling percaya serta menyelesaikan
diri dengan bermacam-macam orang
2) Kesadaran diri
Mengetahui apa yang kita rasakan dan
menggunakannya untuk memandu pemngambilan keputusan diri sendiri serta memiliki
tolak ukur yang realistis atas kemampuan dan kepercayaan diri yang kuat, dan
kemampuan adaptasi sosial.
3) Pengaturan Diri
Menangani emosi kita sehingga berdampak
positif kepada pelaksanaan tugas; peka terhadap kata hati dan sanggup mennunda
kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran; mampu pulih kembali dari tekanan
emosi.
4) Motivasi
Menggunakan hasrat untuk menggerakkan dan
menuntun mennuju sasaran, membantu mengambil inisiatif dan bertindak sangat
efektif serta bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi.
5) Keterampilan Sosial.
Menangani emosi dengan baik ketika
berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial
dan berinteraksi dengan lancer serta menggunakan keterampilan ini untuk
mempengaruhi orang lain.
Senada dengan pendapat di atas,
Shapiro juga menyebutkan kualitas-kualitas kecerdasan emosional, diantaranya
adalah empati, mengungkapkan dan memahami perasaan, dan mengendalikan amarah,
kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan memecahkan masalah
antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan, dan sikap hormat.[50]
Rasulullah SAW bersabda:
d) Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional dipengarui
oleh beberapa hal. Berdasarkan penelitian Siregar, dkk. Memperlihatkan bahwa
kecerdasan emosional dipengaruhi oleh:
¯ Nilai Komunikasi,
komunikasi antara orang tua dan anak sangat berperan penting dalam melatih
kesadaran emosi diri dan mengekspresikan emosi. Selain itu juga dapat membantu
anak untuk mengembangkan perbendaharaan kata dan mengkomunikasikan emosinya.
¯ Riwayat hidup ibu, banyak
orang tua yang meninggalkan cara mendidik otoriter seperti orang tua mereka
lakukan terhdap mereka dan mendidik anaknya secara otoritatif. Anak-anak yang
dididik secara otoritatif mudah bekerja sama, mengandalkan diri sendiri, penuh
tenaga, bersahabat, dan berorientasi prestasi.
¯ Stress anak, rasa
tertekan akan menyebabkan anak sulit untuk mengungkapkan emosi mereka.
¯ Lingkungan sosial, anak
yang biasa hidup di lingkungan sosial dengan nilai toleransi tinggi akan dengan
mudah berkomunikasi sehingga emosi mereka dapat tersalurkan.[52]
Faktor-faktor seperti kasih
sayang, saling menghormati, status sosial ekonomi tidak berpengaruh secara
langsung terhadap kecerdasan emosional.[53]
Dari penjelasan tersebut tampak bahwa kecerdasan emosional dipengaruhi oleh
komunikasi, riwayat hidup orang tua terutama ibu, karena ibuy yang berperan
cukup besar dalam tumbuh kembang anak, stress anak dan lingkungan sosial. Faktor-faktor
tersebut menyebabkan fluktuasi pada emosi anak sehingga secara langsung
mempengaruhi kecerdasan emosional pada anak.
e) Pengukuran Kecerdasan
Emosional
Kecerdasan emosional mulai
dikenal pada akhir abad 19-an. Tes kecerdasan emosional ini mengacu pada teori
keceerdasan emosional Goleman. Menurutnya kecerdasan emosional meliputi
kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati dan keterampilan sosial.
Setelah melalui tahap referensi, adaptasi, editing, dan pengukuran validitas
dan reliabilitas maka tes ini dinyatakan cukup representatif untuk mengukur
kecerdasan emosional.
3.
