BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan merupakan hal yang sangat
penting dan tidak bisa lepas dari kehidupan.Dengan pendidikan bisa memajukan
kebudayaan dan mengangkat derajat bangsa di mata internasional. Pendidikan akan
sangat terasa gersang apabila tidak berhasil mencetak sumber daya manusia yang
berkualitas (baik segi spiritual, intelegensi, dan skill). Sehingga diperlukan
peningkatan mutu pendidikan supaya bangsa ini tidak tergantung pada status
bangsa yang sedang berkembang tetapi bisa menyandang predikat bangsa maju.[1]Untuk
memperbaiki kehidupan bangsa harus dimulai dari penataan dalam segala aspek
dalam pendidikan, mulai dari aspek tujuan, sarana, pembelajaran, manajerial dan
aspek lain yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap
kualitas pembelajaran.[2] Hal ini
dimaksudkan untuk mempersiapkan pendidikan yang mampu meyiapkan Sumber Daya
Manusia yang memiliki moralitas yang tinggi.
Indonesia yang mengikrarkan diri sebagai Negara yang
berketuhanan Yang Maha Esa. Maka berkewajiban untuk menanamkan nilai-nilai
ketuhanan dalam hal ini adalah nilai-nilai agama. Untuk menanamkan nilai-nilai
keagaaman maka jalan yang terbaik untuk mencapai hal tersebut adalah melalui
media pendidikan. Media pendidikan tidak hanya sebagai proses transformasi ilmu
pengetahuan dari pendidik kepada peserta didik, melainkan lebih dari itu, yaitu
merupakan proses pembudayaan nilai-nilai luhur yang selaras dengan agama dan
undang-undang, dalam rangka pencapaian tugas dan fungsi manusia yang digariskan
Allah Swt sebagai khalifah di muka bumi.
Indonesia
telah dilanda krisis akhlak (karakter) yang secara langsung atau tidak langsung
berkaitan dengan pendidikan. Krisis akhlak yang dialami bangsa saat ini
disebabkan oleh kerusakan individu-individu masyarakat yang terjadi secara
kolektif sehingga menjadi budaya. Budaya inilah yang menginternal dalam
sanubari masyarakat Indonesia dan menjadi karakter bangsa.Ironis, pendidikan
yang menjadi tujuan mulia justru menghasilkan output yang tidak diharapkan.[3]
Sehingga
budaya religius menjadi sangat penting bagi teguh dan kokohnya suatu bangsa.
Hal ini harus menjadi agenda pokok dalam setiap proses pembangunan bangsa.
Budaya religius ini bisa diaplikasikan pada penanaman nilai-nilai agama di sekolah.Untuk
mewujudkan pendidikan ini, maka penyelenggaraan pendidikan harus memperhatikan
penanaman nilai-nilai religius dalam segala aspek aktivitas belajar.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang tersebut maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apa
Pengertian Budaya Sekolah?
2. Bagaimana
Karakteristik Budaya Sekolah?
3. Apa
Peran Dari Budaya Sekolah?
4. Apa
Pengertian Budaya Religious?
5. Apa
saja nilai-nilai
akhlak yang dikembangkan di madrasah/sekolah?
6. Bagaimana
cara membangun budaya sekolah yang religious?
7. Bagaimana peran
guru dalam mengembangkan budaya yang relegius?
8. Bagaimana
pentingnya pendidikan agama menjadi
budaya?
9. Bagaimana strategi penerapan budaya?
1.3 Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah
tersebut, diharapkan makalah ini dapat memenuhi tujuantujuan sebagai berikut
1. Untuk
mengetahui pengertian budaya sekolah
2. Untuk
mengetahui karakteristik budaya sekolah
3. Untuk
mengetahui peran dari budaya sekolah
4. Untuk
mengetahui Pengertian budaya religious
5. Mengetahui
nilai-nilai akhlak yang dikembangkan di madrasah/sekolah
6. Mengetahui cara
membangun budaya sekolah yang religious
7. Mengetahui
peran guru dalam mengembangkan budaya yang relegius
8. Mengetahui pentingnya pendidikan agama menjadi budaya
9. Mengetahui strategi penerapan budaya
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Budaya Sekolah
Menurut
Delan & Peterson, dalam Rahmat & Edie Suharto, yang dikutip oleh
Muhaimin menyebutkan bahwa budaya sekolah adalah sekumpulan nilai yang
melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan symbol-simbol yang
dipraktikkan oleh kepala sekolah, guru, petugas administrasi, peserta didik, dan
masyarakat sekitar sekolah.[4]
Lebih
lanjut dijelaskan, bahwa budaya sekolah merupakan seluruh pengalaman psikolosi
para peserta didik baik yang bersifat sosial, emosional, maupun intelektual
yang diserap oleh mereka selama berada dalam lingkungan sekolah. [5]
Budaya
sekolah/madrasah merupakan sesuatu yang dibangun dari hasil pertemuan antara
nilai-nilai (values) yang dianut oleh kepala sekolah/madrasah sebagai pemimpin
dengan nilai-nilai yang dianut oleh guru-guru dan para karyawan yang ada dalam
sekolah/madrasah tersebut. Pertemuan pikiran-pikiran tersebut kemudian
menghasilkan apa yang disebut dengan “pikiran organisasi”. Dari pikiran
organisasi inilah kemudain muncul dalam bentuk nilai-nilai yang diyakini
bersama, dan kemudian nilai-nilai tersebut akan menjadi bahan utama pembentuk
budaya sekolah/madrasah. Dari budaya tersebut muncul dalam berbagai symbol dan
tindakan yang kasat indra yang dapat diamati dan dirasakan dalam kehidupan
sekolah/madrasah.[6]
Pendapat
lain tentang budaya sekolah juga dikemukakan oleh Schein, bahwa budaya sekolah
adalah suatu pola asumsi dasar hasil invensi, penemuan atau pengembangan oleh
suatu kelompok tertentu saat ia belajar mengatasi masalah-masalah yang telah
berhasil baik serta dianggap valid, dan akhirnya diajarkan ke warga baru
sebagai cara-cara yang benar dalam memandang, memikirkan, dan merasakan
masalah-masalah tersebut. ( Schein , 2010 )
Pandangan lain tentang budaya sekolah dikemukakan oleh Zamroni ( 2011 ) bahwa budaya sekolah adalah merupakan suatu pola asumsi-asumsi dasar, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan yang dipegang bersama oleh seluruh warga sekolah, yang diyakini dan telah terbukti dapat dipergunakan untuk menghadapi berbagai problem dalam beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan melakukan integrasi internal, sehingga pola nilai dan asumsi tersebut dapat diajarkan kepada anggota dan generasi baru agar mereka memiliki pandangan yang tepat bagaimana seharusnya mereka memahami, berpikir, merasakan dan bertindak menghadapi berbagai situasi dan lingkungan yang ada ( Zamroni, 2011: 297 ).
Pandangan lain tentang budaya sekolah dikemukakan oleh Zamroni ( 2011 ) bahwa budaya sekolah adalah merupakan suatu pola asumsi-asumsi dasar, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan yang dipegang bersama oleh seluruh warga sekolah, yang diyakini dan telah terbukti dapat dipergunakan untuk menghadapi berbagai problem dalam beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan melakukan integrasi internal, sehingga pola nilai dan asumsi tersebut dapat diajarkan kepada anggota dan generasi baru agar mereka memiliki pandangan yang tepat bagaimana seharusnya mereka memahami, berpikir, merasakan dan bertindak menghadapi berbagai situasi dan lingkungan yang ada ( Zamroni, 2011: 297 ).
