BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Manusia
cenderung mementingkan kehidupan dunia dengan sifat materialistik yang
sebenarnya bersifat sementara dibandingkan dengan kehidupan akhirat yang abadi.
Sifat dasar manusia yang buruk ini sebenarnya ada pemecahannya, yaitu dengan
menerapkan pola hidup sederhana. Tujuannya agar tidak semata-mata dunia yang
menjadi tujuan hidup, namun akhirat menjadi tujuan utama. Seorang muslim yang
beriman haruslah mampu menerapkan kehidupan sederhana dalam aktifitas kesehariannya.
Membantu
sesama muslim yang kurang mampu merupakan sifat mulia. Hal ini bisa diwujudkan
dengan membantu para duafa yang memang lemah dalam hal ekonomi. Kaum dhuafa ini
diantaranya fakir, miskin, yatim piatu, janda-janda tua, dan orang-orang yang
secara ekonomi sangat lemah, bahkan tidak mampu mencukupi kebutuhannya. Dengan
membantu mereka diharapkan dapat meringankan beban hidup yang mereka anggap
berat. Para dluafa yang menerima bantuan dari kaum muslimin hatinya akan merasa
senang. Dengan demikian, akan terhapus rasa iri dan dengki, juga terhapus juga
jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Hidup sederhana
bukan berarti kita menjadi fakir, namun bagaimana kita bersikap tunduk atau
rendah diri di hadapan Allah SWT.
1.2. Rumusan Masalah
Dari makalah
ini dapat di rumuskan sebagai berikut :
1.
Bagaimana kajian mengenai pola hidup sederhana dan perintah menyantuni kaum dluafa?
2.
Bagaimana hakikat pola hidup sederhana dalam Q.S al-Qashash: 79-82?
3.
Bagaimana ayat
Al-Quran yang menjelaskan mengenai pola hidup sederhana dan perintah menyantuni
kaum dluafa (QS. al-Israa’: 26-27, 29-30 dan QS. al-Baqarah: 177)?
4.
Bagaimana hadis
yang meriwayatkan pola hidup sederhana dan
perintah menyantuni kaum dluafa?
1.3.Tujuan
Dari rumusan
masalah diatas makalah ini bertujuan sebagai berikut :
1.
Memahami kajian mengenai pola hidup sederhana dan perintah menyantuni kaum dluafa.
2.
Memahami
hakikat pola hidup sederhana dalam Q.S al-Qashash: 79-82.
3.
Memahami ayat
Al-Quran yang menjelaskan mengenai pola hidup sederhana dan perintah menyantuni
kaum dluafa dalam QS. al-Israa’: 26-27, 29-30 dan QS. al-Baqarah:
177.
4.
Memahami hadis mengenai pola hidup sederhana dan perintah menyantuni kaum dluafa.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kajian
Mengenai Pola hidup Sederhana dan Perintah Menyantuni
Kaum Dluafa
Hidup sederhana menurut islam merupakan suatu hal yang sangat
dianjurkan, karena dapat menghindarkan manusia dari sifat sombong, iri, dan
dengki. Meskipun pola hidup sederhan ini sangat jauh dari kata kemewaha, namun
ini menjadi anjuran untuk umat islam. Itulah kenapa Allah SWT sangat membenci
orang yang senang bermegah-megahan. Hal ini ditegaskan lagi oleh Rasulullah saw
selama hidupnya.
Hidup sederhana ialah hidup sebatas mencukupi kebutuhan yang di
perlukan tanpa berlebih-lebihan dan melampaui batas. Dari ukuran kesehatan
etika dan syarat, kelebihan dalam segala hal tidak akan meraih kebaikan.
Manusia adalah makhluk sosial, kebersamaan sekian banyak individu dalam satu wilayah
membentuk masyarakat yang sifatnya berbeda dengan individu-individu tersebut.
Manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan masyarakatnya, bahakan
sekian banyak pengetahuan yang diperolehnya melalui masyarakat, seperti bahasa,
adat istiadat, etika sopan santun dan lain-lain.
Demikian juga dalam bidang ekonomi betapapun
seseorang memiliki kepandaian, namun hasil-hasil materiel yang diperolehnya
adalah berkat bantuan pihak-pihak lain baik secara langsung disadarinya maupun
tidak.
Seseorang petani berhasil di dalam pertaniannya karena adanya
irigasi, alat-alat (walaupun sederhana), makanan, pakaian, stabilitas keamanan
yang kesemuanya tidak dapat ia wujudkan kecuali oleh kebersamaan
pribadi-pribadi tersebuta atau dengan kata lain masyarakat, Seorang pedagang
demikian pula halnya, siapa yang menjual kepadanya dan siapa pula yang
membelinya kalau bukan masyarakat itu?
Dari segi lain, harus disadari bahwa produksi apapun bentuknya,
pada hakikatnya merupakan pemanfaatan materi-materi yang telah diciptakan dan
dimiliki Allah SWT. Manusia dalam berproduksi hanya mengadakan perubahan,
penyesuaian, atau perakitan satu bahan dengan bahan yang lain.
Demikian itu yang terlihat dalam bidang pertanian, industri, jasa
dan sebagainya. Allah SWT menciptakan bahan mentahnya dan manusia atas petunjuk
atau ilham Allah SWT yang mengelolanya. Dengan demikian Allah SWT menyatakan
bahwa harta adalah milik-Nya, dan Allah SWT memerintahkan untuk menegeluarkan
sebagian dari apa yang dimilikinya itu untuk orang-orang tertentu.
2.2 Hakikat
Pola Hidup Sederhana
dalam Q.S al-Qashash: 79-82
Artinya :
79. Maka
keluarlah Karun kepada kaumnya dalam kemegahannya[1139]. berkatalah orang-orang
yang menghendaki kehidupan dunia: "Moga-moga kiranya kita mempunyai
seperti apa yang telah diberikan kepada Karun; Sesungguhnya ia benar-benar
mempunyai keberuntungan yang besar".
80. berkatalah
orang-orang yang dianugerahi ilmu: "Kecelakaan yang besarlah bagimu,
pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh,
dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang- orang yang sabar".
81. Maka
Kami benamkanlah Karun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya
suatu golonganpun yang menolongnya terhadap azab Allah. dan Tiadalah ia
Termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).
82. dan
jadilah orang-orang yang kemarin mencita-citakan kedudukan Karun itu, berkata:
"Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezki bagi siapa yang Dia kehendaki
dari hamba-hambanya dan menyempitkannya; kalau Allah tidak melimpahkan
karunia-Nya atas kita benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai
benarlah, tidak beruntung orang- orang yang mengingkari (nikmat Allah)".
[1139]
Menurut mufassir: Karun ke luar dalam satu iring-iringan yang lengkap dengan
pengawal, hamba sahaya dan inang pengasuh untuk memperlihatkan kemegahannya
kepada kaumnya.