Hubungan antara Kecerdasan
Emosional dengan Hasil Belajar Fisika
Kegiatan belajar mengajar dalam
kelas tidak hanya mengandalkan kognisi siswa melainkan juga emosi. Thontowi
dalam Brillianty menyatakan bahwa berhasilnya pendidikan tidak tergantung pada
tingkat kecerdasan semata. Faktor emosi ternyata ikut serta mempengaruhi hasil
belajar. Rasa takut, benci atau bosan terhadap bahan atau mata pelajaran, sifat
mudah putus asa di dalam menyelesaikan tugas, kecemasan yang terus menerus akan
sangat mempengaruhi prestasi belajar.[54]
Anak yang emosinya dididik secara
teratur di lingkungan keluarganya akan lebih mudah berkonsentrasi dengan lebih
baik akan menjadi murid yang lebih efektif serta berprestasi lebih tinggi.[55]
Laporan dari National Center
for Clinical Infant Programs menyatakan bahwa keberhasilan di sekolah tidak
diramalkan dari kemampuan dini dalam membaca, tetapi oleh ukuran emosi dan sosial.[56]
Ukuran emosi dan sosial diantaranya meliputi yakin pada diri sendiri dan
mempunyai minat, mengetahui prilaku yang diharapkan orang lain, mampu menunggu,
mengikuti petunjuk,dan mengacu pada guru untuk mencari bantuan serta
mengungkapkan kebutuhannya saat bergaul dengan anak-anak lain. Laporan tersebut
memberitahukan bahwa hampir semua siswa SLTP/MTs yang prestasi di sekolahnya
buruk tidak memliki satu atau lebih unsur-unsur tersebut.
Kecerdasan emosional membantu
seseorang untuk menetapkan standar sendiri. Orang cerdas secara emosional
mengetahui perbedaan antara apa yang penting untuk diri mereka sendiri dan juga
orang lain.[57]
Studi perbandingan oleh Achir
mengenai faktor-faktor non intelektif antara anak berbakat yang berprestasi dan
yang kurang berprestasi melalui pendekatan terhadap siswa dan orang tua
menunjukkan bahwa dari 199 anak yang diidentifikasikan berbakat hanya 77 orang
(38,7%) yang termasuk berprestasi. Faktor-faktor non intelektif yang
mempengaruhi prestasi belajar siswa adalah kecerdasan akademik, nilai diri yang
rendah, hubungan dengan tokoh otoriter yang kurang sehat, hubungan
interpersonal yang terhambat, konflik antara dua kebutuhan, pola kegiatan yang
berorientasi sosial dan orientasi pada tujuan yang kurang realistic. Penelitian
ini juga menjelaskan bahwa kemampuan dalam mengolah kecerdasan emosional sangat
mempengaruhi faktor-faktor non intelektif siswa sehingga dapat juga berpengaruh
terhadap prestasi belajarnya.
B. Kerangka Pikir
Manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling
istimewa dengan kelebihan yang diberikan oleh-Nya berupa akal pikiran dan
emosi. Komponen tersebut saling bekerja sama dan tidak dapat dipisahkan.
Keduanya diatur oleh sistem koordinasi pada otak.
Akal pikiran berhubungan dengan
perkembangan daya tangkap, daya pikir, dan daya ingat. Ranah-ranah tersebut
termasuk dalam ranah kognitif. Seseorang dengan tingkat kognitif tinggi
dianggap memiliki kecerdasan intelegen yang tinggi.
Emosi berhubungan dengan
pengambilan keputusan yang menentukan kesejahteraan dan keselamatan individu.
Seseorang yang mampu mengenali emosi kemudian mengolahnya dengan baik sehingga
dapat memotivasi dirinya untuk lebih baik dari sebelumnyayang pada akhirnya dapat
membina hubungan baik dengan orang lain dan berempati pada apa yang mereka
alami, maka individu tersebut dianggap memiliki kecerdasan emosional yang
tinggi.
Dalam setiap kegiatan yang
dilakukan oleh seorang manusia ia pasti akan selalu menggunakan akal pikiran dan emosinya untuk menentukan apa yang harus
ia lakukan. Belajar merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan oleh manusia.
Belajar berlangsung kapanpun, di manapun, dan oleh siapapun. Penelitian kali
ini hanya terbatas pada belajar Fisika.
Unsur-unsur dalam pembelajaran Fisika
adalah guru sebagai salah satu perancang dalam proses pembelajaran; siswa
sebagai pelaksana kegiatan belajar Fisika Sebago objek yang dipelajari.
Dalam pembelajaran Fisika
membutuhkan pemahaman, penalaran, kritis, dan praktikum. Pembelajaran akan
lebih menarik dan berkualitas jika seorang guru dapat menggunakan metode yang
variatif dan disesuaikan dengan kebutuhan yang ada sehingga emosi siswa stabil
dan lebih mudah untuk belajar Fisika. Karena pada kegiatan belajar dalam kelas
seorang siswa selain menggunakan daya nalarnya untuk menangkap materi yang
disampaikan oleh gurunya, siswa juga cenderung untuk menggunakan emosinya.