2.2 Karakteristik
Budaya Sekolah
Kehidupan
selalu berubah. Dalam pertumbuhan dan perkembangan anak mengalami
perubahan. Perubahan-perubahan itu dapat terjadi karena pengaruh lingkungan dan
pendidikan. Pengaruh lingkungan yang kuat adalah di sekolah karena besar
waktunya di sekolah. Sekolah memegang peranan penting dan strategis dalam
mengubah, memodifikasi, dan mentransformasikan ilmu pengetahuan, teknologi, dan
keterampilan yang berhubungan dengan kebutuhan anak untuk hidup di masyarakat
sesuai dengan tuntutan jamannya.
Studi terhadap sekolah-sekolah yang berhasil atau efektif dapat diperoleh gambaran bahwa mereka mempunyai lima karakteristik umum seperti yang diungkapkan oleh Steven dan Keyle (editor) (1985) sebagai berikut :
Studi terhadap sekolah-sekolah yang berhasil atau efektif dapat diperoleh gambaran bahwa mereka mempunyai lima karakteristik umum seperti yang diungkapkan oleh Steven dan Keyle (editor) (1985) sebagai berikut :
a. Sekolah
memiliki budaya sekolah yang kondusif
b. Adanya
harapan antara para guru bahwa semua siswa dapat sukses
c. Menekankan
pengajaran pada penguasaan ketrampilan
d. Sistem
tujuan pengajaran yang jelas bagi pelaksanaan monitoring dan penilaian
keberhasilan kelas
e. Prinsip-prinsip
sekolah yang kuat sehingga dapat memelihara kedisiplinan siswa
Penciptaan
budaya sekolah dapat dilakukan melalui :
a. Pemahaman
tentang budaya sekolah
b. Pembiasaan
pelaksanaan budaya sekolah
c. Reward
and punishment
2.3 Peran Budaya
Sekolah
Dalam terminologi
kebudayaan, pendidikan yang berwujud dalam bentuk lembaga atau instansi sekolah
dapat dianggap sebagai pranata sosial yang di dalamnya berlangsung interaksi
antara pendidik dan peserta didik sehingga mewujudkan suatu sistem nilai atau
keyakinan,dan juga norma maupun kebiasaan yang di pegang bersama. Pendidikan
sendiri adalah suatu proses budaya. Masalah yang terjadi saat ini adalah nilai-nilai
yang mana yang seharusnya dikembangkan atau dibudayakan dalam proses pendidikan
yang berbasis mutu itu. Dengan demikian sekolah menjadi tempat dalam
mensosialisasikan nilai-nilai budaya yang tidak hanya terbatas pada nilai-nilai
keilmuan saja, melainkan semua nilai-nilai kehidupan yang memungkinkan mampu
mewujudkan manusia yang berbudaya. Djemari (2003) membagi karekteristik peran
kultur sekolah berdasarkan sifatnya dapat dibedakan menjadi tiga yakni :
1. Bernilai
Strategis
Budaya yang dapat
berimbas dalam kehidupan sekolah secara dinamis. Misalnya memberi peluang pada
warga sekolah untuk bekerja secara efisien, disiplin dan tertib. Kultur sekolah
merupakan milik kolektif bukan milik perorangan, sehingga sekolah dapat
dikembangkan dan dilakukan oleh semua warga sekolah.
2. Memiliki
Daya Ungkit
Budaya
yang memliki daya gerak akan mendorong semua warga sekolah untuk berprestasi,
sehingga kerja guru dan semangat belajar siswa akan tumbuh karena dipacu dan di
dorong, dengan dukungan budaya yang memiliki daya ungkit yang tinggi. Misalnya
kinerja sekolah dapat meningkat jika disertai dengan imbalan yang pantas,
penghargaan yang cukup, dan proporsi tugas yang seimbang. Begitu juga dengan
siswa akan meningkat semangat belajranya, bila mereka diberi penghargaan yang
memadai, pelayanan yang prima, serta didukung dengan sarana yang memadai.
3. Berpeluang
Sukses
Budaya
yang berpeluang sukses adalah budaya yang memiliki daya ungkit dan memiliki
daya gerak yang tinggi. Hal ini sangat penting untuk menumbuhkan rasa
keberhasilan dan rasa mampu untuk melaksanakan tugas dengan baik. Misalnya
budaya gemar membaca. Budaya membaca di kalangan siswa akan dapat mendorong
mereka untuk banyak tahui tentang berbagai macam persoalan yang mereka pelajari
di lingkungan sekolah. Demikian juga bagi guru mereka semakin banyak
pengetahuan yang diperolah, tingkat pemahaman semakin luas, semua ini dapat
berlangsung jika disertai dengan kesadaran, bahwa mutu/ kualitas yang akan
menentukan keberhasilan seseorang.
2.4 Budaya Religius
Budaya
religius dalam sekolah/madrasah adalah segala norma, nilai, aturan, kegiatan,
perilaku dan bahkan asumsi dasar yang dibentuk dan dibiasakan oleh pendidik
untuk disampaikan kepada peserta didik yang berlandaskan pada Al-Qur‟an dan
AlHadits.
Dalam
lingkungan sekolah, maka budaya yang dikembangkan adalah berdasarkan pada
kurikulum PAI yang digunakan di sekolah/madrasah. Sehingga kurikulum itu tidak
hanya sebagai bukti fisik pembelajaran, namun juga diimplementasikan pada
proses pembelajaran.
Pada
prinsipnya tujuan dari pembelajaran sebagaimana diungkapkan oleh Ahmad Tafsir
adalah knowing, doing, dan being.[7]Knowing
dimaksudkan adalah bahwa tugas guru adalah mengajarkan kepada siswa/peserta
didik untuk mengetahui konsep. Sedangkan doing
adalah agar peserta didik mampu untuk melaksanakan atau mengerjakan yang ia
ketahui. Dan being adalah agar
setelah siswa/peserta didik mengetahui, dan melaksanakan pengetahuannya, maka
berikutnya adalah dua hal tersebut menjadi bagian dari dirinya.
Salah
satu proses yang luas dikenal mengenai pendidikan dengan media kebudayaan
adalah proses transmisi kebudayaan. Sebagaimana dikutip Tilaar yaitu pendapat
Fortes mengenai unsur-unsur transmisi kebudayaan yaitu: 1) Unsur-unsur yang
ditransmisi, 2) proses transmisi, dan 3) cara transmisi.[8]
Dalam
transmisi kebudayaan, lembaga pendidikan hendaknya menentukan unsur-unsur apa
yang akan ditransmisikan. Sebagai contoh adalah nilai-nilai budaya, adat-istiadat
masyarakat, pegangan mengenai hidup serta berbagai konsep hidup lainnya dalam masyarakat.
Dengan menentukan unsur-unsur yang akan ditransmisikan pada peserta didik, para
pendidik dapat menentukan hal-hal yang
terkait dalam proses pembelajaran di kelas ataupun di luar kelas. Dengan
harapan, pendidik menjadi media bagi transformasi budaya.
Diantara
proses transmisi yang sering kita dengar adalah imitasi, identifikasi dan
sosialisasi. Pada perjalanannya unsur-unsur tersebut tidak berjalan dengan
sendirinya, namun perlu ada pendidik yang menyatakan dan melakukannya, sehingga
perbuatan tersebut diimitasi oleh peserta didik. Kemudian perbuatan tersebut
diimitasi, maka peserta didik melakukannya berulang-ulang untuk kemudian
mengidentifikasi manfaat bagi dirinya dan apabila dalam pengulangan tersebut
memiliki makna dalam asumsi dasarnya maka yang demikian itu menjadi bagian dari
dirinya. Sedangkan sosialisasi adalah proses menyampaikan unsur-unsur yang
dilakukan oleh pihak sekolah/madrasah akan budaya sekolah yang ingin
dibangunnya.
