BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemampuan lulusan suatu jenjang pendidikan sesuai dengan
tuntutan penerapan kurikulum berbasis kompetensi mencakup tiga ranah, yaitu
kemampuan berpikir, keterampilan melakukan pekerjaan, dan perilaku. Setiap
peserta didik memiliki potensi pada ketiga ranah tersebut, namun tingkatannya
satu sama lain berbeda. Ada peserta
didik yang memiliki kemampuan berpikir tinggi dan perilaku amat baik, namun
keterampilannya rendah. Demikian sebaliknya ada peserta didik yang memiliki
kemampuan berpikir rendah, namun memiliki keterampilan yang tinggi dan perilaku
amat baik. Ada pula peserta didik yang kemampuan berpikir dan keterampilannya sedang/biasa,
tapi memiliki perilaku baik. Jarang sekali peserta
didik yang kemampuan berpikirnya rendah, keterampilan rendah, dan perilaku
kurang baik. Peserta didik seperti itu akan mengalami kesulitan bersosialisasi
dengan masyarakat, karena tidak memiliki potensi untuk hidup di masyarakat. Ini
menunjukkan keadilan Tuhan YME, setiap manusia
memiliki potensi yang dapat dikembangkan menjadi kemampuan untuk hidup di
masyarakat.
Kemampuan berpikir merupakan ranah kognitif yang meliputi
kemampuan menghapal, memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan
mengevaluasi. Kemampuan psikomotor,
yaitu keterampilan yang berkaitan dengan gerak, menggunakan otot seperti lari, melompat, menari, melukis,
berbicara, membongkar dan memasang peralatan, dan sebagainya. Kemampuan afektif
berhubungan dengan minat dan sikap yang dapat berbentuk tanggung jawab, kerjasama,
disiplin, komitmen, percaya diri, jujur, menghargai pendapat orang lain, dan
kemampuan mengendalikan diri. Semua kemampuan ini harus menjadi bagian dari
tujuan pembelajaran di sekolah, yang akan dicapai melalui kegiatan pembelajaran
yang tepat.
Masalah afektif dirasakan penting oleh semua orang, namun
implementasinya masih kurang. Hal ini disebabkan merancang pencapaian tujuan
pembelajaran afektif tidak semudah seperti pembelajaran kognitif dan psikomotor.
Satuan pendidikan harus merancang kegiatan pembelajaran yang tepat agar tujuan
pembelajaran afektif dapat dicapai. Keberhasilan pendidik melaksanakan
pembelajaran ranah afektif dan keberhasilan peserta didik mencapai kompetensi
afektif perlu dinilai. Oleh karena itu perlu dikembangkan acuan pengembangan perangkat
penilaian ranah afektif serta penafsiran hasil pengukurannya.
B.
Tujuan
Buku pengembangan perangkat penilaian afektif ini disusun
agar pendidik:
1.
memiliki kesamaan pemahaman mengenai ranah afektif dan
cara penilaiannya
2. mampu mengembangkan
perangkat penilaian afektif
C.
Ruang Lingkup
Buku ini berisi tentang hakikat penilaian afektif dan
pengembangan perangkat penilaian afektif.
BAB II
PENILAIAN RANAH
AFEKTIF
A.
Hakikat Pembelajaran Afektif
Hasil belajar menurut Bloom (1976) mencakup prestasi
belajar, kecepatan belajar, dan hasil afektif. Andersen (1981) sependapat
dengan Bloom bahwa karakteristik manusia meliputi cara yang tipikal dari
berpikir, berbuat, dan perasaan. Tipikal berpikir berkaitan dengan ranah
kognitif, tipikal berbuat berkaitan dengan ranah psikomotor, dan tipikal
perasaan berkaitan dengan ranah afektif. Ranah afektif mencakup watak perilaku
seperti perasaan, minat, sikap, emosi, atau nilai. Ketiga ranah tersebut
merupakan karakteristik manusia sebagai hasil belajar dalam bidang pendidikan.
Menurut Popham (1995), ranah afektif menentukan
keberhasilan belajar seseorang. Orang yang tidak memiliki minat pada pelajaran
tertentu sulit untuk mencapai keberhasilan belajar secara optimal. Seseorang
yang berminat dalam suatu mata pelajaran
diharapkan akan mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Oleh karena itu semua
pendidik harus mampu membangkitkan minat semua peserta didik untuk mencapai
kompetensi yang telah ditentukan. Selain itu ikatan emosional sering diperlukan
untuk membangun semangat kebersamaan, semangat persatuan, semangat
nasionalisme, rasa sosial, dan sebagainya. Untuk itu semua dalam merancang
program pembelajaran, satuan pendidikan harus memperhatikan ranah afektif.
Keberhasilan pembelajaran pada ranah kognitif dan
psikomotor dipengaruhi oleh kondisi afektif peserta didik. Peserta didik yang
memiliki minat belajar dan sikap positif terhadap pelajaran akan merasa senang
mempelajari mata pelajaran tertentu, sehingga
dapat mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Walaupun para pendidik
sadar akan hal ini, namun belum banyak tindakan yang dilakukan pendidik secara
sistematik untuk meningkatkan minat
peserta didik. Oleh karena itu untuk mencapai hasil belajar yang
optimal, dalam merancang program pembelajaran dan kegiatan pembelajaran bagi
peserta didik, pendidik harus memperhatikan karakteristik afektif peserta
didik.
B. Tingkatan Ranah Afektif
Menurut Krathwohl (1961) bila ditelusuri hampir semua
tujuan kognitif mempunyai komponen afektif. Dalam pembelajaran sains, misalnya,
di dalamnya ada komponen sikap ilmiah. Sikap ilmiah adalah komponen afektif. Tingkatan
ranah afektif menurut taksonomi Krathwohl ada lima, yaitu: receiving
(attending), responding, valuing, organization, dan characterization.
1. Tingkat receiving
Pada tingkat
receiving atau attending,
peserta didik memiliki keinginan memperhatikan suatu fenomena khusus atau
stimulus, misalnya kelas, kegiatan, musik, buku, dan sebagainya. Tugas pendidik
mengarahkan perhatian peserta didik pada fenomena yang menjadi objek
pembelajaran afektif. Misalnya pendidik mengarahkan peserta didik agar senang
membaca buku, senang bekerjasama, dan sebagainya. Kesenangan ini akan menjadi
kebiasaan, dan hal ini yang diharapkan, yaitu kebiasaan yang positif.
