Pengembangan Budaya Sekolah Madrasah yang Religius

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan tidak bisa lepas dari kehidupan.Dengan pendidikan bisa memajukan kebudayaan dan mengangkat derajat bangsa di mata internasional. Pendidikan akan sangat terasa gersang apabila tidak berhasil mencetak sumber daya manusia yang berkualitas (baik segi spiritual, intelegensi, dan skill). Sehingga diperlukan peningkatan mutu pendidikan supaya bangsa ini tidak tergantung pada status bangsa yang sedang berkembang tetapi bisa menyandang predikat bangsa maju.[1]Untuk memperbaiki kehidupan bangsa harus dimulai dari penataan dalam segala aspek dalam pendidikan, mulai dari aspek tujuan, sarana, pembelajaran, manajerial dan aspek lain yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap kualitas pembelajaran.[2] Hal ini dimaksudkan untuk mempersiapkan pendidikan yang mampu meyiapkan Sumber Daya Manusia yang memiliki moralitas yang tinggi.
Indonesia yang mengikrarkan diri sebagai Negara yang berketuhanan Yang Maha Esa. Maka berkewajiban untuk menanamkan nilai-nilai ketuhanan dalam hal ini adalah nilai-nilai agama. Untuk menanamkan nilai-nilai keagaaman maka jalan yang terbaik untuk mencapai hal tersebut adalah melalui media pendidikan. Media pendidikan tidak hanya sebagai proses transformasi ilmu pengetahuan dari pendidik kepada peserta didik, melainkan lebih dari itu, yaitu merupakan proses pembudayaan nilai-nilai luhur yang selaras dengan agama dan undang-undang, dalam rangka pencapaian tugas dan fungsi manusia yang digariskan Allah Swt sebagai khalifah di muka bumi.
Indonesia telah dilanda krisis akhlak (karakter) yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan pendidikan. Krisis akhlak yang dialami bangsa saat ini disebabkan oleh kerusakan individu-individu masyarakat yang terjadi secara kolektif sehingga menjadi budaya. Budaya inilah yang menginternal dalam sanubari masyarakat Indonesia dan menjadi karakter bangsa.Ironis, pendidikan yang menjadi tujuan mulia justru menghasilkan output yang tidak diharapkan.[3]
Sehingga budaya religius menjadi sangat penting bagi teguh dan kokohnya suatu bangsa. Hal ini harus menjadi agenda pokok dalam setiap proses pembangunan bangsa. Budaya religius ini bisa diaplikasikan pada penanaman nilai-nilai agama di sekolah.Untuk mewujudkan pendidikan ini, maka penyelenggaraan pendidikan harus memperhatikan penanaman nilai-nilai religius dalam segala aspek aktivitas belajar.
1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Apa Pengertian Budaya Sekolah?
2.      Bagaimana Karakteristik Budaya Sekolah?
3.      Apa Peran Dari Budaya Sekolah?
4.      Apa Pengertian Budaya Religious?
5.      Apa saja nilai-nilai akhlak yang dikembangkan di madrasah/sekolah?
6.      Bagaimana cara membangun budaya sekolah yang religious?
7.      Bagaimana peran guru dalam mengembangkan budaya yang relegius?
8.      Bagaimana pentingnya pendidikan agama menjadi budaya?
9.      Bagaimana strategi penerapan budaya?

1.3  Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah tersebut, diharapkan makalah ini dapat memenuhi tujuantujuan sebagai berikut
1.      Untuk mengetahui pengertian budaya sekolah
2.      Untuk mengetahui  karakteristik budaya sekolah
3.      Untuk mengetahui peran dari budaya sekolah
4.      Untuk mengetahui  Pengertian budaya religious
5.      Mengetahui nilai-nilai akhlak yang dikembangkan di madrasah/sekolah
6.      Mengetahui cara membangun budaya sekolah yang religious
7.      Mengetahui peran guru dalam mengembangkan budaya yang relegius
8.      Mengetahui pentingnya pendidikan agama menjadi budaya
9.      Mengetahui strategi penerapan budaya



BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Budaya Sekolah
Menurut Delan & Peterson, dalam Rahmat & Edie Suharto, yang dikutip oleh Muhaimin menyebutkan bahwa budaya sekolah adalah sekumpulan nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan symbol-simbol yang dipraktikkan oleh kepala sekolah, guru, petugas administrasi, peserta didik, dan masyarakat sekitar sekolah.[4]
Lebih lanjut dijelaskan, bahwa budaya sekolah merupakan seluruh pengalaman psikolosi para peserta didik baik yang bersifat sosial, emosional, maupun intelektual yang diserap oleh mereka selama berada dalam lingkungan sekolah. [5]
Budaya sekolah/madrasah merupakan sesuatu yang dibangun dari hasil pertemuan antara nilai-nilai (values) yang dianut oleh kepala sekolah/madrasah sebagai pemimpin dengan nilai-nilai yang dianut oleh guru-guru dan para karyawan yang ada dalam sekolah/madrasah tersebut. Pertemuan pikiran-pikiran tersebut kemudian menghasilkan apa yang disebut dengan “pikiran organisasi”. Dari pikiran organisasi inilah kemudain muncul dalam bentuk nilai-nilai yang diyakini bersama, dan kemudian nilai-nilai tersebut akan menjadi bahan utama pembentuk budaya sekolah/madrasah. Dari budaya tersebut muncul dalam berbagai symbol dan tindakan yang kasat indra yang dapat diamati dan dirasakan dalam kehidupan sekolah/madrasah.[6]
Pendapat lain tentang budaya sekolah juga dikemukakan oleh Schein, bahwa budaya sekolah adalah suatu pola asumsi dasar hasil invensi, penemuan atau pengembangan oleh suatu kelompok tertentu saat ia belajar mengatasi masalah-masalah yang telah berhasil baik serta dianggap valid, dan akhirnya diajarkan ke warga baru sebagai cara-cara yang benar dalam memandang, memikirkan, dan merasakan masalah-masalah tersebut. ( Schein , 2010 )
Pandangan lain tentang budaya sekolah dikemukakan oleh Zamroni ( 2011 ) bahwa budaya sekolah adalah merupakan suatu pola asumsi-asumsi dasar, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan yang dipegang bersama oleh seluruh warga sekolah, yang diyakini dan telah terbukti dapat dipergunakan untuk menghadapi berbagai problem dalam beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan melakukan integrasi internal, sehingga pola nilai dan asumsi tersebut dapat diajarkan kepada anggota dan generasi baru agar mereka memiliki pandangan yang tepat bagaimana seharusnya mereka memahami, berpikir, merasakan dan bertindak menghadapi berbagai situasi dan lingkungan yang ada ( Zamroni, 2011: 297 ).
2.2  Karakteristik Budaya Sekolah
Kehidupan selalu berubah. Dalam pertumbuhan dan perkembangan anak mengalami perubahan. Perubahan-perubahan itu dapat terjadi karena pengaruh lingkungan dan pendidikan. Pengaruh lingkungan yang kuat adalah di sekolah karena besar waktunya di sekolah. Sekolah memegang peranan penting dan strategis dalam mengubah, memodifikasi, dan mentransformasikan ilmu pengetahuan, teknologi, dan keterampilan yang berhubungan dengan kebutuhan anak untuk hidup di masyarakat sesuai dengan tuntutan jamannya.
Studi terhadap sekolah-sekolah yang berhasil atau efektif dapat diperoleh gambaran bahwa mereka mempunyai lima karakteristik umum seperti yang diungkapkan oleh Steven dan Keyle (editor) (1985) sebagai berikut :
a.       Sekolah memiliki budaya sekolah yang kondusif
b.      Adanya harapan antara para guru bahwa semua siswa dapat sukses
c.       Menekankan pengajaran pada penguasaan ketrampilan
d.      Sistem tujuan pengajaran yang jelas bagi pelaksanaan monitoring dan penilaian keberhasilan kelas
e.       Prinsip-prinsip sekolah yang kuat sehingga dapat memelihara kedisiplinan siswa
Penciptaan budaya sekolah dapat dilakukan melalui :
a.       Pemahaman tentang budaya sekolah
b.      Pembiasaan pelaksanaan budaya sekolah
c.       Reward and punishment