Bagaimana mungkin seorang siswa
dapat menyerap pelajaran secara optimal jika keadaan emosinya labil, misalnya
seorang siswa takut dengan gurunya karena image guru di mata siswa
tersebut sebagai guru pemarah. Secara otomatis ketika sang guru bertanya
kepadanya, maka siswa tersebut lebih memilih untuk diam. Padahal setiap
pertanyaan yang diajukan oleh guru, ia bias menjawabnya dan jika dijawab dengan
baik oleh siswa maka ia akan mendapatkan poin tambahan. Dengan pilihan siswa
tersebut untuk diam maka ia tidak mendapatkan poin dan hal itu berpengaruh
terhadap prestasi belajarnya.
Tingkat kecerdasan emosional seorang
siswa tinggi jika siswa tersebut mampu mengelola emosinya dan mampu memotivasi
dirinya sendiri. Jika kecerdasan emosi dikaitkan dengan proses belajar mengajar
maka siswa dengan kecerdasan emosi tinggi akan lebih mampu mengatasi
kesulitan-kesulitan dalam belajar sehingga prestasi belajarnya akan meningkat.
Dengan
demikian, diduga terdapat hubungan positif antara kecerdasan emosional dengan
prestasi belajar Fisika siswa kelas XI SMA Plus Pembangunan Jaya Bintaro.
C. Pengajuan Hipotesis
Berdasarkan kerangka berfikir di atas dapat ditarik suatu kesimpulan dan
sekaligus diputuskan untuk dijadikan hipotesis penelitian yang dirumuskan
sebagai berikut:
H0= Tidak terdapat
hubungan yang sinifikan antara kecerdasan emosional terhadap hasil belajar (thitung
< ttabel).
Ha= Terdapat
hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional terhadap hasil belajar (thitung
> ttabel).
[2] Ibid.
[6]
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, op. cit., h. 66
[9]
Siti Fatimah, menciptakan Pembelajaran yang Menarik (Malang : Universitas Muhammadiyah Malang,
Alternatif, Jurnal Pemikiran Pendidikan, TH. X No. 1, 2002), h. 137
[10]
Baiduri, Peningkatan Kualitas Pembelajaran dengan Prinsip Quality Assurance,
(malang :
Universitas Muhammadiyah Malang, Alternatif, TH. XI No. 1, 2003) h. 111
[11]
Sri Saparahayuningsih, Prasyarat Penguasaan Materi, Keterampilan Belajar,
Sarana Belajar, Keadaan Diri Pribadi, Lingkungan Belajar, Sosio Emosional dan
Hasil Belajar Mahasiswa UNIB (Bengkulu, FKIP Universitas Bengkulu, Triadik
TH VII No. 8, Oktober 2002), h. 124
[12]
Dwi Priyono Utomo, Pembelajaran kooperatif dan Peranannya dalam
Mengurangi Dampak kompetisi dan Individualistik dalam Kelas (Malang : Universitas
MUhammadiyah Malang, Alternatif, Jurnal Pemikiran Pendidikan, Th. XI No. 2,
2003), h. 182
[13]
James W. Popham dan Eva L. Baker, Teknik Mengajar secara Sistematis, Penerjemah
T. Amitul Hadi, (Jakarta :
Rineke Cipta, 2001) h. 29-33
[14]
Jacob Anaktototy, Hasil Belajar Pendidikan Jasmani (Jakarta : Depdiknas, Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan, Th. Ke-9, NO. 044, 2003), h. 695
[15]
Nurdin Ibrahim, Hasil Belajar siswa SLTP Terbuka Tanjung Sari Sumedang Sari
Jabar, (Jakarta :
Depdiknas, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Th. Ke-7, No. 031, 2001), h. 735
[16]
Jacob Anaktototy, loc. Cit.
[17]
Jacob Anaktototy, loc. Cit.