2. Tingkat responding
Responding merupakan partisipasi aktif peserta didik, yaitu sebagai bagian dari
perilakunya. Pada tingkat ini
peserta didik tidak saja memperhatikan fenomena khusus tetapi ia juga bereaksi.
Hasil pembelajaran pada ranah ini menekankan pada pemerolehan respons,
berkeinginan memberi respons, atau kepuasan dalam memberi respons. Tingkat yang tinggi pada kategori ini
adalah minat, yaitu hal-hal yang menekankan pada pencarian hasil dan kesenangan
pada aktivitas khusus. Misalnya senang
membaca buku, senang bertanya, senang membantu teman, senang dengan
kebersihan dan kerapian, dan sebagainya.
3. Tingkat valuing
Valuing melibatkan penentuan
nilai, keyakinan atau sikap yang menunjukkan derajat internalisasi dan
komitmen. Derajat rentangannya mulai dari menerima suatu nilai, misalnya
keinginan untuk meningkatkan keterampilan, sampai pada tingkat komitmen. Valuing
atau penilaian berbasis pada internalisasi dari seperangkat nilai yang
spesifik. Hasil belajar pada tingkat ini berhubungan dengan perilaku yang
konsisten dan stabil agar nilai dikenal secara jelas. Dalam tujuan
pembelajaran, penilaian ini diklasifikasikan sebagai sikap dan apresiasi.
4. Tingkat organization
Pada tingkat
organization, nilai satu dengan nilai lain dikaitkan, konflik antar
nilai diselesaikan, dan mulai membangun sistem nilai internal yang konsisten.
Hasil pembelajaran pada tingkat
ini berupa konseptualisasi nilai atau organisasi sistem nilai. Misalnya
pengembangan filsafat hidup.
5. Tingkat characterization
Tingkat ranah afektif tertinggi adalah characterization nilai.
Pada tingkat ini peserta didik
memiliki sistem nilai yang mengendalikan perilaku sampai pada waktu tertentu hingga terbentuk gaya hidup.
Hasil pembelajaran pada tingkat ini
berkaitan dengan pribadi, emosi, dan sosial.
C. Karakteristik
Ranah Afektif
Pemikiran atau perilaku harus memiliki dua kriteria untuk
diklasifikasikan sebagai ranah afektif (Andersen, 1981:4). Pertama, perilaku
melibatkan perasaan dan emosi seseorang. Kedua, perilaku harus tipikal perilaku
seseorang. Kriteria lain yang termasuk ranah afektif adalah intensitas, arah,
dan target. Intensitas menyatakan derajat atau kekuatan dari perasaan. Beberapa
perasaan lebih kuat dari yang lain, misalnya cinta lebih kuat dari senang atau
suka. Sebagian orang kemungkinan memiliki perasaan yang lebih kuat dibanding
yang lain. Arah perasaan berkaitan dengan orientasi positif atau negatif dari
perasaan yang menunjukkan apakah perasaan itu baik atau buruk. Misalnya senang
pada pelajaran dimaknai positif, sedang kecemasan dimaknai negatif. Bila intensitas dan arah perasaan ditinjau
bersama-sama, maka karakteristik afektif berada dalam suatu skala yang
kontinum. Target mengacu pada objek, aktivitas, atau ide sebagai arah dari
perasaan. Bila kecemasan merupakan karakteristik afektif yang ditinjau, ada
beberapa kemungkinan target. Peserta didik mungkin bereaksi terhadap sekolah,
matematika, situasi sosial, atau pembelajaran. Tiap unsur ini bisa merupakan
target dari kecemasan. Kadang-kadang target ini diketahui oleh seseorang namun
kadang-kadang tidak diketahui. Seringkali peserta didik merasa cemas bila
menghadapi tes di kelas. Peserta didik tersebut cenderung sadar bahwa target kecemasannya
adalah tes.
Ada 5 (lima) tipe karakteristik afektif yang penting, yaitu
sikap, minat, konsep diri, nilai, dan moral.
1. Sikap
Sikap merupakan suatu kencendrungan untuk bertindak
secara suka atau tidak suka terhadap suatu objek. Sikap dapat dibentuk melalui
cara mengamati dan menirukan sesuatu yang positif, kemudian melalui penguatan
serta menerima informasi verbal. Perubahan sikap dapat diamati dalam proses
pembelajaran, tujuan yang ingin dicapai, keteguhan, dan konsistensi terhadap
sesuatu. Penilaian sikap adalah penilaian yang dilakukan untuk mengetahui sikap
peserta didik terhadap mata pelajaran, kondisi pembelajaran, pendidik, dan
sebagainya.
Menurut Fishbein dan Ajzen (1975) sikap adalah suatu
predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara positif atau negatif
terhadap suatu objek, situasi, konsep, atau orang. Sikap peserta didik terhadap
objek misalnya sikap terhadap sekolah atau
terhadap mata pelajaran. Sikap peserta didik ini penting untuk ditingkatkan
(Popham, 1999). Sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, misalnya bahasa Inggris,
harus lebih positif setelah peserta didik mengikuti pembelajaran bahasa Inggris
dibanding sebelum mengikuti pembelajaran. Perubahan ini merupakan salah satu
indikator keberhasilan pendidik dalam melaksanakan proses pembelajaran. Untuk itu pendidik harus membuat rencana
pembelajaran termasuk pengalaman belajar peserta didik yang membuat sikap
peserta didik terhadap mata pelajaran menjadi lebih positif.
2. Minat
Menurut Getzel (1966), minat adalah suatu disposisi yang
terorganisir melalui pengalaman yang mendorong seseorang untuk memperoleh objek
khusus, aktivitas, pemahaman, dan keterampilan untuk tujuan perhatian atau
pencapaian. Sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia (1990: 583), minat atau keinginan adalah
kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu. Hal penting pada minat adalah
intensitasnya. Secara umum minat termasuk karakteristik afektif yang memiliki
intensitas tinggi.
