HUBUNGAN KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP HASIL BELAJAR FISIKA SISWA KELAS XI SMA PLUS PEMBANGUNAN JAYA BINTARO Proposal Skripsi Diajukan Untuk memenuhi Tugas UAS Mata Kuliah Metodologi Penelitian





 BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk Tuhan yang mampu berpikir dan bertindak. Kemampuan yang dimilikinya tersebut, didasari karena Allah SWT telah membekalinya dengan berbagai macam daya dan potensi. Sebagaimana yang terdapat dalam Al Qur’an yang berbunyi :
لَقَدْ خَلَقْنَا الاِنْسَانَ فِى أَحْسَنِ تَقْوِيْمٍ {التين : ٤}
Artinya : Sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam rupa (bentuk) yang sebaik-baiknya. (QS. At Tien Ayat 4)

M. Quraish Shihab dalam bukunya “Membumikan Al Qur’an (Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat)”, mengatakan bahwa Allah menganugerahkan manusia empat daya[1]:
1.      Daya tubuh yang mengantar manusia berkekuatan fisik. Berfungsinya organ tubuh dan panca indera berasal dari daya ini.
2.      Daya hidup yang menjadikannya memiliki kemampuan mengembangkan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan serta mempertahankan hidupnya dalam menghadapi tantangan.
3.      Daya akal yang memungkinkannya memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi.
4.      Daya kalbu yang meyakinkannya bermoral, merasakan keindahan , kelezatan iman dan kehadiran Allah. Dari daya inilah lahir intuisi dan indra keenam.

Guna memberdayakan semua daya tersebut menuju kesempurnaan, pendidikan memegang peranan penting di dalamnya. Pendidikan adalah aktivitas dan usaha manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina potensi-potensi pribadinya, yaitu rohani (pikir, karsa, cipta, rasa, dan budi nurani) dan jasmani (panca indra, serta keterampilan)[2]. Pendidikan yang di dalamnya terdapat proses belajar mengajar mempunyai tujuan yang jelas. Tujuan sebagai arah dari proses belajar mengajar pada hakikatnya adalah rumusan tingkah laku yang diharapkan dapat dikuasai oleh siswa setelah menerima dan menempuh pengalaman belajaranya.[3]
Dalam Sistem Pendidikan Nasional, rumusan tujuan pendidikan baik tujuan kurikulum maupun tujuan instruksional menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotoris. Dari ketiga ranah tersebut, ranah kognitiflah yang paling banyak dinilai oleh para guru di sekolah. Karena berkaitan dengan kemampuan para siswa dalam menguasai pelajaran,[4] sementara ranah afektif dan psikomotoris sering terabaikan. Padahal tidak demikian seharusnya.
Jika kita melihat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Bab II pasal 3 yang berbunyi:
“Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab,”[5]

Pasal di atas secara tegas menjelaskan bahwa, fungsi pendidikan seharusnya tidak hanya memfokuskan pada kualitas pemikiran siswa saja, atau dengan kata lain bagaimana sikap, tingkah laku, kecakapan, dan kemandirian seorang siswa harus diberikan penilaian tersendiri pada setiap akhir kegiatan pembelajaran.
Fenomena yang masih terjadi dalam proses pengajaran adalah belum optimalnya perlibatan emosi sebagai unsur pendukung dalam belajar. Para guru lebih sering mengeksplorasi aspek kognitif. Padahal proses belajar tidak terpisah dari perasaan siswa, termasuk dalam hal ini belajar Agama. Ada gambaran umum bahwa ketika siswa belajar ia merasa takut untuk membuat kesalahan, ataupun perasaan tidak percaya diri ketika mengerjakan soal yang diberikan oleh seorang guru. Ia dihinggapi oleh perasaan tidak aman (insecurity), terancam (threat), rasa cemas (anxiety), dan perasaan lain yang dapat menghambat proses belajarnya.[6] Penyebab dari semua itu seringkali bukan terletak pada ketidakmampuan siswa, tetapi karena faktor emosi yang mempengaruhi mereka. Dalam kondisi seperti inilah faktor Kecerdasan Emosi menjadi sangat berperan.
Selama ini banyak anggapan bahwa IQ merupakan tolok ukur kecerdasan seseorang. Hasil tes itu pun seolah menjadi jaminan bahwa mereka yang ber-IQ tinggi pasti berhasil, karena hasil tes tersebut dianggap mewakili segenap kemampuan seseorang. Dari pandangan yang muncul seperti ini, mengakibatkan para orang tua sibuk mengikutsertakan anak-anak mereka menjalani tes intelegensi. Terkadang pihak sekolah juga mewajibkan murid-muridnya untuk mengikuti semacam ini. Alasannya tentu saja dapat ditebak, ingin mengetahui bakat anak tersebut, selain tentu saja tingkat kecerdasannya. Padahal, anak itu masih duduk di taman kanak-kanak.[7]
Meskipun banyak ahli yang berpendapat bahwa perlibatan emosi sangatlah penting dalam segala aktifitas, termasuk dalam hal ini aktifitas belajar, tetapi penempatam IQ sebagai salah satu determinan penting tetaplah dibutuhkan dengan proporsi yang wajar. Munculnya kecerdasan emosi merupakan suatu reaksi terhadap penyanjungan berlebihan terhadap IQ. Kehadiran topik kecerdasan emosi merupakan reaksi untuk mengukuhkan kembali manusia, bukan hanya aspek kognitif saja, tetapi aspek emosi juga sangat berpengaruh terhadap keberhasilan. Dalam mempelajari Fisika pun sering kita jumpai kenyataan bahwa banyak siswa yang mengalami kesulitan belajar karena pengelolaan emosi yang kurang baik, bukan semata-mata karena faktor ketidakmampuan.
Daniel Goleman, seorang professor dari Universitas Harvard menjelaskan bahwa ada patokan lain yang menentukan tingkat kesuksesan seseorang. Dalam bukunya yang terkenal, Emotional Intelligence, mengungkapkan bahwa tingkat emosi manusia lebih mampu memperlihatkan keseuksesan seseorang.
Kecerdasan Emosi (EQ) tumbuh seiring dengan pertumbuhan seseorang sejak lahir hingga meninggal dunia. Pertumbuhan EQ dipengaruhi oleh lingkungan, keluarga, dan contoh-contoh yang didapatnya sejak lahir dari orang tuanya.
Dalam dunia pendidikan, kecerdasan yang dimiliki oleh siswa bukan menjadi sebuah acuan dasar untuk mengatakan berhasil tidaknya proses penyelenggaraan pendidikan. Namun yang dapat dijadikan catatan dalam menilai berhasil tidaknya proses tersebut adalah berdasarkan output yang dihasilkan oleh siswa yang bersangkutan, baik dari aspek kognitif, afektif atau psikomotoris yang mereka dapatkan.
Dengan demikian, untuk lebih memahami keterkaitan antara hasil belajar (sebagai output dari pengajaran) dengan kecerdasan emosi yang dimiliki siswa, dapat dilakukan sebuah penelitian. Atas dasar ini, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul skripsi “Hubungan Kecerdasan Emosional Terhadap Hasil Belajar Fisika  Siswa Kelas XI di SMA Plus Pembangunan Jaya Bintaro”.