2.3  Peran Budaya Sekolah
Dalam terminologi kebudayaan, pendidikan yang berwujud dalam bentuk lembaga atau instansi sekolah dapat dianggap sebagai pranata sosial yang di dalamnya berlangsung interaksi antara pendidik dan peserta didik sehingga mewujudkan suatu sistem nilai atau keyakinan,dan juga norma maupun kebiasaan yang di pegang bersama. Pendidikan sendiri adalah suatu proses budaya. Masalah yang terjadi saat ini adalah nilai-nilai yang mana yang seharusnya dikembangkan atau dibudayakan dalam proses pendidikan yang berbasis mutu itu. Dengan demikian sekolah menjadi tempat dalam mensosialisasikan nilai-nilai budaya yang tidak hanya terbatas pada nilai-nilai keilmuan saja, melainkan semua nilai-nilai kehidupan yang memungkinkan mampu mewujudkan manusia yang berbudaya. Djemari (2003) membagi karekteristik peran kultur sekolah berdasarkan sifatnya dapat dibedakan menjadi tiga yakni :
1.      Bernilai Strategis
Budaya yang dapat berimbas dalam kehidupan sekolah secara dinamis. Misalnya memberi peluang pada warga sekolah untuk bekerja secara efisien, disiplin dan tertib. Kultur sekolah merupakan milik kolektif bukan milik perorangan, sehingga sekolah dapat dikembangkan dan dilakukan oleh semua warga sekolah.

2.      Memiliki Daya Ungkit
Budaya yang memliki daya gerak akan mendorong semua warga sekolah untuk berprestasi, sehingga kerja guru dan semangat belajar siswa akan tumbuh karena dipacu dan di dorong, dengan dukungan budaya yang memiliki daya ungkit yang tinggi. Misalnya kinerja sekolah dapat meningkat jika disertai dengan imbalan yang pantas, penghargaan yang cukup, dan proporsi tugas yang seimbang. Begitu juga dengan siswa akan meningkat semangat belajranya, bila mereka diberi penghargaan yang memadai, pelayanan yang prima, serta didukung dengan sarana yang memadai.
3.      Berpeluang Sukses
Budaya yang berpeluang sukses adalah budaya yang memiliki daya ungkit dan memiliki daya gerak yang tinggi. Hal ini sangat penting untuk menumbuhkan rasa keberhasilan dan rasa mampu untuk melaksanakan tugas dengan baik. Misalnya budaya gemar membaca. Budaya membaca di kalangan siswa akan dapat mendorong mereka untuk banyak tahui tentang berbagai macam persoalan yang mereka pelajari di lingkungan sekolah. Demikian juga bagi guru mereka semakin banyak pengetahuan yang diperolah, tingkat pemahaman semakin luas, semua ini dapat berlangsung jika disertai dengan kesadaran, bahwa mutu/ kualitas yang akan menentukan keberhasilan seseorang.



2.4  Budaya Religius
Budaya religius dalam sekolah/madrasah adalah segala norma, nilai, aturan, kegiatan, perilaku dan bahkan asumsi dasar yang dibentuk dan dibiasakan oleh pendidik untuk disampaikan kepada peserta didik yang berlandaskan pada Al-Qur‟an dan AlHadits.
Dalam lingkungan sekolah, maka budaya yang dikembangkan adalah berdasarkan pada kurikulum PAI yang digunakan di sekolah/madrasah. Sehingga kurikulum itu tidak hanya sebagai bukti fisik pembelajaran, namun juga diimplementasikan pada proses pembelajaran.
Pada prinsipnya tujuan dari pembelajaran sebagaimana diungkapkan oleh Ahmad Tafsir adalah knowing, doing, dan being.[7]Knowing dimaksudkan adalah bahwa tugas guru adalah mengajarkan kepada siswa/peserta didik untuk mengetahui konsep. Sedangkan doing adalah agar peserta didik mampu untuk melaksanakan atau mengerjakan yang ia ketahui. Dan being adalah agar setelah siswa/peserta didik mengetahui, dan melaksanakan pengetahuannya, maka berikutnya adalah dua hal tersebut menjadi bagian dari dirinya.
Salah satu proses yang luas dikenal mengenai pendidikan dengan media kebudayaan adalah proses transmisi kebudayaan. Sebagaimana dikutip Tilaar yaitu pendapat Fortes mengenai unsur-unsur transmisi kebudayaan yaitu: 1) Unsur-unsur yang ditransmisi, 2) proses transmisi, dan 3) cara transmisi.[8]
Dalam transmisi kebudayaan, lembaga pendidikan hendaknya menentukan unsur-unsur apa yang akan ditransmisikan. Sebagai contoh adalah nilai-nilai budaya, adat-istiadat masyarakat, pegangan mengenai hidup serta berbagai konsep hidup lainnya dalam masyarakat. Dengan menentukan unsur-unsur yang akan ditransmisikan pada peserta didik, para pendidik dapat menentukan hal-hal  yang terkait dalam proses pembelajaran di kelas ataupun di luar kelas. Dengan harapan, pendidik menjadi media bagi transformasi budaya.
Diantara proses transmisi yang sering kita dengar adalah imitasi, identifikasi dan sosialisasi. Pada perjalanannya unsur-unsur tersebut tidak berjalan dengan sendirinya, namun perlu ada pendidik yang menyatakan dan melakukannya, sehingga perbuatan tersebut diimitasi oleh peserta didik. Kemudian perbuatan tersebut diimitasi, maka peserta didik melakukannya berulang-ulang untuk kemudian mengidentifikasi manfaat bagi dirinya dan apabila dalam pengulangan tersebut memiliki makna dalam asumsi dasarnya maka yang demikian itu menjadi bagian dari dirinya. Sedangkan sosialisasi adalah proses menyampaikan unsur-unsur yang dilakukan oleh pihak sekolah/madrasah akan budaya sekolah yang ingin dibangunnya.
Lalu untuk mentransmisikan dalam tiga hal tersebut terdapat dua pendekatan yaitu peran-serta dan bimbingan.[9]Peran-serta disini dimaksudkan keikutsertaan dalam kegiatan sehari-hari di dalam lingkungan sekolah atau masyarakat. Sedangkan bimbingan dapat dilakukan berupa instruksi, persuasi, rangsangan dan bahkan hukuman.
Pada prinsipnya melalui pembelajaran di kelas ataupun di luar kelas tidak pernah bebas nilai, artinya dimanapun dapat dilakukan transmisi nilai. Demikian itu adalah sebagaimana pendapat Thomas yang dikutip Muhaimin, “Schools can never be free of values. Transmitting values to students occurs implicity through the content and materials to which students are exposed as a part of the formal curriculum as well asa through the hidden curriculum”.[10] Dari pendapat tersebut, dapat dipahami bahwa dalam kondisi apapun sekolah/madrasah memiliki kesempatan untuk mentransmisikan nilai-nilainya baik itu melalui kurikulum pokok, atau bahkan hidden kurikulum
2.5  Nilai-nilai Akhlak yang Dikembangkan di Madrasah/Sekolah