Penilaian minat dapat digunakan untuk:
a. mengetahui minat peserta didik sehingga mudah
untuk pengarahan dalam pembelajaran,
b. mengetahui bakat dan minat peserta didik yang sebenarnya,
c. pertimbangan penjurusan dan pelayanan individual peserta didik,
d. menggambarkan keadaan
langsung di lapangan/kelas,
e. mengelompokkan peserta didik yang memiliki minat sama,
f. acuan dalam menilai kemampuan peserta didik secara keseluruhan
dan memilih metode yang tepat dalam penyampaian materi,
g. mengetahui tingkat minat peserta didik
terhadap pelajaran yang diberikan pendidik,
h. bahan pertimbangan menentukan program sekolah,
i. meningkatkan motivasi belajar peserta didik.
3. Konsep Diri
Menurut Smith, konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan
individu terhadap kemampuan dan kelemahan yang dimiliki. Target, arah, dan
intensitas konsep diri pada dasarnya seperti ranah afektif yang lain. Target
konsep diri biasanya orang tetapi bisa juga institusi seperti sekolah. Arah konsep diri bisa positif atau negatif,
dan intensitasnya bisa dinyatakan dalam suatu daerah kontinum, yaitu mulai dari
rendah sampai tinggi.
Konsep diri ini penting untuk menentukan jenjang karir
peserta didik, yaitu dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri, dapat
dipilih alternatif karir yang tepat bagi peserta didik. Selain itu
informasi konsep diri penting bagi
sekolah untuk memberikan motivasi belajar peserta didik dengan tepat.
Penilaian konsep diri dapat dilakukan dengan penilaian
diri. Kelebihan dari penilaian diri adalah sebagai berikut.
·
Pendidik mampu mengenal kelebihan dan kekurangan peserta
didik.
·
Peserta didik mampu merefleksikan kompetensi yang sudah
dicapai.
·
Pernyataan yang dibuat sesuai dengan keinginan penanya.
·
Memberikan motivasi diri dalam hal penilaian kegiatan
peserta didik.
·
Peserta didik lebih aktif dan berpartisipasi dalam proses
pembelajaran.
·
Dapat digunakan untuk acuan menyusun bahan ajar dan mengetahui
standar input peserta didik.
·
Peserta didik dapat mengukur kemampuan untuk mengikuti pembelajaran.
·
Peserta didik dapat mengetahui ketuntasan belajarnya.
·
Melatih kejujuran dan kemandirian peserta didik.
·
Peserta didik mengetahui bagian yang harus diperbaiki.
·
Peserta didik memahami kemampuan dirinya.
·
Pendidik memperoleh masukan objektif tentang daya serap peserta
didik.
·
Mempermudah pendidik untuk melaksanakan remedial,
hasilnya dapat untuk instropeksi pembelajaran yang dilakukan.
·
Peserta didik belajar terbuka dengan orang lain.
·
Peserta didik mampu menilai dirinya.
·
Peserta didik dapat mencari materi sendiri.
·
Peserta didik dapat berkomunikasi dengan temannya.
4. Nilai
Nilai menurut Rokeach (1968) merupakan suatu keyakinan
tentang perbuatan, tindakan, atau perilaku yang dianggap baik dan yang dianggap
buruk. Selanjutnya dijelaskan bahwa sikap mengacu pada suatu organisasi
sejumlah keyakinan sekitar objek spesifik atau situasi, sedangkan nilai mengacu
pada keyakinan.
Target nilai cenderung menjadi ide, target nilai dapat
juga berupa sesuatu seperti sikap dan perilaku. Arah nilai dapat positif dan
dapat negatif. Selanjutnya intensitas nilai dapat dikatakan tinggi atau rendah
tergantung pada situasi dan nilai yang diacu.
Definisi lain tentang nilai disampaikan oleh Tyler
(1973:7), yaitu nilai adalah suatu objek, aktivitas, atau ide yang dinyatakan
oleh individu dalam mengarahkan minat, sikap, dan kepuasan. Selanjutnya dijelaskan
bahwa manusia belajar menilai suatu objek, aktivitas, dan ide sehingga objek
ini menjadi pengatur penting minat, sikap, dan kepuasan. Oleh karenanya satuan pendidikan harus membantu peserta
didik menemukan dan menguatkan nilai yang bermakna dan signifikan bagi peserta
didik untuk memperoleh kebahagiaan personal dan memberi konstribusi positif
terhadap masyarakat.
5. Moral
Piaget dan Kohlberg banyak membahas tentang perkembangan
moral anak. Namun Kohlberg mengabaikan masalah hubungan antara judgement
moral dan tindakan moral. Ia hanya mempelajari prinsip moral seseorang melalui
penafsiran respon verbal terhadap dilema hipotetikal atau dugaan, bukan
pada bagaimana sesungguhnya seseorang
bertindak.
Moral berkaitan dengan perasaan salah atau benar terhadap
kebahagiaan orang lain atau perasaan terhadap tindakan yang dilakukan diri sendiri.
Misalnya menipu orang lain, membohongi orang lain, atau melukai orang lain baik
fisik maupun psikis. Moral juga sering dikaitkan dengan keyakinan agama
seseorang, yaitu keyakinan akan perbuatan yang berdosa dan berpahala. Jadi
moral berkaitan dengan prinsip, nilai, dan keyakinan seseorang.
Ranah afektif lain yang penting adalah:
·
Kejujuran: peserta didik harus belajar menghargai
kejujuran dalam berinteraksi dengan
orang lain.
·
Integritas: peserta didik harus mengikatkan diri pada
kode nilai, misalnya moral dan artistik.
·
Adil: peserta didik harus berpendapat bahwa semua orang
mendapat perlakuan yang sama dalam memperoleh pendidikan.
·
Kebebasan: peserta didik harus yakin bahwa negara yang
demokratis memberi kebebasan yang
bertanggung jawab secara maksimal kepada semua orang.
BAB III
PENGEMBANGAN PERANGKAT PENILAIAN AFEKTIF
A.
Pengukuran Ranah Afektif
Dalam memilih karakterisitik afektif untuk pengukuran,
para pengelola pendidikan harus mempertimbangkan rasional teoritis dan program
sekolah. Masalah yang timbul adalah bagaimana ranah afektif akan diukur. Isi
dan validitas konstruk ranah afektif tergantung pada definisi operasional yang
secara langsung mengikuti definisi konseptual.
Menurut Andersen (1980) ada dua metode yang dapat digunakan
untuk mengukur ranah afektif, yaitu metode observasi dan metode laporan diri.
