kajian mengenai pola hidup sederhana dan perintah menyantuni kaum dluafa

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
       Manusia cenderung mementingkan kehidupan dunia dengan sifat materialistik yang sebenarnya bersifat sementara dibandingkan dengan kehidupan akhirat yang abadi. Sifat dasar manusia yang buruk ini sebenarnya ada pemecahannya, yaitu dengan menerapkan pola hidup sederhana. Tujuannya agar tidak semata-mata dunia yang menjadi tujuan hidup, namun akhirat menjadi tujuan utama. Seorang muslim yang beriman haruslah mampu menerapkan kehidupan sederhana dalam aktifitas kesehariannya.
       Membantu sesama muslim yang kurang mampu merupakan sifat mulia. Hal ini bisa diwujudkan dengan membantu para duafa yang memang lemah dalam hal ekonomi. Kaum dhuafa ini diantaranya fakir, miskin, yatim piatu, janda-janda tua, dan orang-orang yang secara ekonomi sangat lemah, bahkan tidak mampu mencukupi kebutuhannya. Dengan membantu mereka diharapkan dapat meringankan beban hidup yang mereka anggap berat. Para dluafa yang menerima bantuan dari kaum muslimin hatinya akan merasa senang. Dengan demikian, akan terhapus rasa iri dan dengki, juga terhapus juga jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Hidup sederhana bukan berarti kita menjadi fakir, namun bagaimana kita bersikap tunduk atau rendah diri di hadapan Allah SWT.

1.2. Rumusan Masalah
Dari makalah ini dapat di rumuskan sebagai berikut :
1.      Bagaimana kajian mengenai pola hidup sederhana dan perintah menyantuni kaum dluafa?
2.      Bagaimana hakikat pola hidup sederhana dalam Q.S al-Qashash: 79-82?
3.      Bagaimana ayat Al-Quran yang menjelaskan mengenai pola hidup sederhana dan perintah menyantuni kaum dluafa (QS. al-Israa’: 26-27, 29-30 dan QS. al-Baqarah: 177)?
4.      Bagaimana hadis yang meriwayatkan pola hidup sederhana dan perintah menyantuni kaum dluafa?


1.3.Tujuan
Dari rumusan masalah diatas makalah ini bertujuan sebagai berikut :
1.      Memahami kajian mengenai pola hidup sederhana dan perintah menyantuni kaum dluafa.
2.      Memahami hakikat pola hidup sederhana dalam Q.S al-Qashash: 79-82.
3.      Memahami ayat Al-Quran yang menjelaskan mengenai pola hidup sederhana dan perintah menyantuni kaum dluafa dalam QS. al-Israa’: 26-27, 29-30 dan QS. al-Baqarah: 177.
4.      Memahami hadis mengenai pola hidup sederhana dan perintah menyantuni kaum dluafa.





















BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Kajian Mengenai Pola hidup Sederhana dan Perintah Menyantuni Kaum Dluafa
Hidup sederhana menurut islam merupakan suatu hal yang sangat dianjurkan, karena dapat menghindarkan manusia dari sifat sombong, iri, dan dengki. Meskipun pola hidup sederhan ini sangat jauh dari kata kemewaha, namun ini menjadi anjuran untuk umat islam. Itulah kenapa Allah SWT sangat membenci orang yang senang bermegah-megahan. Hal ini ditegaskan lagi oleh Rasulullah saw selama hidupnya.
Hidup sederhana ialah hidup sebatas mencukupi kebutuhan yang di perlukan tanpa berlebih-lebihan dan melampaui batas. Dari ukuran kesehatan etika dan syarat, kelebihan dalam segala hal tidak akan meraih kebaikan.
Manusia adalah makhluk sosial, kebersamaan sekian banyak individu dalam satu wilayah membentuk masyarakat yang sifatnya berbeda dengan individu-individu tersebut.
Manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan masyarakatnya, bahakan sekian banyak pengetahuan yang diperolehnya melalui masyarakat, seperti bahasa, adat istiadat, etika sopan santun dan lain-lain.
Demikian juga dalam bidang ekonomi  betapapun seseorang memiliki kepandaian, namun hasil-hasil materiel yang diperolehnya adalah berkat bantuan pihak-pihak lain baik secara langsung disadarinya maupun tidak.
Seseorang petani berhasil di dalam pertaniannya karena adanya irigasi, alat-alat (walaupun sederhana), makanan, pakaian, stabilitas keamanan yang kesemuanya tidak dapat ia wujudkan kecuali oleh kebersamaan pribadi-pribadi tersebuta atau dengan kata lain masyarakat, Seorang pedagang demikian pula halnya, siapa yang menjual kepadanya dan siapa pula yang membelinya kalau bukan masyarakat itu?
Dari segi lain, harus disadari bahwa produksi apapun bentuknya, pada hakikatnya merupakan pemanfaatan materi-materi yang telah diciptakan dan dimiliki Allah SWT. Manusia dalam berproduksi hanya mengadakan perubahan, penyesuaian, atau perakitan satu bahan dengan bahan yang lain.
Demikian itu yang terlihat dalam bidang pertanian, industri, jasa dan sebagainya. Allah SWT menciptakan bahan mentahnya dan manusia atas petunjuk atau ilham Allah SWT yang mengelolanya. Dengan demikian Allah SWT menyatakan bahwa harta adalah milik-Nya, dan Allah SWT memerintahkan untuk menegeluarkan sebagian dari apa yang dimilikinya itu untuk orang-orang tertentu.








2.2  Hakikat Pola Hidup Sederhana dalam Q.S al-Qashash: 79-82


Artinya :

79. Maka keluarlah Karun kepada kaumnya dalam kemegahannya[1139]. berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: "Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Karun; Sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar".

80. berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: "Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang- orang yang sabar".

81. Maka Kami benamkanlah Karun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golonganpun yang menolongnya terhadap azab Allah. dan Tiadalah ia Termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).

82. dan jadilah orang-orang yang kemarin mencita-citakan kedudukan Karun itu, berkata: "Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hambanya dan menyempitkannya; kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai benarlah, tidak beruntung orang- orang yang mengingkari (nikmat Allah)".

[1139] Menurut mufassir: Karun ke luar dalam satu iring-iringan yang lengkap dengan pengawal, hamba sahaya dan inang pengasuh untuk memperlihatkan kemegahannya kepada kaumnya.