Jenjang Pendidikan Dasar (SD/MI)
No
Nilai/ akhlak yang dikembangkan
1
Terbiasa berperilaku bersih, jujur dan kasih sayang, tidak kikir, malas, bohong, serta terbiasa dengan etika belajar, makan dan minum
2
Berperilaku rendah hati, rajin, sederhana, dan tidak iri hati, pemarah, ingkar janji,serta hormat kepada orang tua dan mempraktekan etika mandi dan buang air,
3
Tekun, peraya, dan tidak boros.
4
Tidak hidup boros dan hormat kepada tetangga.
5
Terbiasa hidup disiplin, hemat, tidak lalai, serta suka tolong menolong.
6
Bertanggungjawab dan selalu menjalin silaturrahmi.

Jenjang Pendidikan Dasar (SMP/MTS)
No
Nilai/ akhlak yang dikembangkan
1
Berhati lembut, bekerja keras, tekun dan ulet, dinamis, total dan produktif, sabar dan tawakal serta loyal, terbiasa beretika baik dalam perilaku sehari-hari.
2
Terbiasa berpikir kritis, sederhana, sportif, dan bertanggungjawab.
3
Terbiasa berperlaku qonaah, toleran, peduli terhadap lingkungan dan budaya serta tidak sombong, tidak merusak, tidak nifak dan beretika baik dalam pergaulan.

Jenjang Pendidikan Menengah (SMA/MA)
No
Nilai/ akhlak yang dikembangkan
1
Terbiasa khusnuzan, terbuka, hati-hati, gigih, berinisiatif, rela berkorban dan tidak terbiasa suudzon terhadap Allah, tidaktamak dan hasud, tidak riya, tidak aniaya, serta terbiasa berpakaian dan berhias yang sopan dan menghormati tamu.
2
Terbiasa bertobat, roja, optimis, dinamis, lugas, berpikir kritis, demokratis, mengendalikan diri, tidak melanggar HAM, dan menghormati hasil karya orang lain dan kaum lemah.
3
Terbiasa berperilaku ridha, produktif, obyektif, rasional. Dan dapat berinteraksi serta bersosialisasi dalam kehidupan plural berdasarkan etika islam.
Sumber : Kendali Mutu PAI Depag RI 2003[11]