B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah diatas, masalah-masalah dapat diidentifikasi sebagai berikut:
  1. Bagaimana pengaruh kecerdasan emosional terhadap motivasi siswa?
  2. Apa yang menjadi catatan keberhasilan siswa dalam belajar?
  3. Mana yang lebih penting dikembangkan, kecerdasaan intelektual atau kecerdasan emosional?
  4. Bagaimana hubungan kecerdasan emosional dengan hasil belajar Fisika?

C. Pembatasan Masalah
Karena keterbatasan peneliti, maka peneliti perlu memberikan pembatasan masalah yang akan diteliti. Penelitian ini dibatasi hanya pada hubungan kecerdasan emosional terhadap hasil belajar fisika siswa. Kecerdasan emosional dan hasil belajar fisika siswa dimaksud adalah:
1.      Penelitian dilakukan pada siswa Kelas XI SMA Plus Pembangunan Jaya Tahun Akademik 2010/2011
2.      Kecerdasan emosional yang dikemukakan oleh Daniel goleman yang selanjutnya akan dibahas dalam Bab II skripsi ini.
3.      Hasil belajar Fisika diperoleh dari hasil ujian akhir semester siswa.

D. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka rumusan masalah yang dikemukakan adalah sebagai berikut:
  1. Apakah terdapat hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional siswa dengan Hasil belajar Fisika ?
  2. Apa faktor pendukung dan penghambat antara kecerdasan emosional dengan Hasil belajar Fisika Siswa Kelas XI SMA Plus Pembangunan Jaya Bintaro?

E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Kegunaan Akademis.
Menurut peneliti, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dan dokumentasi ilmiah untuk perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang pendidikan dan proses pembelajarannya melalui beberapa cara, diantaranya yaitu kecerdasan emosional siswa.
2. Kegunaan Praktis.
Penelitian ini diharapkan menambah wawasan baru khususnya bagi peneliti tentang peranan kecerdasan emosional terhadap hasil belajar Fisika siswa sehingga kontribusi dalam proses pengajaran dapat mudah dilakukan.



[1] M. Quraish Shihab, “Membumikan Al Qur’an : Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 2000), Cet ke-XXI, h. 281
[2] Tim Dosen FIP-IKIP Malang. “Pengantar Dasar-dasar Kependidikan”. (Surabaya: Usaha Nasional. 1987). Cet ke-III. h.7
[3] Nana Sujana. “Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar”. (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 2001) Cet ke-VII. h.22
[4] Ibid. h. 22-23
[5] Undang-undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 2003. Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bab II Pasal 3.
[6] C.A. Curran, Conseling Learning in Second Language, (Apple Rivers, III : Apple Rivers Press, 1967), p. 28
[7] C.A Curran, Penentu Sukses: IQ atau EQ, Femina, 9 Agustus 1997
BAB II
DESKRIPSI TEORITIS, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS
A.    Deskripsi Teoritik
1.      Hakikat Hasil Belajar
a)      Pengertian Belajar
Setiap Individu dalam rentang hidupnya tentu belajar, baik belajar secara formal maupun belajar non formal. Belajar merupakan proses pengumpulan atau penghafalan suatu fakta dalam bentuk informasi atau materi pelajaran, demikianlah sebagian orang menafsirkan arti belajar.[1] Ada pula yang menyebutkan bahwa belajar merupakan latihan seperti kegiatan membaca dan menulis.[2] Dari pernyataan tersebut makna belajar terlihat kurang lengkap. Untuk menghindarinya maka beberapa ahli dalam dunia pendidikan mencoba untuk merumuskan definisi belajar sebagai berikut.
Gagne seperti dikutip oleh Munandir mengemukakan bahwa belajar adalah perubahan dalam disposisi insani atau kapabilitas, yang dapat diretensi (disimpan) dan yang bukan menyangkut individu lagi.[3]
Hilgrad dan Bower dalam Purwanto mengemukakan bahwa belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalaman yang berulang-ulang dalam situasi itu, dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atas dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan atau keadaan sesaat seseorang.[4]
Wittig seperti dikutip oleh Syah mengemukakan bahwa belajar merupakan perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam segala macam atau keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai hasil pengalaman.[5] Pada definisi yang dikemukakan oleh Writtig menekankan pada perubahan yang menyangkut seluruh aspek psiko-fisik organisme yang didasarkan pada kepercayaan bahwa tingkah laku lahiriah organisme itu sendiri buka indikator adanya peristiwa belajar, karena proses belajar itu tidak dapat di observasi secara langsung.[6]
Ketiga pengertian yang dikemukakan oleh Gagne, Hilgrid dan Writtig menekankan bahwa proses belajar mengharuskan perubahan pada diri individu. Gagne menggunakan istilah perubahan dalam disposisi insani. Sementara dua ahli lainnya lebih menekankan pada perubahan tingkah laku individu. Beberapa ahli lain juga mencoba untuk menggulirkan idenya tentang definisi dari belajar, seperti:
Tirtarahardja dan Sula mengemukakan bahwa belajar diartikan sebagai aktivitas pengembangan diri melalui pengalaman, bertumpu pada kemampuan diri belajar di bawah bimbingan pengajar.[7]
Tirta dan Sula memiliki ide yang berbeda tentang belajar, walaupun tujuan akhir dari belajar-menurut penulis- ini tetap sama seperti tiga ahli sebelumnya bahwa belajar berarti adanya perubahan pada diri individu. Namun, Tirta dan Sula lebih menekankan pada pengembangan diri melalui pengalaman, sehingga terlihat belajar sebagai suatu proses yang tidak hanya dilakukan di sekolah saja. Walaupun anggapan ini dipatahkan pada bagian akhir definisi ini bahwa proses belajar ini di bawah bimbingan pengajar.
Spears dalam Suryabrata berpendapat bahwa belajar adalah mengamati, membaca, menirukan, mencoba sesuatu oleh diri mereka sendiri, mendengarkan dan mengikuti petunjuk.[8]
Pengertian yang diajukan oleh Spears lebih cenderung kepada imitasi dan identifikasi kepada yang lain.
Keanekaragaman pendapat tentang definisi belajar merupakan suatu fenomena yang wajar karena adanya perbedaan sudut pandang. Namun dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar merupakan usaha sadar yang dilakukan oleh seseorang melalui serangkaian proses latihan atau pengalaman sehingga terjadi perubahan yang lebih baik dari sebelumnya. Perubahan itu meliputi pengetahuan, kebiasaan, sikap, dan tingkah laku.