Lalu
untuk mentransmisikan dalam tiga hal tersebut terdapat dua pendekatan yaitu
peran-serta dan bimbingan.[9]Peran-serta disini
dimaksudkan keikutsertaan dalam kegiatan sehari-hari di dalam lingkungan
sekolah atau masyarakat. Sedangkan bimbingan dapat dilakukan berupa instruksi,
persuasi, rangsangan dan bahkan hukuman.
Pada
prinsipnya melalui pembelajaran di kelas ataupun di luar kelas tidak pernah
bebas nilai, artinya dimanapun dapat dilakukan transmisi nilai. Demikian itu
adalah sebagaimana pendapat Thomas yang dikutip Muhaimin, “Schools can never be
free of values. Transmitting values to students occurs implicity through the
content and materials to which students are exposed as a part of the formal
curriculum as well asa through the hidden curriculum”.[10] Dari pendapat tersebut,
dapat dipahami bahwa dalam kondisi apapun sekolah/madrasah memiliki kesempatan
untuk mentransmisikan nilai-nilainya baik itu melalui kurikulum pokok, atau
bahkan hidden kurikulum
2.5
Nilai-nilai Akhlak yang Dikembangkan di Madrasah/Sekolah
Jenjang Pendidikan Dasar (SD/MI)
No
|
Nilai/ akhlak yang dikembangkan
|
1
|
Terbiasa berperilaku bersih, jujur
dan kasih sayang, tidak kikir, malas, bohong, serta terbiasa dengan etika
belajar, makan dan minum
|
2
|
Berperilaku rendah hati, rajin,
sederhana, dan tidak iri hati, pemarah, ingkar janji,serta hormat kepada
orang tua dan mempraktekan etika mandi dan buang air,
|
3
|
Tekun, peraya, dan tidak boros.
|
4
|
Tidak hidup boros dan hormat
kepada tetangga.
|
5
|
Terbiasa hidup disiplin, hemat,
tidak lalai, serta suka tolong menolong.
|
6
|
Bertanggungjawab dan selalu menjalin
silaturrahmi.
|
Jenjang Pendidikan Dasar (SMP/MTS)
No
|
Nilai/ akhlak yang dikembangkan
|
1
|
Berhati lembut, bekerja keras,
tekun dan ulet, dinamis, total dan produktif, sabar dan tawakal serta loyal,
terbiasa beretika baik dalam perilaku sehari-hari.
|
2
|
Terbiasa berpikir kritis,
sederhana, sportif, dan bertanggungjawab.
|
3
|
Terbiasa berperlaku qonaah,
toleran, peduli terhadap lingkungan dan budaya serta tidak sombong, tidak
merusak, tidak nifak dan beretika baik dalam pergaulan.
|
Jenjang Pendidikan Menengah (SMA/MA)
No
|
Nilai/ akhlak yang dikembangkan
|
1
|
Terbiasa khusnuzan, terbuka,
hati-hati, gigih, berinisiatif, rela berkorban dan tidak terbiasa suudzon
terhadap Allah, tidaktamak dan hasud, tidak riya, tidak aniaya, serta
terbiasa berpakaian dan berhias yang sopan dan menghormati tamu.
|
2
|
Terbiasa bertobat, roja, optimis,
dinamis, lugas, berpikir kritis, demokratis, mengendalikan diri, tidak
melanggar HAM, dan menghormati hasil karya orang lain dan kaum lemah.
|
3
|
Terbiasa berperilaku ridha,
produktif, obyektif, rasional. Dan dapat berinteraksi serta bersosialisasi
dalam kehidupan plural berdasarkan etika islam.
|
Sumber : Kendali Mutu PAI Depag RI
2003[11]
2.6
Cara Membangun Budaya Sekolah yang Religius
- Bentuk Kegiatan Menumbuhkan
Budaya Keberagamaan (Religious Culture)
Kegiatan-kegiatan yang dapat menumbuhkan budaya keberagamaan
(religious culture) di lingkungan sekolah antara lain pertama, melakukan
kegiatan rutin, yaitu pengembangan kebudayaan keberagamaan secara rutin
berlangsung pada hari-hari belajar biasa di sekolah. Kegiatan rutin ini
dilakukan dalam kegiatan sehari-hari yang terintegrasi dengan kegiatan yang
telah diprogramkan, sehingga tidak memerlukan waktu khusus. Pendidikan agama
merupakan tugas dan tanggung jawab bersama bukan hanya guru agama saja
melainkan juga tugas dan tanggung jawab guru-guru bidang studi lainnya atau
sekolah. Pendidikan agama pun tidak hanya terbatas pada aspek pengetahuan,
tetapi juga meliputi pembentukan sikap, perilaku, dan pengalaman keagamaan.
Untuk itu pembentukan sikap, perilaku, dan pengalaman keagamaan pun tidak hanya
dilakukan oleh guru agama, tetapi perlu didukung oleh guru-guru bidang studi
lainnya.
Kedua menciptakan lingkungan sekolah yang mendukung dan menjadi
laboratorium bagi penyampaian pendidikan agama, sehingga lingkungan dan proses
kehidupan semacam ini bagi para peserta didik benar-benar bisa memberikan
pendidikan tentang caranya belajar beragama. Dalam proses tumbuh kembangnya
peserta didik dipengaruhi oleh lingkungan sekolah, selain lingkungan keluarga
dan lingkungan masyarakat. Suasana lingkungan sekolah dapat menumbuhkan budaya
keberagamaan (religious culture). Sekolah mampu menanamkan sosialisasi dan
nilai yang dapat menciptakan generasi-generasi yang berkualitas dan berkarakter
kuat, sehingga menjadi pelaku-pelaku utama kehidupan di masyarakat. Suasana
lingkungan sekolah ini dapat membimbing peserta didik agar mempunyai akhlak
mulia, perilaku jujur, disiplin dan semangat sehingga akhirnya menjadi dasar
untuk meningkatkan kualitas dirinya.
Ketiga, pendidikan agama tidak hanya disampaikan secara
formal oleh guru agama dengan materi pelajaran agama dalam suatu proses
pembelajaran, namun dapat pula dilakukan di luar proses pembelajaran dalam
kehidupan sehari-hari. Guru bisa memberikan pendidikan agama secara spontan
ketika menghadapi sikap atau perilaku peserta didik yang tidak sesuai dengan
ajaran agama. Manfaat pendidikan secara spontan ini menjadikan peserta didik
langsung mengetahui dan menyadari kesalahan yang dilakukannya dan langsung pula
mampu memperbaikinya. Manfaat lainnya dapat dijadikan pelajaran atau hikmah
oleh peserta didik lainnya, jika perbuatan salah jangan ditiru, sebaliknya jika
ada perbuatan yang baik harus ditiru.
Keempat, menciptakan situasi atau keadaan keberagamaan.
Tujuannya untuk mengenalkan kepada peserta didik tentang pengertian agama dan
tata cara pelaksanaan agama tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu
juga menunjukkan pengembangan kehidupan keberagamaan di sekolah yang tergambar
dari perilaku sehari-hari dari berbagai kegiatan yang dilakukan oleh guru dan
peserta didik. Oleh karena itu keadaan atau situasi keagamaan di sekolah yang
dapat diciptakan antara lain pengadaan peralatan peribadatan seperti tempat
untuk shalat (masjid atau mushalla), alat-alat shalat seperti sarung, peci,
mukena, sajadah atau pengadaan Al Quran. Selain itu di ruangan kelas bisa pula
ditempelkan kaligrafi, sehingga peserta didik dibiasakan selalu melihat sesuatu
yang baik. Selain itu dengan menciptakan suasana kehidupan keagamaan di sekolah
antara sesama guru, guru dengan peserta didik, atau peserta didik dengan
peserta didik lainnya. Misalnya, dengan mengucapkan kata-kata yang baik ketika
bertemu atau berpisah, mengawali dan mengakhiri suatu kegiatan, mengajukan
pendapatan atau pertanyaan dengan cara yang baik, sopan, santun tidak
merendahkan peserta didik lainnya, dan sebagainya.