2.6  Cara Membangun Budaya Sekolah yang Religius

  1. Bentuk Kegiatan Menumbuhkan Budaya Keberagamaan (Religious Culture)
Kegiatan-kegiatan yang dapat menumbuhkan budaya keberagamaan (religious culture) di lingkungan sekolah antara lain pertama, melakukan kegiatan rutin, yaitu pengembangan kebudayaan keberagamaan secara rutin berlangsung pada hari-hari belajar biasa di sekolah. Kegiatan rutin ini dilakukan dalam kegiatan sehari-hari yang terintegrasi dengan kegiatan yang telah diprogramkan, sehingga tidak memerlukan waktu khusus. Pendidikan agama merupakan tugas dan tanggung jawab bersama bukan hanya guru agama saja melainkan juga tugas dan tanggung jawab guru-guru bidang studi lainnya atau sekolah. Pendidikan agama pun tidak hanya terbatas pada aspek pengetahuan, tetapi juga meliputi pembentukan sikap, perilaku, dan pengalaman keagamaan. Untuk itu pembentukan sikap, perilaku, dan pengalaman keagamaan pun tidak hanya dilakukan oleh guru agama, tetapi perlu didukung oleh guru-guru bidang studi lainnya.
Kedua menciptakan lingkungan sekolah yang mendukung dan menjadi laboratorium bagi penyampaian pendidikan agama, sehingga lingkungan dan proses kehidupan semacam ini bagi para peserta didik benar-benar bisa memberikan pendidikan tentang caranya belajar beragama. Dalam proses tumbuh kembangnya peserta didik dipengaruhi oleh lingkungan sekolah, selain lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat. Suasana lingkungan sekolah dapat menumbuhkan budaya keberagamaan (religious culture). Sekolah mampu menanamkan sosialisasi dan nilai yang dapat menciptakan generasi-generasi yang berkualitas dan berkarakter kuat, sehingga menjadi pelaku-pelaku utama kehidupan di masyarakat. Suasana lingkungan sekolah ini dapat membimbing peserta didik agar mempunyai akhlak mulia, perilaku jujur, disiplin dan semangat sehingga akhirnya menjadi dasar untuk meningkatkan kualitas dirinya.
Ketiga, pendidikan agama tidak hanya disampaikan secara formal oleh guru agama dengan materi pelajaran agama dalam suatu proses pembelajaran, namun dapat pula dilakukan di luar proses pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari. Guru bisa memberikan pendidikan agama secara spontan ketika menghadapi sikap atau perilaku peserta didik yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Manfaat pendidikan secara spontan ini menjadikan peserta didik langsung mengetahui dan menyadari kesalahan yang dilakukannya dan langsung pula mampu memperbaikinya. Manfaat lainnya dapat dijadikan pelajaran atau hikmah oleh peserta didik lainnya, jika perbuatan salah jangan ditiru, sebaliknya jika ada perbuatan yang baik harus ditiru.
Keempat, menciptakan situasi atau keadaan keberagamaan. Tujuannya untuk mengenalkan kepada peserta didik tentang pengertian agama dan tata cara pelaksanaan agama tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu juga menunjukkan pengembangan kehidupan keberagamaan di sekolah yang tergambar dari perilaku sehari-hari dari berbagai kegiatan yang dilakukan oleh guru dan peserta didik. Oleh karena itu keadaan atau situasi keagamaan di sekolah yang dapat diciptakan antara lain pengadaan peralatan peribadatan seperti tempat untuk shalat (masjid atau mushalla), alat-alat shalat seperti sarung, peci, mukena, sajadah atau pengadaan Al Quran. Selain itu di ruangan kelas bisa pula ditempelkan kaligrafi, sehingga peserta didik dibiasakan selalu melihat sesuatu yang baik. Selain itu dengan menciptakan suasana kehidupan keagamaan di sekolah antara sesama guru, guru dengan peserta didik, atau peserta didik dengan peserta didik lainnya. Misalnya, dengan mengucapkan kata-kata yang baik ketika bertemu atau berpisah, mengawali dan mengakhiri suatu kegiatan, mengajukan pendapatan atau pertanyaan dengan cara yang baik, sopan, santun tidak merendahkan peserta didik lainnya, dan sebagainya.
Kelima memberikan kesempatan kepada peserta didik sekolah/madrasah untuk mengekspresikan diri, menumbuhkan bakat, minat dan kreativitas pendidikan agama Islam dalam keterampilan dan seni, seperti membaca Al Quran, adzan, sari tilawah, serta untuk mendorong peserta didik sekolah mencintai kitab suci, dan meningkatkan minat peserta didik untuk membaca, menulis serta mempelajari isi kandungan Al Quran. Dalam membahas suatu materi pelajaran agar lebih jelas guru hendaknya selalu diperkuat oleh nas-nas keagamaan yang sesuai berlandaskan pada Al Quran dan Hadits Rasulullah saw. Tidak hanya ketika mengajar saja tetapi dalam setiap kesempatan guru harus mengembangkan kesadaran beragama dan menanamkan jiwa keberagamaan yang benar. Guru memperhatikan minat keberagaman peserta didik. Untuk itu guru harus mampu menciptakan dan memanfaatkan suasana keberagamaan dengan menciptakan suasana dalam peribadatan seperti shalat, puasa dan lain-lain.
Keenam, menyelenggarakan berbagai macam perlombaan seperti cerdas cermat untuk melatih dan membiasakan keberanian, kecepatan, dan ketepatan menyampaikan pengetahuan dan mempraktekkan materi pendidikan agama Islam. Mengadakan perlombaan adalah sesuatu yang sangat menyenangkan bagi peserta didik, membantu peserta didik dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, menambah wawasan dan membantu mengembangkan kecerdasan serta menambahkan rasa kecintaan. Perlombaan bermanfaat sangat besar bagi peserta didik berupa pendalaman pelajaran yang akan membantu mereka untuk mendapatkan hasil belajar secara maksimal. Perlombaan dapat membantu para pendidik dalam mengisi waktu kekosongan waktu peserta didik dengan sesuatu yang bermanfaat bagi mereka dan pekelahian pelajar dapat dihindarkan. Dari perlombaan ini memberikan kreativitas kepada peserta didik dengan menanamkan rasa percaya diri pada mereka agar mempermudah bagi peserta didik untuk memberikan pengarahan yang dapat mengembangkan kreativitasnya. Nilai-nilai yang terkandung dalam perlombaan itu antara lain adanya nilai pendidikan di mana peserta didik mendapatkan pengetahuan, nilai sosial, yaitu peserta didik bersosialisasi atau bergaul dengan yang lainnya, nilai akhlak yaitu dapat membedakan yang benar dan yang salah, seperti adil, jujur, amanah, jiwa sportif, mandiri. Selain itu ada nilai kreativitas dapat mengekspresikan kemampuan kreativitasnya dengan cara mencoba sesuatu yang ada dalam pikirannya.
Salah satu contoh perlombaan adalah lomba berpidato. Peserta didik diberikan kesempatan berpidato untuk melatih dan mengembangkan keberanian berkomunikasi secara lisan dengan menggunakan teks atau tanpa teks menyampaikan pesan-pesan Islami. Menjadi ahli pidato yang efektif menuntut para peserta didik mengembangkan kemampuannya untuk berkomunikasi secara efektif dan penuh percaya diri, serta mampu merumuskan dan mengkomunikasikan pendapat dan gagasan di dalam berbagai kesempatan dan keadaan. Peserta didik diharapkan mampu mendakwahkan ajaran agama yang benar sesuai dengan hukum-hukum agama, tidak sebaliknya berpidato atau berkomunikasi yang merendahkan agama.
Ketujuh, diselenggarakannya aktivitas seni, seperti seni suara, seni musik, seni tari, atau seni kriya. Seni adalah sesuatu yang berarti dan relevan dalam kehidupan. Seni menentukan kepekaan peserta didik dalam memberikan ekspresi dan tanggapan dalam kehidupan. Seni memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengetahui atau menilai kemampuan akademis, sosial, emosional, budaya, moral dan kemampuan pribadinya lainnya untuk pengembangan spiritual rokhaninya. Untuk itu pendidikan seni perlu direncanakan dengan baik agar menjadi pengalaman kreatif yang jelas tujuannya. Melalui pendidikan seni, peserta didik memperoleh pengalaman berharga bagi dirinya, mengekspresikan sesuatu tentang dirinya dengan jujur dan tidak dibuat-buat. Untuk itu, guru harus mampu menyadarkan peserta didik untuk menemukan ekspresi dirinya. Melalui pendidikan seni peserta didik dilatih untuk mengembangkan bakat, kreatifitas, kemampuan, dan keterampilan yang dapat ditransfer pada kehidupan. Melalui seni para peserta didik akan memperoleh pengalaman dan siap untuk memahami dirinya sendiri secara mandiri. Peserta didik yang mandiri mampu memahami gaya belajar mereka sendiri, disiplin dalam belajar bukan karena tekanan pihak lain, sehingga mereka mampu mengenali, mengidentifikasi dan memahami kekuatan dan kelemahan kemampuannya mengembangkan bakat dan minatnya. Selain itu juga untuk menghadapi berbagai tantangan, baik dalam belajar maupun dalam kehidupan yang dijalaninya sehari-hari. Peserta didik dikondisikan agar mampu mengkomunikasikan apa yang dilihat, didengar, diketahui, atau dirasakannya. Peserta didik mampu membuat dan mengembangkan perasaan, imajinasi, dan gagasan secara ekspresif agar menjadi hidup yang berguna bagi pengembangan diri.
Pembelajaran seni di sekolah memiliki kontribusi dalam sikap belajar seumur hidup (life long learning). Selama waktu belajar di sekolah atau di luar waktu belajar, peserta didik diharapkan selalu melakukan aktivitas seni untuk mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilannya. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan seni pada dasarnya dirancang untuk membantu peserta didik untuk belajar seumur hidup dengan memiliki pengetahuan, pemahaman, pemikiran, atau komunikasi yang efektif. Melalui pelajaran seni di sekolah, para peserta didik dilibatkan untuk menciptakan dan mengekspresikan gagasan dan perasaan dalam bentuk ucapan, tulisan, pendengaran atau gerakannya.
Salah satu bidang seni yang diselenggarakan adalah seni nasyid. Nasyid adalah seni vocal yang kadang-kadang dilengkapi dengan alat music. Tujuan nasyid antara lain untuk melatih dan mengembangkan keberanian, penjiwaan, keindahan, keserasian dan kemampuan mengaransemen seni modern yang islami. Nasyid mengembangkan kemampuan untuk berfikir dan mengeksresikan diri dalam bentuk vokal atau bunyi-bunyian alat-alat musik. Peserta didik belajar untuk menginterpretasikan atau mengekspresikan emosi atau jiwa spiritual di dalam bernyanyi atau bermusik. Dengan bernyanyi atau bermusik peserta didik mendapatkan kepuasan lahir dan bathinnya sehingga menjadi landasan yang baik untuk meningkatkan semangat belajarnya. Nasyid biasanya berisikan lagu-lagu atau syair syair manis berupa pujian yang menyenangkan perasaan  atau hati. Nasyid ini dapat dijadikan cara yang cukup efektif untuk membantu peserta didik dalam memahami berbagai persoalan, seperti tentang kehidupan, rasa cinta kepada sesama manusia atau kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan sebagainya. Nasyid dengan menggunakan bahasa dan intonasi yang mudah dipahami mempunyai pengaruh yang baik bagi pertumbuhan jiwa dan bahasa peserta didik. Apalagi kalau disertai dengan gerakan-gerakan yang mudah untuk dilakukan. Serasinya antara suara dengan gerakan atau antara lagu/syair-syair dengan gerakan-gerakan yang mengikutinya dapat menyenangkan perasaan dan menenangkan hati peserta didik.
  1. Budaya Keberagamaan dengan Kecakapan Hidup
Pembelajaran yang menekankan pada kebudayaan keberagamaan bisa dilakukan dengan menerapkan pendekatan kecakapan hidup (life skill). Manfaat atau dampak yang positif kecakapan hidup bagi peserta didik antara lain dalam kecakapan personal yang diperoleh peserta didik dapat menumbuhkan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai pondasi dalam membentuk dan mengembangkan akhlak mulia, rasa percaya diri, kemandirian, harga diri, dan kasih sayang kepada orang lain. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, yaitu berkaitan keyakinan terhadap agama atau kepercayaan, pengabdian dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan yang menciptakan semua makhluk hidup dan alam semesta. Peserta didik pun diarahkan agar menjadi manusia yang memiliki akhlak mulia, yaitu memiliki atau menunjukkan ciri-ciri karakter akhlak mulia, seperti kejujuran, kesalehan, kesabaran, keberanian, kedermawanan, atau kehormatan, kasih sayang, hormat, toleran, pemberi maaf, rendah hati, dan baik hati.
Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan. Memiliki posisi sentral berarti kegiatan pembelajaran berpusat pada peserta didik.[12]