b)     Pengertian Pembelajaran Fisika
Pembelajaran berasal dari kata belajar dan diambil imbuhan pe-an. Pembelajaran merupakan proses belajar. Definisi secara harfiah akan dikemukakan oleh Degeng dalam Fatimah yang menyebutkan bahwa pembelajaran merupakan sebuah upaya untuk membelajarkan siswa. Dari definisi tersebut mengandung makna bahwa terdapat sebuah kegiatan memilih, menetapkan dan mengembangkan metode atau strategi yang optimal untuk mencapai hasil pembelajaran yang diharapkan.[9]
Pembelajaran pada umumnya dilakukan di lembaga pendidikan baik formal maupun non formal. Pembelajaran melibatkan siswa dan guru. Setiap guru menginginkan proses pembelajaran yang dilakukan berkualitas. Pembelajaran yang berkualitas adalah pembelajaran yang efektif, efisien dan menarik.[10] Sehingga diharapkan dengan pembelajaran berkualitas hasil belajar pun dapat ideal. Saparahayuningsih berpendapat bahwa tercapainya hasil belajar yang ideal sangat tergantung dari kegiatan belajar mengajar yang dikelola oleh guru dan kegiatan belajar siswa selama mengikuti pelajaran, baik di dalam kelas maupun di luar kelas.[11] Terlepas dari kemampuan guru yang mampu atau tidak mengelola pembelajaran yang berkualitas, kerja sama, dan peran serta siswa pun mempunyai andil yang cukup besar dalam keberhasilan belajar. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa komponen kehidupan tidak pernah dapat berdiri sendiri tanpa adanya dukungan dari lingkungan sekitar. Oleh sebab itu, maka interaksi yang harmonis antara siswa dan guru akan lebih membantu tercapainya suatu tujuan pembelajaran.
Pada saat ini terdapat dua kecenderungan dalam pembelajaran Fisika, yaitu: kecenderungan penggunaan pendekatan konstruktivisme dan kecenderungan digunakannya pembelajaran konstektual.
Pendekatan konstruktivisme menekankan pentingnya siswa untuk membangun sendiri pengetahuan. Dari pendekatan ini dikembangkan pembelajaran kooperatif. Menurut Priyono, pembelajaran kooperatif lebih menghargai siswa sebagai makhluk bermasyarakat “homo homini socius” daripada pembelajaran konvensional yang cenderung menonjolkan aspek kompetisi dan individualistic yang bersifat “homo homini lupus”.[12] Pendekatan konstruktivisme lebih memberikan kebebasan siswa untuk memilih apa yang dia inginkan dalam belajar. Karena siswa sendiri yang membangun pengetahuannya, guru hanya sebagai pembimbing saja.
Sementara pada pembelajaran konstektual lebih menekankan pada konteks sebagai awal pembelajaran sebagai ganti pengenalan konsep dengan abstrak. Pada pendekatan ini siswa dibekali oleh kekonkretan konsep yang abstrak. Sehingga diharapkan dapat memahami konsep bahasan yang hendak dibahas.
Dalam mempelajari Fisika kemampuan ingatan dan ketelitian kerja yang diikuti dengan sikap ilmiah akan saling terkait dalam meningkatkan kebermaknaan konsep dasar Fisika. Dalam proses pembelajaran, khususnya Fisika seorang siswa dituntut untuk menguasai tiga domain atau ranah yang meliputi:
1)      Kognitif, memiki enam taraf yaitu: pengetahuan,n pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi,
2)      Afektif, meliputi: memperhatikan, merespon, menghayati nilai, mengorganisasikan dan memperhatikan nilai atau seperangkat nilai,
3)      Psikomotorik, meliputi: persepsi, set, respon terbimbing, respon mekanistis, dan respon kompleks.[13]

c)      Hakikat Hasil Belajar Fisika
Beberapa ahli dalam dunia pendidikan merumuskan definisi hasil belajar seperti Romiszowski dalam Anaktototy mengemukakan bahwa hasil belajar merupakan tingkah laku yang dapat diukur dengan tes tentang bidang yang dipelajari.[14] Skinner dalam Ibrahim mengemukakan bahwa hasil belajar merupakan respon (tingkah laku) yang baru. Tingkah laku yang dimaksud meliputi pengetahuan, sikap, dan keterampilan.[15] Kedua pengertian ini menjelaskan bahwa hasil belajar seorang peserta didik ditandai dengan adanya perubahan tingkah laku baru.
Bloom dalam Anaktototy mendefinisikan hasil belajar sebagai hasil perubahan tingkah laku yang meliputi tiga ranah yakni; ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik.[16] Gagne dan Briggs dalam Anaktototy berpendapat bahwa hasil belajar adalah gambaran kemampuan yang diperoleh seseorang setelah mengikuti proses belajar yang dapat diklasifikasikan ke dalam lima kategori yaitu; keterampilan intelektual, strategi kognitif, informasi verbal, keterampilan motorik, dan sikap.[17]
Bloom berpendapat bahwa ada tiga dimensi hasil belajar yaitu dimensi kognitif, dimensi afektif dan dimensi psikomotorik. Dimensi kognitif adalah kemampuan yang berhubungan dengan berpikir, mengetahui dan memecahkan masalah seperti pengetahuan, aplikatif, sintesis, analisis, dan evaluasi. Dimensi afektif adalah kemampuan yang berhubungan dengan sikap, nilai, minat, dan apresiasi. Sedangkan dimensi psikomotorik adalah kemampuan yang berhubungan dengan keterampilan motorik.[18] Ketiga dimensi ini saling terkait dan tidak dapat dipisahkan, namun sekolah lebih sering menelaah dimensi kognitif dan melupakan dimensi afektif dan dimensi psikomotorik karena tidak dapat dipungkiri beban kurikulum yang menggelayuti pemikiran pendidik dan kenyataan di lapangan yang jauh berbeda dengan yang diharapkan suatu pendidikan ideal cukup membuat keadaan pendidik sangat dilematis.
Reigeluth (1983) menyatakan bahwa hasil pembelajaran secara umum dapat dikategorikan menjadi tiga indikator yaitu:
1)      Efektifitas pembelajaran yang biasanya diukur dengan tingkat keberhasilan (prestasi) siswa dari berbagai sudut.
2)      Efisiensi pembelajaran yang biasanya diukur dari waktu belajar dan atau biaya pembelajaran.
3)      Daya tarik pembelajaran yang selalu diukur dari tendensi siswa ingin belajar secara terus menerus.[19]
Dari pengertian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa hasil belajar adalah suatu kinerja (performance) yang diindikasikan sebagai suatu kapabilitas (kemampuan) yang telah diperoleh.

