Al Kindi (801-873M) memiliki nama asli Abu Yusuf bin Ya’kub bin Ishaq al Kindi. Sarjana muslim asal irak ini mempelajari karya-karya filsafat Yunani, juga menyampaikan hasil buah pikiran filsafatnya yang menyangkut metafisika, kosmologi, antropologi, etika dan sebagainya. Jasanya yang terbesar adalah mengenalkan filsafat dalam perepaduan dengan prinsip-prinsip agama.
Bagi Al-Kindi, yang menganut Mu’tazilah, argumen-argumen
yang dibawa al-Qur’an lebih meyakinkan dari filsafat. Tetapi filsafat dan
Qur’an tidak bertentangan; Kebenaran yang diberikan wahyu tidak bertentangan
dengan kebenaran filsafat. Filsafat adalah pengetahuan yang benar. Agama
menerangkan tentang apa yang benar sedangkan filsafat juga demikian. Agama,
disamping menggunakan wahyu juga menggunakan akal, dan filsafat mempergunakan
akal. Wahyu ternyata tidak bertentangan dengan filsafat.
Al-Kindi membagi pengetahuan ke dalam dua
bagian. Yang pertama adalah pengetahuan yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi. Nabi
mendapatkan sama sekali tanpa kehendak dan upayanya, tapi karena kehendak dan
inisiatif Tuhan. Yang kedua, yakni pengetahuan manusiawi, adalah pengetahuan
yang dihasilkan atau diperoleh manusia atas kehendak dan upayanya. Itulah
filsafat yang pada masa itu mencakup semua pengetahuan yang diupayakan manusia.
Al-Kindi juga berpendapat bahwa kebijaksanaan
Ilahi dan Insani (agama dan filsafat) selalu berada dalam kesesuaian yang
sempurna. Apabila terjadi pertentangan maka kewajiban filsuf untuk melakukan
ta’wil, Al-Kindi sangat menganjurkan metode ta’wil, meski ulama kalam umumnya
menentang. Al-Kindi menegaskan, pengingkaran terhadap ta’wil adalah kebodohan
dan kedunguan.
Selain itu, Al Kindi berusaha memurnikan
konsep Tauhid. Dengan pemahamannya tentang tauhid tanpa kompromi, membawa Al
Kindi kepada kepercayaan Allah tanpa hakikat, tidak mempunyai sifat dalam jenis
dan dalam diferensiasi. Al-Kindi meneruskan pandangan Mu’tazilah yang tidak
percaya akan adanya sifat-sifat Tuhan – karena yang ada hanyalah zat Tuhan.
Pemurnian konsep tauhid ini dengan mensistematisasikan dari metafisika
Aristoteles tentang kemajuan, dan metafisika Plotinus tentang “yang satu”.
Adanya “yang bermacam-macam” mengandaikan adanya “yang satu” yang transeden dan
tidak terbatas. Dan asal dari keseluruhan yang bermacam-macam tersebut, tidak
lain penciptaannya dari tiada. Disinilah Al-Kindi menyimpang dari Aristoteles
dalam konsepnya tentang dunia abadi, dan masuk ke dalam ajaran al-Qur’an yang
rupanya dalam pandangan Al-Kindi lebih cocok dengan konsep emanasi (Platonik).
No comments:
Post a Comment