Lafadz
Arti
Lafadz
Arti
maka (ia [lk]) keluar
Maka tidak
atas/terhadap
Ada
Kaumnya
Baginya
Dalam
Dari
Perhiasan/kemegahan
Golongan
Berkata
Mereka menolongnya
Orang-orang yang
Dari
(Mereka) menghendaki
Selain
Kehidupan
Allah
Dunia
Dan tidak
Moga-moga kiranya
Ada
Bagi kita (kita mempunyai)
Dari/termasuk
Seperti
Orang-orang yang dapat menolong
Apa
Dan jadilah
Diberikan
Orang-orang yang
Karun
(mereka) menginginkan
Sesungguhnya dia
Kedudukannya
Benar-benar mempunyai
Dengan kemarin
Nasib baik/peruntungan
Mereka berkata
Yang besar
Aduhai bahwasannya
Dan berkata
Allah
Orang-orang yang
Melapangkan
(mereka) diberi
Rezeki
Ilmu
Bagi siapa
Kecelakaan kamu
Dia kehendaki
Pahala
Dari
Allah
Hamba-hamba Nya
Lebih baik
Dan Dia menyempitkan
Bari orang
Jika tidak
آمَنَ
Ia beriman
Bahwa
Dan beramal
Karunia
Kebajikan/sholeh
Allah
Dan tidak
Atas kami
Ditemuinya/diperoleh
Tentu Dia telah membenamkan
Kecuali
Dengan kami
Orang-orang yang sabar
Aduhai bahwasannya
Maka kami benamkan
Tidak
Dengannya
Beruntung
Dan dengan rumahnya
Orang-orang yang ingkar
Bumi




Tafsir
79. Maksudnya adalah, Karun keluar kepada kaumnya dengan kemegahan perhiasan.
80. Maksudnya adalah, ketika orang-orang yang dianugerahi ilmu tentang Allah, melihat Karun keluar dengan kemegahannya, dan mendengar orang-orang berkata “Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Karun,” mereka berkata, “Celakalah kamu! Bertakwalah dan taatlah kepada Allah. Sesungguhnya balasan dari Allah di akhirat kelak untuk orang beriman kepada-Nya dan rasul-Nya adalah, melaksanakan amal salih yang dibawa oleh para rasul itu. Balasan dari Allah lebih baik daripada kemegahan dan harta yang diberikan kepada Karun.” Firman-Nya, “dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang-orang yang sabar,”  maksudnya adalah, tidak ada yang diberi taufik untuk mengucapkan kalimat itu, yaitu “pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang ynag beriman dan beramal shalih.”
81. Maksudnya adalah, maka Kami benamkan Karun beserta keluarganya yang ada di dalam rumahnya. Ada yang berpendapat, “Beserta rumahnya.” Karena diriwayatkan bahwa ketika Nabi Musa AS memerintahkan bumi agarmenangkap Karun, Nabi Musa AS memerintahkan agar bumi menangkap Karun dan teman-temannya yang ada di dalam rumahnya. Mereka terdiri dari beberapa yang sedang duduk-duduk bersama Karun. Sifat mereka sama seperti sifat Karun, sama-sama munafik dan saling membantu menyakiti Nabi Musa AS.
82. Maksudnya adalah, orang-orang yang kemarin menginginkan kedudukan duniawi Karun, kekayaan dan hartanya yang banyak, serta kelapangan rezekinya, sebelum murka dan hukuman Allah diturunkan, saat ini mereka berkata “Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya dan menyempitkannya.”[1]

Analisis
Pada ayat ini terkandung makna suatu kisah umat terdahulu, yaitu Qarun yang hidup dengan bergelimanagn harta. Qarun hidup pada zaman Nabi Musa AS. Allah SWT mengaruniai karun harta yang sangat melipah. Begitu banyaknya harta yang dimiliki oleh Qarun sampai-sampai kunci gudang hartanya itu tidak bisa diangkat oleh puluhan orang. Namu sayangnya, harta yang melimpah ini membuat Qarun lupa diri dan menjadikannya takabur. Dia mngatakan bahwa harta yang dia miliki itu adalah hasil dari usahanya sendiri, bukan karena adanya rahmat Allah.
Pada suatu hari, Qarun keluar dengan segala kemegahannya dan dikawal oleh para pengawalnya. Tujuannya adalah untuk memamerkan kekayaannya kepada masyarakat dan menunjukkan kepada masyarakat akan kehebatan dirinya dalam berusaha.
            Dinyatakan pada ayat berikutnya bahwa orang yang mempunyai ilmu dan akal sehat, sama sekali tidak akan tertarik oleh harta yang dimaerkan oleh Qarun tersebut. Apalah artinya harta jika tidak dapat mendatangkan kebahagian di akhirat. Mereka mengatakan bahwa pahala Allah SWT lebih penting dan sangat bernilai harganya dibandingkan harta. Sebab, harta yang tidak diberkahi seperti kekayaan yang dimiliki Qarun tersebut hanya akan mendatangkan azab dari Allah SWT. Orang yang saleh meyakini bahwa Allah SWT hanya akan memberikan pahala kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh.
            Allah SWT  menegaskan bahwa akibat kesombongan dan ketakaburannya, Qarun ditenggelamkan beserta semua harta yang dia miliki ke dasar bumi dan tidak lagi ditemukan bekas-bekasnya. Akhirnya, menjadi sebutan setiap orang yang menemukan sesuatu yang bernilai dari dalam tanah, sering disebut harta karun.
            Ditenggelamkannya Qarun ke dasar bumi merupakan azab Allah SWT atas kesombongnnya. Ketika azab itu datang, tidak ada seorangpun yang mampu menolong dia. Bahakan dia sendiri tidak mampu untuk menolong dirinya sendiri, apalagi menolong orang lain. Harta kekayaan yang dia sombongkan juga tidak dapat mampu berbuat apa-apa, kecuali ikut hancur ke dasar bumi bersama Qarun.
            Dengan kejadian ini, masyarakat yang awalnya menginginkan harta seperti Qarun menjadi sadar dan kembali bertaubat kepada Allah SWT. Mereka menyadari bahwa harta benda tidak akan menolong azab yang diberikan dari Allah SWT. Harta hanyalah titipan dan amanah yang harus digunakan sesuai dengan kehendak Allah. Jika tidak, maka harta itu akan mendatangkan bencana bagi pemiliknya.
Perilaku orang yang mengamalkan isi kandungan ayat
Islam tidak melarang umatnya memiliki harta sebanyak – banyaknya, bahkan sangat dianjurkan untuk berusaha sekuat tenaga mendapatkan harta yang banyak dan halal, dan menggunakannya sesuai dengan petunjuk Allah SWT. Berdasarkan ayat diatas, ada beberapa perilaku orang muslim yang mengamalkan isi kandungannya, yang dapat diidentifikasi dalam perilaku kehidupan sehari – hari, diantaranya sebagai berikut :
a.        Tidak bersikap sombong dengan harta yang dimilikinya
Kebiasaan manusia, ketika memiliki suatu kelebihan selalu bersikap sombong dan angkuh. Namun, itu hanya dilakukan oleh orang – orang yang tidak beriman. Adapun bagi mereka yang memiliki keimanan yang kuat serta mengamalkan isi kandungan ayat Al-Qur’an, niscaya tidak bersikap sombong atas harta yang dimilikinya. Meskipun harta kekayaannya tersebut sangat melimpah ruah, tak terhitung jumlahnya dan tak ternilai harganya, namun ia tetap bersikap rendah hati, sopan dalam ucapan, santun dalam perbuatan, dan selalu bersikap dermawan kepada sesame. Dengan demikian, hartanya mendatangkan berkah dari Allah SWT.