[19]
Nurdin Ibrahim, op. cit., h.488
[20]
Muhibin Syah, Psikologi Belajar, op. cit., h. 69
[21]
Mexitalia Setiawati, et.all., Hubungan Kecerdasan Emosional, Status Gizi
dengan Prestasi Belajar (Semarang :
Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro, Laporan Penelitian, Oktober 2002),
h.1
[22]
Conny R. Semiawan, Belajar dan Pembelajaran dalam taraf Pendidikan Usia Dini
(Jakarta :
Prehallindo, 2002), h. 11-12
[23]
Ilyas, Peranan Motivasi Mengajar Guru dalam Meningkatkan Prestasi Belajar
Siswa (Medan :
Juki dan Sons, Dinamika, Vol. II No. 2, 2004), h. 173
[24]
Robert K. Cooper, dan Ayman Sawaf, Executive EQ, Penerjemah Alex Tri
Kanjtono Widodo (Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. xiv
[25]
Daniel Goleman, Emotional Intelligence, penerjemah T. Hermaya (Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama, 2000), h. 7
[26]
Tekad Wahyono, Memahami Kecerdasan Emosi Melalui Kerja Sistem Limbik (Surabaya : Universitas
Wangsa Manggala, Anima, Indonesian Psycological Journal, 2001, vo. 17 No. 1),
h. 36
[27]
Ibid, h. 37
[29]
Fatimah Ibda, Emotional Intelligence dalam Dunia Pendidikan (Banda Aceh:
Fakultas Tarbiyah, IAIN Ar-Raniry, Jurnal Didaktika, vol. 2 No. 2, 2001), h.
132
[30]
Abdul Rahman Shaleh dan Muhbib Abdul Wahab, Psiklogi Suatu Pengantar –Dalam
Perspektif Islam- (Jakarta :
Kencana, 2004), h. 168
[31]
M. Alisuf Sabri, Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan (Jakarta : Pedoman Ilmu
Jaya, 2001). H. 74
[32]
Munandir, Ensiklopedia Pendidikan, op.cit., h. 122
[33]
Suharsono, Mencerdaskan Anak (Depok: Inisiasi Press, 2003), h. 43
[34]
Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, Cara Belajar Cepat abad XXI,
Penerjemah Dedy Ahimsa (Bandung :
Nuansa, 2002), h. 58
[36]
Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, op.cit., h. 59-60
[37]
Anita E. Woolfolk dan Lorrrance McCune-Nicolich, Mendidik Anak-anak
bermasalah-Psikologi Pembelajaran II-, Penerjemah M. Khairul Anam (Depok:
Inisiasi Press, 2004), h. 633
[38]
Conny R. Semiawan, Belajar dan Pembelajaran dalam Taraf Pendidikan Usia
Dini, op.cit., h. 14
[39]
Pusat Pengembangan Tasawuf Positif, Menyinari Relung-Relung Ruhani (Jakarta : Hikmah, 2002), h.
157-158
[40]
Steven J. Stein & Howard E. Book, Ledakan EQ, Penerjemah Trinanda
Rainy Januarsari (Bandung :
Kaifa, 2002), h. 30
[41] Ibid.
[43]
Wahyono, op.ci., h. 38-39
[44] Ibid.,h.
39
[45]
Wahyono, op.cit., h. 40
[46]
Robert K. Cooper, dan Ayman Sawaf, Executive EQ, loc.cit.
[47]
AV. Aryaguna Setiadi, Hubungan Antara
Kecerdasan Emosional dengan Keberhasilan Bermain Game (Surabaya : Universitas Surabaya, Anima,
Indonesian Psychological Journal, 2001, vol. 17 No. 1), h. 44-45
[48]
Jeanne Segal. Melejitkan Kepekaan emosional, penerjemah Ary Nilandari (Bandung : Kaifa, 2000), h.
26-27
[49]
Daniel Goleman, Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi,
Penerjemah Alex Tri Katjono Widodo (Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 513-514
[50] Lawrence E. Shapiro, Mengajarkan Emotional Inteliigence
pada Anak, penerjemah; Alex Tri Kantjono (Jakarta ; Gramedia, 2001), h.5
[51]
Suharsono, Akselerasi intelegensi; Optimalkan IQ, EQ dan SQ Secara Islami,
(Depok: Inisiani Press, 2004), h. 193
[52]
Veriati Siregar, et.all., Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai-Nilai
Keluarga dan Kecerdasan emosional Anak Usia Sekolah (Bogor: Fakultas
Pertanian, Insitut Pertanian Bogor, Media Gizi dan Keluarga, Juli 2000, XXIV
vol. 1), h. 59
[53] Ibid.,
h. 60
[54]
Amalia Roza Brillianty, Kecerdasan Emosional dan Hasil Belajar Para Siswa
Kelas Unggul SMU (Padang :
FKIP Universitas Negeri Padang, Pedagogi, Jurnal Ilmu Pendidikan, Vol. IV,
2003), h. 9
[55]
Fatimah Ibda., op.cit., h. 134
[56]
Ibid., h. 135
[57]
Mexitalia, op.cit., h. 17
No comments:
Post a Comment