Lafadz
|
Arti
|
Lafadz
|
Arti
|
maka (ia [lk]) keluar
|
Maka tidak
|
||
atas/terhadap
|
Ada
|
||
Kaumnya
|
Baginya
|
||
Dalam
|
Dari
|
||
Perhiasan/kemegahan
|
Golongan
|
||
Berkata
|
Mereka menolongnya
|
||
Orang-orang yang
|
Dari
|
||
(Mereka) menghendaki
|
Selain
|
||
Kehidupan
|
Allah
|
||
Dunia
|
Dan tidak
|
||
Moga-moga kiranya
|
Ada
|
||
Bagi kita (kita
mempunyai)
|
Dari/termasuk
|
||
Seperti
|
Orang-orang yang dapat
menolong
|
||
Apa
|
Dan jadilah
|
||
Diberikan
|
Orang-orang yang
|
||
Karun
|
(mereka) menginginkan
|
||
Sesungguhnya dia
|
Kedudukannya
|
||
Benar-benar mempunyai
|
Dengan kemarin
|
||
Nasib baik/peruntungan
|
Mereka berkata
|
||
Yang besar
|
Aduhai bahwasannya
|
||
Dan berkata
|
Allah
|
||
Orang-orang yang
|
Melapangkan
|
||
(mereka) diberi
|
Rezeki
|
||
Ilmu
|
Bagi siapa
|
||
Kecelakaan kamu
|
Dia kehendaki
|
||
Pahala
|
Dari
|
||
Allah
|
Hamba-hamba Nya
|
||
Lebih baik
|
Dan Dia menyempitkan
|
||
Bari orang
|
Jika tidak
|
||
آمَنَ
|
Ia beriman
|
Bahwa
|
|
Dan beramal
|
Karunia
|
||
Kebajikan/sholeh
|
Allah
|
||
Dan tidak
|
Atas kami
|
||
Ditemuinya/diperoleh
|
Tentu Dia telah
membenamkan
|
||
Kecuali
|
Dengan kami
|
||
Orang-orang yang sabar
|
Aduhai bahwasannya
|
||
Maka kami benamkan
|
Tidak
|
||
Dengannya
|
Beruntung
|
||
Dan dengan rumahnya
|
Orang-orang yang ingkar
|
||
Bumi
|
|
|
Tafsir
79. Maksudnya
adalah, Karun keluar kepada kaumnya dengan kemegahan perhiasan.
80. Maksudnya
adalah, ketika orang-orang yang dianugerahi ilmu tentang Allah, melihat Karun
keluar dengan kemegahannya, dan mendengar orang-orang berkata “Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti
apa yang telah diberikan kepada Karun,” mereka berkata, “Celakalah kamu!
Bertakwalah dan taatlah kepada Allah. Sesungguhnya balasan dari Allah di
akhirat kelak untuk orang beriman kepada-Nya dan rasul-Nya adalah, melaksanakan
amal salih yang dibawa oleh para rasul itu. Balasan dari Allah lebih baik
daripada kemegahan dan harta yang diberikan kepada Karun.” Firman-Nya, “dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali
oleh orang-orang yang sabar,” maksudnya adalah, tidak ada yang diberi taufik
untuk mengucapkan kalimat itu, yaitu “pahala
Allah adalah lebih baik bagi orang-orang ynag beriman dan beramal shalih.”
81. Maksudnya
adalah, maka Kami benamkan Karun beserta keluarganya yang ada di dalam
rumahnya. Ada yang berpendapat, “Beserta rumahnya.” Karena diriwayatkan bahwa
ketika Nabi Musa AS memerintahkan bumi agarmenangkap Karun, Nabi Musa AS
memerintahkan agar bumi menangkap Karun dan teman-temannya yang ada di dalam
rumahnya. Mereka terdiri dari beberapa yang sedang duduk-duduk bersama Karun.
Sifat mereka sama seperti sifat Karun, sama-sama munafik dan saling membantu
menyakiti Nabi Musa AS.
82. Maksudnya
adalah, orang-orang yang kemarin menginginkan kedudukan duniawi Karun, kekayaan
dan hartanya yang banyak, serta kelapangan rezekinya, sebelum murka dan hukuman
Allah diturunkan, saat ini mereka berkata “Aduhai,
benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari
hamba-hamba-Nya dan menyempitkannya.”[1]
Analisis
Pada
ayat ini terkandung makna suatu kisah umat terdahulu, yaitu Qarun yang hidup
dengan bergelimanagn harta. Qarun hidup pada zaman Nabi Musa AS. Allah SWT
mengaruniai karun harta yang sangat melipah. Begitu banyaknya harta yang
dimiliki oleh Qarun sampai-sampai kunci gudang hartanya itu tidak bisa diangkat
oleh puluhan orang. Namu sayangnya, harta yang melimpah ini membuat Qarun lupa
diri dan menjadikannya takabur. Dia mngatakan bahwa harta yang dia miliki itu
adalah hasil dari usahanya sendiri, bukan karena adanya rahmat Allah.
Pada
suatu hari, Qarun keluar dengan segala kemegahannya dan dikawal oleh para
pengawalnya. Tujuannya adalah untuk memamerkan kekayaannya kepada masyarakat
dan menunjukkan kepada masyarakat akan kehebatan dirinya dalam berusaha.
Dinyatakan pada ayat berikutnya
bahwa orang yang mempunyai ilmu dan akal sehat, sama sekali tidak akan tertarik
oleh harta yang dimaerkan oleh Qarun tersebut. Apalah artinya harta jika tidak
dapat mendatangkan kebahagian di akhirat. Mereka mengatakan bahwa pahala Allah
SWT lebih penting dan sangat bernilai harganya dibandingkan harta. Sebab, harta
yang tidak diberkahi seperti kekayaan yang dimiliki Qarun tersebut hanya akan
mendatangkan azab dari Allah SWT. Orang yang saleh meyakini bahwa Allah SWT
hanya akan memberikan pahala kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh.
Allah SWT menegaskan bahwa akibat kesombongan dan
ketakaburannya, Qarun ditenggelamkan beserta semua harta yang dia miliki ke
dasar bumi dan tidak lagi ditemukan bekas-bekasnya. Akhirnya, menjadi sebutan
setiap orang yang menemukan sesuatu yang bernilai dari dalam tanah, sering
disebut harta karun.
Ditenggelamkannya Qarun ke dasar
bumi merupakan azab Allah SWT atas kesombongnnya. Ketika azab itu datang, tidak
ada seorangpun yang mampu menolong dia. Bahakan dia sendiri tidak mampu untuk
menolong dirinya sendiri, apalagi menolong orang lain. Harta kekayaan yang dia
sombongkan juga tidak dapat mampu berbuat apa-apa, kecuali ikut hancur ke dasar
bumi bersama Qarun.
Dengan kejadian ini, masyarakat yang
awalnya menginginkan harta seperti Qarun menjadi sadar dan kembali bertaubat
kepada Allah SWT. Mereka menyadari bahwa harta benda tidak akan menolong azab
yang diberikan dari Allah SWT. Harta hanyalah titipan dan amanah yang harus
digunakan sesuai dengan kehendak Allah. Jika tidak, maka harta itu akan
mendatangkan bencana bagi pemiliknya.
Perilaku orang yang mengamalkan isi kandungan ayat
Islam
tidak melarang umatnya memiliki harta sebanyak – banyaknya, bahkan sangat
dianjurkan untuk berusaha sekuat tenaga mendapatkan harta yang banyak dan
halal, dan menggunakannya sesuai dengan petunjuk Allah SWT. Berdasarkan ayat
diatas, ada beberapa perilaku orang muslim yang mengamalkan isi kandungannya,
yang dapat diidentifikasi dalam perilaku kehidupan sehari – hari, diantaranya
sebagai berikut :
a.
Tidak bersikap sombong dengan harta yang dimilikinya
Kebiasaan
manusia, ketika memiliki suatu kelebihan selalu bersikap sombong dan angkuh.
Namun, itu hanya dilakukan oleh orang – orang yang tidak beriman. Adapun bagi
mereka yang memiliki keimanan yang kuat serta mengamalkan isi kandungan ayat
Al-Qur’an, niscaya tidak bersikap sombong atas harta yang dimilikinya. Meskipun
harta kekayaannya tersebut sangat melimpah ruah, tak terhitung jumlahnya dan
tak ternilai harganya, namun ia tetap bersikap rendah hati, sopan dalam ucapan,
santun dalam perbuatan, dan selalu bersikap dermawan kepada sesame. Dengan
demikian, hartanya mendatangkan berkah dari Allah SWT.
b.