Kelima memberikan kesempatan kepada peserta didik
sekolah/madrasah untuk mengekspresikan diri, menumbuhkan bakat, minat dan
kreativitas pendidikan agama Islam dalam keterampilan dan seni, seperti membaca
Al Quran, adzan, sari tilawah, serta untuk mendorong peserta didik sekolah
mencintai kitab suci, dan meningkatkan minat peserta didik untuk membaca,
menulis serta mempelajari isi kandungan Al Quran. Dalam membahas suatu materi
pelajaran agar lebih jelas guru hendaknya selalu diperkuat oleh nas-nas
keagamaan yang sesuai berlandaskan pada Al Quran dan Hadits Rasulullah saw.
Tidak hanya ketika mengajar saja tetapi dalam setiap kesempatan guru harus
mengembangkan kesadaran beragama dan menanamkan jiwa keberagamaan yang benar.
Guru memperhatikan minat keberagaman peserta didik. Untuk itu guru harus mampu
menciptakan dan memanfaatkan suasana keberagamaan dengan menciptakan suasana
dalam peribadatan seperti shalat, puasa dan lain-lain.
Keenam, menyelenggarakan berbagai macam perlombaan seperti
cerdas cermat untuk melatih dan membiasakan keberanian, kecepatan, dan
ketepatan menyampaikan pengetahuan dan mempraktekkan materi pendidikan agama
Islam. Mengadakan perlombaan adalah sesuatu yang sangat menyenangkan bagi
peserta didik, membantu peserta didik dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang
bermanfaat, menambah wawasan dan membantu mengembangkan kecerdasan serta
menambahkan rasa kecintaan. Perlombaan bermanfaat sangat besar bagi peserta
didik berupa pendalaman pelajaran yang akan membantu mereka untuk mendapatkan
hasil belajar secara maksimal. Perlombaan dapat membantu para pendidik dalam
mengisi waktu kekosongan waktu peserta didik dengan sesuatu yang bermanfaat
bagi mereka dan pekelahian pelajar dapat dihindarkan. Dari perlombaan ini
memberikan kreativitas kepada peserta didik dengan menanamkan rasa percaya diri
pada mereka agar mempermudah bagi peserta didik untuk memberikan pengarahan
yang dapat mengembangkan kreativitasnya. Nilai-nilai yang terkandung dalam
perlombaan itu antara lain adanya nilai pendidikan di mana peserta didik
mendapatkan pengetahuan, nilai sosial, yaitu peserta didik bersosialisasi atau
bergaul dengan yang lainnya, nilai akhlak yaitu dapat membedakan yang benar dan
yang salah, seperti adil, jujur, amanah, jiwa sportif, mandiri. Selain itu ada
nilai kreativitas dapat mengekspresikan kemampuan kreativitasnya dengan cara
mencoba sesuatu yang ada dalam pikirannya.
Salah satu contoh perlombaan adalah lomba berpidato. Peserta
didik diberikan kesempatan berpidato untuk melatih dan mengembangkan keberanian
berkomunikasi secara lisan dengan menggunakan teks atau tanpa teks menyampaikan
pesan-pesan Islami. Menjadi ahli pidato yang efektif menuntut para peserta
didik mengembangkan kemampuannya untuk berkomunikasi secara efektif dan penuh
percaya diri, serta mampu merumuskan dan mengkomunikasikan pendapat dan gagasan
di dalam berbagai kesempatan dan keadaan. Peserta didik diharapkan mampu
mendakwahkan ajaran agama yang benar sesuai dengan hukum-hukum agama, tidak
sebaliknya berpidato atau berkomunikasi yang merendahkan agama.
Ketujuh, diselenggarakannya aktivitas seni, seperti seni
suara, seni musik, seni tari, atau seni kriya. Seni adalah sesuatu yang berarti
dan relevan dalam kehidupan. Seni menentukan kepekaan peserta didik dalam
memberikan ekspresi dan tanggapan dalam kehidupan. Seni memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk mengetahui atau menilai kemampuan akademis, sosial,
emosional, budaya, moral dan kemampuan pribadinya lainnya untuk pengembangan
spiritual rokhaninya. Untuk itu pendidikan seni perlu direncanakan dengan baik
agar menjadi pengalaman kreatif yang jelas tujuannya. Melalui pendidikan seni,
peserta didik memperoleh pengalaman berharga bagi dirinya, mengekspresikan
sesuatu tentang dirinya dengan jujur dan tidak dibuat-buat. Untuk itu, guru
harus mampu menyadarkan peserta didik untuk menemukan ekspresi dirinya. Melalui
pendidikan seni peserta didik dilatih untuk mengembangkan bakat, kreatifitas,
kemampuan, dan keterampilan yang dapat ditransfer pada kehidupan. Melalui seni
para peserta didik akan memperoleh pengalaman dan siap untuk memahami dirinya
sendiri secara mandiri. Peserta didik yang mandiri mampu memahami gaya belajar
mereka sendiri, disiplin dalam belajar bukan karena tekanan pihak lain,
sehingga mereka mampu mengenali, mengidentifikasi dan memahami kekuatan dan
kelemahan kemampuannya mengembangkan bakat dan minatnya. Selain itu juga untuk
menghadapi berbagai tantangan, baik dalam belajar maupun dalam kehidupan yang
dijalaninya sehari-hari. Peserta didik dikondisikan agar mampu
mengkomunikasikan apa yang dilihat, didengar, diketahui, atau dirasakannya.
Peserta didik mampu membuat dan mengembangkan perasaan, imajinasi, dan gagasan
secara ekspresif agar menjadi hidup yang berguna bagi pengembangan diri.
Pembelajaran seni di sekolah memiliki kontribusi dalam sikap
belajar seumur hidup (life long learning). Selama waktu belajar di sekolah atau
di luar waktu belajar, peserta didik diharapkan selalu melakukan aktivitas seni
untuk mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilannya. Oleh karena itu,
kurikulum pendidikan seni pada dasarnya dirancang untuk membantu peserta didik
untuk belajar seumur hidup dengan memiliki pengetahuan, pemahaman, pemikiran,
atau komunikasi yang efektif. Melalui pelajaran seni di sekolah, para peserta
didik dilibatkan untuk menciptakan dan mengekspresikan gagasan dan perasaan
dalam bentuk ucapan, tulisan, pendengaran atau gerakannya.
Salah satu bidang seni yang diselenggarakan adalah seni
nasyid. Nasyid adalah seni vocal yang kadang-kadang dilengkapi dengan alat
music. Tujuan nasyid antara lain untuk melatih dan mengembangkan keberanian,
penjiwaan, keindahan, keserasian dan kemampuan mengaransemen seni modern yang
islami. Nasyid mengembangkan kemampuan untuk berfikir dan mengeksresikan diri
dalam bentuk vokal atau bunyi-bunyian alat-alat musik. Peserta didik belajar
untuk menginterpretasikan atau mengekspresikan emosi atau jiwa spiritual di
dalam bernyanyi atau bermusik. Dengan bernyanyi atau bermusik peserta didik
mendapatkan kepuasan lahir dan bathinnya sehingga menjadi landasan yang baik
untuk meningkatkan semangat belajarnya. Nasyid biasanya berisikan lagu-lagu
atau syair syair manis berupa pujian yang menyenangkan perasaan atau
hati. Nasyid ini dapat dijadikan cara yang cukup efektif untuk membantu peserta
didik dalam memahami berbagai persoalan, seperti tentang kehidupan, rasa cinta
kepada sesama manusia atau kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan sebagainya. Nasyid
dengan menggunakan bahasa dan intonasi yang mudah dipahami mempunyai pengaruh
yang baik bagi pertumbuhan jiwa dan bahasa peserta didik. Apalagi kalau
disertai dengan gerakan-gerakan yang mudah untuk dilakukan. Serasinya antara
suara dengan gerakan atau antara lagu/syair-syair dengan gerakan-gerakan yang
mengikutinya dapat menyenangkan perasaan dan menenangkan hati peserta didik.