d)     Faktor-faktor  yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Hasil belajar siswa dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Syah, faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar dirumuskan ke dalam tiga kelompok, yaitu:
1)      Faktor internal siswa yang meliputi aspek fisiologis dan aspek psikologis (Intelegensi, sikap siswa, bakat siswa, minat siswa dan motivasi siswa),
2)      Faktor eksternal siswa yang meliputi lingkungan sosial dan lingkungan non-sosial,
3)      Faktor pendekatan belajar.[20]
Menurut Guarsa dan Suryabrata, secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi belajar dan hasil belajar digolongkan sebagai berikut:
1)      Faktor endogen yang dibedakan menjadi dua yaitu:
(a)    Faktor fisiologis adalah yang berhubungan dengan jasmani dan panca indera.
(b)   Faktor psikologis meliputi: intelegensi, bakat, motivasi, dan konsentrasi,
2)      Faktor eksogen adalah bahan yang dipelajarinya, lingkungan alami dan sosial, instrumental (kurikulum, program, sarana/fasilitas dan guru/tenaga pengajar).[21]
Menurut Semiawan faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar anak adalah:[22]
1.      Pemenuhan kebutuhan psikologis anak yang meliputi: kebutuhan primer, pangan, sandang, dan perumahan serta kasih sayang, penghargaan terhadap dirinya serta peluang untuk mengaktualisasikan diri.
2.      Kemampuan intelektual, meliputi:
  1. Kemampuan intelektual kognitif berupa intelegensi.
  2. Kemampuan intelektual non kognitif berupa emosi, motivasi, kepribadian serta pengaruh lingkungan.
3.      Pengembangan kreativitas.
Menurut Roesyiatiashy dalam Ilyas menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi hasil belajar diantaranya adalah pribadi siswa, pribadi guru, struktur jaringan, sekolah sesuai institusi dan faktor-faktor situasional.[23]
Secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa dibagi menjadi dua yaitu faktor internal dan eksternal siswa. Faktor internal siswa meliputi psikologis dan psikis itu sendiri dan faktor eksternal siswa meliputi lingkungan di luar diri siswa.

2.      Hakikat Kecerdasan Emosional
a)      Pengertian Emosi
Emosi sejak lama dianggap memiliki kedalaman dan kekuatan sehingga dalam bahasa Latin, emosi dijelaskan sebagai motus anima yang arti harfiahnya “jiwa yang menggerakkan kita”.[24] Akar kata emosi adalah movere, kata kerja bahasa Latin yang berarti “menggerakkan, bergerak”.[25]
Emosi mempunyai peran dalam peningkatan proses konstruksi pikiran dalam berbagai bentuk pengalaman kehidupan manusia.[26] Solvey dan Mayers mendefinisikan emosi sebagai respon terorganisasi, termasuk sistem fisiologis, yang melewati berbagai batas sub-sistem psikologis, misalnya kognisi, motivasi, dan pengalaman.[27] Pengertian ini memberitahukan bahwa emosi merupakan respon atau stimulus yang diperoleh dari lingkungan sekitar yang terorganisasi dengan baik yang melewati sub-sistem psikologis.
Crow dan Crow dalam Hartati menyebutkan bahwa emosi merupakan suatu keadaan yang bergejolak dalam diri individu yang brfungsi sebagai inner adjustment terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan individu.[28] Emosi pada definisi ini berperan dalam pengambilan keputusan yang menentukan kesejahteraan dan keselamatan individu.
Ibda menyebutkan bahwa emosi merupakan suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya –suatu keadaan biologis dan psikologis- dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak.[29]
Dari beberapa pendapat di atas, maka emosi merupakan suatu respon atas rangsangan yang diberikan –baik dari lingkungan maupun dari dalam diri individu sendiri- sehingga individu dapat menentukan pilihan dalam hidup yang menentukan kehidupannya.
Terdapat dua macam pendapat tentang terjadinya emosi yaitu pendapat navistik dan pendapat empiristik. Pendapat navistik beranggapan bahwa emosi pada dasarnya merupakan bawaan sejak lahir, sementara pendapat empiristik beranggapan bahwa emosi dibentuk oleh pengalaman dan proses belajar.[30]
Sebagian beranggapan bahwa perasaan dan emosi adalah sama. Namun, Sabri dalam bukunya mengungkapkan bahwa antara perasaan dan emosi adalah berbeda. Pada perasaan terdapat kesediaan kontak dengan situasi luar (baik positif maupun negatif) sedangkan pada emosi kontak itu seolah-olah menjadi retak dan terputus (misalnya terkejut, ketakutan, mengantuk dan lain sebagainya).[31]