Menjadikan harta sebagai media untuk beribadah kepada Allah
SWT.
Harta
adalah titipan AllahSWT, yang harus digunakan sesuai dengan kehendak
pemberinya. Seorang yang beriman dan mengamalkan isi kandungan Al-Qur’an ,
niscaya menjadikan harta sebagai media untuk beribadah kepada Allah SWT, baik
dengan cara bersedekah, berzakat, maupun cara – cara lainnya. Jadi, semakin
banyak harta yang dimilikinya, akan semakin rajin ibadahnya kepada Allah SWT.
c.
Menjadikan harta sebagai media untuk mencari ilmu
Menyadari
betapa pentingnya ilmu pengetahuan, baik ilmu agama maupun umum, tentu setiap
muslim wajib mencari ilmu dan mempelajarinya sepanjang hayat. Untuk mencari
ilmu dip;erlukan biaya yang cukup, maka adanya harta kekayaan dapat digunakan
sebagai media atau alat untuk mencari ilmu. Semakin banyak harta seorang
muslim, hendaknya semakin tinggi ilmu dan pendidikan yang didapatnya. Sebab
dengan harta itu, peluang untuk mendapatkan ilmu dan pendidikan semakin terbuka
luas.
d.
Menghindari sikap boros
Harta
memang manis dan sangat menyenangkan. Kita dapat melakukan apa saja dengan
harta yang dimiliki. Tetapi seorang muslim yang beriman dan mengamalkan isi
kandungan Al-Qur’an, niscaya tidak akan melakukan perbuatan foya–foya,
hura–hura, dan menghambur-hamburkan harta yang dimilikinya. Melainkan semakin
bertambah hartanya, hidupnya semakin sederhana dan hatinya semakin merendah. Ia
akan menggunakan hartanya sesuai keperluan dan sesuai petunjuk Allah SWT.
2.3 Pola Hidup Sederhana dan Perintah Menyantuni Kaum Dluafa dalam QS. al-Israa’:
26-27, 29-30
Al-Israa
26-27
ÏN#uäur #s 4n1öà)ø9$# ¼çm¤)ym tûüÅ3ó¡ÏJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# wur öÉjt7è? #·Éö7s? ÇËÏÈ ¨bÎ) tûïÍÉjt6ßJø9$# (#þqçR%x. tbºuq÷zÎ) ÈûüÏÜ»u¤±9$# (
tb%x.ur ß`»sÜø¤±9$# ¾ÏmÎn/tÏ9 #Yqàÿx. ÇËÐÈ
Artinya :
26.
Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan
orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu)
secara boros.
27.
Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah sudara setan dan setan itu
sangat ingkar kepada Tuhannya.
Lafadz
|
Arti
|
Lafadz
|
Arti
|
كَانُوا
|
Adalah
|
وَآتِ
|
Dan
berikanlah
|
إِخْوَانَ
|
Saudara
|
ذَا
الْقُرْبَى
|
Kepada
keluarga terdekat
|
الشَّيَاطِينِ
|
Setan-
setan
|
حَقَّهُ
|
Akan
haknya
|
وَكَانَ
|
Dan
adalah
|
وَالْمِسْكِينَ
|
Dan
orang miskin
|
الشَّيْطَانُ
|
Setan
|
وَابْنَ
السَّبِيلِ
|
Dan
orang yang dalam perjalanan
|
لِرَبِّهِ
|
Kepada
Tuhannya
|
وَلا
تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا
|
Dan
janganlah menghamburkan hartamu secara boros
|
|
|
إِنَّ
الْمُبَذِّرِينَ
|
Sesungguhnya
pemboros itu
|
Munasabah
Pada
ayat-ayat ini, Allah memerintahkan mereka untuk berbuat baik kepada keluarga
dekat dan orang-orang miskin sebagai bagian dari tanggung jawab social, dan
melarang mereka berlaku boros (tabzir).
Asbabun Nuzul
Surah
Al Isra dikenal juga dengan nama Surah Bani Israil yang termasuk golongan surat
Makiyah. Pada ayat 26-27 ini mempunyai asbanun nuzul yang diriwayatkan oleh At
Thabrani yang bersumber dari Abu Sa`id Al Khudri dan dalam riwayat lain oleh
Ibnu Marduwaih yang bersumber dari Ibnu Abbas bahwa ketika turun ayat ini,
Rasulullah saw, memberikan tanah di Fadak (tanah yang diperoleh Rasulullah dari
pembagian ganimah atau rampasan perang ) kepada Fatimah.
Tafsir
(26) Pada ayat
ini, Allah SWT memerintahkan kepada kaum Muslimin agar memenuhi hak keluarga
dekat, orang-orang miskin, dan orang-orang yang dalam perjalanan. Hak yang
harus dipenuhi itu ialah: memperat tali persaudaraan dan hubungan kasih sayang,
mengunjungi rumahnya dan bersikap sopan santun, serta membantu meringankan
penderitaan yang mereka alami. Sekiranya ada diantara keluarga dekat, ataupun
orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan itu memerlukan biaya
untuk memenuhi kebutuhan mereka. Orang-orang yang dalam perjalanan yang patut
diringankan penderitaannya ialah orang yang melakukan perjalanan karena
tujuan-tujuan yang dibenarkan oleh agama. Orang yang demikian keadaannya perlu
dibantu dan ditolong agar bisa mencapai tujuannya.
Di
akhir ayat, Allah SWT melarang kaum Muslimin bersikap boros yaitu membelanjakan
harta tanpa perhitungan yang cermat sehingga menjadi mubazir. Larangan ini
bertujuan agar kaum muslimin mengatur pengeluarannya dengan perhitungan yang
secermat-cermatnya, agar apa yang dibelanjakan sesuai dengan keperluan dan
pendapatan mereka. kaum Muslimin juga tidak boleh menginfakkan harta kepada
orang-orang yang tidak berhak menerimanya, atau memberikan harta melebihi dari
yang seharusnya.
Keterangan
lebih lanjut tentang bagaimana seharusnya kaum Muslimin membelanjakan hartanya
disebutkan dalam firman Allah SWT : (al-Furqan/25;67)
67.
dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan,
dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara
yang demikian.
(27) Kemudian
Allah SWT menyatakan bahwa para pemboros adalah saudara setan. Ungakapan serupa
ini biasa dipergunakan oleh orang-orang Arab. Orang yang membiasakan diri
mengikuti peraturan suatu kaum atau mengikuti jejak langkahnya, disebut saudara
kaum itu. Jadi orang-orang yang membororskan hartanya berarti orang-orang yang
mengikuti langkah setan. Sedangkan yang dimaksud pemboros dalam ayat ini ialah
orang-orang yang menghamburka-hamburkan harta bendanya dalam perbuatan maksiat
yang tentunya di luar perintah Allah. Orang-orang yang serupa inilah yang
disebut kawan-kawan setan. Di dunia mereka tergoda oleh setan, dan di akhirat
mereka akan dimasukkan ke dalam neraka Jahanam.
Di
akhir ayat dijelaskan bahwa setan sangat ingkar kepada Tuhannya, maksudnya
sangat ingkar kepada nikmat Allah yang diberikan kepadanya, dan tidak mau
mensyukurinya. Bahkan, setan membangkang tidak mau mentaati perintah Allah, dan
menggoda manusia agar berbuat maksiat.
Al-Karkhi
menjelaskan keadaan orang yang diberi kemuliaan dan harta berlimpah. Apabila
orang itu memanfaatkan harta dan kemuliaan itu di luar batas-batasyang diridhai
Allah, maka dia telah mengingkari nikmat Allah. Orang yang berbuat seperti itu,
baik sifat maupun perbuatannya, dapat disamakan dengan perbuatan setan.