b.        Menjadikan harta sebagai media untuk beribadah kepada Allah SWT.
Harta adalah titipan AllahSWT, yang harus digunakan sesuai dengan kehendak pemberinya. Seorang yang beriman dan mengamalkan isi kandungan Al-Qur’an , niscaya menjadikan harta sebagai media untuk beribadah kepada Allah SWT, baik dengan cara bersedekah, berzakat, maupun cara – cara lainnya. Jadi, semakin banyak harta yang dimilikinya, akan semakin rajin ibadahnya kepada Allah SWT.

c.         Menjadikan harta sebagai media untuk mencari ilmu
Menyadari betapa pentingnya ilmu pengetahuan, baik ilmu agama maupun umum, tentu setiap muslim wajib mencari ilmu dan mempelajarinya sepanjang hayat. Untuk mencari ilmu dip;erlukan biaya yang cukup, maka adanya harta kekayaan dapat digunakan sebagai media atau alat untuk mencari ilmu. Semakin banyak harta seorang muslim, hendaknya semakin tinggi ilmu dan pendidikan yang didapatnya. Sebab dengan harta itu, peluang untuk mendapatkan ilmu dan pendidikan semakin terbuka luas.

d.        Menghindari sikap boros
Harta memang manis dan sangat menyenangkan. Kita dapat melakukan apa saja dengan harta yang dimiliki. Tetapi seorang muslim yang beriman dan mengamalkan isi kandungan Al-Qur’an, niscaya tidak akan melakukan perbuatan foya–foya, hura–hura, dan menghambur-hamburkan harta yang dimilikinya. Melainkan semakin bertambah hartanya, hidupnya semakin sederhana dan hatinya semakin merendah. Ia akan menggunakan hartanya sesuai keperluan dan sesuai petunjuk Allah SWT.


2.3  Pola Hidup Sederhana dan Perintah Menyantuni Kaum Dluafa dalam QS. al-Israa’: 26-27, 29-30

Al-Israa 26-27

ÏN#uäur #sŒ 4n1öà)ø9$# ¼çm¤)ym tûüÅ3ó¡ÏJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# Ÿwur öÉjt7è? #·ƒÉö7s? ÇËÏÈ   ¨bÎ) tûïÍÉjt6ßJø9$# (#þqçR%x. tbºuq÷zÎ) ÈûüÏÜ»u¤±9$# ( tb%x.ur ß`»sÜø¤±9$# ¾ÏmÎn/tÏ9 #Yqàÿx. ÇËÐÈ  
Artinya :
26. Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
27. Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah sudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.
Lafadz
Arti
Lafadz
Arti
كَانُوا
Adalah
وَآتِ
Dan berikanlah

إِخْوَانَ
Saudara
ذَا الْقُرْبَى
Kepada keluarga terdekat
الشَّيَاطِينِ
Setan- setan
حَقَّهُ
Akan haknya
وَكَانَ
Dan adalah

وَالْمِسْكِينَ
Dan orang miskin
الشَّيْطَانُ
Setan
وَابْنَ السَّبِيلِ
Dan orang yang dalam perjalanan
لِرَبِّهِ
Kepada Tuhannya
وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا
Dan janganlah menghamburkan hartamu secara boros



إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ
Sesungguhnya pemboros itu


Munasabah
Pada ayat-ayat ini, Allah memerintahkan mereka untuk berbuat baik kepada keluarga dekat dan orang-orang miskin sebagai bagian dari tanggung jawab social, dan melarang mereka berlaku boros (tabzir).
Asbabun Nuzul
Surah Al Isra dikenal juga dengan nama Surah Bani Israil yang termasuk golongan surat Makiyah. Pada ayat 26-27 ini mempunyai asbanun nuzul yang diriwayatkan oleh At Thabrani yang bersumber dari Abu Sa`id Al Khudri dan dalam riwayat lain oleh Ibnu Marduwaih yang bersumber dari Ibnu Abbas bahwa ketika turun ayat ini, Rasulullah saw, memberikan tanah di Fadak (tanah yang diperoleh Rasulullah dari pembagian ganimah atau rampasan perang ) kepada Fatimah.
Tafsir
(26) Pada ayat ini, Allah SWT memerintahkan kepada kaum Muslimin agar memenuhi hak keluarga dekat, orang-orang miskin, dan orang-orang yang dalam perjalanan. Hak yang harus dipenuhi itu ialah: memperat tali persaudaraan dan hubungan kasih sayang, mengunjungi rumahnya dan bersikap sopan santun, serta membantu meringankan penderitaan yang mereka alami. Sekiranya ada diantara keluarga dekat, ataupun orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan itu memerlukan biaya untuk memenuhi kebutuhan mereka. Orang-orang yang dalam perjalanan yang patut diringankan penderitaannya ialah orang yang melakukan perjalanan karena tujuan-tujuan yang dibenarkan oleh agama. Orang yang demikian keadaannya perlu dibantu dan ditolong agar bisa mencapai tujuannya.
Di akhir ayat, Allah SWT melarang kaum Muslimin bersikap boros yaitu membelanjakan harta tanpa perhitungan yang cermat sehingga menjadi mubazir. Larangan ini bertujuan agar kaum muslimin mengatur pengeluarannya dengan perhitungan yang secermat-cermatnya, agar apa yang dibelanjakan sesuai dengan keperluan dan pendapatan mereka. kaum Muslimin juga tidak boleh menginfakkan harta kepada orang-orang yang tidak berhak menerimanya, atau memberikan harta melebihi dari yang seharusnya.
Keterangan lebih lanjut tentang bagaimana seharusnya kaum Muslimin membelanjakan hartanya disebutkan dalam firman Allah SWT : (al-Furqan/25;67)
67. dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.