Penggunaan metode observasi berdasarkan pada asumsi bahwa karateristik afektif
dapat dilihat dari perilaku atau perbuatan yang ditampilkan dan/atau reaksi
psikologi. Metode laporan diri berasumsi bahwa yang mengetahui keadaan afektif
seseorang adalah dirinya sendiri. Namun hal ini menuntut kejujuran dalam
mengungkap karakteristik afektif diri sendiri.
Menurut Lewin (dalam Andersen, 1980), perilaku seseorang
merupakan fungsi dari watak (kognitif, afektif, dan psikomotor) dan
karakteristik lingkungan saat perilaku atau perbuatan ditampilkan. Jadi
tindakan atau perbuatan seseorang ditentukan oleh watak dirinya dan kondisi
lingkungan.
B. Pengembangan
Instrumen Penilaian Afektif
Instrumen penilaian afektif meliputi lembar pengamatan sikap,
minat, konsep diri, nilai, dan moral. Ada 11 (sebelas) langkah dalam
mengembangkan instrumen penilaian afektif, yaitu:
1. menentukan spesifikasi instrumen
2. menulis instrumen
3. menentukan skala instrumen
4. menentukan pedoman penskoran
5. menelaah instrumen
6. merakit instrumen
7. melakukan ujicoba
8. menganalisis hasil ujicoba
9. memperbaiki instrumen
10. melaksanakan pengukuran
11. menafsirkan hasil pengukuran
1. Spesifikasi
instrumen
Ditinjau
dari tujuannya ada lima macam instrumen pengukuran ranah afektif, yaitu
instrumen (1) sikap, (2) minat, (3)
konsep diri, (4) nilai, dan (5) moral.
a. Instrumen sikap
Instrumen sikap
bertujuan untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap suatu objek, misalnya
terhadap kegiatan sekolah, mata pelajaran, pendidik, dan sebagainya. Sikap terhadap mata
pelajaran bisa positif bisa negatif. Hasil pengukuran sikap berguna untuk menentukan strategi pembelajaran yang
tepat.
b. Instrumen
minat
Instrumen
minat bertujuan untuk memperoleh informasi tentang minat peserta didik terhadap
mata pelajaran, yang selanjutnya digunakan untuk meningkatkan minat peserta
didik terhadap mata pelajaran.
c. Instrumen
konsep diri
Instrumen
konsep diri bertujuan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri. Peserta
didik melakukan evaluasi secara objektif terhadap potensi yang ada dalam
dirinya. Karakteristik potensi peserta didik sangat penting untuk menentukan
jenjang karirnya. Informasi kekuatan dan kelemahan peserta didik digunakan
untuk menentukan program yang sebaiknya ditempuh.
d. Instrumen
nilai
Instrumen
nilai bertujuan untuk mengungkap nilai dan keyakinan peserta didik. Informasi yang diperoleh berupa nilai dan keyakinan
yang positif dan yang negatif. Hal-hal
yang bersifat positif diperkuat sedangkan yang bersifat negatif dikurangi dan
akhirnya dihilangkan.
e. Instrumen
moral
Instrumen
moral bertujuan untuk mengungkap moral. Informasi moral seseorang diperoleh melalui pengamatan terhadap perbuatan yang ditampilkan
dan laporan diri melalui pengisian kuesioner. Hasil pengamatan dan hasil
kuesioner menjadi informasi tentang moral seseorang.
Dalam menyusun spesifikasi instrumen perlu memperhatikan
empat hal yaitu
(1) tujuan pengukuran, (2) kisi-kisi instrumen, (3) bentuk
dan format instrumen, dan (4) panjang instrumen.
Setelah menetapkan tujuan pengukuran
afektif, kegiatan berikutnya adalah menyusun kisi-kisi instrumen. Kisi-kisi
(blue-print), merupakan matrik yang berisi spesifikasi instrumen
yang akan ditulis. Langkah pertama dalam
menentukan kisi-kisi adalah menentukan definisi konseptual yang berasal
dari teori-teori yang diambil dari buku teks. Selanjutnya mengembangkan
definisi operasional berdasarkan kompetensi dasar, yaitu kompetensi yang dapat
diukur. Definisi operasional ini kemudian dijabarkan menjadi sejumlah
indikator. Indikator merupakan pedoman dalam menulis instrumen. Tiap indikator
bisa dikembangkan dua atau lebih instrumen.
2. Penulisan instrumen
Tabel 1.
Kisi-Kisi Instrumen Afektif
No
|
Indikator
|
Jumlah butir
|
Pertanyaan/Pernyataan
|
Skala
|
1
|
||||
2
|
||||
3
|
||||
4
|
||||
5
|
Penilaian ranah afektif peserta didik dilakukan dengan
menggunakan instrumen penilaian afektif sebagai berikut.
a. Instrumen sikap
Definisi konseptual: Sikap merupakan kecenderungan
merespon secara konsisten baik menyukai atau tidak menyukai suatu objek. Instrumen sikap bertujuan untuk
mengetahui sikap peserta didik terhadap suatu objek, misalnya kegiatan sekolah.
Sikap bisa positif bisa negatif. Definisi operasional: sikap adalah perasaan
positif atau negatif terhadap suatu objek. Objek bisa berupa kegiatan atau mata
pelajaran. Cara yang mudah untuk mengetahui sikap peserta didik adalah melalui
kuesioner.
Pertanyaan tentang sikap meminta responden menunjukkan
perasaan yang positif atau negatif terhadap suatu objek, atau suatu kebijakan.
Kata-kata yang sering digunakan pada pertanyaan sikap menyatakan arah perasaan
seseorang; menerima-menolak, menyenangi-tidak menyenangi, baik-buruk,
diingini-tidak diingini.
Contoh indikator sikap terhadap mata pelajaran matematika
misalnya.
§
Membaca buku
matematika
§
Mempelajari matematika
§
Melakukan interaksi dengan guru matematika
§
Mengerjakan tugas
matematika
§
Melakukan diskusi tentang matematika
§
Memiliki buku matematika
Contoh pernyataan untuk kuesioner:
§
Saya senang membaca buku
matematika
§
Tidak semua orang harus belajar matematika
§
Saya jarang
bertanya pada guru tentang
pelajaran matematika
§
Saya tidak senang pada tugas pelajaran matematika
§
Saya berusaha mengerjakan soal-soal matematika
sebaik-baiknya
§
Memiliki buku matematika penting untuk semua peserta
didik
b. Instrumen minat
Instrumen minat bertujuan untuk memperoleh informasi
tentang minat peserta didik terhadap suatu mata pelajaran yang selanjutnya
digunakan untuk meningkatkan minat peserta didik terhadap mata pelajaran
tersebut. Definisi konseptual: Minat adalah keinginan yang tersusun melalui pengalaman
yang mendorong individu mencari objek, aktivitas, konsep, dan keterampilan
untuk tujuan mendapatkan perhatian atau penguasaan. Definisi operasional: Minat
adalah keingintahuan seseorang tentang keadaan suatu objek.