Ayat
ini diturunkan Allah dalam rangka menjelaskan perbuatan orang-orang Jahiliah.
Telah menjadi kebiasaan orang-orang Arab menumpuk harta yang mereka peroleh
dari rampasan perang, perampokan, dan penyamunan. Harta itu kemudian mereka
gunakan untuk berfoya-foya supaya mendapat kemahsyuran. Orang-orang musyrik
Quraisy pun menggunakan harta mereka untuk menghalangi penyebaran agama Islam,
melemahkan pemeluk-pemeluknya dan membantu musuh-musuh Islam. Ayat itu turun
untuk menyatakan betapa jeleknya usaha mereka.
Analisis
Inti kandungan dari dua ayat tersebut
adalah agar kita mengatur harta kita secara tepat, yaitu dengan membelanjakan
di jalan Allah, memberikan bagian harta kita kepada yang berhak dan tidak
menghamburkan harta kita atau boros. “dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah
saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya”. Bagian itu
menerangkan tentang peringatan dari Allah SWT agar kita tidak melakukan
pemborosan, menghambur-hamburkan, dan menyia-nyiakan harta yang kita miliki.
Pada ayat 26, secara jelas Allah
melarang kita melakukan pemborosan, yaitu pada “Janganlah kamu”. Artinya
berbuat boros adalah termasuk perbuatan yang dilarang oleh Allah.Perbuatan yang
dilarang Allah berarti sesuatu yang tidak baik dan tidak membawa manfaat, terlebih
lagi bila dilakukan kita akan mendapatkan dosa. Secara umum, segala bentuk
pemborosan dan penghambur-hamburan harta adalah perbuatan yang dilarang dalam
Islam.
Pada ayat selanjutnya yaitu di ayat
27, kita diberitahu oleh Allah SWT bahwa orang-orang yang melakukan pemborosan
dan berbuat mubadzir adalah saudara setan. Padahal setan itu sangat ingkar
kepada Tuhannya yaitu Allah SWT. Pelaku pemborosan dan mubadzir itu
adalah saudara setan, berarti mereka bersaudara dengan makhluk yang ingkar atau
mengkafiri Allah SWT. Mereka sama saja melakukan perbuatan ingkar kepada Allah
SWT dengan melakukan perbuatan mubadzir.
Al-Israa 29-30
wur ö@yèøgrB x8yt »'s!qè=øótB 4n<Î) y7É)ãZãã wur $ygôÜÝ¡ö6s? ¨@ä. ÅÝó¡t6ø9$# yãèø)tFsù $YBqè=tB #·qÝ¡øt¤C ÇËÒÈ ¨bÎ) y7/u äÝÝ¡ö6t s-øÎh9$# `yJÏ9 âä!$t±o âÏø)tur 4
¼çm¯RÎ) tb%x. ¾ÍnÏ$t6ÏèÎ/ #MÎ7yz #ZÅÁt/ ÇÌÉÈ
Artinya :
29.
dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu
terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.
30.
Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezki kepada siapa yang Dia kehendaki dan
menyempitkannya; Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha melihat akan
hamba-hamba-Nya.
Lafadz
|
Arti
|
Lafadz
|
Arti
|
sesungguhnya
|
Dan jangan
|
||
Tuhanmu
|
Kamu jadikan
|
||
Mengulurkan/melapangkan
|
tanganmu
|
||
rezeki
|
terbelenggu
|
||
Kepada siapa
|
kepada
|
||
Dia kehendaki
|
lehermu
|
||
Dan Dia menentukan/menyempitkan
|
Dan jangan
|
||
Sesungghnya Dia
|
Kamu mengulurkannya
|
||
Adalah Dia
|
Segala/habis-habis
|
||
Dengan hamba-hamba Nya
|
uluran
|
||
Maha Mengetahui
|
Maka kamu akan duduk/menjadi
|
||
Maha Melihat
|
tercela
|
||
|
|
penyesalan
|
Tafsir
(29) Selanjutnya
dalam ayat ini, Allah SWT menjelaskan cara-cara yang baik dalam membelanjakan
harta. Allah menerangkan keadaan orang-orang yang kikir dan pemborors dengan
menggunakan ungkapan jangan menjadikan tangan terbelenggu pada leher, tetapi
jangan terlalu mengulurkannya. Kedua ungkapan ini lazim digunakan orang-orang
Arab. Yang pertama berarti laranagn berlaku bakhil atau kikir,sehingga enggan
memberikan harta kepada orang lain, walaupun sedikit. Ungkapan kedua berarti
melarang orang berlaku borors dalam membelanjakan harta, sehingga melebihi
kemampuan yang dimilikinya. Kebiasaan memboroskan harta akan mengakibatkan
seorang tidak mempunyai simpanan atau tabungan yang bisa digunakan ketika
dibutuhkan.
Dari
ayat ini dapat dipahami bahwa cara yang baik dalam membelanjakan harta ialah
dengan cara yang hemat, layak, dan wajar, tidak terlalu bakhil dan tidak
terlalu boros. Terlalu bakhil akan menjadikan seseorang tercela, sedangkan
terlalu boros akan mengakibatkan pelakunya pailit atau bangkrut.
(30) Kemudian Allah
SWT menjelaskan bahwa Dialah yang melapangkan rezeki kepada siapa yang
dikehendaki-Nya dan Dia pula yang membatasinya. Semuanya berjalan menurut
ketentuan yang telah ditetapkan Allah terhadap para hamba-Nya dalam usaha
mencari harta dan cara mengembangkannya. Hal ini berhubungan erat dengan alat
dan pengetahuan tentang pengolahan harta itu. Yang demikian adalah ketentuan
Allah yang bersifat umum dan berlaku bagi seluruh hamba-Nya. namun demikian,
hanya Allah yang menetukan menurut kehendak-Nya.
Di
akhir ayat ini, Allah SWT menegaskan bahwa Dia Maha Mengetahui para hamba-Nya,
siapa diantara mereka yang memanfaatkan kekayaan demi kemaslahatan dan siapa
pula yang menggunakan untuk kemudaratan. Dia juga mengetahui siapa di antara
hamba-hamba-Nya yang dalam kemiskinan tetap bersabar dan tawakal kepada Allah,
dan siapa yang karena kemiskinan , menjadi orang-orang yang berputus asa, dan
jauh dari rahmat Allah. Allah Maha Melihat bagaimana mereka mengurus dan
mengatur harta benda,akah mereka itu membelanjakan harta pemberian Allah itu
dengan boros atau bakhil.
Oleh
sebab itu, kaum Muslimin hendaknya tetap berpegang kepada ketentuan-ketentuan
Allah, dengan menaati segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dalam
membelanjakan harta hendaklah berlaku wajar. Hal itu termasuk sunah Allah.
Analisis
Allah mengingatkan kita
agar tidak berperilaku kikir. Allah menyebutnya dengan menjadikan tangan
terbelenggu diatas leher, maksudnya agar manusia tidak berlaku kikir kepada
sesama, sehingga menyebabkan kita lupa bahwa dalam harta yang kita miliki ada
hak orang lain.
Dalam hal ini, Allah
mengajarkan kepada kita untuk bersikap perilaku sederhana, yaitu membelanjakan
harta termasuk bersedekah secukupnya, Allah melarang umatnya untuk
membelanjakan hartanya dengan boros.