(27) Kemudian Allah SWT menyatakan bahwa para pemboros adalah saudara setan. Ungakapan serupa ini biasa dipergunakan oleh orang-orang Arab. Orang yang membiasakan diri mengikuti peraturan suatu kaum atau mengikuti jejak langkahnya, disebut saudara kaum itu. Jadi orang-orang yang membororskan hartanya berarti orang-orang yang mengikuti langkah setan. Sedangkan yang dimaksud pemboros dalam ayat ini ialah orang-orang yang menghamburka-hamburkan harta bendanya dalam perbuatan maksiat yang tentunya di luar perintah Allah. Orang-orang yang serupa inilah yang disebut kawan-kawan setan. Di dunia mereka tergoda oleh setan, dan di akhirat mereka akan dimasukkan ke dalam neraka Jahanam.
Di akhir ayat dijelaskan bahwa setan sangat ingkar kepada Tuhannya, maksudnya sangat ingkar kepada nikmat Allah yang diberikan kepadanya, dan tidak mau mensyukurinya. Bahkan, setan membangkang tidak mau mentaati perintah Allah, dan menggoda manusia agar berbuat maksiat.
Al-Karkhi menjelaskan keadaan orang yang diberi kemuliaan dan harta berlimpah. Apabila orang itu memanfaatkan harta dan kemuliaan itu di luar batas-batasyang diridhai Allah, maka dia telah mengingkari nikmat Allah. Orang yang berbuat seperti itu, baik sifat maupun perbuatannya, dapat disamakan dengan perbuatan setan.
Ayat ini diturunkan Allah dalam rangka menjelaskan perbuatan orang-orang Jahiliah. Telah menjadi kebiasaan orang-orang Arab menumpuk harta yang mereka peroleh dari rampasan perang, perampokan, dan penyamunan. Harta itu kemudian mereka gunakan untuk berfoya-foya supaya mendapat kemahsyuran. Orang-orang musyrik Quraisy pun menggunakan harta mereka untuk menghalangi penyebaran agama Islam, melemahkan pemeluk-pemeluknya dan membantu musuh-musuh Islam. Ayat itu turun untuk menyatakan betapa jeleknya usaha mereka.
Analisis
Inti kandungan dari dua ayat tersebut adalah agar kita mengatur harta kita secara tepat, yaitu dengan membelanjakan di jalan Allah, memberikan bagian harta kita kepada yang berhak dan tidak menghamburkan harta kita atau boros. “dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya”. Bagian itu menerangkan tentang peringatan dari Allah SWT agar kita tidak melakukan pemborosan, menghambur-hamburkan, dan menyia-nyiakan harta yang kita miliki.
Pada ayat 26, secara jelas Allah melarang kita melakukan pemborosan, yaitu pada “Janganlah kamu”. Artinya berbuat boros adalah termasuk perbuatan yang dilarang oleh Allah.Perbuatan yang dilarang Allah berarti sesuatu yang tidak baik dan tidak membawa manfaat, terlebih lagi bila dilakukan kita akan mendapatkan dosa. Secara umum, segala bentuk pemborosan dan penghambur-hamburan harta adalah perbuatan yang dilarang dalam Islam.
Pada ayat selanjutnya yaitu di ayat 27, kita diberitahu oleh Allah SWT bahwa orang-orang yang melakukan pemborosan dan berbuat mubadzir adalah saudara setan. Padahal setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya yaitu Allah SWT. Pelaku pemborosan dan mubadzir itu adalah saudara setan, berarti mereka bersaudara dengan makhluk yang ingkar atau mengkafiri Allah SWT. Mereka sama saja melakukan perbuatan ingkar kepada Allah SWT dengan melakukan perbuatan mubadzir.
Al-Israa 29-30
Ÿwur ö@yèøgrB x8ytƒ »'s!qè=øótB 4n<Î) y7É)ãZãã Ÿwur $ygôÜÝ¡ö6s? ¨@ä. ÅÝó¡t6ø9$# yãèø)tFsù $YBqè=tB #·qÝ¡øt¤C ÇËÒÈ   ¨bÎ) y7­/u äÝÝ¡ö6tƒ s-øÎh9$# `yJÏ9 âä!$t±o âÏø)tƒur 4 ¼çm¯RÎ) tb%x. ¾ÍnÏŠ$t6ÏèÎ/ #MŽÎ7yz #ZŽÅÁt/ ÇÌÉÈ  

Artinya :
29. dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.
30. Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya; Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha melihat akan hamba-hamba-Nya.
Lafadz
Arti
Lafadz
Arti
sesungguhnya
Dan jangan
Tuhanmu
Kamu jadikan
Mengulurkan/melapangkan
tanganmu
rezeki
terbelenggu
Kepada siapa
kepada
Dia kehendaki
lehermu
Dan Dia menentukan/menyempitkan
Dan jangan
Sesungghnya Dia
Kamu mengulurkannya
Adalah Dia
Segala/habis-habis
Dengan hamba-hamba Nya
uluran
Maha Mengetahui
Maka kamu akan duduk/menjadi
Maha Melihat
tercela


penyesalan

Tafsir
(29) Selanjutnya dalam ayat ini, Allah SWT menjelaskan cara-cara yang baik dalam membelanjakan harta. Allah menerangkan keadaan orang-orang yang kikir dan pemborors dengan menggunakan ungkapan jangan menjadikan tangan terbelenggu pada leher, tetapi jangan terlalu mengulurkannya. Kedua ungkapan ini lazim digunakan orang-orang Arab. Yang pertama berarti laranagn berlaku bakhil atau kikir,sehingga enggan memberikan harta kepada orang lain, walaupun sedikit. Ungkapan kedua berarti melarang orang berlaku borors dalam membelanjakan harta, sehingga melebihi kemampuan yang dimilikinya. Kebiasaan memboroskan harta akan mengakibatkan seorang tidak mempunyai simpanan atau tabungan yang bisa digunakan ketika dibutuhkan.
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa cara yang baik dalam membelanjakan harta ialah dengan cara yang hemat, layak, dan wajar, tidak terlalu bakhil dan tidak terlalu boros. Terlalu bakhil akan menjadikan seseorang tercela, sedangkan terlalu boros akan mengakibatkan pelakunya pailit atau bangkrut.
(30) Kemudian Allah SWT menjelaskan bahwa Dialah yang melapangkan rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Dia pula yang membatasinya. Semuanya berjalan menurut ketentuan yang telah ditetapkan Allah terhadap para hamba-Nya dalam usaha mencari harta dan cara mengembangkannya. Hal ini berhubungan erat dengan alat dan pengetahuan tentang pengolahan harta itu. Yang demikian adalah ketentuan Allah yang bersifat umum dan berlaku bagi seluruh hamba-Nya. namun demikian, hanya Allah yang menetukan menurut kehendak-Nya.
Di akhir ayat ini, Allah SWT menegaskan bahwa Dia Maha Mengetahui para hamba-Nya, siapa diantara mereka yang memanfaatkan kekayaan demi kemaslahatan dan siapa pula yang menggunakan untuk kemudaratan. Dia juga mengetahui siapa di antara hamba-hamba-Nya yang dalam kemiskinan tetap bersabar dan tawakal kepada Allah, dan siapa yang karena kemiskinan , menjadi orang-orang yang berputus asa, dan jauh dari rahmat Allah. Allah Maha Melihat bagaimana mereka mengurus dan mengatur harta benda,akah mereka itu membelanjakan harta pemberian Allah itu dengan boros atau bakhil.
Oleh sebab itu, kaum Muslimin hendaknya tetap berpegang kepada ketentuan-ketentuan Allah, dengan menaati segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dalam membelanjakan harta hendaklah berlaku wajar. Hal itu termasuk sunah Allah.
Analisis
Allah mengingatkan kita agar tidak berperilaku kikir. Allah menyebutnya dengan menjadikan tangan terbelenggu diatas leher, maksudnya agar manusia tidak berlaku kikir kepada sesama, sehingga menyebabkan kita lupa bahwa dalam harta yang kita miliki ada hak orang lain.
Dalam hal ini, Allah mengajarkan kepada kita untuk bersikap perilaku sederhana, yaitu membelanjakan harta termasuk bersedekah secukupnya, Allah melarang umatnya untuk membelanjakan hartanya dengan boros.