- Budaya Keberagamaan dengan
Kecakapan Hidup
Pembelajaran yang menekankan pada kebudayaan keberagamaan
bisa dilakukan dengan menerapkan pendekatan kecakapan hidup (life skill).
Manfaat atau dampak yang positif kecakapan hidup bagi peserta didik antara lain
dalam kecakapan personal yang diperoleh peserta didik dapat menumbuhkan
keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai pondasi dalam
membentuk dan mengembangkan akhlak mulia, rasa percaya diri, kemandirian, harga
diri, dan kasih sayang kepada orang lain. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
yaitu berkaitan keyakinan terhadap agama atau kepercayaan, pengabdian dan
ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan yang menciptakan semua makhluk
hidup dan alam semesta. Peserta didik pun diarahkan agar menjadi manusia yang
memiliki akhlak mulia, yaitu memiliki atau menunjukkan ciri-ciri karakter
akhlak mulia, seperti kejujuran, kesalehan, kesabaran, keberanian,
kedermawanan, atau kehormatan, kasih sayang, hormat, toleran, pemberi maaf,
rendah hati, dan baik hati.
Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta
didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut
pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan,
kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan. Memiliki
posisi sentral berarti kegiatan pembelajaran berpusat pada peserta didik.[12]
2.7 Peran Guru dalam Mengembangkan Budaya
yang Relegius
Guru
untuk membangun generasi baru yang bermoral dan berprilaku jujur, mulia dan
bermartabat demi masa depan bangsa dan negara melalui proses pendidikan,
tentunya tidak lepas dari suasana religius yang diciptakan di semua lembaga
pendidikan, akan tetapi sampai dimana kesungguhan suatu lembaga dan peran guru
yang memiliki kepribadian luhur untuk menciptakan suasana yang religius di
lingkungan pendidikan. Penciptaan suasana religius di sekolah dimulai dengan
mengadakan berbagai kegiatan keagamaan yang pelaksanaannya ditempatkan di
lingkungan sekolah, adanya kebutuhan ketenangan batin, persaudaraan serta
silaturrahmi diantara warga sekolah, hal ini tidaklah luput dari peran guru
yang memberikan santapan jiwa dengan ilmu, pembinaan akhalq mulia, dan
meruluskan perilakunya yang buruk bagi anak didiknya.
Meningkatkan
kualitas dan taraf hidup untuk mewujudkan realisasi diri dan pemenuhan diri
(self realization/Fulfillment) merupakan bagian dari peristiwa budaya. Proses
penemuan identitas pribadi, harga diri, martabat dan prakarsa maupun kemampuan
diri untuk berdiri sendiri dan penggalakan kreatifitas merupakan unsur
terpenting dalam menciptakan tatanan masyarakat yang sustainable.[13]
Pendidikan
agama menyangkut tiga aspek, yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Ini
berarti bahwa pendidikan agama bukan hanya sekedar memberi pengetahuan tentang
keagamaan, melainkan justru yang lebih utama adalah membiasakan anak taat dan
patuh menjalankan ibadat dan berbuat serta bertingkah laku di dalam
kehidupannya sesuai dengan norma-norma yang telah ditetapkan dalam agama
masing-masing.
Keberagamaan
atau religiusitas dapat diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia yang
tidak hanya melakukan ritual (beribadah) tapi juga ketika melakukan aktivitas
lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya yang berkaitan
dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat dengan mata, tetapi juga
aktivitas yang tidak tampak dan terjadi didalam hati seseorang.[14]
Dalam
meningkatkan religiusitas pada diri siswa tentunya diperlukan sebuah tahapan
dalam meningkatkan keimanan dan ketakwaan pada Allah Swt. Tahapan-tahapan
peningkatan religiusitas anak dibutuhkan keterlibatan keluarga (orang tua),
sekolah, dan masyarakat.Dukungan yang maksimal dari keluarga (orang tua) dan
lingkungan masyarakat dalam penerapan nilai-nilai agama sangat menentukan
tingkat keberhasilan religiusitas anak dalam kehidupan sehari-hari. Artinya
religiusitas tidak hanya diserahkan sepenuhnya pada sekolah sebagai lembaga
pendidikan formal, akan tetapi diperlukan dukungan keluarga dan lingkungan
masyarakat.
Pendidikan
Agama Islam di sekolah bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan
melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengamalan serta
pengalaman peserta didik tentang agama Islam, sehingga menjadi manusia muslim
yang berkembang dalam hal keimanan, ketakwaannya, berbangsa dan bernegara,
serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.[15]
Proses internalisasi nilai-nilai agama ini akan terwujud jika dalam sekolah ada
sebuah pembiasan yang dilakukan oleh masyarakat sekolah. Dari pembiasaan yang
dilakukan diharapkan akan membentuk karakter siswa yang religius.
Budaya
sekolah ini merupakan seluruh pengalaman psikologis para peserta didik baik
yang bersifat sosial, emosional, maupun intelektual yang diserap oleh mereka
selama berada dalam lingkungan sekolah. Respon psikologis keseharian peserta
didik terhadap hal-hal seperti cara-cara guru dan personil sekolah lainnya bersikap
dan berprilaku (layanan wali kelas dan tenaga administratif), implementasi
kebijakan sekolah, kondisi dan layanan warung sekolah, penataan keindahan,
kebersihan, dan kenyamanan lingkungan sekolah, semuanya membentuk budaya
sekolah. Semuanya itu akan merembes pada penghayatan psikologis warga sekolah
termasuk peserta didik, yang pada gilirannya membentuk pola nilai, sikap,
kebiasaan, dan perilaku.[16]
2.8 Pentingnya Pendidikan Agama Menjadi Budaya
Ada
beberapa alasan mengenai perlunya Pendidikan Agama Islam dikembangkan menjadi
budaya sekolah, yaitu :
1. Orang tua memiliki hak progretif untuk memilih sekolah bagi
anak-anaknya, sekolah berkualitas semakin dicari, dan yang mutunya rendah akan
ditinggalkan. Ini terjadi hampir disetiap kota di Indonesia. Di era globalisasi
ini sekolah-sekolah yang bermutu dan memberi muatan agama lebih banyak menjadi
pilihan pertama bagi orang tua di berbagai kota. Pendidikan keagamaan tersebut
untuk menangkal pengaruh yang negatif di era globalisasi.
2. Penyelengaraan pendidikan di sekolah (negeri dan swasta) tidak
lepas dari nilai-nilai, norma perilaku, keyakinan maupun budaya. Apalagi
sekolah yang diselenggarakan oleh yayasan Islam.
3. Selama ini banyak orang mepersepsi prestasi sekolah dilihat dari
dimensi yang tampak, bisa diukur dan dikualifikasikan, terutama perolehan nilai
UNAS dan kondisi fisik sekolah. Padahal ada dimensi lain, yaitu soft, yang
mencakup : Nilai-nilai (value), keyakinan (belief), budaya dan
norma perilaku yang disebut sebagai the human side of organization (sisi/aspek
manusia dari organisasi) yang justru lebih berpengaruh terhadap kinerja
individu dan organisasi (sekolah), sehingga menjadi unggul.