2.4 Pola Hidup Sederhana dan Perintah Menyantuni Kaum Dluafa dalam QS. al-Baqarah:
177
* }§ø©9 §É9ø9$# br& (#q9uqè? öNä3ydqã_ãr @t6Ï% É-Îô³yJø9$# É>ÌøóyJø9$#ur £`Å3»s9ur §É9ø9$# ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# Ïpx6Í´¯»n=yJø9$#ur É=»tGÅ3ø9$#ur z`¿ÍhÎ;¨Z9$#ur tA#uäur tA$yJø9$# 4n?tã ¾ÏmÎm6ãm Írs 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuø9$#ur tûüÅ3»|¡yJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# tû,Î#ͬ!$¡¡9$#ur Îûur ÅU$s%Ìh9$# uQ$s%r&ur no4qn=¢Á9$# tA#uäur no4q2¨9$# cqèùqßJø9$#ur öNÏdÏôgyèÎ/ #sÎ) (#rßyg»tã (
tûïÎÉ9»¢Á9$#ur Îû Ïä!$yù't7ø9$# Ïä!#§Ø9$#ur tûüÏnur Ĩù't7ø9$# 3
y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# (#qè%y|¹ (
y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)GßJø9$# ÇÊÐÐÈ
Artinya :
Kebajikan
itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke arah barat, tetapi
kebajkan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi, dan memberikan harta yang
dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang
dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya,
yang melaksanakan salat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji
apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan pada
masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah
orang-orang yang bertakwa.
Lafadz
|
Arti
|
Lafadz
|
Arti
|
Dan orang
|
bukanlah
|
||
(dalam) perjalanan
|
Kebaikan/kebaktian
|
||
Dan orang yang minta-minta
|
bahwa
|
||
Dan di dalam
|
Kamu menghadapkan
|
||
Memerdekakan hamba sahaya
|
wajahmu
|
||
Dan mendirikan
|
Ke arah
|
||
sholat
|
timur
|
||
Dan menunaikan
|
Dan barat
|
||
zakat
|
|
Akan tetapi
|
|
Dan orang-orang yang menepati
|
Kebaikan/kebaktian
|
||
Pada janji mereka
|
orang
|
||
apabila
|
Dia beriman
|
||
Mereka berjanji
|
Dengan/kepada Allah
|
||
Dan orang-orang yang sabar
|
Dan hari
|
||
dalam
|
akhirat
|
||
kesempitan
|
Dan malaikat
|
||
Dan kemelaratan
|
Dan kitab
|
||
Dan ketika
|
Dan Nabi-nabi
|
||
perang
|
Dan memberikan
|
||
mereka itulah
|
harta
|
||
Orang-orang yang
|
Atas
|
||
Mereka benar
|
dicintainya
|
||
Dan mereka itu
|
kelompok
|
||
mereka
|
kerabat
|
||
Orang-orang yang bertakwa
|
Dan anak-anak yatim
|
||
|
Dan
orang-orang miskin
|
Asbabun Nuzul
Diriwayatkan
oleh ‘Abdurrazzaq dari Ma’mar yang bersumber dari Qatadah. Diriwayatkan pula
oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Abul ‘Aliyah. Bahwa Qatadah menerangkan
tentang kaum Yahudi, yang menganggap bahwa yang baik itu shalat menghadap ke
barat, sedang kaum Nasrani mengarah ke timur, sehingga turunlah ayat tersebut
di atas (al-Baqarah: 177).
Diriwayatkan
oleh Ibnu Jarir dan Ibnul Mundzir, yang bersumber dari Qatadah. Bahwa turunnya
ayat tersebut di atas (al-Baqarah: 177) sehubungan dengan pertanyaan seorang
laki-laki yang ditujukan kepada Rasulullah saw. tentang al-birr (kebaikan).
Setelah turun ayat tersebut di atas (al-Baqarah: 177), Rasulullah memanggil
kembali orang itu, dan dibacakannya ayat tersebut kepada orang tadi. Peristiwa
itu terjadi sebelum diwajibkan shalat fardlu. Pada waktu itu apabila seseorang
telah mengucapkan ‘asy hadu al-laa ilaaha illallaahu wa asy-hadu anna
muhammadaran ‘abduhu wa rasuuluh (aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain
Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya), kemudian
meninggal saat dia tetap beriman, harapan besar ia mendapat kebaikan. Akan
tetapi kaum Yahudi menganggap yang baik itu ialah apabila shalat mengarah ke
barat, sedang kaum Nasrani menghadap ke timur.
Tafsir
Ayat ini mencakup sendi-sendi yang agung,
kaidah-kaidah yang umum, dan aqidah yang lurus.
Mengenai penafsiran ayat ini adalah, ketika
pertama kali Allah Ta’alamemerintahkan
orang-orang mukmin menghadap Baitul Maqdis dan setelah itu Dia mengalihkan ke
Ka’bah, sebagian Ahlul Kitab dan kaum muslimin merasa keberatan, maka
Allah Ta’ala memberikan
penjelasan mengenai hikmah dari pengalihan kiblat tersebut, yaitu yang
dimaksudkan adalah taat kepada Allah Ta’ala,
patuh pada semua perintah-Nya, menghadap ke mana saja yang diperintahkan, dan
mengikuti apa yang telah disyari’atkan. Inilah yang disebut dengan kebaikan,
ketakwaan, dan keimanan yang sempurna.
Menghadap ke arah timur ataupun barat tidak
termasuk sebagai kebaikan dan ketaatan jika bukan karena perintah dan syari’at
Allah. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman:
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ
وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ ءَ امَنَ باِللهِ وَالْيَوْم اْلأَخِرِ
“Tidak-lah
menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi
sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian…”
Sebagaimana
firman-Nya mengenai hewan sembelihan kurban:
لَن يَنَالَ اللهَ لُحُومُهَا وَلاَدِمَآؤُهَا وَلَكِن يَنَالُهُ التَّقْوَ
مِنكُمْ
“Daging-daging
unta dan darah-nya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah,
tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj: 37)
Mengenai
ayat ini, al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, katanya, “Tidaklah shalat dan
beramal itu merupakan suatu kebaikan. Hal ini ketika berpindah dari Makkah ke
Madinah, serta diturunkannya berbagai kewajiban dan peraturan. Maka Allah Ta’ala memerintahkan berbagai
kewajiban dan pelaksanaannya.”
Abu
al-Aliyah mengatakan, ketika itu orang-orang Yahudi menghadap ke arah barat,
sedangkan orang-orang Nasrani menghadap ke arah timur. Maka AllahTa’ala berfirman:
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ
وَالْمَغْرِبِ
“Tidaklah
menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian.”Lebih lanjut Abu al-Aliyah menuturkan, “Itulah
pembicaraan keimanan yang hakikatnya adalah pengamalan.”
Mujahid
mengatakan, “Tetapi kebaikan itu adalah apa yang ditetapkan di dalam hati
berupa ketaatan kepada Allah Ta’ala.”
Adh-Dhahhak
menuturkan, “Tetapi kebaktian dan ketakwaan itu adalah pelaksanaan semua
kewajiban menurut semestinya.”
Mengenai
firman Allah Ta’ala, Î وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ ءَ امَنَ باِللهِ
وَالْيَـوْمِِ اْلأَخِرِ Ï,
ats-Tsauri mengemukakan, “Demikian
itu adalah semua jenis kebaikan.” Imam ats-Tsauri memang benar, karena
orang yang memiliki sifat yang disebutkan di dalam ayat ini, berarti ia telah
masuk ke seluruh wilayah Islam dan mengambil segala bentuk kebaikan, yaitu
beriman kepada Allah Ta’ala,
yang tiada sesembahan yang hak selain Dia, serta membenarkan adanya para
malaikat yang mereka merupakan para duta yang menghubungkan antara Allah dan
para rasul-Nya.