2.4  Pola Hidup Sederhana dan Perintah Menyantuni Kaum Dluafa dalam QS. al-Baqarah: 177

* }§øŠ©9 §ŽÉ9ø9$# br& (#q9uqè? öNä3ydqã_ãr Ÿ@t6Ï% É-ÎŽô³yJø9$# É>̍øóyJø9$#ur £`Å3»s9ur §ŽÉ9ø9$# ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# Ïpx6Í´¯»n=yJø9$#ur É=»tGÅ3ø9$#ur z`¿ÍhÎ;¨Z9$#ur tA#uäur tA$yJø9$# 4n?tã ¾ÏmÎm6ãm ÍrsŒ 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur tûüÅ3»|¡yJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# tû,Î#ͬ!$¡¡9$#ur Îûur ÅU$s%Ìh9$# uQ$s%r&ur no4qn=¢Á9$# tA#uäur no4qŸ2¨9$# šcqèùqßJø9$#ur öNÏdÏôgyèÎ/ #sŒÎ) (#rßyg»tã ( tûïÎŽÉ9»¢Á9$#ur Îû Ïä!$yù't7ø9$# Ïä!#§ŽœØ9$#ur tûüÏnur Ĩù't7ø9$# 3 y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# (#qè%y|¹ ( y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)­GßJø9$# ÇÊÐÐÈ  

Artinya :
Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke arah barat, tetapi kebajkan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan salat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.
Lafadz
Arti
Lafadz
Arti
Dan orang
bukanlah
(dalam) perjalanan
Kebaikan/kebaktian
Dan orang yang minta-minta
bahwa
Dan di dalam
Kamu menghadapkan
Memerdekakan hamba sahaya
wajahmu
Dan mendirikan
Ke arah
sholat
timur
Dan menunaikan
Dan barat
zakat
Akan tetapi
Dan orang-orang yang menepati
Kebaikan/kebaktian
Pada janji mereka
orang
apabila
Dia beriman
Mereka berjanji
Dengan/kepada Allah
Dan orang-orang yang sabar
Dan hari
dalam
akhirat
kesempitan
Dan malaikat
Dan kemelaratan
Dan kitab
Dan ketika
Dan Nabi-nabi
perang
Dan memberikan
mereka itulah
harta
Orang-orang yang
Atas
Mereka benar
dicintainya
Dan mereka itu
kelompok
mereka
kerabat
Orang-orang yang bertakwa
Dan anak-anak yatim