b)     Pengertian Kecerdasan
Kecerdasan merupakan istilah umum untuk menggambarkan ‘kepintaran’ atau ‘kepandaian’ orang.[32] Beberapa ahli mencoba merumuskan definisi kecrdasan diantaranya adalah:
Suharsono menyebutkan bahwa kecerdasan adalah kemampuan untuk memecahkan masalah secara benar, yang secara relatif lebih cepat dibandingkan dengan usia biologisnya.[33]
Gardner dalam Rose mengmukakan bahwa kecerdasan adalah kemampuan untuk memecahkan masalah atau menciptakan suatu produk yang bernilai dalam satu latar belakang budaya atau lebih.[34]
Definisi dari Suharsono dan Gardner menyebutkan bahwa kecerdasan merupakan suatu kemampuan individu untuk memecahkan masalahnya. Jika Suharsono menilai kecerdasan dari sudut pandang waktu sementara Gardner menilainya dari sudut pandang tempat/area.
Amstrong berpendapat bahwa kecerdasan merupakan kemampuan untuk menangkap situasi baru serta kemampuan untuk belajar dari pengalaman masa lalu seseorang. Kecerdasan bregantung pada konteks, tugas serta tuntutan yang diajukan oleh kehidupan kita dan bukan tergantung pada nilai IQ, gelar dari perguruan tinggi atau reputasi bergengsi.[35]
Dari beberapa pengertian kecerdasan yang telah dikemukakan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kecerdasan adalah kemampuan seseorang untuk memberikan solusi terbaik dalam penyelesaian masalah yang dihadapinya sesuai dengan kondisi ideal suatu kebenaran.
Gardner membagi kecerdasan menjadi tujuh macam yaitu, kecerdasan linguistik, kecerdasan logis-matematis, kecerdasan visual-spasial, kecerdasan musikal, kecerdasan kinestetik-tubuh, kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal.[36]
Kecerdasan-kecerdasan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: kecerdasan linguistik yaitu kemampuan membaca, mrnulis dan berkomunikasi dengan kata-kata atau bahasa. Kecerdasan logis-matematis yaitu kemampuan berfikir (menalar) dan menghitung, berfikir logis dan sistematis. Kecerdasan visual-spasial yaitu kemampuan berfikir menggunakan gambar, memvisualisasikan hasil masa depan. Kecerdasan musikal yaitu kemampuan menggubah atau mencipta musik, dapat bernyanyi dengan baik atau memahami dan mengapresiasi musik serta menjaga ritme. Kecerdasan kinestetik-tubuh yaitu kemampuan menggunakan tubuh secara terampil untuk memecahkan masalah, mencipatakan barang serta dapat mengemukakan gagasan dan emosi. Kecerdasan interpersonal yaitu kemampuan bekerja secara efektif dengan orang lain dan berempati. Kecerdasan interpersonal yaitu kemampuan menganalisis diri sendiri, membuat rencana dan menyusun tujuan yang akan dicapai.
Kecerdasan yang dikemukakan oleh Gardner ini dikenal juga sebagai ‘multiple intelligence’. Pembagian kecerdasan oleh gardner ini telah membuka paradigma baru dari sebuah kata kecerdasan. karena berdasarkan pembagian-pembagian kecerdasan. Menurutnya cerdas itubukan semata dapat memiliki skor tinggi seaktu ujian namun cerdas itu beraneka ragam.
Menurut Renzulli dalam Woolfolk, kecerdasan memiliki tiga faktor, yaitu:[37]
1.      Kemampuan umum di atas rata-rata.
2.      Mempunyai motivasi dan komitmen tinggi pada tugas untuk mencapai prestasi dan
3.      Berkreativitas tinggi.
Kecerdasan orang banyak ditentukan oleh struktur otak. Otak besar dibagi dalam dua belahan otak yang disambung oleh segumpal serabut yang disebut corpus callosum. Belahan otak kanan menguasai belahan kiri badan dan sebaliknya belahan otak kiri menguasai belahan kanan badan. Belahan otak kiri bertugas untuk merespon hal-hal yang sifatnya linier, logis dan teratur sementara otak belahan kanan bertugas untuk imaginasi dan kreativitas.[38]

c)      Hakikat Kecerdasan Emosional
Setiap individu memiliki emosi. Emosi mempunyai ranah tersendiri dalam bagian hidup individu. Seseorang yang dapat mengelola emosinya dengan baik artinya emosinya cerdas, hal ini lebih dikenal dengan suatu istilah ‘Kecerdasan Emosional’, beberapa ahli mencoba merumuskan definisi dari kecerdasan emosional, diantaranya adalah Arief Rahman menyebutkan bahwa kecerdasa emosional adalah metability yang menentukan seberapa baik manusia mampu menggunakan keterampilan-keterampilan lain yang dimilikinya, termasuk intelektual yang belum terasah.[39]
Bar-On seperti dikutip oleh Stein dan Book mengemukakan bahwa kecerdasan emosional adalah serangkaian kemampuan, kompetensi dan kecakapan non-kognitif, yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan.[40]
Dua definisi tentang kecerdasan emosional yang dikemukakan oleh Rahman dan Bar-on lebih menekankan pada hasil yang didapat oleh individu jika menggunakan kemampuan emosionalnya secara optimal.
Salovey dan Mayor dikutip oleh Stein dan Book mengemukakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami persaan dan maknanya dan mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual. [41]
Goleman dalam Nggermanto mangatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.[42]
Dari beberapa definisi para ahli di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kecerdasan emosional adalah suatu kemampuan yang dimiliki individu untuk dapat mengggunakan perasaannya secara optimal guna mengenali dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya.
Kecerdasan emosional yang dimaksud peneliti adalah kempuan untuk individu untuk mengelai perasaannya sehingga dapat mengatur dirinya sendiri dan menimbulkan motivasi dalam dirinya untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Sementara di lingkungan sosial ia mampu berempati dan membina hubungan baik  terhadap orang lain.
Emosi manusia dikoordinasi oleh otak. Bagian otak yang yang mengatur emosi adalah sistem limbiks. Struktur-struktur dalam sistem limbic mengelola beberapa aspek emosi, yaitu pengenalan emosi melalui ekspresi wajah, tendensi berprilaku dan penyimpanan memori emosi. Folkerts (1999) menjelaskan bahwa sistem limbiks terdiri atas empat sub-struktur, yaitu Thalamus dan hypothalamus, amigdala, hipokampus dan lobus frontalis.[43]
Thalamus menerima informasi dari lingkungan sekitar yang ditangkap oleh indera sedang hypothalamus mengambil informasi dar bagian tubuh yang lain. Amigdala menginterprestasikan dan sekaligus menyimpannya sebagai arti emosi. Hipokampus mendukung kerja amigdala dalam menyimpan memori emosi, mengonsolidasi memori non-emosi secara detail dan meanyampaikan memori tersebut ke jaringan memori yang berbeda di otak. Lobus frontalis bertanggung jawab dalam pengaturan emosi sehingga memunculkan respon emosi yang tepat.[44]
Kinerja otak sebagai pusat koordinasi dapat dijabarkan sebagai berikut: informasi-informasi yang diterima alat indera akan dibawa oleh thalamus melewati sinapsis tinggal menuju amigdala, sedang sebagian besar lainnya dikirim ke neokorteks. Percabangan tersebut memungkinkan amigdala dapat memberikan respon emosi tanpa pengolahan informasi dan analisis dari neokorteks. Kasus tersebut disebut Goleman sebagai “pembajakan emosi”.[45]
Kecerdasan emosilah yang memotivasi kita untuk mencar manfaat dan potensi uni kita dan menaktifkan aspirasi dan nilai-nilai kita yang paling dalam, mengubahnya dari apa yang kita pikirkan menjadi apa yang kita jalani.[46]
Bagan 1