Beriman
kepada “al-Kitab.” Al-Kitab merupakan isim jins (nama jenis) yang mencakup
kitab-kitab yang diturunkan dari langit kepada para nabi hingga diakhiri oleh
yang termulia di antara kitab-kitab itu, yaitu al-Qur’an yang menjadi tolok
ukur bagi kitab-kitab sebelumnya, yang kepadanya semua kebaikan bermuara,
meliputi segala macam kebahagiaan di dunia dan akhirat, dengannya semua kitab
sebelumnya dinasakh (dihapus hukumnya, diganti
dengan yang baru).
Selain
itu, beriman kepada para nabi Allah Ta’ala secara keseluruhan, dari nabi
pertama hingga terakhir, yaitu Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa sallam.
Firman
Allah Ta’ala, Î وَءَ اتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ Ï “Dan
memberikan harta yang dicintainya.” Artinya,
menyedekahkan hartanya padahal ia sangat mencintai dan menyenanginya. Demikian
dinyatakan oleh Ibnu Mas’ud, Sa’id bin Jubair, dan lainnya. Sebagimana telah
diriwayatkan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim, hadits marfu’ dari Abu
Hurairah Radhiallahu’anhu,
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَفْضَلُ الصَّدَقَةِ، أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ، شَحِيحٌ، تَأْمُلُ
الْغِنَى، وَتَخْشَى الْفَقْرَ.
“Sebaik-baik
sedekah adalah engkau menyedekahkan harta sedang engkau dalam keadaan sehat
lagi tamak, engkau menginginkan kekayaan dan takut miskin.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Allah Ta’ala telah mengingatkan melalui
firman-Nya:
لَن تّنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ
“Sekali-kali
kamu tidak akan meraih kebaikan hingga kamu menginfakkan sebagian harta yang
kamu sukai.” (QS.
Ali Imran: 92).
Juga
firman-Nya: Î وَيُؤْثِرُونَ
عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ Ï “Dan mereka
mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, meskipun mereka
memerlukan (apa yang mereka berikan itu).” (QS. Al-Hasyr: 9)
Inilah pola yang lain lagi, yang sangat tinggi
nilainya, yaitu mereka lebih mengutamakan untuk orang lain padahal sebenarnya
mereka sendiri sangat membutuhkannya. Mereka menginfakkan dan memberikan
makanan yang dicintainya.
Dan
firman Allah Ta’ala yang berikutnya, Î ذَوِي الْقُرْبَى Ï “Kepada
ke-rabatnya.”Mereka ini lebih diutamakan untuk diberi sedekah, sebagaimana
ditegaskan dalam hadits berikut ini:
الصَّدَقَةُ عَلَـى الْمَسَاكِيْنِ صَدَقَةٌ، وَعَلَـى ذَوِي الرَّحِمِ
ثِنْتَانِ: صَدَقَةٌ
وَصِلَةٌ، فَهُمْ أَوْلَـى النَّاسِ بِكَ، وَبِبِـرِّكَ، وَإِعْطَائِكَ.
“Sedekah
kepada orang-orang miskin itu hanya (berpahala satu) sedekah semata. Sedangkan
sedekah kepada kerabat (berpahala) dua, yaitu sedekah dan silaturrahmi. Mereka
itu orang yang paling utama untukmu dan untuk mendapatkan kebaikan serta
pemberianmu.”
Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk
berbuat baik kepada mereka melalui beberapa ayat di dalam al-Qur’an.
Î وَالْيَتَامَى Ï “Anak-anak yatim.” Yaitu mereka yang tidak mempunyai
orang yang menafkahinya, dan ditinggal mati oleh ayahnya pada saat masih lemah,
kecil, dan belum baligh serta belum mempunyai kemampuan untuk mencari nafkah.
Î وَالْمَسَاكِينَ Ï “Dan orang-orang miskin.” Yaitu mereka yang tidak dapat memenuhi kebutuhan
makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Mereka ini harus diberi sedekah agar
dapat menutupi kebutuhan dan kekurangannya. Dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim diriwayatkan hadits dari
Abu Hurairah Radhiallahu’anhu,
bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
لَيْسَ الْمِسْكِيْنُ بِهَذَا الطَّوَّافِ الَّذِي تَرُدُّهُ الْتَمْرَةُ
وَ الْتَمْرَتَانِ، وَ الْلُّقْمَةُ وَ الْلُّقْمَتَانِ، وَ لَكِنَّ الْمِسْكِيْنَ
الَّذِي لاَ يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ، وَلاَ يُفْطَنُ لَهُ فَيُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ.
“Orang
miskin itu bukanlah orang yang berjalan mengelilingi orang-orang, lalu
memperoleh (dari meminta-minta) satu atau dua butir kurma, sesuap atau dua suap
makanan, tetapi orang miskin adalah orang yang tidak mendapatkan kekayaan yang
mencukupinya, serta tidak mengerti untuk memperolehnya sehingga ia diberi
sedekah.” (Muttafaqun ‘alaih).
Firman-Nya,
Î وَابْنَ السَّبِيلِ Ï “Ibnu
sabil.” Yaitu orang yang
berpergian jauh dan telah kehabisan bekal. Orang ini perlu diberi sedekah
supaya bisa sampai ke negerinya. Demikian juga orang yang akan melakukan suatu perjalanan
untuk suatu ketaatan, maka dia pun perlu diberi bekal yang mencukupi
keberangkatan dan kepulangannya. Dan tamu termasuk dalam kategori Ibnu sabil,
sebagaimana dikatakan Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas, ia mengatakan,
“Ibnu sabil adalah tamu yang singgah di rumah orang-orang Muslim.” Hal yang
sama juga dikatakan oleh Mujahid, Sa’id bin Jubair, Abu Ja’far al-Baqir, Hasan
al-Bashri, Qatadah, adh-Dhahhak, az-Zuhri, Rabi’ bin Anas, dan Muqatil bin
Hayyan.
Î وَالسَّائِلِينَ Ï “Orang-orang yang meminta-minta.” Mereka itu adalah orang yang
terlihat meminta, maka ia diberi zakat dan sedekah. Imam Ahmad meriwayatkan
dari Fatimah bin Husain, dari ayahnya, Abdur Rahman Husain bin Ali
menceritakan, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لِلسَّائِلِ حَقٌ، وِإِنْ جَاءَ عَلَـى فَرَسٍ.
“Orang
yang meminta memiliki hak meskipun ia datang dengan menunggang kuda.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Firman-Nya,
Î وَفِي الرِّقَابِ Ï “Dan
(memerdekakan) hamba sahaya.” Mereka
itu adalah budak yang mempunyai perjanjian untuk menebus dirinya dan tidak
mendapatkan biaya untuk hal itu. Mengenai hal-hal tersebut di atas akan
diuraikan lebih lanjut dalam penafsiran ayat zakat dalam surat at-Taubah,insya
Allah.
Firman
Allah Ta’ala berikutnya, Î وَأَقاَمَ الصَّلَوةَ Ï “Dan
mendirikan shalat.” Yaitu
menyempurnakan pelaksanaan amalan shalat secara tepat waktu berikut ruku’,
sujud, thuma’ninah, dan
khusyu’ sesuai dengan yang disyari’atkan dan diridhai.
Firman-Nya,
Î وَءَ اتَى الزَّكَاةَ Ï “Dan
menunaikan zakat.” Bisa berarti
penyucian diri dan pembersihannya dari akhlak hina dan tercela. Sebagaimana
firman Allah Ta’ala: Î قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا Ï “Sesungguhnya
beruntung-lah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang
yang mengotorinya.” (QS.
Asy-Syams: 9-10)
Demikian
juga ucapan Nabi Musa‘alaihissalam kepada
Fir’aun: Î هَل لَّكَ إِلىَ أَن تَزَكَّـى
وَأَهْدِيَكَ إِلىَ رَبِّكَ فَتَخْشَى Ï “Adakah keinginan bagimu untuk
membersihkan diri (dari kesesatan). Dan akan kupimpin ke jalan Rabb-mu supaya
kamu takut kepada-Nya?” (QS.