Contoh indikator minat terhadap pelajaran matematika:
§
Memiliki catatan pelajaran matematika.
§
Berusaha memahami matematika
§
Memiliki buku matematika
§
Mengikuti pelajaran matematika
Contoh pernyataan untuk kuesioner:
·
Catatan pelajaran matematika saya lengkap
·
Catatan pelajaran matematika saya terdapat
coretan-coretan tentang hal-hal yang penting
·
Saya selalu menyiapkan pertanyaan
sebelum mengikuti pelajaran matematika
·
Saya berusaha memahami mata pelajaran matematika
·
Saya senang mengerjakan soal matematika.
·
Saya berusaha selalu hadir pada pelajaran matematika
c. Instrumen konsep diri
Instrumen konsep diri bertujuan untuk mengetahui kekuatan
dan kelemahan diri sendiri. Informasi kekuatan dan kelemahan peserta didik
digunakan untuk menentukan program yang sebaiknya ditempuh oleh peserta didik.
Definisi konsep: konsep diri merupakan persepsi seseorang
terhadap dirinya sendiri yang menyangkut keunggulan dan kelemahannya. Definisi
operasional konsep diri adalah pernyataan tentang kemampuan diri sendiri yang
menyangkut mata pelajaran.
Contoh indikator konsep diri:
§
Memilih mata pelajaran yang mudah dipahami
§
Memiliki kecepatan memahami mata pelajaran
§
Menunjukkan mata pelajaran yang dirasa sulit
§
Mengukur kekuatan dan kelemahan fisik
Contoh pernyataan untuk instrumen:
§
Saya sulit mengikuti pelajaran matematika
§
Saya mudah memahami bahasa Inggris
§
Saya mudah menghapal suatu konsep.
§
Saya mampu membuat karangan yang baik
§
Saya merasa sulit mengikuti pelajaran fisika
§
Saya bisa bermain sepak bola dengan baik
§
Saya mampu membuat
karya seni yang baik
§
Saya perlu waktu yang lama untuk memahami pelajaran
fisika.
d. Instrumen nilai
Nilai merupakan konsep penting dalam pembentukan kompetensi
peserta didik. Kegiatan yang disenangi peserta didik di sekolah dipengaruhi oleh
nilai (value) peserta didik terhadap kegiatan tersebut. Misalnya, ada peserta
didik yang menyukai pelajaran keterampilan dan ada yang tidak, ada yang
menyukai pelajaran seni tari dan ada yang tidak. Semua ini dipengaruhi oleh nilai
peserta didik, yaitu yang berkaitan dengan penilaian baik dan buruk.
Nilai seseorang pada dasarnya terungkap melalui bagaimana
ia berbuat atau keinginan berbuat. Nilai berkaitan dengan keyakinan, sikap dan
aktivitas atau tindakan seseorang. Tindakan seseorang terhadap sesuatu merupakan
refleksi dari nilai yang dianutnya.
Definisi konseptual: Nilai adalah keyakinan terhadap
suatu pendapat, kegiatan, atau objek. Definisi operasional nilai adalah
keyakinan seseorang tentang keadaan suatu objek atau kegiatan. Misalnya
keyakinan akan kemampuan peserta didik dan kinerja guru. Kemungkinan ada yang
berkeyakinan bahwa prestasi peserta didik sulit ditingkatkan atau ada yang
berkeyakinan bahwa guru sulit melakukan
perubahan.
Instrumen nilai bertujuan untuk mengungkap nilai dan
keyakinan individu. Informasi yang diperoleh berupa nilai dan keyakinan
yang positif dan yang
negatif. Hal-hal yang positif ditingkatkan sedang yang negatif dikurangi
dan akhirnya dihilangkan.
Contoh indikator nilai adalah:
§ Memiliki keyakinan
akan peran sekolah
§ Menyakini keberhasilan
peserta didik
§ Menunjukkan keyakinan
atas kemampuan guru.
§ Mempertahankan keyakinan
akan harapan masyarakat
Contoh pernyataan untuk kuesioner tentang nilai peserta
didik:
·
Saya berkeyakinan bahwa prestasi belajar peserta didik
sulit untuk ditingkatkan.
·
Saya berkeyakinan bahwa kinerja pendidik sudah maksimal.
·
Saya berkeyakinan bahwa peserta didik yang ikut bimbingan
tes cenderung akan diterima di perguruan tinggi.
·
Saya berkeyakinan sekolah tidak akan mampu mengubah
tingkat kesejahteraan masyarakat.
·
Saya berkeyakinan bahwa perubahan selalu membawa masalah.
·
Saya berkeyakinan bahwa hasil yang dicapai peserta didik
adalah atas usahanya.
Selain melalui
kuesioner ranah afektif peserta didik, sikap, minat, konsep diri, dan nilai
dapat digali melalui pengamatan. Pengamatan karakteristik afektif peserta didik
dilakukan di tempat dilaksanakannya kegiatan pembelajaran. Untuk mengetahui
keadaan ranah afektif peserta didik, perlu ditentukan dulu indikator substansi
yang akan diukur, dan pendidik harus mencatat setiap perilaku yang muncul dari
peserta didik yang berkaitan dengan indikator tersebut.
e. Instrumen Moral
Instrumen ini bertujuan untuk mengetahui moral peserta
didik. Contoh indikator moral sesuai dengan definisi tersebut adalah:
§
Memegang janji
§
Memiliki kepedulian terhadap orang lain
§
Menunjukkan komitmen terhadap tugas-tugas
§
Memiliki Kejujuran
Contoh pernyataan untuk instrumen moral
·
Bila saya berjanji pada teman, tidak harus menepati.
·
Bila berjanji kepada orang yang lebih tua, saya berusaha
menepatinya.
·
Bila berjanji pada anak kecil, saya
tidak harus menepatinya.
·
Bila menghadapi kesulitan, saya
selalu meminta bantuan orang lain.