Bagan Model Kecerdasan Emosional Reuver Bar On

Kinerja Efektif

Kecerdasan emosional Reuver Bar On dibagi menjadi lima, yaitu:[47]
1)      Ranah intrapribadi memiliki lima skala, yaitu kesadaran diri, sikap asertif, kemandirian, penghargaan diri, dan aktualisasi diri.
2)      Ranah antarpribadi memiliki tiga skala, yaitu empati, tanggung jawab sosial, dan hubungan antarpribadi.
3)      Ranah penyesuaian diri/orientasi kognitif memiliki tiga skala, yaitu uji realitas, sikap fleksibel, dan pemecahan masalah.
4)      Ranah pengendalian stress memiliki dua skala, yaitu ketahanan menanggung stress, dan pengendalian impuls.
5)      Ranah suasana hati/afeksi memiliki dua skala, yaitu optimisme dan kebahagiaan.
Hal ini serupa dengan pendapat Segal (2000) bahwa wilayah EQ adalah hubungan pribadi dan antarpribadi; EQ bertanggung jawab atas harga diri, kesadaran diri, kepekaan sosial, dan kemampuan adaptasi sosial.[48]
Solvey memperluas kecerdasan emosional menjadi lima wilayah utama, yaitu:[49]
1)      Empati
Merasakan yang dirasakan oleh orang lain dan memahami perspektifnya, menumbuhkan hubungan saling percaya serta menyelesaikan diri dengan bermacam-macam orang
2)      Kesadaran diri
Mengetahui apa yang kita rasakan dan menggunakannya untuk memandu pemngambilan keputusan diri sendiri serta memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan dan kepercayaan diri yang kuat, dan kemampuan adaptasi sosial.
3)      Pengaturan Diri
Menangani emosi kita sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas; peka terhadap kata hati dan sanggup mennunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran; mampu pulih kembali dari tekanan emosi.
4)      Motivasi
Menggunakan hasrat untuk menggerakkan dan menuntun mennuju sasaran, membantu mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif serta bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi.
5)      Keterampilan Sosial.
Menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial dan berinteraksi dengan lancer serta menggunakan keterampilan ini untuk mempengaruhi orang lain.
Senada dengan pendapat di atas, Shapiro juga menyebutkan kualitas-kualitas kecerdasan emosional, diantaranya adalah empati, mengungkapkan dan memahami perasaan, dan mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan, dan sikap hormat.[50]
Rasulullah SAW bersabda:
Ada tiga hal yang apabila dilakukan dilindungi Allah dalam pemeliharaan-Nya, ditaburi rahmat-Nya, dan dimasukkan ke dalam surga-Nya, yaitu apabila diberi ia berterima kasih, apabila berkuasa ia suka memaafkan, dan apabila marah ia menahan diri/mampu menguasai diri. (HR. Hakim dan Ibnu Hibban).[51]

d)     Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional dipengarui oleh beberapa hal. Berdasarkan penelitian Siregar, dkk. Memperlihatkan bahwa kecerdasan emosional dipengaruhi oleh:
¯  Nilai Komunikasi, komunikasi antara orang tua dan anak sangat berperan penting dalam melatih kesadaran emosi diri dan mengekspresikan emosi. Selain itu juga dapat membantu anak untuk mengembangkan perbendaharaan kata dan mengkomunikasikan emosinya.
¯  Riwayat hidup ibu, banyak orang tua yang meninggalkan cara mendidik otoriter seperti orang tua mereka lakukan terhdap mereka dan mendidik anaknya secara otoritatif. Anak-anak yang dididik secara otoritatif mudah bekerja sama, mengandalkan diri sendiri, penuh tenaga, bersahabat, dan berorientasi prestasi.
¯  Stress anak, rasa tertekan akan menyebabkan anak sulit untuk mengungkapkan emosi mereka.
¯  Lingkungan sosial, anak yang biasa hidup di lingkungan sosial dengan nilai toleransi tinggi akan dengan mudah berkomunikasi sehingga emosi mereka dapat tersalurkan.[52]
Faktor-faktor seperti kasih sayang, saling menghormati, status sosial ekonomi tidak berpengaruh secara langsung terhadap kecerdasan emosional.[53] Dari penjelasan tersebut tampak bahwa kecerdasan emosional dipengaruhi oleh komunikasi, riwayat hidup orang tua terutama ibu, karena ibuy yang berperan cukup besar dalam tumbuh kembang anak, stress anak dan lingkungan sosial. Faktor-faktor tersebut menyebabkan fluktuasi pada emosi anak sehingga secara langsung mempengaruhi kecerdasan emosional pada anak.

e)      Pengukuran Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional mulai dikenal pada akhir abad 19-an. Tes kecerdasan emosional ini mengacu pada teori keceerdasan emosional Goleman. Menurutnya kecerdasan emosional meliputi kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati dan keterampilan sosial. Setelah melalui tahap referensi, adaptasi, editing, dan pengukuran validitas dan reliabilitas maka tes ini dinyatakan cukup representatif untuk mengukur kecerdasan emosional.
3.      Hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Hasil Belajar Fisika
Kegiatan belajar mengajar dalam kelas tidak hanya mengandalkan kognisi siswa melainkan juga emosi. Thontowi dalam Brillianty menyatakan bahwa berhasilnya pendidikan tidak tergantung pada tingkat kecerdasan semata. Faktor emosi ternyata ikut serta mempengaruhi hasil belajar. Rasa takut, benci atau bosan terhadap bahan atau mata pelajaran, sifat mudah putus asa di dalam menyelesaikan tugas, kecemasan yang terus menerus akan sangat mempengaruhi prestasi belajar.[54]
Anak yang emosinya dididik secara teratur di lingkungan keluarganya akan lebih mudah berkonsentrasi dengan lebih baik akan menjadi murid yang lebih efektif serta berprestasi lebih tinggi.[55]
Laporan dari National Center for Clinical Infant Programs menyatakan bahwa keberhasilan di sekolah tidak diramalkan dari kemampuan dini dalam membaca, tetapi oleh ukuran emosi dan sosial.[56] Ukuran emosi dan sosial diantaranya meliputi yakin pada diri sendiri dan mempunyai minat, mengetahui prilaku yang diharapkan orang lain, mampu menunggu, mengikuti petunjuk,dan mengacu pada guru untuk mencari bantuan serta mengungkapkan kebutuhannya saat bergaul dengan anak-anak lain. Laporan tersebut memberitahukan bahwa hampir semua siswa SLTP/MTs yang prestasi di sekolahnya buruk tidak memliki satu atau lebih unsur-unsur tersebut.
Kecerdasan emosional membantu seseorang untuk menetapkan standar sendiri. Orang cerdas secara emosional mengetahui perbedaan antara apa yang penting untuk diri mereka sendiri dan juga orang lain.[57]
Studi perbandingan oleh Achir mengenai faktor-faktor non intelektif antara anak berbakat yang berprestasi dan yang kurang berprestasi melalui pendekatan terhadap siswa dan orang tua menunjukkan bahwa dari 199 anak yang diidentifikasikan berbakat hanya 77 orang (38,7%) yang termasuk berprestasi. Faktor-faktor non intelektif yang mempengaruhi prestasi belajar siswa adalah kecerdasan akademik, nilai diri yang rendah, hubungan dengan tokoh otoriter yang kurang sehat, hubungan interpersonal yang terhambat, konflik antara dua kebutuhan, pola kegiatan yang berorientasi sosial dan orientasi pada tujuan yang kurang realistic. Penelitian ini juga menjelaskan bahwa kemampuan dalam mengolah kecerdasan emosional sangat mempengaruhi faktor-faktor non intelektif siswa sehingga dapat juga berpengaruh terhadap prestasi belajarnya.