An-Nazi’at: 18-19)
Dan
firman-Nya yang lain: Î وَوَيْلٌ
لِّلْمُشْرِكِينَ الَّذِيـنَ لاَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ Ï“Dan kecelakaan yang besar bagi orang-orang yang
mempersekutukan (Allah). Yaitu orang-orang yang tidak menunaikan penyucian diri
dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat.” (QS.Fushilat: 6-7)
Bisa juga berarti zakat mal. Sebagaimana dikatakan
Sa’id bin Jubair dan Muqatil bin Hayyan. Jadi, pemberian kepada beberapa pihak
dan golongan yang disebutkan di atas merupakan pemberian yang bersifat kerelaan
hati, kebaikan, dan silaturrahmi.
Firman-Nya
yang berikutnya, Î وَالْمُوفُونَ
بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا Ï “Dan orang-orang yang menepati
janjinya apabila ia berjanji.” Ayat ini sama seperti firman-Nya: Î الَّذِينَ يُوفُونَ بِعَهْدِ اللهِ وَلاَيَنقُضُونَ
الْمِيثَاقَ Ï
“Yaitu orang-orang yang menepati janji Allah dan tidak merusak perjanjian.” (QS. Ar-Ra’ad: 20)
Lawan
dari sifat ini adalah nifak (kemunafikan). Ditegaskan dalam
hadits berikut:
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ، إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا
وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ.
“Tanda-tanda
orang munafik itu ada tiga: Jika berbicara, maka bohong. Jika berjanji, maka
mengingkari. Dan jika diberi kepercayaan berkhianat.”(Muttafaqun ‘alaih)
Dan
firman-Nya selanjutnya, Î وَالصَّابِرِينَ
فِي الْبَأْسَآءِ وَالضَّرَّآءِ وَحِينَ الْبَأْسِ Ï “Dan
orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan.”Artinya,
dalam keadaan miskin yang disebut dengan al-ba’sa. Juga dalam keadaan sakit dan menderita
yang disebut dengan adh-dharra‘.
Î وَحِيْـنَ الْبَأْسِ Ï artinya ketika dalam peperangan dan berhadapan dengan musuh.
Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Abu al-Aliyah, Murrah
al-Hamadani, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Hasan al-Bashri, Qatadah, Rabi’ bin
Anas, as-Suddi, Muqatil bin Hayyan, Abu Malik, adh-Dhahhak, dan lain-lainya.
Kata
Î الصَّابِرِينَ Ï
dijadikan manshub sebagai pujian dan anjuran
untuk senantiasa bersabar dalam menghadapi segala kondisi tersebut karena berat
dan sulit. Wallahu a’lam,
hanya kepada-Nya kita memohon pertolongan dan bertawakal.
Dan
firman-Nya, Î أُوْلَئِكَ
الَّذِينَ صَدَقُوا Ï “Mereka itulah orang-orang yang
benar (imannya).” Maksudnya,
mereka yang telah menyandang sifat-sifat tersebut di atas adalah orang-orang
yang benar imannya, karena mereka telah mewujudkan keimanan hati melalui ucapan
dan perbuatan. Mereka inilah orang-orang yang benar, Î وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ Ï “dan mereka
itulah orang-orang yang bertakwa,” karena
mereka menjauhi berbagai hal yang diharamkan, dan mengerjakan berbagai macam
ketaatan.
Analisis
Yang dimaksud dengan kebaikan pada surah Al
Baqarah Ayat 177 ini adalah beriman kepada Allah, hari akhir,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan senantiasa mewujudkan keimanannya
di dalam kehidupan sehari-hari.
Contoh-contoh dari
perbuatan baik tersebut antara lain sebagai berikut:
a.
Memberi harta yang dicintainya kepada karib kerabat yang membutuhkannya.
b.
Memberikan bantuan kepada anak yatim.
c.
Memberikan harta kepada musafir yang membutuhkan.
d.
Memberi harta kepada orang-orang yang terpaksa meminta-minta.
e.
Memberikan harta untuk memerdekakan hamba sahaya.
f.
Menjalankan ibadah yang telah diperintahkan Allah denagn penuh keikhlasan.
g.
Menunaikan zakat kepada orang yang berhak menerimanya sebagaimana yang
tersebut dalam surah At Taubah Ayat 60.
h.
Menepati janji bagi mereka yang mengadakan perjanjian.
Akan tetapi, terhadap janji yang bertentangan dengan hukum Allah (syariat islam) seperti janji dalam perbuatan maksiat, maka janji itu tidak boleh (haram) dilakukan.
Akan tetapi, terhadap janji yang bertentangan dengan hukum Allah (syariat islam) seperti janji dalam perbuatan maksiat, maka janji itu tidak boleh (haram) dilakukan.
2.5 Hadis
Mengenai Pola Hidup Sederhana dan Perintah Menyantuni
Kaum Dluafa
Maksud dari menyantuni kaum duafa ialah memberikan harta atau
barang yang bermanfaat untuk duafa, kaum duafa sendiri ialah orang yang lemah
dari bahasa Arab (duafa) atau orang yang tidak punya apa-apa, dan mereka harus
disantuni bagi kewajiban muslim untuk saling memberi, itu sebagai bentuk ibadah
kepada Allah Swt. Perlu digaris bawahi, bahwa “memberi” tidak harus uang,
tetapi bisa juga makanan atau barang yang dapat bermanfaat. Semisal saja barang
yang diberikan digunakan untuk beribadah kepada Allah atau hal positif lainnya,
maka tentunya kita juga akan terkena pahala yang sama. Ketika sebaliknya, dia
dengan digunakan dalam hal yang buruk maka kita tidak akan mendapat pahala
buruk dari orang miskin itu insya Allah pahalanya tidak akan berkurang setelah
memberi kepada orang miskin tersebut.
Dan menurut para ulama menyantuni kaum duafa akan menyelamatkan
diri kita dari api neraka, tapi sekarang banyak manusia yang segan megeluarkan
hartanya untuk berinfak pada kaum duafa. Namun ada juga yang selalu membantu
kaum dufa itu, dan yang disebut duafa bukan terbatas pada orang miskin, tetapi
juga juga bisa pada ; panti asuahan, membangun masjid, anak yang putus sekolah
dan membiayai pendidikannya, dan keluarga dekat serta orang yang sedang
perjalanan.
Untuk anak yatim, Islam memerintahkan untuk memeliharanya,
memuliakannya. tidak boleh berlaku sewenang-wenang. Menjaga hartanya ( kalau
ada), sampai anak yatim tersebut dewasa, mandiri dan bisa mengurus hartanya.
Seperti dijelaskan dalam hadist bukhari di bawah ini apabila
seseorang memelihara anak yatim :
عَنْ
سَهْلٍ بْنِ سَعْدٍ قَالَ : قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” أَنَا وَكَافِلُ
الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا ، وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى
وَفَرَّجَ بَيْنَهُمَا شَيْئًا
Dari Sahl bin Sa’ad r.a.,
katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Saya dan orang yang memelihara
anak yatim itu dalam syurga seperti ini." Beliau mengisyaratkan dengan
jari telunjuk dan jari tengahnya dan merenggangkan antara keduanya itu."
(Riwayat Bukhari)
Surat Adh Dhuhaa ayat 9
فَأَمَّا
الْيَتِيمَ فَلا تَقْهَرْ
“Adapun terhadap anak yatim maka
janganlah kamu berlaku sewenag-wenang”.