Dan orang-orang miskin

Asbabun Nuzul
Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dari Ma’mar yang bersumber dari Qatadah. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Abul ‘Aliyah. Bahwa Qatadah menerangkan tentang kaum Yahudi, yang menganggap bahwa yang baik itu shalat menghadap ke barat, sedang kaum Nasrani mengarah ke timur, sehingga turunlah ayat tersebut di atas (al-Baqarah: 177).
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnul Mundzir, yang bersumber dari Qatadah. Bahwa turunnya ayat tersebut di atas (al-Baqarah: 177) sehubungan dengan pertanyaan seorang laki-laki yang ditujukan kepada Rasulullah saw. tentang al-birr (kebaikan). Setelah turun ayat tersebut di atas (al-Baqarah: 177), Rasulullah memanggil kembali orang itu, dan dibacakannya ayat tersebut kepada orang tadi. Peristiwa itu terjadi sebelum diwajibkan shalat fardlu. Pada waktu itu apabila seseorang telah mengucapkan ‘asy hadu al-laa ilaaha illallaahu wa asy-hadu anna muhammadaran ‘abduhu wa rasuuluh (aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya), kemudian meninggal saat dia tetap beriman, harapan besar ia mendapat kebaikan. Akan tetapi kaum Yahudi menganggap yang baik itu ialah apabila shalat mengarah ke barat, sedang kaum Nasrani menghadap ke timur.
Tafsir
Ayat ini mencakup sendi-sendi yang agung, kaidah-kaidah yang umum, dan aqidah yang lurus.
Mengenai penafsiran ayat ini adalah, ketika pertama kali Allah Ta’alamemerintahkan orang-orang mukmin menghadap Baitul Maqdis dan setelah itu Dia mengalihkan ke Ka’bah, sebagian Ahlul Kitab dan kaum muslimin merasa keberatan, maka Allah Ta’ala memberikan penjelasan mengenai hikmah dari pengalihan kiblat tersebut, yaitu yang dimaksudkan adalah taat kepada Allah Ta’ala, patuh pada semua perintah-Nya, menghadap ke mana saja yang diperintahkan, dan mengikuti apa yang telah disyari’atkan. Inilah yang disebut dengan kebaikan, ketakwaan, dan keimanan yang sempurna.
Menghadap ke arah timur ataupun barat tidak termasuk sebagai kebaikan dan ketaatan jika bukan karena perintah dan syari’at Allah. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman:
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ ءَ امَنَ باِللهِ وَالْيَوْم اْلأَخِرِ  
Tidak-lah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian…”
Sebagaimana firman-Nya mengenai hewan sembelihan kurban:
 لَن يَنَالَ اللهَ لُحُومُهَا وَلاَدِمَآؤُهَا وَلَكِن يَنَالُهُ التَّقْوَ مِنكُمْ
“Daging-daging unta dan darah-nya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj: 37)
Mengenai ayat ini, al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, katanya, “Tidaklah shalat dan beramal itu merupakan suatu kebaikan. Hal ini ketika berpindah dari Makkah ke Madinah, serta diturunkannya berbagai kewajiban dan peraturan. Maka Allah Ta’ala memerintahkan berbagai kewajiban dan pelaksanaannya.”
Abu al-Aliyah mengatakan, ketika itu orang-orang Yahudi menghadap ke arah barat, sedangkan orang-orang Nasrani menghadap ke arah timur. Maka AllahTa’ala berfirman:
                                                             لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
“Tidaklah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian.”Lebih lanjut Abu al-Aliyah menuturkan, “Itulah pembicaraan keimanan yang hakikatnya adalah pengamalan.”
Mujahid mengatakan, “Tetapi kebaikan itu adalah apa yang ditetapkan di dalam hati berupa ketaatan kepada Allah Ta’ala.”
Adh-Dhahhak menuturkan, “Tetapi kebaktian dan ketakwaan itu adalah pelaksanaan semua kewajiban menurut semestinya.”
Mengenai firman Allah Ta’ala, Î  وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ ءَ امَنَ باِللهِ وَالْيَـوْمِِ اْلأَخِرِ Ï, ats-Tsauri mengemukakan, “Demikian itu adalah semua jenis kebaikan.” Imam ats-Tsauri memang benar, karena orang yang memiliki sifat yang disebutkan di dalam ayat ini, berarti ia telah masuk ke seluruh wilayah Islam dan mengambil segala bentuk kebaikan, yaitu beriman kepada Allah Ta’ala, yang tiada sesembahan yang hak selain Dia, serta membenarkan adanya para malaikat yang mereka merupakan para duta yang menghubungkan antara Allah dan para rasul-Nya.
Beriman kepada “al-Kitab.” Al-Kitab merupakan isim jins (nama jenis) yang mencakup kitab-kitab yang diturunkan dari langit kepada para nabi hingga diakhiri oleh yang termulia di antara kitab-kitab itu, yaitu al-Qur’an yang menjadi tolok ukur bagi kitab-kitab sebelumnya, yang kepadanya semua kebaikan bermuara, meliputi segala macam kebahagiaan di dunia dan akhirat, dengannya semua kitab sebelumnya dinasakh (dihapus hukumnya, diganti dengan yang baru).
Selain itu, beriman kepada para nabi Allah Ta’ala secara keseluruhan, dari nabi pertama hingga terakhir, yaitu Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Firman Allah Ta’ala, Î وَءَ اتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ Ï “Dan memberikan harta yang dicintainya.” Artinya, menyedekahkan hartanya padahal ia sangat mencintai dan menyenanginya. Demikian dinyatakan oleh Ibnu Mas’ud, Sa’id bin Jubair, dan lainnya. Sebagimana telah diriwayatkan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim, hadits marfu’ dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَفْضَلُ الصَّدَقَةِ، أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ، شَحِيحٌ، تَأْمُلُ الْغِنَى، وَتَخْشَى الْفَقْرَ.
“Sebaik-baik sedekah adalah engkau menyedekahkan harta sedang engkau dalam keadaan sehat lagi tamak, engkau menginginkan kekayaan dan takut miskin.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Allah Ta’ala telah mengingatkan melalui firman-Nya:
لَن تّنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ
Sekali-kali kamu tidak akan meraih kebaikan hingga kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu sukai.” (QS. Ali Imran: 92).
Juga firman-Nya: Î وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ Ï “Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, meskipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).” (QS. Al-Hasyr: 9)
Inilah pola yang lain lagi, yang sangat tinggi nilainya, yaitu mereka lebih mengutamakan untuk orang lain padahal sebenarnya mereka sendiri sangat membutuhkannya. Mereka menginfakkan dan memberikan makanan yang dicintainya.
Dan firman Allah Ta’ala yang berikutnya, Î ذَوِي الْقُرْبَى Ï “Kepada ke-rabatnya.”Mereka ini lebih diutamakan untuk diberi sedekah, sebagaimana ditegaskan dalam hadits berikut ini:
الصَّدَقَةُ عَلَـى الْمَسَاكِيْنِ صَدَقَةٌ، وَعَلَـى ذَوِي الرَّحِمِ ثِنْتَانِ: صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ، فَهُمْ أَوْلَـى النَّاسِ بِكَ، وَبِبِـرِّكَ، وَإِعْطَائِكَ.
“Sedekah kepada orang-orang miskin itu hanya (berpahala satu) sedekah semata. Sedangkan sedekah kepada kerabat (berpahala) dua, yaitu sedekah dan silaturrahmi. Mereka itu orang yang paling utama untukmu dan untuk mendapatkan kebaikan serta pemberianmu.”
Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk berbuat baik kepada mereka melalui beberapa ayat di dalam al-Qur’an.
Î وَالْيَتَامَى Ï “Anak-anak yatim.” Yaitu mereka yang tidak mempunyai orang yang menafkahinya, dan ditinggal mati oleh ayahnya pada saat masih lemah, kecil, dan belum baligh serta belum mempunyai kemampuan untuk mencari nafkah.
Î وَالْمَسَاكِينَ Ï “Dan orang-orang miskin.” Yaitu mereka yang tidak dapat memenuhi kebutuhan makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Mereka ini harus diberi sedekah agar dapat menutupi kebutuhan dan kekurangannya. Dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim diriwayatkan hadits dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
لَيْسَ الْمِسْكِيْنُ بِهَذَا الطَّوَّافِ الَّذِي تَرُدُّهُ الْتَمْرَةُ وَ الْتَمْرَتَانِ، وَ الْلُّقْمَةُ وَ الْلُّقْمَتَانِ، وَ لَكِنَّ الْمِسْكِيْنَ الَّذِي لاَ يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ، وَلاَ يُفْطَنُ لَهُ فَيُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ.
“Orang miskin itu bukanlah orang yang berjalan mengelilingi orang-orang, lalu memperoleh (dari meminta-minta) satu atau dua butir kurma, sesuap atau dua suap makanan, tetapi orang miskin adalah orang yang tidak mendapatkan kekayaan yang mencukupinya, serta tidak mengerti untuk memperolehnya sehingga ia diberi sedekah.” (Muttafaqun ‘alaih).
Firman-Nya, Î وَابْنَ السَّبِيلِ Ï “Ibnu sabil.” Yaitu orang yang berpergian jauh dan telah kehabisan bekal. Orang ini perlu diberi sedekah supaya bisa sampai ke negerinya. Demikian juga orang yang akan melakukan suatu perjalanan untuk suatu ketaatan, maka dia pun perlu diberi bekal yang mencukupi keberangkatan dan kepulangannya. Dan tamu termasuk dalam kategori Ibnu sabil, sebagaimana dikatakan Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, “Ibnu sabil adalah tamu yang singgah di rumah orang-orang Muslim.” Hal yang sama juga dikatakan oleh Mujahid, Sa’id bin Jubair, Abu Ja’far al-Baqir, Hasan al-Bashri, Qatadah, adh-Dhahhak, az-Zuhri, Rabi’ bin Anas, dan Muqatil bin Hayyan.
Î وَالسَّائِلِينَ Ï “Orang-orang yang meminta-minta.” Mereka itu adalah orang yang terlihat meminta, maka ia diberi zakat dan sedekah. Imam Ahmad meriwayatkan dari Fatimah bin Husain, dari ayahnya, Abdur Rahman Husain bin Ali menceritakan, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لِلسَّائِلِ حَقٌ، وِإِنْ جَاءَ عَلَـى فَرَسٍ.     
“Orang yang meminta memiliki hak meskipun ia datang dengan menunggang kuda.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Firman-Nya, Î وَفِي الرِّقَابِ Ï “Dan (memerdekakan) hamba sahaya.” Mereka itu adalah budak yang mempunyai perjanjian untuk menebus dirinya dan tidak mendapatkan biaya untuk hal itu. Mengenai hal-hal tersebut di atas akan diuraikan lebih lanjut dalam penafsiran ayat zakat dalam surat at-Taubah,insya Allah.
Firman Allah Ta’ala berikutnya, Î وَأَقاَمَ الصَّلَوةَ Ï “Dan mendirikan shalat.” Yaitu menyempurnakan pelaksanaan amalan shalat secara tepat waktu berikut ruku’, sujud, thuma’ninah, dan khusyu’ sesuai dengan yang disyari’atkan dan diridhai.
Firman-Nya, Î وَءَ اتَى الزَّكَاةَ  Ï “Dan menunaikan zakat.” Bisa berarti penyucian diri dan pembersihannya dari akhlak hina dan tercela. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: Î قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا Ï “Sesungguhnya beruntung-lah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 9-10) 
Demikian juga ucapan Nabi Musa‘alaihissalam kepada Fir’aun: Î هَل لَّكَ إِلىَ أَن تَزَكَّـى وَأَهْدِيَكَ إِلىَ رَبِّكَ فَتَخْشَى Ï “Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan). Dan akan kupimpin ke jalan Rabb-mu supaya kamu takut kepada-Nya?” (QS. An-Nazi’at: 18-19) 
Dan firman-Nya yang lain: Î وَوَيْلٌ لِّلْمُشْرِكِينَ الَّذِيـنَ لاَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ Ï“Dan kecelakaan yang besar bagi orang-orang yang mempersekutukan (Allah). Yaitu orang-orang yang tidak menunaikan penyucian diri dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat.” (QS.Fushilat: 6-7)
Bisa juga berarti zakat mal. Sebagaimana dikatakan Sa’id bin Jubair dan Muqatil bin Hayyan. Jadi, pemberian kepada beberapa pihak dan golongan yang disebutkan di atas merupakan pemberian yang bersifat kerelaan hati, kebaikan, dan silaturrahmi.
Firman-Nya yang berikutnya, Î وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا Ï “Dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji.” Ayat ini sama seperti firman-Nya: Î الَّذِينَ يُوفُونَ بِعَهْدِ اللهِ وَلاَيَنقُضُونَ الْمِيثَاقَ Ï “Yaitu orang-orang yang menepati janji Allah dan tidak merusak perjanjian.” (QS. Ar-Ra’ad: 20)
Lawan dari sifat ini adalah nifak (kemunafikan). Ditegaskan dalam hadits berikut:
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ، إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ.
“Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga: Jika berbicara, maka bohong. Jika berjanji, maka mengingkari. Dan jika diberi kepercayaan berkhianat.”(Muttafaqun ‘alaih)
Dan firman-Nya selanjutnya, Î وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَآءِ وَالضَّرَّآءِ وَحِينَ الْبَأْسِ Ï “Dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan.”Artinya, dalam keadaan miskin yang disebut dengan al-ba’sa. Juga dalam keadaan sakit dan menderita yang disebut dengan adh-dharra‘. Î وَحِيْـنَ الْبَأْسِ Ï artinya ketika dalam peperangan dan berhadapan dengan musuh. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Abu al-Aliyah, Murrah al-Hamadani, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Hasan al-Bashri, Qatadah, Rabi’ bin Anas, as-Suddi, Muqatil bin Hayyan, Abu Malik, adh-Dhahhak, dan lain-lainya.
Kata Î الصَّابِرِينَ Ï dijadikan manshub sebagai pujian dan anjuran untuk senantiasa bersabar dalam menghadapi segala kondisi tersebut karena berat dan sulit. Wallahu a’lam, hanya kepada-Nya kita memohon pertolongan dan bertawakal.
Dan firman-Nya, Î أُوْلَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا Ï “Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya).” Maksudnya, mereka yang telah menyandang sifat-sifat tersebut di atas adalah orang-orang yang benar imannya, karena mereka telah mewujudkan keimanan hati melalui ucapan dan perbuatan. Mereka inilah orang-orang yang benar, Î وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ Ï “dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa,” karena mereka menjauhi berbagai hal yang diharamkan, dan mengerjakan berbagai macam ketaatan.
Analisis
Yang dimaksud dengan kebaikan pada surah Al Baqarah Ayat 177 ini adalah beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan senantiasa mewujudkan keimanannya di dalam kehidupan sehari-hari.
Contoh-contoh dari perbuatan baik tersebut antara lain sebagai berikut:
a.       Memberi harta yang dicintainya kepada karib kerabat yang membutuhkannya.
b.      Memberikan bantuan kepada anak yatim.
c.       Memberikan harta kepada musafir yang membutuhkan.
d.      Memberi harta kepada orang-orang yang terpaksa meminta-minta.
e.       Memberikan harta untuk memerdekakan hamba sahaya.
f.       Menjalankan ibadah yang telah diperintahkan Allah denagn penuh keikhlasan.
g.      Menunaikan zakat kepada orang yang berhak menerimanya sebagaimana yang tersebut dalam surah At Taubah Ayat 60.
h.      Menepati janji bagi mereka yang mengadakan perjanjian.
Akan tetapi, terhadap janji yang bertentangan dengan hukum Allah (syariat islam) seperti janji dalam perbuatan maksiat, maka janji itu tidak boleh (haram) dilakukan.