B.     Kerangka Pikir
 Manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling istimewa dengan kelebihan yang diberikan oleh-Nya berupa akal pikiran dan emosi. Komponen tersebut saling bekerja sama dan tidak dapat dipisahkan. Keduanya diatur oleh sistem koordinasi pada otak.
Akal pikiran berhubungan dengan perkembangan daya tangkap, daya pikir, dan daya ingat. Ranah-ranah tersebut termasuk dalam ranah kognitif. Seseorang dengan tingkat kognitif tinggi dianggap memiliki kecerdasan intelegen yang tinggi.
Emosi berhubungan dengan pengambilan keputusan yang menentukan kesejahteraan dan keselamatan individu. Seseorang yang mampu mengenali emosi kemudian mengolahnya dengan baik sehingga dapat memotivasi dirinya untuk lebih baik dari sebelumnyayang pada akhirnya dapat membina hubungan baik dengan orang lain dan berempati pada apa yang mereka alami, maka individu tersebut dianggap memiliki kecerdasan emosional yang tinggi.
Dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh seorang manusia ia pasti akan selalu menggunakan akal pikiran  dan emosinya untuk menentukan apa yang harus ia lakukan. Belajar merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan oleh manusia. Belajar berlangsung kapanpun, di manapun, dan oleh siapapun. Penelitian kali ini hanya terbatas pada belajar Fisika.
Unsur-unsur dalam pembelajaran Fisika adalah guru sebagai salah satu perancang dalam proses pembelajaran; siswa sebagai pelaksana kegiatan belajar Fisika Sebago objek yang dipelajari.
Dalam pembelajaran Fisika membutuhkan pemahaman, penalaran, kritis, dan praktikum. Pembelajaran akan lebih menarik dan berkualitas jika seorang guru dapat menggunakan metode yang variatif dan disesuaikan dengan kebutuhan yang ada sehingga emosi siswa stabil dan lebih mudah untuk belajar Fisika. Karena pada kegiatan belajar dalam kelas seorang siswa selain menggunakan daya nalarnya untuk menangkap materi yang disampaikan oleh gurunya, siswa juga cenderung untuk menggunakan emosinya.
Bagaimana mungkin seorang siswa dapat menyerap pelajaran secara optimal jika keadaan emosinya labil, misalnya seorang siswa takut dengan gurunya karena image guru di mata siswa tersebut sebagai guru pemarah. Secara otomatis ketika sang guru bertanya kepadanya, maka siswa tersebut lebih memilih untuk diam. Padahal setiap pertanyaan yang diajukan oleh guru, ia bias menjawabnya dan jika dijawab dengan baik oleh siswa maka ia akan mendapatkan poin tambahan. Dengan pilihan siswa tersebut untuk diam maka ia tidak mendapatkan poin dan hal itu berpengaruh terhadap prestasi belajarnya.
Tingkat kecerdasan emosional seorang siswa tinggi jika siswa tersebut mampu mengelola emosinya dan mampu memotivasi dirinya sendiri. Jika kecerdasan emosi dikaitkan dengan proses belajar mengajar maka siswa dengan kecerdasan emosi tinggi akan lebih mampu mengatasi kesulitan-kesulitan dalam belajar sehingga prestasi belajarnya akan meningkat.
Dengan demikian, diduga terdapat hubungan positif antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar Fisika siswa kelas XI SMA Plus Pembangunan Jaya Bintaro.
C.    Pengajuan Hipotesis
Berdasarkan kerangka berfikir di atas dapat ditarik suatu kesimpulan dan sekaligus diputuskan untuk dijadikan hipotesis penelitian yang dirumuskan sebagai berikut:
H0= Tidak terdapat hubungan yang sinifikan antara kecerdasan emosional terhadap hasil belajar (thitung < ttabel).
Ha= Terdapat hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional terhadap hasil belajar (thitung > ttabel).