عن المقدام بن معدي كرب اَنَّ رَسُولَ الله صلى
الله عليه وسلم قال: مَا مَلاَءَ اَدَمِيُّ وِعَاءَ شَرًّا مِنْ بَطْنِهِ,
بِحَسْبِ ابْنِ اَدَمَ لُقَيْمَةٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَاِنْ كَانَ لاَمحَاَلةَ
فَاعِلًا فَثُلُثٌ لِطَعَامِه وثُلُثٌ لِشَرَا بِه وثُلُثٌ لِنَفْسِه ( رواه الترمذى وابن حبان )
Terjemahan
“Dari Abi Karimah, yaitu Miqdar Bin Ma’dikariba
: saya mendengar Rasulullah saw, bersabda : anak adam yang mengisi penuh suatu
tempat, tidak akan lebih berbahaya daripada mengisi perutnya sendiri. Bagi anak
adam, cukup beberapa suap makanan untuk menegakkan tulang iganya. Jika dia
harus demikian (makan lebih banyak dari itu), maka sepertiga untuk makannya,
sepertiga untuk minumnya, dan sepertiga lagi untuk napasnya.” (H.R. Turmudzi).
Isi kandungan hadist
Hadist diatas mengandung makna bahwa perut
merupakan salah satu organ penting bagi manusia. Jika perutnya dapat berfungsi
dengan baik maka seseorang dapat beraktivitas dengan baik pula. Begitu pula
sebaliknya, jika fungsi perut sudah terganggu maka seseorang tidak akan mampu
beraktivitas.
Hadist di atas menjelaskan bahwa kita tidak
boleh mengisi perut samapi penuh, apalagi terkesan sampai ingin muntah, sebab
akan mudah menimbulkan penyakit. Rasulullah saw. Mengajarkan kepada kita agar
tidak makan sebelum lapar dan ketika makan jangan sampai kekenyangan. Jika hal
itu dilakukan, niscaya kesehatan badan akan terpelihara dengan baik dan tidak
mudah terserang penyakit.
Dalam hadist diatas juga dijelaskan bahwa
setiap anak adam hendaknya makan beberapa suap saja. Artinya, secukupnya sesuai
dengan kebutuhan tubuh. Selain itu juga, kita harus makan secara teratur dan
terjadwal agar perut dapat bekerja sesuai fungsinya. Bahkan dianjurkan agar
mengatur ruangan di dalam perut menjadi tiga tempat, yaitu pertama sepertiga
untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiganya lagi untuk udara atau
bernapas. Jika pola makan seperti yang dianjurkan Rasulullah saw. Sudah
diterapkan, niscaya tubuh kita akan sehat. Jika masih ada sisa makanan di rumah
kita, hendaknya diberikan kepada fakir miskin atau keluarga yang membutuhkan
sehingga tidak ada makanan yang terbuang mubazir.
Bahkan dalam hadist kedua, kita diperintahkan
agar tidak hanya memikirkan diri sendiri, artinya makan dan minum sendiri tanpa
peduli kepada orang lain. Tidak sempurna iman seseorang yang hanya makan
sendiri, sedangkan tetangga dekatnya kelaparan setiap hari. Sesungguhnya tidak
manusiawi orang yang makan sampai kekenyangan, padahal ada orang lain yang
kelaparan. Sesungguhnya keji juga orang yang membiarkan makanan sampai basi
lalu membuangnya, padahal tetangganya merintih menahan lapardi dekat rumahnya.
Meskipun kita rajin salat dan beribadah, tapi kalau tidak peduli kepada orang
lain di sekitarnya maka ibadahnya tidak sempurna
.
Perilaku
orang yang mengamalkan hadist
Berdasarkan isi kandungan hadist diatas, ada
beberapa sikap perilaku hidup sederhana yang dapat diidentifikasi bagi orang
yang mengamalkannnya, di antaranya sebagai berikut :
a. Sederhana dalam bersikap dan berperilaku
Bersikap sederhana, artinya sikap perilaku yang
tidak berlebihan dan tidak mengada-ada atau dipaksakan.ada orang yang
perilakunya dibuat-buat sehingga memancing gunjingan orang. Pada zaman sekarang
ini, banyak orang yang bersikap perilaku terlalu berlebih-lebihan, misalnya
laki-laki berdandan menyerupai perempuan atau sebaliknya, memakai anting
dihidung dan lidah, ranbut dicat warna warni, dan sebagainya. Perilaku seperti
ini sangat tercela dalam pandangan islam karena termasuk perilaku berlebihan
(Israf).
b. Peduli terhadap sesama
Bagi orang yang beriman, orang lain yang ada di
sekitar lingkungannya adalah saudara yang harus diperhatikan dengan seksama.
Sebab, merekalah yang paling tahu lebih dulu kita mendapat musibah atau
bencana. Mereka pula yang pertama kali memberikan pertolongan sehingga sewajarnya
jika mereka kita perhatikan dan diberikan santunan. Apalagi jika mereka sangat
membutuhkan. Peduli terhadap sesama merupakan akhlak terpuji yang harus
dipegang teguh oleh seorang muslim.
c. Menerapkan perilaku hidup sederhana dan
menyantuni kaum duafa sebagaimana terkandung dalam hadist diatas
Sebagai muslim yang beriman, hendaknya kita
dapat menerapkan isi kandungan hadist diatas dengan mengamalkan sikap perilaku
hidup sederhana. Untuk dapat menerapkan perilaku hidup sederhana dan menyantuni
kaum duafa, hendaknya kamu perhatikan terlebih dahulu beberapa hal berikut ini.
a)
Tanamkan keimanan yang kuat agar tidak tergoda
oleh setan yang selalu mengajak manusia hidup boros dan tidak peduli terhadap
sesama.
b)
Biasakan bergaul dengan orang-orang yang
memiliki perilaku hidup sederhana agar kita dapat meneladaninya.
c)
Hindari pergaulan dengan orang-orang yang boros
dan tidak perduli sesama agar kita tidak terpengaruh oleh pergaulannya.
d)
Biasakan mengatur pola makan dan pola hidup
sehat sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa :
1. Hidup sederhana ialah hidup sebatas mencukupi kebutuhan yang di
perlukan tanpa berlebih-lebihan dan melampaui batas.
Allah SWT memerintahkan
untuk menegeluarkan sebagian dari apa yang dimilikinya itu untuk orang-orang
tertentu
2. Hidup
sederhana akan membawa kita kedaalam kehidupan yang tenang dan harmonis. Hidup
sederhana akan menghindarkan kita dari sikap hidup yang boros dan berlebih-lebihan,
sebab hidup boros itu mengakibatkan harta menjadi terbuang-buang dan
tersalurkan kepada sesuatu yang tidak semestinya, sehingga pada akhirnya akan
membawa kepada kerugian dan penyesalan.
3. Kaum
muslimin diperintahkan Allah untuk membantu keluarga dekatnya yang membutuhkan
pertolongan, orang-orang miskin, dan orang-orang yang dalam perjalanan
(musafir).
4.
Dalam
memeberikan bantuan Allah mengingatkan agar tidak berlaku boros sehingga
menjadi mubazir dan sebaliknya terlalu kikir.
5.
Kaum Muslimin
juga diperintahkan untuk mempergunakan harta kekayaan secara wajar dan untuk
beribadah kepada Allah
6.
Allah menjamin rezeki setiap makhluk yang ada di dunia ini. Dia
pula yang berkuasa untuk melapangkan atau membatasinya.
3.2 Saran
Semoga
dengan dibuatnya makalah ini, pembaca bisa menambah pengetahuan pembaca dan
bisa mengamalkannya. Serta bisa mengaplikasikan pola hidup sederhana dalam
kehidupan sehari-hari misalkan tidak boros.
No comments:
Post a Comment