2.7  Peran Guru dalam Mengembangkan Budaya yang Relegius
Guru untuk membangun generasi baru yang bermoral dan berprilaku jujur, mulia dan bermartabat demi masa depan bangsa dan negara melalui proses pendidikan, tentunya tidak lepas dari suasana religius yang diciptakan di semua lembaga pendidikan, akan tetapi sampai dimana kesungguhan suatu lembaga dan peran guru yang memiliki kepribadian luhur untuk menciptakan suasana yang religius di lingkungan pendidikan. Penciptaan suasana religius di sekolah dimulai dengan mengadakan berbagai kegiatan keagamaan yang pelaksanaannya ditempatkan di lingkungan sekolah, adanya kebutuhan ketenangan batin, persaudaraan serta silaturrahmi diantara warga sekolah, hal ini tidaklah luput dari peran guru yang memberikan santapan jiwa dengan ilmu, pembinaan akhalq mulia, dan meruluskan perilakunya yang buruk bagi anak didiknya.
Meningkatkan kualitas dan taraf hidup untuk mewujudkan realisasi diri dan pemenuhan diri (self realization/Fulfillment) merupakan bagian dari peristiwa budaya. Proses penemuan identitas pribadi, harga diri, martabat dan prakarsa maupun kemampuan diri untuk berdiri sendiri dan penggalakan kreatifitas merupakan unsur terpenting dalam menciptakan tatanan masyarakat yang sustainable.[13]
Pendidikan agama menyangkut tiga aspek, yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Ini berarti bahwa pendidikan agama bukan hanya sekedar memberi pengetahuan tentang keagamaan, melainkan justru yang lebih utama adalah membiasakan anak taat dan patuh menjalankan ibadat dan berbuat serta bertingkah laku di dalam kehidupannya sesuai dengan norma-norma yang telah ditetapkan dalam agama masing-masing.
Keberagamaan atau religiusitas dapat diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia yang tidak hanya melakukan ritual (beribadah) tapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya yang berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat dengan mata, tetapi juga aktivitas yang tidak tampak dan terjadi didalam hati seseorang.[14]
Dalam meningkatkan religiusitas pada diri siswa tentunya diperlukan sebuah tahapan dalam meningkatkan keimanan dan ketakwaan pada Allah Swt. Tahapan-tahapan peningkatan religiusitas anak dibutuhkan keterlibatan keluarga (orang tua), sekolah, dan masyarakat.Dukungan yang maksimal dari keluarga (orang tua) dan lingkungan masyarakat dalam penerapan nilai-nilai agama sangat menentukan tingkat keberhasilan religiusitas anak dalam kehidupan sehari-hari. Artinya religiusitas tidak hanya diserahkan sepenuhnya pada sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, akan tetapi diperlukan dukungan keluarga dan lingkungan masyarakat.
Pendidikan Agama Islam di sekolah bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengamalan serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang berkembang dalam hal keimanan, ketakwaannya, berbangsa dan bernegara, serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.[15] Proses internalisasi nilai-nilai agama ini akan terwujud jika dalam sekolah ada sebuah pembiasan yang dilakukan oleh masyarakat sekolah. Dari pembiasaan yang dilakukan diharapkan akan membentuk karakter siswa yang religius.
Budaya sekolah ini merupakan seluruh pengalaman psikologis para peserta didik baik yang bersifat sosial, emosional, maupun intelektual yang diserap oleh mereka selama berada dalam lingkungan sekolah. Respon psikologis keseharian peserta didik terhadap hal-hal seperti cara-cara guru dan personil sekolah lainnya bersikap dan berprilaku (layanan wali kelas dan tenaga administratif), implementasi kebijakan sekolah, kondisi dan layanan warung sekolah, penataan keindahan, kebersihan, dan kenyamanan lingkungan sekolah, semuanya membentuk budaya sekolah. Semuanya itu akan merembes pada penghayatan psikologis warga sekolah termasuk peserta didik, yang pada gilirannya membentuk pola nilai, sikap, kebiasaan, dan perilaku.[16]