4. Budaya sekolah mempunyai dampak yang kuat terhadap prestasi
kerja. Budaya sekolah merupakan faktor yang lebih penting dalam menentukan
sukses atau gagalnya sekolah. Jika prestasi kerja yang diakibatkan oleh
terciptanya budaya sekolah yang bertolak dari dan disemangati oleh ajaran dan
nilai-nilai agama Islam, maka akan bernilai ganda, yaitu dipihak sekolah itu
sendiri akan memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif dengan tetap menjaga
nilai-nilai agama sebagai akar budaya bangsa, dan di lain pihak, para pelaku
sekolah seperti kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikan lainnya, orang tua
murid dan peserta didik itu sendiri berarti telah mengamalkan nilai-nilai
Ilahiyah, ubudiyah, dan muamalah, sehingga memperoleh pahala yang berlipat
ganda dan memiliki efek terhadap kehidupannya kelak.[17]
Metode
pembiasaan yang sering disebut dengan pengkondisian (conditioning),
adalah upaya membentuk perilaku tertentu dengan cara mempraktekkannya secara
berualang-ulang.[18] Menurut
Gagne metode ini disebut direct method karena metode ini digunakan
secara sengaja dan langsung untuk merubah perilaku.[19]
Metode belajar conditioning tergolong dalam pendekatan
behaviorisme dan merupakan kelanjutan dari teori belajar koneksionisme. Prinsip
belajar yang diusung adalah bahwa belajar merupakan hasil dari hubungan antara
stimulus dan respon. Dalam teori belajar koneksionisme atau teori
stimulus-respon dijelaskan bahwa belajar adalah modifikasi tingkah laku
organisme/individu sebagai hasil kematangan dan pengalaman.[20]
Kematangan dan pengalaman merupakan hasil dari proses latihan terus menerus
atau pembiasaan.
Secara
praktis metode ini merekomendasikan agar proses pembelajaran memberikan
kesempatan kepada siswa untuk praktek langsung (direct experience) atau
menggunanakan pengalaman pengganti/tak langsung (vicarious experience).[21]
Siswa diberikan pengalaman langsung yaitu dengan membiasakan mereka bersikap
dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di sekolah maupun
masyarakat. Praktek langsung membaca Al-Qur’an, bersalaman dengan guru,
melaksanakan shalat berjamaah merupakan contoh-contoh pemberian pengalaman
langsung. Pada proses pembiasaan inilah proses belajar terjadi sebab seseorang
yang dikondisikan untuk membiasakan diri melakukan perilaku tertentu berarti ia
berusaha untuk menyesuaikan diri dengan perilaku tersebut. Hal ini sejalan
dengan pandangan Skinner bahwa belajar adalah proses adaptasi atau proses
penyesuaian tingkah laku secara progresif (process of progressive behavior
adaptation).[22]
Menurut
teori conditioning, perubahan perilaku yang merupakan hasil dari proses
belajar pembiasaan dapat diperoleh secara optimal apabila diberi penguatan (reinforcer).[23]
Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila
penguatan ditambahkan maka respon akan semakin kuat.[24]
Pengembangan
budaya religius di sekolah adalah bagian dari pembiasaan penerapan nilai-nilai
agama dalam kehidupan di sekolah dan di masyarakat. Pembiasaan ini memiliki
tujuan untuk menanamkan nilai-nilai agama Islam yang diperoleh siswa dari hasil
pembelajaran disekolah untuk diterapkan dalam perilaku siswa sehari-hari.
Banyak hal bentuk pengamalan nilai-nilai religius yang bisa dilakukan di
sekolah seperti ; saling mengucapkan salam, pembisaan menjaga hijab antara
laki-laki dan perempuan (misal; laki-laki hanya bisa berjabat tangan siswa
laki-laki dan guru laki-laki, begitu juga sebaliknya.), pembisaan berdoa,
sholat dhuha, dhuhur secara berjamaah, mewajibkan siswa dan siswi menutup
aurat, hafalan surat-surat pendek dan pilihan dan lain sebagainya.
Menurut
Muhaimin Strategi pengembangan budaya agama dalam komunitas madrasah melalui
tiga tataran, yaitu tataran nilai yang dianut, tataran praktik keseharian, dan
tataran symbol-simbol budaya. Pada tataran nilai yang dianut, perlu dirumuskan
secara bersama-sama nilai-nilai agama yang disepakati dan perlu dikembangkan di
sekolah, untuk selanjutnya di bangun konmitmen dan loyalitas bersama di antara
semua warga sekolah terhadap nilai-nilai yang bersifat vertical (hambl min
Allah) dan Horizontal (Habl min An nas), dan hubungan dengan alam
sekitarnya.
Dalam
tataran praktik keseharian, nilai-nilai keagamaan yang telah disepakati tersebut
diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku keseharian oleh semua warga sekolah.
Dalam tataran simbol-simbol budaya, pengembangan yang perlu dilakukan adalah
mengganti symbol-simbol budaya yang kurang sejalan dengan ajaran dan
nilai-nilai agama dengan symbol budaya yang agamis. Perubahan symbol dapat
dilakukan dengan mengubah model berpakaian dengan prinsip menutup aurat,
pemasangan hasil karya peserta didik, foto-foto, dan motto yang mengandung
pesan-pesan nilai keagamaan dan lain-lain.[25]
Selanjutnya
Muhaimin menjelaskan bahwa strategi untuk membudayakan nilai-nilai agama di
madrasah dapat dilakukan melalui : (1) Power strategi, yakni strategi
pembudayaab agama di madrasah dengan cara menggunakan kekuasaan atau melalui
people’s power, dalam hal ini peran kepala madrasah dengan segala kekuasaannya
sangat dominan dalam melakukan perubahan; (2) persuasive strategy, yang
dijalankan lewat pembentukan opini dan pandangan masyarakat warga madrasah; dan
(3) normative re-educative. Artinya norma yang berlaku di masyarakat
termasyarakatkan lewat education, dan mengganti paradigm berpikir masyarakat
madrasah yang lama dengan yang baru. Pada strategi pertama tersebut
dikembangkan melalui pendekatan perintahdan larangan atau reward dan punishment.
Sedangkan strategi kedua dan ketiga tersebut dikembangkan melalui pembiasaan,
keteladanan, dan pendekatan persuasif atau mengajak pada warganya dengan cara
yang halus, dengan memberikan alasan dan prospek baikyang bisa menyakinkan
mereka.[26]
Strategi
–strategi tersebut bisa terlaksana dengan baik manakala ada sebuah kerjasama
yang baik antara semua waga sekolah, baik kepala sekolah sebagai manajer, guru,
karyawan dan siswa.Sehingga lingkungan religius lebih mudah diciptakan. Nuansa
religius di sekolah akan sangat sulit di ciptakan manakala kewajiban untuk
melaksanakan nilai-nilai agama hanya diwajibkan pada semua siswa. Hal ini akan
berdampak pada pembisaan siswa dimana dalam menjalankan nilai-nilai religius di
sekolah hanya pada tataran menunaikan kewajiban saja bukan pada proses
kesadaran. Akibatnya nilai-nilai agama yang menjadi sebuah pembiasaan di
sekolah tidak mampu membentuk karakter siswa di luar sekolah.
2.9 Strategi Penerapan Budaya
Untuk
mewujudkan budaya agama disekolah, menurut Tafsir ada beberapa strategi yang
dapat dilakukanoleh para praktisi pendidikan, di antaranya melalui: (1)
memberikan contoh (teladan); (2) membiasakan hal-hal yang baik; (3) menegakkan
disiplin; (4) memberikan motivasi dan dorongan; (5) memberikan hadiah terutama
secara psikologis; (6) menghukum (mungkin dalam rangka kedisiplinan); (7)
pembudayaan agama yang berpengaruh bagi pertumbuhan anak.[27]
Muhaimin
dalam bukunya Rekonstruksi Pendidikan Islam menjelaskan bahwa: Strategi
pengembangan budaya agama di Sekolah meminjam teori Koentjaraningrat (1974) tentang
wujud kebudayaan, meniscayakan adanya upaya pengembangan dalam tiga tataran,
yaitu tataran nilai yang dianut, tataran praktik keseharian, dan symbol-simbol
budaya.