·
Bila ada orang lain yang menghadapi kesulitan, saya
berusaha membantu.
·
Kesulitan orang lain merupakan tanggung jawabnya sendiri.
·
Bila bertemu teman, saya selalu menyapanya walau ia tidak
melihat saya.
·
Bila bertemu guru, saya selalu memberikan salam, walau ia
tidak melihat saya.
·
Saya selalu bercerita hal yang menyenangkan teman, walau
tidak seluruhnya benar.
·
Bila ada orang yang bercerita, saya tidak selalu
mempercayainya.
3. Skala Instrumen Penilaian
Afektif
Skala yang sering digunakan dalam instrumen penelilaian
afektif adalah Skala Thurstone, Skala Likert, dan Skala Beda Semantik.
Contoh Skala Thurstone: Minat terhadap pelajaran sejarah
7
|
6
|
5
|
4
|
3
|
2
|
1
|
|
1. Saya
senang belajar Sejarah
|
|||||||
2. Pelajaran
sejarah bermanfaat
|
|||||||
3. Saya berusaha hadir tiap ada jam pelajaran sejarah
|
|||||||
4. Saya berusaha memiliki buku pelajaran Sejarah
|
|||||||
5. Pelajaran
sejarah membosankan
|
|||||||
Dst
|
Contoh
skala Likert: Sikap terhadap pelajaran matematika
1
|
Pelajaran matematika bermanfaat
|
SS
|
S
|
TS
|
STS
|
2
|
Pelajaran matematika sulit
|
SS
|
S
|
TS
|
STS
|
3
|
Tidak semua harus belajar matematika
|
SS
|
S
|
TS
|
STS
|
4
|
Pelajaran matematika harus dibuat mudah
|
SS
|
S
|
TS
|
STS
|
5
|
Sekolah saya menyenangkan
|
SS
|
S
|
TS
|
STS
|
Keterangan:
SS : Sangat setuju
S :
Setuju
TS : Tidak setuju
STS : Sangat tidak setuju
Contoh skala beda Semantik:
Pelajaran ekonomi
a
|
b
|
c
|
d
|
e
|
f
|
g
|
||
Menyenangkan
|
Membosankan
|
|||||||
Sulit
|
Mudah
|
|||||||
Bermanfaat
|
Sia-sia
|
|||||||
Menantang
|
Menjemukan
|
|||||||
Banyak
|
Sedikit
|
4. Sistem
penskoran
Sistem penskoran yang digunakan tergantung pada skala
pengukuran. Apabila digunakan skala Thurstone, maka skor tertinggi untuk tiap
butir 7 dan skor terendah 1. Demikian
pula untuk instrumen dengan skala beda semantik, tertinggi 7 terendah 1. Untuk
skala Likert, pada awalnya skor tertinggi tiap butir 5 dan terendah 1. Dalam
pengukuran sering terjadi kecenderungan responden memilih jawaban pada
katergori tiga 3 (tiga) untuk skala Likert. Untuk menghindari hal tersebut
skala Likert dimodifikasi dengan hanya menggunakan 4 (empat) pilihan, agar jelas
sikap atau minat responden.
Skor perolehan perlu dianalisis untuk tingkat peserta
didik dan tingkat kelas, yaitu dengan
mencari rerata (mean) dan simpangan baku skor. Selanjutnya ditafsirkan
hasilnya untuk mengetahui minat masing-masing peserta didik dan minat kelas
terhadap suatu mata pelajaran.
5. Telaah instrumen
Kegiatan pada telaah instrumen adalah menelaah apakah: a)
butir pertanyaan/ pernyataan sesuai dengan indikator, b) bahasa yang digunakan
komunikatif dan menggunakan tata bahasa yang benar, c) butir peranyaaan/pernyataan tidak bias, d)
format instrumen menarik untuk dibaca, e) pedoman menjawab atau mengisi
instrumen jelas, dan f) jumlah butir
dan/atau panjang kalimat pertanyaan/pernyataan sudah tepat sehingga tidak
menjemukan untuk dibaca/dijawab.
Telaah dilakukan oleh pakar dalam bidang yang diukur dan
akan lebih baik bila ada pakar penilaian. Telaah bisa juga dilakukan oleh teman
sejawat bila yang diinginkan adalah masukan tentang bahasa dan format
instrumen. Bahasa yang digunakan adalah yang sesuai dengan tingkat pendidikan
responden. Hasil telaah selanjutnya digunakan untuk memperbaiki instrumen.
Panjang instrumen berhubungan dengan masalah kebosanan,
yaitu tingkat kejemuan dalam mengisi instrumen. Lama pengisian instrumen
sebaiknya tidak lebih dari 30 menit. Langkah pertama dalam menulis suatu
pertanyaan/ pernyataan adalah informasi apa yang ingin diperoleh, struktur
pertanyaan, dan pemilihan kata-kata.
Pertanyaan yang diajukan jangan sampai bias, yaitu mengarahkan jawaban
responden pada arah tertentu, positif atau negatif.
Contoh pertanyaan yang bias:
Sebagian besar pendidik setuju semua peserta didik yang
menempuh ujian akhir lulus. Apakah
saudara setuju bila semua peserta didik yang mengikuti ujian lulus semua?
Contoh pertanyaan yang tidak
bias:
Sebagian pendidik setuju bahwa tidak semua peserta didik
harus lulus, namun sebagian lain tidak setuju. Apakah saudara setuju bila semua
peserta didik yang menempuh ujian akhir lulus semua?
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menggunakan
kata-kata untuk suatu kuesioner, yaitu:
a.
Gunakan kata-kata yang sederhana sesuai dengan tingkat
pendidikan responden
b.
Pertanyaannya jangan samar-samar
c.
Hindari pertanyaan yang bias.
d.
Hindari pertanyaan hipotetikal atau pengandaian.
Hasil telaah instrumen digunakan untuk memperbaiki
instrumen. Perbaikan dilakukan terhadap konstruksi instrumen, yaitu kalimat
yang digunakan, waktu yang diperlukan untuk mengisi instrumen, cara pengisian
atau cara menjawab instrumen, dan pengetikan.
6. Merakit instrumen
Setelah instrumen diperbaiki selanjutnya instrumen dirakit,
yaitu menentukan format tata letak instrumen dan urutan pertanyaan/ pernyataan.