2.8  Pentingnya Pendidikan Agama Menjadi Budaya
Ada beberapa alasan mengenai perlunya Pendidikan Agama Islam dikembangkan menjadi budaya sekolah, yaitu :
1.      Orang tua memiliki hak progretif untuk memilih sekolah bagi anak-anaknya, sekolah berkualitas semakin dicari, dan yang mutunya rendah akan ditinggalkan. Ini terjadi hampir disetiap kota di Indonesia. Di era globalisasi ini sekolah-sekolah yang bermutu dan memberi muatan agama lebih banyak menjadi pilihan pertama bagi orang tua di berbagai kota. Pendidikan keagamaan tersebut untuk menangkal pengaruh yang negatif di era globalisasi.
2.      Penyelengaraan pendidikan di sekolah (negeri dan swasta) tidak lepas dari nilai-nilai, norma perilaku, keyakinan maupun budaya. Apalagi sekolah yang diselenggarakan oleh yayasan Islam.
3.      Selama ini banyak orang mepersepsi prestasi sekolah dilihat dari dimensi yang tampak, bisa diukur dan dikualifikasikan, terutama perolehan nilai UNAS dan kondisi fisik sekolah. Padahal ada dimensi lain, yaitu soft, yang mencakup : Nilai-nilai (value), keyakinan (belief), budaya dan norma perilaku yang disebut sebagai the human side of organization (sisi/aspek manusia dari organisasi) yang justru lebih berpengaruh terhadap kinerja individu dan organisasi (sekolah), sehingga menjadi unggul.
4.      Budaya sekolah mempunyai dampak yang kuat terhadap prestasi kerja. Budaya sekolah merupakan faktor yang lebih penting dalam menentukan sukses atau gagalnya sekolah. Jika prestasi kerja yang diakibatkan oleh terciptanya budaya sekolah yang bertolak dari dan disemangati oleh ajaran dan nilai-nilai agama Islam, maka akan bernilai ganda, yaitu dipihak sekolah itu sendiri akan memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif dengan tetap menjaga nilai-nilai agama sebagai akar budaya bangsa, dan di lain pihak, para pelaku sekolah seperti kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikan lainnya, orang tua murid dan peserta didik itu sendiri berarti telah mengamalkan nilai-nilai Ilahiyah, ubudiyah, dan muamalah, sehingga memperoleh pahala yang berlipat ganda dan memiliki efek terhadap kehidupannya kelak.[17]
Metode pembiasaan yang sering disebut dengan pengkondisian (conditioning), adalah upaya membentuk perilaku tertentu dengan cara mempraktekkannya secara berualang-ulang.[18] Menurut Gagne metode ini disebut direct method karena metode ini digunakan secara sengaja dan langsung untuk merubah perilaku.[19] Metode belajar conditioning tergolong dalam pendekatan behaviorisme dan merupakan kelanjutan dari teori belajar koneksionisme. Prinsip belajar yang diusung adalah bahwa belajar merupakan hasil dari hubungan antara stimulus dan respon. Dalam teori belajar koneksionisme atau teori stimulus-respon dijelaskan bahwa belajar adalah modifikasi tingkah laku organisme/individu sebagai hasil kematangan dan pengalaman.[20] Kematangan dan pengalaman merupakan hasil dari proses latihan terus menerus atau pembiasaan.
Secara praktis metode ini merekomendasikan agar proses pembelajaran memberikan kesempatan kepada siswa untuk praktek langsung (direct experience) atau menggunanakan pengalaman pengganti/tak langsung (vicarious experience).[21] Siswa diberikan pengalaman langsung yaitu dengan membiasakan mereka bersikap dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di sekolah maupun masyarakat. Praktek langsung membaca Al-Qur’an, bersalaman dengan guru, melaksanakan shalat berjamaah merupakan contoh-contoh pemberian pengalaman langsung. Pada proses pembiasaan inilah proses belajar terjadi sebab seseorang yang dikondisikan untuk membiasakan diri melakukan perilaku tertentu berarti ia berusaha untuk menyesuaikan diri dengan perilaku tersebut. Hal ini sejalan dengan pandangan Skinner bahwa belajar adalah proses adaptasi atau proses penyesuaian tingkah laku secara progresif (process of progressive behavior adaptation).[22]
Menurut teori conditioning, perubahan perilaku yang merupakan hasil dari proses belajar pembiasaan dapat diperoleh secara optimal apabila diberi penguatan (reinforcer).[23] Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan ditambahkan maka respon akan semakin kuat.[24]
Pengembangan budaya religius di sekolah adalah bagian dari pembiasaan penerapan nilai-nilai agama dalam kehidupan di sekolah dan di masyarakat. Pembiasaan ini memiliki tujuan untuk menanamkan nilai-nilai agama Islam yang diperoleh siswa dari hasil pembelajaran disekolah untuk diterapkan dalam perilaku siswa sehari-hari. Banyak hal bentuk pengamalan nilai-nilai religius yang bisa dilakukan di sekolah seperti ; saling mengucapkan salam, pembisaan menjaga hijab antara laki-laki dan perempuan (misal; laki-laki hanya bisa berjabat tangan siswa laki-laki dan guru laki-laki, begitu juga sebaliknya.), pembisaan berdoa, sholat dhuha, dhuhur secara berjamaah, mewajibkan siswa dan siswi menutup aurat, hafalan surat-surat pendek dan pilihan dan lain sebagainya.
Menurut Muhaimin Strategi pengembangan budaya agama dalam komunitas madrasah melalui tiga tataran, yaitu tataran nilai yang dianut, tataran praktik keseharian, dan tataran symbol-simbol budaya. Pada tataran nilai yang dianut, perlu dirumuskan secara bersama-sama nilai-nilai agama yang disepakati dan perlu dikembangkan di sekolah, untuk selanjutnya di bangun konmitmen dan loyalitas bersama di antara semua warga sekolah terhadap nilai-nilai yang bersifat vertical (hambl min Allah) dan Horizontal (Habl min An nas), dan hubungan dengan alam sekitarnya.
Dalam tataran praktik keseharian, nilai-nilai keagamaan yang telah disepakati tersebut diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku keseharian oleh semua warga sekolah. Dalam tataran simbol-simbol budaya, pengembangan yang perlu dilakukan adalah mengganti symbol-simbol budaya yang kurang sejalan dengan ajaran dan nilai-nilai agama dengan symbol budaya yang agamis. Perubahan symbol dapat dilakukan dengan mengubah model berpakaian dengan prinsip menutup aurat, pemasangan hasil karya peserta didik, foto-foto, dan motto yang mengandung pesan-pesan nilai keagamaan dan lain-lain.[25]
Selanjutnya Muhaimin menjelaskan bahwa strategi untuk membudayakan nilai-nilai agama di madrasah dapat dilakukan melalui : (1) Power strategi, yakni strategi pembudayaab agama di madrasah dengan cara menggunakan kekuasaan atau melalui people’s power, dalam hal ini peran kepala madrasah dengan segala kekuasaannya sangat dominan dalam melakukan perubahan; (2) persuasive strategy, yang dijalankan lewat pembentukan opini dan pandangan masyarakat warga madrasah; dan (3) normative re-educative. Artinya norma yang berlaku di masyarakat termasyarakatkan lewat education, dan mengganti paradigm berpikir masyarakat madrasah yang lama dengan yang baru. Pada strategi pertama tersebut dikembangkan melalui pendekatan perintahdan larangan atau reward dan punishment. Sedangkan strategi kedua dan ketiga tersebut dikembangkan melalui pembiasaan, keteladanan, dan pendekatan persuasif atau mengajak pada warganya dengan cara yang halus, dengan memberikan alasan dan prospek baikyang bisa menyakinkan mereka.[26]
Strategi –strategi tersebut bisa terlaksana dengan baik manakala ada sebuah kerjasama yang baik antara semua waga sekolah, baik kepala sekolah sebagai manajer, guru, karyawan dan siswa.Sehingga lingkungan religius lebih mudah diciptakan. Nuansa religius di sekolah akan sangat sulit di ciptakan manakala kewajiban untuk melaksanakan nilai-nilai agama hanya diwajibkan pada semua siswa. Hal ini akan berdampak pada pembisaan siswa dimana dalam menjalankan nilai-nilai religius di sekolah hanya pada tataran menunaikan kewajiban saja bukan pada proses kesadaran. Akibatnya nilai-nilai agama yang menjadi sebuah pembiasaan di sekolah tidak mampu membentuk karakter siswa di luar sekolah.