1.
Dalam tataran nilai yang
dianut perlu dirumuskan secara bersama nilai-nilai agama yang disepakati dan
perlu di kembangkan di Sekolah, untuk selanjutnya dibangun komitmen dan
loyalitas bersama diantara semua warga sekolah terhadap nilai-nilai yang
disepakati. Seperti hubungan manusia atau warga sekolah dengan Allah ( hubungan
vertical ) dan yang horizontal berwujud hubungan manusia atau warga sekolah
dengan sesamanya, dan hubungan mereka dengan lingkungan dan alam sekitarnya.
2.
Dalam tataran praktik
keseharian, nilai-nilai keagamaan yang disepakati tersebut diwujudkan dalam
bentuk sikap dan prilaku keseharian oleh warga sekolah. Proses pengembangan
tersebut dapat dilakukan dengan tiga cara, Pertama, sosialisasi nilai-nilai
agama yang disepakati sebagai sikap dan prilaku ideal yang ingin dicapai pada
masa mendatang di sekolah. Kedua, penetapan action plan mingguan atau bulanan
sebagai tahanan dan langkah sistematis yang akan dilakukan oleh semua warga
disekolah dalam melaksanakan nilai-nialai agama yang telah disepakati tersebut.
Ketiga, Pemberian penghargaan terhadap prestasi warga sekolah, seperti guru,
tenaga kependidikan, dan peserta didik sebagai usaha pembiasaan ( habit
formation) yang menjunjung sikap dan prilaku komitmen dan loyal terhadap
ajaran dan nilai-nilai agama yang disepakati.
3.
Dalam tataran simbol-simbol
budaya, Pengembangan yang perlu dilakukan adalah mengganti symbol-simbol budaya
yang kurang sejalan dengan ajaran dan nilai-nilai agama dengan symbol budaya
yang agamis. Perubahan symbol dapat dilakukan dengan mengubah model berpakaian
dengan prinsip menutup aurat , pemasangan hasil karya peserta didik, foto-foto
dan moto yang mengandung pesan-pesan nilai-nilai keagamaan dan lain-lain.[28]
Kepala
sekolah dan guru perlu membuat sebuah standar pelaksanaan dan tahapan penerapan
budaya religius di sekolah. Sehingga keberhasilan pengembangan budaya religius
bisa dievaluasi. Muhaimin29memberikan contoh standart dan tahapan yang
berkelanjutan dalam pengembangan budaya religius seperti misalnya; a)
dilaksanakan sholat berjamaah dengan tertib dan disiplin di masjid madrasah, b)
tidak terlibat dalam perkelahian antar-peserta didik, c) sopan santun berbicara
antara peserta didik, peserta didik dengan guru dan tenaga kependidikan, antara
guru dengan guru, anatara guru dan tenaga kependidikan dan lainnya, d) cara
berpakaian peserta didik dan guru yang islami, e) cara pergaulan peserta didik
dan guru sesuai dengan norma islam, terciptanya budaya senyum, salam dan sapa
dan lain sebagainya.[29]
Menurut
Muhaimin, agar pendidikan agama Islam di sekolah dapat membentuk peserta didik
yang memiliki iman, takwa, dan akhlak mulia,
maka proses pembelajaran pendidikan agama harus menyentuh tiga aspek secara
terpadu. Tiga aspek yang dimaksud adalah: (1) knowing, yakni agar
peserta didik dapat mengetahui dan memahami ajaran dan nilai-nilai agama; (2) doing,
yakni agar peserta didik dapat mempraktikkan ajaran dan nilai-nilai agama;
dan (3) being, yakni agar peserta didik dapat menjalani hidup sesuai
dengan ajaran dan nilai-nilai agama. Ini tentunya tidak hanya mengandalkan pada
proses belajar-mengajar di dalam atau di luar kelas yang hanya dua jam
pelajaran untuk jenjang SMA/K per pekannya. Namun dibutuhkan pembinaan perilaku
dan mentalitas being religiousmelalui pembudayaan agama dalam komunitas
sekolah, keluarga, dan lingkungan masyarakat di mana para siswa tinggal dan
berinteraksi.
Keberagamaan
atau religiusitas seseorang diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupannya.
Aktifitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku
ritual (beribadah),tetapi juga melakukan aktivitas yang didorong olehkekuatan
supranatural. Bukan hanya berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat
dilihat oleh mata, tetapi juga aktivitas yang tidak tampak dan terjadi dalam
hati seseorang.[30]
Menurut
Nurcholis Madjid, agama bukanlah sekedar tindakan-tindakan ritual seperti
shalat dan membaca do’a. Agama lebih dari itu, yaitu keseluruhan tingkah laku
manusia yang terpuji, yang dilakukan demi memperoleh ridla atau perkenan
Allah.Agama dengan demikian meliputi keseluruhan tingkah laku manusia dalam
hidup ini, yang tingkah laku itu membentuk keutuhan manusia berbudi luhur atas
dasar percaya atau iman kepada Allah dan tanggung jawab pribadi di hari
kemudian.[31]
(Madjid, 2010: 93).
Dari
uraian di atas dapat di pahami bahwa pengembangan budaya religius di sekolah
harus memiliki landasan yang kokoh baik secara normatif religius maupun
konstitusional. Sehingga semua lembaga pendidikan secara bersama-sama memiliki
tujuan untuk mengembangkan budaya religius di komunitasnya. Oleh Karena itu diperlukan
sebuah rancangan dan tategi yang baik untuk melakukan pengembangan budaya
religius dengan tetap memperhatikan dan mempertimbangkan pendidikan
multikultural.
Suasana
keagamaan di lingkungan sekolah dengan berbagai bentuknya, sangat penting bagi
proses penanaman nilai agama pada siswa. Proses penanaman nilai agama islam
pada siswa disekolah akan menjadi lebih intensif dengan suasana kehidupan
sekolah yang islami, baik yang Nampak dalam kegiatan, sikap maupun prilaku ,
pembiasaan, penghayatan, dan pendalaman.
Budaya
sekolah merupakan seluruh pengamalan psikologis para peserta didik baik yang
bersifat sosial, emosional maupun intelektual yang diserap oleh mereka selama
berada dalam lingkungan sekolah.Respon psikologis keseharian peserta didik
terhadap hal-hal seperti cara-cara guru dan personel sekolah lainnya bersikap
dan berperilaku, implementasi kebijakan sekolah, kondisi dan layanan kantin
sekolah, penataan keindahan, kebersihan dan kenyamanan lingkungan sekolah,
semuanya membentuk budaya sekolah. Semua itu akan merembes pada penghayatan
psikologis warga sekolah termasuk peserta didik, yang pada gilirannya membentuk
pola nilai, sikap, kebiasaan, dan perilaku.
Pelaksanaan
pengembangan budaya religius di sekolah tidak akan berjalan dengan baik jika
tanpa dukungan dan komitmen dari berbagai pihak, di antaranya adalah
pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama atau Pemerintah Daerah, kebijakan
kepala sekolah, guru pendidikan agama Islam, guru mata pelajaran umum, pegawai
sekolah, komite sekolah, dukungan siswa (OSIS), lembaga dan ormas, keagamaan
serta partisipasi masyarakat luas. Jika semua elemen ini dapat bersama-sama
mendukung dan terlibatdalam pelaksanaan pengamalan budaya agama di sekolah maka
bukan sesuatu yang mustahil hal ini akan terwujud dan sukses.