[1] Muhibbin Syah, Psikologi Belajar (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 64
[2] Ibid.
[3] Munandir, Ensiklopedia Pendidikan (Malang: UM Press, 2001), h. 20
[4] Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan (Bandung: Rosda Karya, 2003), h. 84
[5] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan (Bandung: Rosda Karya, 2003), h. 90
[6] Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, op. cit., h. 66
[7] Umar Tirtarahardja dan La Sula, Pengantar Pendidikan (Jakarta: Rhineka Cipta, 2000), h. 51
[8] Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan (Jakarta: Grafindo, 2002), h. 23
[9] Siti Fatimah, menciptakan Pembelajaran yang Menarik (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, Alternatif, Jurnal Pemikiran Pendidikan, TH. X No. 1, 2002), h. 137
[10] Baiduri, Peningkatan Kualitas Pembelajaran dengan Prinsip Quality Assurance, (malang: Universitas Muhammadiyah Malang, Alternatif, TH. XI No. 1, 2003) h. 111
[11] Sri Saparahayuningsih, Prasyarat Penguasaan Materi, Keterampilan Belajar, Sarana Belajar, Keadaan Diri Pribadi, Lingkungan Belajar, Sosio Emosional dan Hasil Belajar Mahasiswa UNIB (Bengkulu, FKIP Universitas Bengkulu, Triadik TH VII No. 8, Oktober 2002), h. 124
[12] Dwi Priyono Utomo, Pembelajaran kooperatif dan Peranannya dalam Mengurangi Dampak kompetisi dan Individualistik dalam Kelas (Malang: Universitas MUhammadiyah Malang, Alternatif, Jurnal Pemikiran Pendidikan, Th. XI No. 2, 2003), h. 182
[13] James W. Popham dan Eva L. Baker, Teknik Mengajar secara Sistematis, Penerjemah T. Amitul Hadi, (Jakarta: Rineke Cipta, 2001) h. 29-33
[14] Jacob Anaktototy, Hasil Belajar Pendidikan Jasmani (Jakarta: Depdiknas, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Th. Ke-9, NO. 044, 2003), h. 695
[15] Nurdin Ibrahim, Hasil Belajar siswa SLTP Terbuka Tanjung Sari Sumedang Sari Jabar, (Jakarta: Depdiknas, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Th. Ke-7, No. 031, 2001), h. 735
[16] Jacob Anaktototy, loc. Cit.
[17] Jacob Anaktototy, loc. Cit.
[18] WS. Winkel, Psikologi Pengajaran (Jakarta: Gramedia, 2004), h. 245-271
[19] Nurdin Ibrahim, op. cit., h.488
[20] Muhibin Syah, Psikologi Belajar, op. cit., h. 69
[21] Mexitalia Setiawati, et.all., Hubungan Kecerdasan Emosional, Status Gizi dengan Prestasi Belajar (Semarang: Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro, Laporan Penelitian, Oktober 2002), h.1
[22] Conny R. Semiawan, Belajar dan Pembelajaran dalam taraf Pendidikan Usia Dini (Jakarta: Prehallindo, 2002), h. 11-12
[23] Ilyas, Peranan Motivasi Mengajar Guru dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa (Medan: Juki dan Sons, Dinamika, Vol. II No. 2, 2004), h. 173
[24] Robert K. Cooper, dan Ayman Sawaf, Executive EQ, Penerjemah Alex Tri Kanjtono Widodo (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. xiv
[25] Daniel Goleman, Emotional Intelligence, penerjemah T. Hermaya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 7
[26] Tekad Wahyono, Memahami Kecerdasan Emosi Melalui Kerja Sistem Limbik (Surabaya: Universitas Wangsa Manggala, Anima, Indonesian Psycological Journal, 2001, vo. 17 No. 1), h. 36
[27] Ibid, h. 37
[28] Nety Hartati, et.al., Islam dan Psikologi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 90
[29] Fatimah Ibda, Emotional Intelligence dalam Dunia Pendidikan (Banda Aceh: Fakultas Tarbiyah, IAIN Ar-Raniry, Jurnal Didaktika, vol. 2 No. 2, 2001), h. 132

[30] Abdul Rahman Shaleh dan Muhbib Abdul Wahab, Psiklogi Suatu Pengantar –Dalam Perspektif Islam- (Jakarta: Kencana, 2004), h. 168
[31] M. Alisuf Sabri, Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2001). H. 74
[32] Munandir, Ensiklopedia Pendidikan, op.cit., h. 122
[33] Suharsono, Mencerdaskan Anak (Depok: Inisiasi Press, 2003), h. 43
[34] Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, Cara Belajar Cepat abad XXI, Penerjemah Dedy Ahimsa (Bandung: Nuansa, 2002), h. 58
[35] Thomas Amstrong, Seven Kinds of Smart, Penerjemah T. Hermaya (Jakarta: Gramedia, 2002), h. 2
[36] Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, op.cit., h. 59-60
[37] Anita E. Woolfolk dan Lorrrance McCune-Nicolich, Mendidik Anak-anak bermasalah-Psikologi Pembelajaran II-, Penerjemah M. Khairul Anam (Depok: Inisiasi Press, 2004), h. 633
[38] Conny R. Semiawan, Belajar dan Pembelajaran dalam Taraf Pendidikan Usia Dini, op.cit., h. 14
[39] Pusat Pengembangan Tasawuf Positif, Menyinari Relung-Relung Ruhani (Jakarta: Hikmah, 2002), h. 157-158
[40] Steven J. Stein & Howard E. Book, Ledakan EQ, Penerjemah Trinanda Rainy Januarsari (Bandung: Kaifa, 2002), h. 30
[41] Ibid.
[42] Agus Nggermanto, Quantum Quotient (Bandung: Nuansa, 2002), h. 98
[43] Wahyono, op.ci., h. 38-39
[44] Ibid.,h. 39
[45] Wahyono, op.cit., h. 40
[46] Robert K. Cooper, dan Ayman Sawaf, Executive EQ, loc.cit.
[47] AV. Aryaguna Setiadi,  Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dengan Keberhasilan Bermain Game (Surabaya: Universitas Surabaya, Anima, Indonesian Psychological Journal, 2001, vol. 17 No. 1), h. 44-45
[48] Jeanne Segal. Melejitkan Kepekaan emosional, penerjemah Ary Nilandari (Bandung: Kaifa, 2000), h. 26-27
[49] Daniel Goleman, Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi, Penerjemah Alex Tri Katjono Widodo (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 513-514
[50] Lawrence E. Shapiro, Mengajarkan Emotional Inteliigence pada Anak, penerjemah; Alex Tri Kantjono (Jakarta; Gramedia, 2001), h.5
[51] Suharsono, Akselerasi intelegensi; Optimalkan IQ, EQ dan SQ Secara Islami, (Depok: Inisiani Press, 2004), h. 193
[52] Veriati Siregar, et.all., Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai-Nilai Keluarga dan Kecerdasan emosional Anak Usia Sekolah (Bogor: Fakultas Pertanian, Insitut Pertanian Bogor, Media Gizi dan Keluarga, Juli 2000, XXIV vol. 1), h. 59
[53] Ibid., h. 60
[54] Amalia Roza Brillianty, Kecerdasan Emosional dan Hasil Belajar Para Siswa Kelas Unggul SMU (Padang: FKIP Universitas Negeri Padang, Pedagogi, Jurnal Ilmu Pendidikan, Vol. IV, 2003), h. 9
[55] Fatimah Ibda., op.cit., h. 134
[56] Ibid., h. 135
[57] Mexitalia, op.cit., h. 17

No comments:

Post a Comment