2.5  Hadis Mengenai Pola Hidup Sederhana dan Perintah Menyantuni Kaum Dluafa
Maksud dari menyantuni kaum duafa ialah memberikan harta atau barang yang bermanfaat untuk duafa, kaum duafa sendiri ialah orang yang lemah dari bahasa Arab (duafa) atau orang yang tidak punya apa-apa, dan mereka harus disantuni bagi kewajiban muslim untuk saling memberi, itu sebagai bentuk ibadah kepada Allah Swt. Perlu digaris bawahi, bahwa “memberi” tidak harus uang, tetapi bisa juga makanan atau barang yang dapat bermanfaat. Semisal saja barang yang diberikan digunakan untuk beribadah kepada Allah atau hal positif lainnya, maka tentunya kita juga akan terkena pahala yang sama. Ketika sebaliknya, dia dengan digunakan dalam hal yang buruk maka kita tidak akan mendapat pahala buruk dari orang miskin itu insya Allah pahalanya tidak akan berkurang setelah memberi kepada orang miskin tersebut.
Dan menurut para ulama menyantuni kaum duafa akan menyelamatkan diri kita dari api neraka, tapi sekarang banyak manusia yang segan megeluarkan hartanya untuk berinfak pada kaum duafa. Namun ada juga yang selalu membantu kaum dufa itu, dan yang disebut duafa bukan terbatas pada orang miskin, tetapi juga juga bisa pada ; panti asuahan, membangun masjid, anak yang putus sekolah dan membiayai pendidikannya, dan keluarga dekat serta orang yang sedang perjalanan.
Untuk anak yatim, Islam memerintahkan untuk memeliharanya, memuliakannya. tidak boleh berlaku sewenang-wenang. Menjaga hartanya ( kalau ada), sampai anak yatim tersebut dewasa, mandiri dan bisa mengurus hartanya.
Seperti dijelaskan dalam hadist bukhari di bawah ini apabila seseorang memelihara anak yatim :
عَنْ سَهْلٍ بْنِ سَعْدٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا ، وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى وَفَرَّجَ بَيْنَهُمَا شَيْئًا
Dari Sahl bin Sa’ad r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Saya dan orang yang memelihara anak yatim itu dalam syurga seperti ini." Beliau mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan jari tengahnya dan merenggangkan antara keduanya itu." (Riwayat Bukhari)
Surat Adh Dhuhaa ayat 9
فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلا تَقْهَرْ
“Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenag-wenang”.

عن المقدام بن معدي كرب اَنَّ رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلم قال: مَا مَلاَءَ اَدَمِيُّ وِعَاءَ شَرًّا مِنْ بَطْنِهِ, بِحَسْبِ ابْنِ اَدَمَ لُقَيْمَةٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَاِنْ كَانَ لاَمحَاَلةَ فَاعِلًا فَثُلُثٌ لِطَعَامِه وثُلُثٌ لِشَرَا بِه وثُلُثٌ لِنَفْسِه   ( رواه الترمذى وابن حبان )

Terjemahan
“Dari Abi Karimah, yaitu Miqdar Bin Ma’dikariba : saya mendengar Rasulullah saw, bersabda : anak adam yang mengisi penuh suatu tempat, tidak akan lebih berbahaya daripada mengisi perutnya sendiri. Bagi anak adam, cukup beberapa suap makanan untuk menegakkan tulang iganya. Jika dia harus demikian (makan lebih banyak dari itu), maka sepertiga untuk makannya, sepertiga untuk minumnya, dan sepertiga lagi untuk napasnya.” (H.R. Turmudzi).