Sebagai upaya
sistematis menjalankan pengamalan budaya agama (Islam) di sekolah perlu
dilengkapi dengan sarana pendukung bagi pelaksanaan pengamalan budaya agama
(Islam) di sekolah, di antaranya; musholla atau masjid, sarana pendukung ibadah
(seperti: tempat wudhu, kamar mandi, sarung, mukena, mimbar, dsb.), alat peraga
praktik ibadah, perpustakaan yang memadai, aula atau ruang pertemuan, ruang
kelas sebagai tempat belajar yang nyaman dan memadai, alat dan peralatan seni
Islami, ruang multimedia, laboratorium komputer, internet serta laboratorium
PAI.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Budaya
sekolah adalah sekumpulan nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan
keseharian, dan symbol-simbol yang dipraktikkan oleh kepala sekolah, guru, petugas
administrasi, peserta didik, dan masyarakat sekitar sekolah
2.
Budaya religius
dalam sekolah/madrasah adalah segala norma, nilai, aturan, kegiatan, perilaku
dan bahkan asumsi dasar yang dibentuk dan dibiasakan oleh pendidik untuk
disampaikan kepada peserta didik yang berlandaskan pada Al-Qur‟an dan AlHadits
3. Nilai-nilai akhlak yang dikembangkan
di sekolah/ madrasah hendaknya dilaplikasikan dengan sebaik-baiknya dari
jenjang SD/MI, SMP/MTS, dan SMA/MA agar terciptanya budaya sekolah yang
religious.
4. Cara Membangun Budaya Sekolah yang
Religius dengan membentuk kegiatan menumbuhkan budaya keberagamaan (Religious
Culture) dan budaya keberagamaan dengan kecakapan hidup
5. Hal ini sangat penting karena pelaksanaan
pendidikan agama Islam di butuhkan pembiasaan atau praktek-praktek agama yang
menghubungkan manusia dengan Tuhannya.
6. Dari proses pembiasaan itulah akan
membentuk pendidikan Tauhid pada diri anak, yang akan membawa pada proses
kesadaran bahwa apa yang dilakukan manusia setiap hari akan senantiasa terlihat
dan tercatat dengan baik oleh Allah SWT.
7. Dengan demikian Pendidikan agama di
sekolah bukan hanya pada tataran kognitif saja, namun bagaimana membentuk
kesadaran pada siswa untuk melaksanakan dan membudayakan nilai-nilai pendidikan
agama dalam kehidupan sehari-hari.
3.2 Saran
Agar
pengembangan budaya religius berhasil dengan baik, diperlukan beberapa strategi
antara lain ; memberikan contoh (teladan); membiasakan hal-hal yang baik;
menegakkan disiplin; memberikan motivasi dan dorongan; memberikan hadiah
terutama secara psikologis; menghukum (mungkin dalam rangka kedisiplinan); dan
pembudayaan agama yang berpengaruh bagi pertumbuhan anak.
Daftar
Pustaka
Danim, Sudarwan.
2003. Agenda Pembaharuan sistem pendidikan, Yogyakarta: Pusaka Pelajar.
Depkominfo.
2006. Pentingnya Pendidikan dalam Keluarga. Jakarta: Depkominfo.
Fitri, Zaenul,
Agus. 2012. Pendidikan Karakter Berbasis Nilai dan Etika di Sekolah,
Yogyakarta: Ar-ruz Media.
Hergenhahn B.R., dan Olson Matthew H. 1997. An
Introduction to Theories of Learning, Fifth Edition. Prentice
HallInternational.
Majid, Abdul dkk. 2011. Pendidikan Karakter
Perspektif Islam. PT. Remaja Rosdakarya : Bandung
Madjid, Nurcholis. 2010. Masyarakat Religius Membumikan
Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan, Jakarta: Paramadina.
Muhaimin. 2003. Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam
Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum Hingga Redifinisi Islamisasi Pengetahuan,
Bandung: Rosda Karya.
Muhaimin. 2006. Nuansa
Baru Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Rajawali Grafindo Persada.
Muhaimin. 2009. Rekonstruksi Pendidikan Islam; Dari
Paradigma Pengembangan, Manajemen kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi
Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Muhaimin. 2008. Pemikiran Dan Aktualisasi Pengembangan
Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Pers.
Muhaimin. 2006. Pengembangan Kurikulum PAI Di Sekolah,
Madrasah, Dan Perguruan Tinggi. Jakarta : PT. Rajawali Grafindo Persada.
Muhaimin. 2010. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama
Islam; di Sekolah. Madrasah, dan Perguruan Tinggi. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Peraturan
Pemerintah No. 55 tahun 2007 Bab II tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan
Keagamaan.
Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Robert M. Gagne Et All,. 2005. Principles of Instructional
Design, Fifth EditionThomson Learning, Belmont-CA.
Sanjaya, Wina. 2009. Strataegi Pembelajaran Berorientasi
Standar Proses Pendidikan, Cet. 6. Jakarta: Kencana.
[3]
Agus Zaenul Fitri, Pendidikan Karakter Berbasis Nilai dan Etika di Sekolah (Jogjakarta:
Ar-ruz Media, 2012), hlm. 10-11.
[4]
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen
Kelembagaan, Kurikulum, hingga Strategi Pembelajaran,(Jakarta: Rajawali Press,
2009), hlm. 308
[5] ibid 308
[6]
Muhaimin, Suti‟ah, dan Sugeng Listyo Prabowo, hlm. 48
[7]
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami: Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu
Memanusiakan Manusia, (Bandung: P.T Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 224
[10]
Muhaimin, Pengembagan
Kurikulum Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 2005),
hlm.
20
[11]
Abdul Majid, dkk, 2011, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (PT.
Remaja Rosdakarya : Bandung), h. 169
[12] Depkominfo, 2006, Pentingnya Pendidikan dalam Keluarga,
(Jakarta: Depkominfo)
[13] Ishomuddin, MS., Spektrum Pendidikan Islam
Retropeksi Visi dan AKsi (Malang: UMM Press. 1996), hlm. 181.
[14] Djamaluddin Ancok, Psikologi Islami, Solusi
Islam atas Problem-problem Psikologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. II,
1995), hlm. 76
[15] Abdul Majid & Dian Andayani, Pendidikan
Agama Islam Berbasis Kompetensi (Bandung: PT. Remaja Rosdyakarya, 2005),
hlm. 135.
[16] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum PAI di
Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi (Jakarta: PT. Rajawali Grafindo
Persada, 2006), hlm. 133.
[17] Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam (Jakarta:
PT. Rajawali Grafindo Persada, 2006), hlm. 133-136.
[18] Wina Sanjaya, Strataegi Pembelajaran
Berorientasi Standar Proses Pendidikan (Jakarta: Kencana, Cet. 6, 2009),
hlm. 118.
[19] Robert M. Gagne Et All., Principles of
Instructional Design - Fifth Edition (Thomson Learning, Belmont-CA, 2005),
hlm. 96.
[20] Zakiah Darajat, dkk., Metodik Khusus
Pengajaran Agama Islam (Jakarta: Bumi Aksara dan Dirjen Binbaga Depag RI,
1995), hlm. 5.
[21] Hergenhahn B.R., dan Olson Matthew H., An
Introduction to Theories of Learning (Prentice Hall International, Fifth
Edition, 1997), hlm. 326.
[22] Muhibbin Syah, Psikologi Belaja (Jakarta:
Rajawali Press, 2009), hlm. 64.
[23] Ibid.
[25] Muhaimin, Pemikiran Dan Aktualisasi…,
hlm. 135-136.
[26] Ibid., hlm. 136.
[28] Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam;
Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi
Pembelajaran (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), hlm. 182.
[29] Muhaimin, Pemikiran Dan Aktualisasi…,
hlm. 136.
[31] Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius
Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan (Jakarta: Paramadina, 2010),
hlm. 93.
No comments:
Post a Comment