Format instrumen harus dibuat menarik dan tidak terlalu panjang, sehingga
responden tertarik untuk membaca dan mengisinya. Setiap sepuluh pertanyaan
sebaiknya dipisahkan dengan cara memberi
spasi yang lebih, atau diberi batasan garis empat persegi panjang.
Urutkan pertanyaan/pernyataan sesuai dengan tingkat kemudahan dalam menjawab
atau mengisinya.
7. Ujicoba instrumen
Setelah dirakit instrumen diujicobakan kepada responden,
sesuai dengan tujuan penilaian apakah kepada peserta didik, kepada guru atau
orang tua peserta didik. Untuk itu dipilih sampel yang karakteristiknya mewakili
populasi yang ingin dinilai. Bila yang ingin
dinilai adalah peserta didik SMA, maka sampelnya juga peserta didik SMA.
Sampel yang diperlukan minimal 30 peserta didik, bisa berasal dari
satu sekolah atau lebih.
Pada saat ujicoba yang perlu dicatat adalah saran-saran
dari responden atas kejelasan pedoman pengisian instrumen, kejelasan kalimat
yang digunakan, dan waktu yang diperlukan untuk mengisi instrumen. Waktu yang
digunakan disarankan bukan waktu saat responden sudah lelah. Selain itu
sebaiknya responden juga diberi minuman agar tidak lelah. Perlu diingat bahwa
pengisian instrumen penilaian afektif bukan merupakan tes, sehingga walau ada
batasan waktu namun tidak terlalu ketat.
Agar responden mengisi instrumen dengan akurat sesuai
harapan, maka sebaiknya instrumen dirancang sedemikian rupa sehingga waktu yang
diperlukan mengisi instrumen tidak terlalu lama. Berdasarkan pengalaman, waktu
yang diperlukan agar tidak jenuh adalah 30 menit atau kurang.
8. Analisis hasil ujicoba
Analisis hasil ujicoba meliputi variasi jawaban tiap
butir pertanyaan/ pernyataan. Jika menggunakan
skala instrumen 1 sampai 7, dan jawaban responden bervariasi dari 1 sampai 7,
maka butir pertanyaan/pernyataan pada instrumen ini dapat dikatakan baik. Namun apabila jawabannya hanya pada satu
pilihan jawaban saja, misalnya pada pilihan
nomor 3, maka butir instrumen ini tergolong tidak baik. Indikator yang
digunakan adalah besarnya daya beda. Bila daya beda butir instrumen lebih dari
0,30, butir instrumen tergolong baik.
Indikator lain yang diperhatikan adalah indeks keandalan
yang dikenal dengan indeks reliabilitas. Batas indeks reliabilitas minimal
0,70. Bila indeks ini lebih kecil dari 0,70, kesalahan pengukuran akan melebihi
batas. Oleh karena itu diusahakan agar indeks keandalan instrumen minimal 0,70.
9. Perbaikan instrumen
Perbaikan dilakukan terhadap butir-butir pertanyaan/pernyataan
yang tidak baik, berdasarkan analisis hasil ujicoba. Bisa saja hasil telaah
instrumen baik, namun hasil ujicoba empirik tidak baik. Untuk itu butir pertanyaan/pernyataan
instrumen harus diperbaiki. Perbaikan termasuk mengakomodasi saran-saran dari responden ujicoba. Instrumen sebaiknya dilengkapi dengan pertanyaan terbuka.
10. Pelaksanaan pengukuran
Pelaksanaan pengukuran perlu memperhatikan waktu dan
ruangan yang digunakan. Waktu pelaksanaan bukan pada waktu responden sudah
lelah. Ruang untuk mengisi instrumen harus memiliki cahaya (penerangan) yang
cukup dan sirkulasi udara yang baik. Tempat duduk juga diatur agar responden
tidak terganggu satu sama lain. Diusahakan agar responden tidak saling bertanya
pada responden yang lain agar jawaban kuesioner tidak sama atau homogen. Pengisian
instrumen dimulai dengan penjelasan tentang tujuan pengisian, manfaat bagi
responden, dan pedoman pengisian instrumen.
11. Penafsiran hasil pengukuran
Hasil pengukuran berupa skor atau angka. Untuk
menafsirkan hasil pengukuran diperlukan suatu kriteria. Kriteria yang digunakan
tergantung pada skala dan jumlah butir pertanyaan/pernyataan yang digunakan.
Misalkan digunakan skala Likert yang berisi 10 butir pertanyaan/ pernyataan
dengan 4 (empat) pilihan untuk mengukur sikap peserta didik. Skor untuk butir
pertanyaan/pernyataan yang sifatnya positif:
Sangat setuju - Setuju -
Tidak setuju - Sangat tidak setuju.
(4) (3) (2) (1)
Sebaliknya untuk pertanyaan/pernyataan yang bersifat
negatif
Sangat setuju - Setuju -
Tidak setuju - Sangat tidak setuju.
(1) (2) (3) (4)
Skor tertinggi untuk instrumen tersebut adalah 10 butir x
4 = 40, dan skor terendah 10 butir x 1 = 10. Skor ini dikualifikasikan misalnya
menjadi empat kategori sikap atau minat,
yaitu sangat tinggi (sangat baik), tinggi (baik), rendah (kurang), dan sangat
rendah (sangat kurang). Berdasarkan kategori ini dapat ditentukan minat atau
sikap peserta didik. Selanjutnya dapat dicari sikap dan minat kelas terhadap
mata pelajaran tertentu.
Penentuan kategori hasil pengukuran sikap atau minat
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2. Kategorisasi sikap atau minat peserta didik
untuk 10 butir pernyataan, dengan rentang skor 10 – 40.
No.
|
Skor
peserta didik
|
Kategori
Sikap atau Minat
|
1.
|
Lebih besar dari 35
|
Sangat tinggi/Sangat baik
|
2.
|
28
sampai 35
|
Tinggi/Baik
|
3.
|
20
sampai 27
|
Rendah/Kurang
|
4.
|
Kurang dari 20
|
Sangat rendah/Sangat kurang
|
Keterangan Tabel 2:
1.
Skor batas bawah
kategori sangat tinggi atau sangat baik adalah: 0,80 x 40 = 36, dan batas
atasnya 40.
2.
Skor batas bawah
pada kategori tinggi atau baik adalah:
0,70 x 40 = 28, dan skor batas
atasnya adalah 35.
3.