2.9  Strategi Penerapan Budaya
Untuk mewujudkan budaya agama disekolah, menurut Tafsir ada beberapa strategi yang dapat dilakukanoleh para praktisi pendidikan, di antaranya melalui: (1) memberikan contoh (teladan); (2) membiasakan hal-hal yang baik; (3) menegakkan disiplin; (4) memberikan motivasi dan dorongan; (5) memberikan hadiah terutama secara psikologis; (6) menghukum (mungkin dalam rangka kedisiplinan); (7) pembudayaan agama yang berpengaruh bagi pertumbuhan anak.[27]
Muhaimin dalam bukunya Rekonstruksi Pendidikan Islam menjelaskan bahwa: Strategi pengembangan budaya agama di Sekolah meminjam teori Koentjaraningrat (1974) tentang wujud kebudayaan, meniscayakan adanya upaya pengembangan dalam tiga tataran, yaitu tataran nilai yang dianut, tataran praktik keseharian, dan symbol-simbol budaya.
1.         Dalam tataran nilai yang dianut perlu dirumuskan secara bersama nilai-nilai agama yang disepakati dan perlu di kembangkan di Sekolah, untuk selanjutnya dibangun komitmen dan loyalitas bersama diantara semua warga sekolah terhadap nilai-nilai yang disepakati. Seperti hubungan manusia atau warga sekolah dengan Allah ( hubungan vertical ) dan yang horizontal berwujud hubungan manusia atau warga sekolah dengan sesamanya, dan hubungan mereka dengan lingkungan dan alam sekitarnya.
2.         Dalam tataran praktik keseharian, nilai-nilai keagamaan yang disepakati tersebut diwujudkan dalam bentuk sikap dan prilaku keseharian oleh warga sekolah. Proses pengembangan tersebut dapat dilakukan dengan tiga cara, Pertama, sosialisasi nilai-nilai agama yang disepakati sebagai sikap dan prilaku ideal yang ingin dicapai pada masa mendatang di sekolah. Kedua, penetapan action plan mingguan atau bulanan sebagai tahanan dan langkah sistematis yang akan dilakukan oleh semua warga disekolah dalam melaksanakan nilai-nialai agama yang telah disepakati tersebut. Ketiga, Pemberian penghargaan terhadap prestasi warga sekolah, seperti guru, tenaga kependidikan, dan peserta didik sebagai usaha pembiasaan ( habit formation) yang menjunjung sikap dan prilaku komitmen dan loyal terhadap ajaran dan nilai-nilai agama yang disepakati.
3.         Dalam tataran simbol-simbol budaya, Pengembangan yang perlu dilakukan adalah mengganti symbol-simbol budaya yang kurang sejalan dengan ajaran dan nilai-nilai agama dengan symbol budaya yang agamis. Perubahan symbol dapat dilakukan dengan mengubah model berpakaian dengan prinsip menutup aurat , pemasangan hasil karya peserta didik, foto-foto dan moto yang mengandung pesan-pesan nilai-nilai keagamaan dan lain-lain.[28]
Kepala sekolah dan guru perlu membuat sebuah standar pelaksanaan dan tahapan penerapan budaya religius di sekolah. Sehingga keberhasilan pengembangan budaya religius bisa dievaluasi. Muhaimin29memberikan contoh standart dan tahapan yang berkelanjutan dalam pengembangan budaya religius seperti misalnya; a) dilaksanakan sholat berjamaah dengan tertib dan disiplin di masjid madrasah, b) tidak terlibat dalam perkelahian antar-peserta didik, c) sopan santun berbicara antara peserta didik, peserta didik dengan guru dan tenaga kependidikan, antara guru dengan guru, anatara guru dan tenaga kependidikan dan lainnya, d) cara berpakaian peserta didik dan guru yang islami, e) cara pergaulan peserta didik dan guru sesuai dengan norma islam, terciptanya budaya senyum, salam dan sapa dan lain sebagainya.[29]
Menurut Muhaimin, agar pendidikan agama Islam di sekolah dapat membentuk peserta didik yang memiliki iman, takwa, dan akhlak         mulia, maka proses pembelajaran pendidikan agama harus menyentuh tiga aspek secara terpadu. Tiga aspek yang dimaksud adalah: (1) knowing, yakni agar peserta didik dapat mengetahui dan memahami ajaran dan nilai-nilai agama; (2) doing, yakni agar peserta didik dapat mempraktikkan ajaran dan nilai-nilai agama; dan (3) being, yakni agar peserta didik dapat menjalani hidup sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai agama. Ini tentunya tidak hanya mengandalkan pada proses belajar-mengajar di dalam atau di luar kelas yang hanya dua jam pelajaran untuk jenjang SMA/K per pekannya. Namun dibutuhkan pembinaan perilaku dan mentalitas being religiousmelalui pembudayaan agama dalam komunitas sekolah, keluarga, dan lingkungan masyarakat di mana para siswa tinggal dan berinteraksi.
Keberagamaan atau religiusitas seseorang diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupannya. Aktifitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah),tetapi juga melakukan aktivitas yang didorong olehkekuatan supranatural. Bukan hanya berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat oleh mata, tetapi juga aktivitas yang tidak tampak dan terjadi dalam hati seseorang.[30]
Menurut Nurcholis Madjid, agama bukanlah sekedar tindakan-tindakan ritual seperti shalat dan membaca do’a. Agama lebih dari itu, yaitu keseluruhan tingkah laku manusia yang terpuji, yang dilakukan demi memperoleh ridla atau perkenan Allah.Agama dengan demikian meliputi keseluruhan tingkah laku manusia dalam hidup ini, yang tingkah laku itu membentuk keutuhan manusia berbudi luhur atas dasar percaya atau iman kepada Allah dan tanggung jawab pribadi di hari kemudian.[31] (Madjid, 2010: 93).
Dari uraian di atas dapat di pahami bahwa pengembangan budaya religius di sekolah harus memiliki landasan yang kokoh baik secara normatif religius maupun konstitusional. Sehingga semua lembaga pendidikan secara bersama-sama memiliki tujuan untuk mengembangkan budaya religius di komunitasnya. Oleh Karena itu diperlukan sebuah rancangan dan tategi yang baik untuk melakukan pengembangan budaya religius dengan tetap memperhatikan dan mempertimbangkan pendidikan multikultural.
Suasana keagamaan di lingkungan sekolah dengan berbagai bentuknya, sangat penting bagi proses penanaman nilai agama pada siswa. Proses penanaman nilai agama islam pada siswa disekolah akan menjadi lebih intensif dengan suasana kehidupan sekolah yang islami, baik yang Nampak dalam kegiatan, sikap maupun prilaku , pembiasaan, penghayatan, dan pendalaman.
Budaya sekolah merupakan seluruh pengamalan psikologis para peserta didik baik yang bersifat sosial, emosional maupun intelektual yang diserap oleh mereka selama berada dalam lingkungan sekolah.Respon psikologis keseharian peserta didik terhadap hal-hal seperti cara-cara guru dan personel sekolah lainnya bersikap dan berperilaku, implementasi kebijakan sekolah, kondisi dan layanan kantin sekolah, penataan keindahan, kebersihan dan kenyamanan lingkungan sekolah, semuanya membentuk budaya sekolah. Semua itu akan merembes pada penghayatan psikologis warga sekolah termasuk peserta didik, yang pada gilirannya membentuk pola nilai, sikap, kebiasaan, dan perilaku.
Pelaksanaan pengembangan budaya religius di sekolah tidak akan berjalan dengan baik jika tanpa dukungan dan komitmen dari berbagai pihak, di antaranya adalah pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama atau Pemerintah Daerah, kebijakan kepala sekolah, guru pendidikan agama Islam, guru mata pelajaran umum, pegawai sekolah, komite sekolah, dukungan siswa (OSIS), lembaga dan ormas, keagamaan serta partisipasi masyarakat luas. Jika semua elemen ini dapat bersama-sama mendukung dan terlibatdalam pelaksanaan pengamalan budaya agama di sekolah maka bukan sesuatu yang mustahil hal ini akan terwujud dan sukses.
Sebagai upaya sistematis menjalankan pengamalan budaya agama (Islam) di sekolah perlu dilengkapi dengan sarana pendukung bagi pelaksanaan pengamalan budaya agama (Islam) di sekolah, di antaranya; musholla atau masjid, sarana pendukung ibadah (seperti: tempat wudhu, kamar mandi, sarung, mukena, mimbar, dsb.), alat peraga praktik ibadah, perpustakaan yang memadai, aula atau ruang pertemuan, ruang kelas sebagai tempat belajar yang nyaman dan memadai, alat dan peralatan seni Islami, ruang multimedia, laboratorium komputer, internet serta laboratorium PAI.



















BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
1.      Budaya sekolah adalah sekumpulan nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan symbol-simbol yang dipraktikkan oleh kepala sekolah, guru, petugas administrasi, peserta didik, dan masyarakat sekitar sekolah
2.       Budaya religius dalam sekolah/madrasah adalah segala norma, nilai, aturan, kegiatan, perilaku dan bahkan asumsi dasar yang dibentuk dan dibiasakan oleh pendidik untuk disampaikan kepada peserta didik yang berlandaskan pada Al-Qur‟an dan AlHadits
3.      Nilai-nilai akhlak yang dikembangkan di sekolah/ madrasah hendaknya dilaplikasikan dengan sebaik-baiknya dari jenjang SD/MI, SMP/MTS, dan SMA/MA agar terciptanya budaya sekolah yang religious.
4.      Cara Membangun Budaya Sekolah yang Religius dengan membentuk kegiatan menumbuhkan budaya keberagamaan (Religious Culture) dan budaya keberagamaan dengan kecakapan hidup
5.      Hal ini sangat penting karena pelaksanaan pendidikan agama Islam di butuhkan pembiasaan atau praktek-praktek agama yang menghubungkan manusia dengan Tuhannya.
6.      Dari proses pembiasaan itulah akan membentuk pendidikan Tauhid pada diri anak, yang akan membawa pada proses kesadaran bahwa apa yang dilakukan manusia setiap hari akan senantiasa terlihat dan tercatat dengan baik oleh Allah SWT.
7.      Dengan demikian Pendidikan agama di sekolah bukan hanya pada tataran kognitif saja, namun bagaimana membentuk kesadaran pada siswa untuk melaksanakan dan membudayakan nilai-nilai pendidikan agama dalam kehidupan sehari-hari.
3.2  Saran
Agar pengembangan budaya religius berhasil dengan baik, diperlukan beberapa strategi antara lain ; memberikan contoh (teladan); membiasakan hal-hal yang baik; menegakkan disiplin; memberikan motivasi dan dorongan; memberikan hadiah terutama secara psikologis; menghukum (mungkin dalam rangka kedisiplinan); dan pembudayaan agama yang berpengaruh bagi pertumbuhan anak.



Daftar Pustaka
Danim, Sudarwan. 2003. Agenda Pembaharuan sistem pendidikan, Yogyakarta: Pusaka Pelajar.
Depkominfo. 2006. Pentingnya Pendidikan dalam Keluarga. Jakarta: Depkominfo.
Fitri, Zaenul, Agus. 2012. Pendidikan Karakter Berbasis Nilai dan Etika di Sekolah, Yogyakarta: Ar-ruz Media.
Hergenhahn B.R., dan Olson Matthew H. 1997. An Introduction to Theories of Learning, Fifth Edition. Prentice HallInternational.
Majid, Abdul dkk. 2011. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. PT. Remaja Rosdakarya : Bandung
Madjid, Nurcholis. 2010. Masyarakat Religius Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan, Jakarta: Paramadina.
Muhaimin. 2003. Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum Hingga Redifinisi Islamisasi Pengetahuan, Bandung: Rosda Karya.
Muhaimin. 2006. Nuansa Baru Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Rajawali Grafindo Persada.
Muhaimin. 2009. Rekonstruksi Pendidikan Islam; Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Muhaimin. 2008. Pemikiran Dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Pers.
Muhaimin. 2006. Pengembangan Kurikulum PAI Di Sekolah, Madrasah, Dan Perguruan Tinggi. Jakarta : PT. Rajawali Grafindo Persada.
Muhaimin. 2010. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam; di Sekolah. Madrasah, dan Perguruan Tinggi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Peraturan Pemerintah No. 55 tahun 2007 Bab II tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Robert M. Gagne Et All,. 2005. Principles of Instructional Design, Fifth EditionThomson Learning, Belmont-CA.
Sanjaya, Wina. 2009. Strataegi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Cet. 6. Jakarta: Kencana.




[1] M. Joko Susilo,Pembodohan siswa tersistematis (Yogyakarta: PINUS Book Publiser, 2007), hlm. 4.
[2] Saekhan Muchits, Pembelajaran Kontekstual (Semarang: RaSAIL Media Group, 2008), hlm. 3.
[3] Agus Zaenul Fitri, Pendidikan Karakter Berbasis Nilai dan Etika di Sekolah (Jogjakarta: Ar-ruz Media, 2012), hlm. 10-11.
[4] Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum, hingga Strategi Pembelajaran,(Jakarta: Rajawali Press, 2009), hlm. 308
[5] ibid 308
[6] Muhaimin, Suti‟ah, dan Sugeng Listyo Prabowo, hlm. 48
[7] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami: Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu Memanusiakan Manusia, (Bandung: P.T Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 224
[8] H.A.RTilaar, Pendidikan, Kebudayan, dan Masyarakat Madani Indonesia, hlm 54
[9] ibid  hlm 55
[10] Muhaimin, Pengembagan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 2005),
hlm. 20
[11] Abdul Majid, dkk, 2011, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (PT. Remaja Rosdakarya : Bandung), h. 169
[12] Depkominfo, 2006, Pentingnya Pendidikan dalam Keluarga, (Jakarta: Depkominfo)

[13] Ishomuddin, MS., Spektrum Pendidikan Islam Retropeksi Visi dan AKsi (Malang: UMM Press. 1996), hlm. 181.
[14] Djamaluddin Ancok, Psikologi Islami, Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. II, 1995), hlm. 76
[15] Abdul Majid & Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi (Bandung: PT. Remaja Rosdyakarya, 2005), hlm. 135.
[16] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum PAI di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi (Jakarta: PT. Rajawali Grafindo Persada, 2006), hlm. 133.
[17] Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Rajawali Grafindo Persada, 2006), hlm. 133-136.
[18] Wina Sanjaya, Strataegi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan (Jakarta: Kencana, Cet. 6, 2009), hlm. 118.
[19] Robert M. Gagne Et All., Principles of Instructional Design - Fifth Edition (Thomson Learning, Belmont-CA, 2005), hlm. 96.
[20] Zakiah Darajat, dkk., Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam (Jakarta: Bumi Aksara dan Dirjen Binbaga Depag RI, 1995), hlm. 5.
[21] Hergenhahn B.R., dan Olson Matthew H., An Introduction to Theories of Learning (Prentice Hall International, Fifth Edition, 1997), hlm. 326.
[22] Muhibbin Syah, Psikologi Belaja (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hlm. 64.
[23] Ibid.
[24] Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hlm. 20-21.
[25] Muhaimin, Pemikiran Dan Aktualisasi…, hlm. 135-136.
[26] Ibid., hlm. 136.
[27] Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004), hlm. 112.
[28] Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam; Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), hlm. 182.
[29] Muhaimin, Pemikiran Dan Aktualisasi…, hlm. 136.
[30] Djamaluddin Ancok, Psikologi Islami, Solusi Islam…, hlm. 76.
[31] Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan (Jakarta: Paramadina, 2010), hlm. 93.

No comments:

Post a Comment