Isi kandungan hadist
Hadist diatas mengandung makna bahwa perut merupakan salah satu organ penting bagi manusia. Jika perutnya dapat berfungsi dengan baik maka seseorang dapat beraktivitas dengan baik pula. Begitu pula sebaliknya, jika fungsi perut sudah terganggu maka seseorang tidak akan mampu beraktivitas.
Hadist di atas menjelaskan bahwa kita tidak boleh mengisi perut samapi penuh, apalagi terkesan sampai ingin muntah, sebab akan mudah menimbulkan penyakit. Rasulullah saw. Mengajarkan kepada kita agar tidak makan sebelum lapar dan ketika makan jangan sampai kekenyangan. Jika hal itu dilakukan, niscaya kesehatan badan akan terpelihara dengan baik dan tidak mudah terserang penyakit.
Dalam hadist diatas juga dijelaskan bahwa setiap anak adam hendaknya makan beberapa suap saja. Artinya, secukupnya sesuai dengan kebutuhan tubuh. Selain itu juga, kita harus makan secara teratur dan terjadwal agar perut dapat bekerja sesuai fungsinya. Bahkan dianjurkan agar mengatur ruangan di dalam perut menjadi tiga tempat, yaitu pertama sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiganya lagi untuk udara atau bernapas. Jika pola makan seperti yang dianjurkan Rasulullah saw. Sudah diterapkan, niscaya tubuh kita akan sehat. Jika masih ada sisa makanan di rumah kita, hendaknya diberikan kepada fakir miskin atau keluarga yang membutuhkan sehingga tidak ada makanan yang terbuang mubazir.
Bahkan dalam hadist kedua, kita diperintahkan agar tidak hanya memikirkan diri sendiri, artinya makan dan minum sendiri tanpa peduli kepada orang lain. Tidak sempurna iman seseorang yang hanya makan sendiri, sedangkan tetangga dekatnya kelaparan setiap hari. Sesungguhnya tidak manusiawi orang yang makan sampai kekenyangan, padahal ada orang lain yang kelaparan. Sesungguhnya keji juga orang yang membiarkan makanan sampai basi lalu membuangnya, padahal tetangganya merintih menahan lapardi dekat rumahnya. Meskipun kita rajin salat dan beribadah, tapi kalau tidak peduli kepada orang lain di sekitarnya maka ibadahnya tidak sempurna
.
  Perilaku orang yang mengamalkan hadist
Berdasarkan isi kandungan hadist diatas, ada beberapa sikap perilaku hidup sederhana yang dapat diidentifikasi bagi orang yang mengamalkannnya, di antaranya sebagai berikut :

a.      Sederhana dalam bersikap dan berperilaku
Bersikap sederhana, artinya sikap perilaku yang tidak berlebihan dan tidak mengada-ada atau dipaksakan.ada orang yang perilakunya dibuat-buat sehingga memancing gunjingan orang. Pada zaman sekarang ini, banyak orang yang bersikap perilaku terlalu berlebih-lebihan, misalnya laki-laki berdandan menyerupai perempuan atau sebaliknya, memakai anting dihidung dan lidah, ranbut dicat warna warni, dan sebagainya. Perilaku seperti ini sangat tercela dalam pandangan islam karena termasuk perilaku berlebihan (Israf).

b.      Peduli terhadap sesama
Bagi orang yang beriman, orang lain yang ada di sekitar lingkungannya adalah saudara yang harus diperhatikan dengan seksama. Sebab, merekalah yang paling tahu lebih dulu kita mendapat musibah atau bencana. Mereka pula yang pertama kali memberikan pertolongan sehingga sewajarnya jika mereka kita perhatikan dan diberikan santunan. Apalagi jika mereka sangat membutuhkan. Peduli terhadap sesama merupakan akhlak terpuji yang harus dipegang teguh oleh seorang muslim.

c.       Menerapkan perilaku hidup sederhana dan menyantuni kaum duafa sebagaimana terkandung dalam hadist diatas
Sebagai muslim yang beriman, hendaknya kita dapat menerapkan isi kandungan hadist diatas dengan mengamalkan sikap perilaku hidup sederhana. Untuk dapat menerapkan perilaku hidup sederhana dan menyantuni kaum duafa, hendaknya kamu perhatikan terlebih dahulu beberapa hal berikut ini.

a)      Tanamkan keimanan yang kuat agar tidak tergoda oleh setan yang selalu mengajak manusia hidup boros dan tidak peduli terhadap sesama.
b)      Biasakan bergaul dengan orang-orang yang memiliki perilaku hidup sederhana agar kita dapat meneladaninya.
c)      Hindari pergaulan dengan orang-orang yang boros dan tidak perduli sesama agar kita tidak terpengaruh oleh pergaulannya.
d)     Biasakan mengatur pola makan dan pola hidup sehat sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw.



























BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa :
1.      Hidup sederhana ialah hidup sebatas mencukupi kebutuhan yang di perlukan tanpa berlebih-lebihan dan melampaui batas. Allah SWT memerintahkan untuk menegeluarkan sebagian dari apa yang dimilikinya itu untuk orang-orang tertentu
2.      Hidup sederhana akan membawa kita kedaalam kehidupan yang tenang dan harmonis. Hidup sederhana akan menghindarkan kita dari sikap hidup yang boros dan berlebih-lebihan, sebab hidup boros itu mengakibatkan harta menjadi terbuang-buang dan tersalurkan kepada sesuatu yang tidak semestinya, sehingga pada akhirnya akan membawa kepada kerugian dan penyesalan.
3.      Kaum muslimin diperintahkan Allah untuk membantu keluarga dekatnya yang membutuhkan pertolongan, orang-orang miskin, dan orang-orang yang dalam perjalanan (musafir).
4.      Dalam memeberikan bantuan Allah mengingatkan agar tidak berlaku boros sehingga menjadi mubazir dan sebaliknya terlalu kikir.
5.      Kaum Muslimin juga diperintahkan untuk mempergunakan harta kekayaan secara wajar dan untuk beribadah kepada Allah
6.      Allah menjamin rezeki setiap makhluk yang ada di dunia ini. Dia pula yang berkuasa untuk melapangkan atau membatasinya.

3.2  Saran
      Semoga dengan dibuatnya makalah ini, pembaca bisa menambah pengetahuan pembaca dan bisa mengamalkannya. Serta bisa mengaplikasikan pola hidup sederhana dalam kehidupan sehari-hari misalkan tidak boros.
                                                        


































[1] Ahsan Askan dkk, Tafsir Ath-Thabari, Pustaka Azzam, Jakarta, 2009, hlm. 364

No comments:

Post a Comment