Skor batas bawah
pada kategori rendah atau kurang adalah: 0,50 x 40 = 20, dan skor batas atasnya adalah 27.
4.
Skor yang
tergolong pada kategori sangat rendah atau sangat kurang adalah kurang dari 20.
Tabel 3 Kategorisasi sikap
atau minat kelas
No.
|
Skor
rata-rata kelas
|
Kategori
Sikap atau Minat
|
1.
|
Lebih besar dari 35
|
Sangat tinggi/Sangat baik
|
2.
|
28
sampai 35
|
Tinggi/Baik
|
3.
|
20
sampai 27
|
Rendah/Kurang
|
4.
|
Kurang dari 20
|
Sangat rendah/Sangat kurang
|
Keterangan:
1.
Rata-rata skor kelas: jumlah skor semua peserta didik
dibagi jumlah peserta didik di kelas ybs.
2.
Skor batas bawah kategori sangat tinggi atau sangat baik
adalah: 0,80 x 40 = 36, dan batas atasnya 40.
3.
Skor batas bawah pada kategori tinggi atau baik
adalah: 0,70 x 40 = 28, dan skor batas atasnya adalah 35.
4.
Skor batas bawah pada kategori rendah atau kurang adalah:
0,50 x 40 = 20, dan skor batas atasnya
adalah 27.
5.
Skor yang tergolong pada kategori sangat rendah atau sangat
kurang adalah kurang dari 20.
Pada Tabel 2 dapat diketahui minat atau sikap tiap
peserta didik terhadap tiap mata
pelajaran. Bila sikap peserta didik tergolong rendah, maka peserta didik harus berusaha meningkatkan
sikap dan minatnya dengan bimbingan pendidik. Sedang bila sikap atau minat
peserta didik tergolong tinggi, peserta didik harus berusaha
mempertahankannya.
Tabel 3 menujukkan minat atau sikap kelas terhadap suatu
mata pelajaran. Dalam pengukuran sikap atau minat kelas diperlukan informasi
tentang minat atau sikap setiap peserta didik terhadap suatu objek, seperti
mata pelajaran. Hasil pengukuran minat kelas untuk semua mata pelajaran berguna
untuk membuat profil minat kelas. Jadi satuan pendidikan akan memiliki peta
minat kelas dan selanjutnya dikaitkan dengan profil prestasi belajar. Umumnya peserta
didik yang berminat pada mata pelajaran tertentu prestasi belajarnya untuk mata
pelajaran tersebut baik.
C. Observasi
Penilaian ranah afektif peserta didik selain menggunakan
kuesioner juga bisa dilakukan melalui observasi atau pengamatan. Prosedurnya sama, yaitu dimulai dengan penentuan definisi
konseptual dan definisi operasional. Definisi konseptual kemudian diturunkan
menjadi sejumlah indikator. Indikator ini menjadi isi pedoman observasi.
Misalnya indikator peserta didik berminat pada mata pelajaran matematika adalah
kehadiran di kelas, kerajinan dalam mengerjakan tugas-tugas, banyaknya
bertanya, kerapihan dan kelengkapan catatan. Hasil observasi akan melengkapi
informasi dari hasil kuesioner. Dengan demikian informasi yang diperoleh akan
lebih akurat, sehingga kebijakan yang
ditempuh akan lebih tepat.
BAB IV
PENUTUP
Cukup banyak ranah afektif yang
penting untuk dinilai. Namun yang perlu diperhatikan adalah kemampuan pendidik
untuk melakukan penilaian. Untuk itu pada tahap awal dicari komponen afektif
yang bisa dinilai oleh pendidik dan pada tahun berikutnya bisa ditambah ranah
afektif lain untuk dinilai.
Ranah afektif yang penting dikembangkan adalah sikap dan minat peserta
didik. Hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan instrumen afektif sebagai
berikut.
1.
Menentukan definisi konseptual atau konstruk yang akan
diukur.
2.
Menentukan definisi operasional
3.
Menentukan indikator
4.
Menulis instrumen.
Instrumen yang dibuat harus ditelaah oleh teman sejawat
untuk mengetahui keterbacaan, substansi yang ditanyakan, dan bahasa yang
digunakan. Hasil telaah digunakan untuk memperbaiki instrumen. Selanjutnya
instrumen tersebut di ujicoba di lapangan. Hasil ujicoba akan menghasilkan
informasi yang berupa variasi jawaban, indeks beda, dan indeks keandalan
instrumen. Hasil ujicoba digunakan untuk memperbaiki instrumen. Hal yang
penting pada instrumen afektif adalah besarnya indeks keandalan instrumen yang
dikatakan baik adalah minimal 0,70.
Penafsiran hasil pengukuran menggunakan
dua kategori yaitu positif atau negatif. Positif berarti minat peserta didik tinggi
atau sikap peserta didik terhadap suatu objek baik, sedang negatif berarti
minat peserta didik rendah atau sikap
peserta didik terhadap objek kurang. Demikian juga untuk instrumen yang
direncanakan untuk mengukur ranah
afektif yang lain.
DAFTAR
PUSTAKA
Allen, Mary. Yen., & Yen, Wendy. M. (1979). Introduction
measurement theory. Berkeley, California: Brooks/Cole Publishing Company.
Andersen, Lorin. W. (1981). Assessing affective characteristic
in the schools. Boston: Allyn and Bacon.
Gable, Robert. K. (1986). Instrument development in the affective
domain. Boston: Kluwer-Nijhoff Publishing.
Mueller, D. J. (1986). Measuring social attitudes. New
York: Teachers College, Columbia University.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2007
tentang Standar Pengelolaan.
Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2007
tentang Standar Penilaian Pendidikan.
Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007
tentang Standar Proses. Jakarta:
Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Direktorat
Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Robinson, John. P., & Shaver, Philip. R. (1980). Measures
of social psychological attitudes. Michigan: The Institute of Social
Research.
Sax, Gilbert. (1980). Principles of educational and
psychological measurement and evaluation. Belmont, California: Wadsworth
Publishing Company.
Straughan, R. (1989). Belief, behaviour, and education. London: Biddles Ltd. Guilfordand King’s Lynn.
Thorndike,
Robert, L., & Hagen, Elizabeth. P. (1977). Measurement and evaluation
in psychology and education. New York: John Wiley & Sons.
Traub, Ross. E. (1994). Reliability for the social sciences.
London: Sage Publications.
No comments:
Post a Comment