PERKARANGAN SEBAGAI SUMBER PLASMA NUTFAH LOKAL


a.       Judul : PERKARANGAN SEBAGAI SUMBER PLASMA NUTFAH LOKAL
b.      Tujuan
1.      Memahami perkarangan sebagai sumber plasma nutfah
c.       Landasan Teori
Indonesia merupakan negara dengan biodiversitas yang tinggi. Sekitar 30 persen jenis hewan dan tumbuhan yang ada di muka bumi berada di Indonesia. Letak Indonesia yang sangat strategis menyebabkan Indonesia memiliki keanekaragaman plasma nutfah yang beragam. Hingga saat ini, para ilmuwan masih terus mencari jenis tumbuhan baru yang ada di Indonesia. Seiring dengan ditemukannya jenis-jenis baru, ternyata ribuan jenis tanaman terancam punah dan mengalami kepunahan.
Plasma nutfah adalah substansi yang terdapat dalam setiap makhluk hidup dan merupakan sumber sifat keturunan yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan atau ditarik untuk menciptakan jenis unggul atau kultivar baru. Termasuk dalam kelompok ini adalah semua kultivar unggul masa kini atau masa lampau, kultivar primitif, jenis yang sudah dimanfaatkan tapi belum dibudidayakan, jenis liar kerabat jenis budidaya dan jenis-jenis budidaya.
Tanaman obat di Indonesia merupakan salah satu kekayaan plasma nutfah yang harus dijaga kelestariannya. Karena plasma nutfah merupakan sebuah sumber genetik yang dapat digunakan untuk tujuan penelitian dan pemuliaan. Namun pada umumnya industri jamu menggunakan bahan tanaman obat yang berasal dari alam, misalnya hutan. Tanpa adanya usaha pelestarian atau konservasi, tanaman obat di alam akan mulai jarang dan akhirnya punah.
Seiring dengan adanya keinginan untuk back to nature, masyarakan berlomba-lomba untuk kembali ke alam, yaitu menggunakan bahan-bahan alami, khususnya obat herbal. Hal ini mendorong munculnya tumbuhnya industri obat herbal yang semakin meningkat. Produsen herbal mengambil bahan baku dari alam. Jika para produsen menggunakan bahan baku dari alam secara terus menerus, tidak menutup kemungkinan jika suatu vaietas tertentu akan punah. Untuk itu perlu adanya suatu pelestarian untuk plasma nutfah tanaman obat-obatan tradisional,dengan cara pelestarian secara In-situ maupun Ex-situ.
d.      Data yang dikumpulkan
Indonesia merupakan suatu negara yang beruntung karena terletak di daerah katulistiwa yang mempunyai tipe hutan hujan tropik cukup unik dengan keanekaragaman jenis tertinggi di dunia (Whitmore, 1980). Kekayaan jenis tumbuhan di hutan Indonesia sampai sekarang belum didapat angka yang pasti. Sampai sekarang paling tidak terdapat 30.000 jenis tumbuhan berbunga yang sebagian besar masih tumbuh liar di hutan-hutan di berbagai kawasan di Indonesia. Saat ini baru sekitar 4.000 jenis saja yang diketahui telah dimanfaatkan langsung oleh penduduk dan hanya sekitar seperempatnya yang telah dibudidayakan (Sastrapradja dan Rifai, 1972) bahkan mungkin kurang dari 10 persennya (Williams, et al, 1975).
Dengan demikian masih banyak jenis-jenis tumbuhan yang belum diketahui pemanfaatannya dan jenis-jenis tersebut masih tumbuh liar diberbagai kawasan hutan di Indonesia. Kekayaan keanekaragaman jenis buah-buahan asli Indonesia juga cukup tinggi dan masih banyak yang belum dimanfaatkan secara baik. Hal ini terlihat antara lain dengan masih banyaknya buah-buahan “import” yang dijual di pasar-pasar ataupun di toko-toko swalayan di berbagai kota di seluruh Indonesia. Sebagai contoh misalnya buah durian “Mon Thong” yang didatangkan dari Thailand dan telah banyak dijual diberbagai daerah di Indonesia. Pada hal Indonesia merupakan pusat keanekaragaman jenis dan plasma nutfah durian (Uji, 2005).
Sampai saat ini, hasil hutan di Indonesia yang paling dikenal dan dianggap bernilai ekonomi tinggi adalah hasil-hasil kayunya. Kelompok jenis tumbuhan sebagai penghasil buah-buahan belum banyak dikenal. Hal ini disebabkan antara lain karena dari sudut pandang kehutanan, buah-buahan hutan masih dianggap sebagai hasil sampingan (minor product) yang secara ekonomis dianggap kurang penting. Kekayaan keanekaragaman jenis dan plasma nutfah buah-buahan asli Indonesia yang cukup besar sangat penting terutama sebagai modal dasar untuk pemuliaan tanaman buah-buahan.
Inventarisasi kekayaan jenis buah-buahan asli Indonesia perlu dilakukan agar dapat dimanfaatkan terutama dalam usaha meningkatkan kualitas dan kuantitas buah-buahan asli Indonesia. dan dapat menambah dan meningkatkan usaha penganekaragaman jenis buah-buahan yang dapat dimakan di Indonesia.
Dalam tulisan ini batasan untuk jenis buah-buahan yang dapat dimakan (edible fruits) adalah mencakup semua jenis tumbuhan tahunan yang menghasilkan buah dan dapat dimakan segar baik berupa buah masak ataupun masih mentah. Buah-buahan ini juga mencakup baik sebagai fungsi utama (major functions) ataupun sampingan (minor functions) (Prosea, 1991 ; Prosea, 1993). Untuk istilah jenis buah-buahan “asli Indonesia” adalah jenis buah-buahan lokal yang tumbuh secara alami ataupun yang berasal dari kawasan Indonesia (Uji, 2004). Jenis buah-buahan yang berkulit keras, tidak pecah dan berbiji satu atau yang disebut “nut” tidak termasuk dalam tulisan ini. Demikian pula untuk jenis-jenis yang hanya berfungsi sebagai sumber plasma nutfah tetapi tidak dapat dimakan buahnya maka jenis-jenis tersebut tidak dimasukan dalam daftar jenis dalam tulisan ini namun dalam diskusinya akan dibahas. Jenis-jenis yang berperan sebagai sumber plasma nutfah tersebut umumnya dikenal sebagai kerabat dekat dari kelompok buah-buahan yang biasa dimakan, misalnya kerabat dekat dari kelompok durian (Durio spp.), manggis (Garcinia spp.), rambutan (Nephelium spp,) mangga (Mangifera spp.), rambai (Baccaurea spp.), dan lain-lainnya.
KEKAYAAN KEANEKARAGAMAN JENIS
Tidak kurang dari 329 jenis buah-buahan (terdiri dari 61 suku dan 148 marga) baik yang merupakan jenis asli Indonesia maupun pendatang (introduksi) dapat ditemukan di Indonesia (Rifai, 1986). Di kawasan Asia Tenggara dilaporkan terdapat sekitar 400 jenis buah-buahan yang dapat dimakan (Prosea, 1991). Dengan demikian lebih dari tiga perempatnya jenis-jenis buah-buahan yang dilaporkan terdapat di kawasan Asia Tenggara tersebut telah ditemukan di Indonesia.
Berdasarkan hasil pengumpulan data yang dilakukan tercatat 266 jenis (termasuk 4 anak jenis dan 2 varietas) buah-buahan asli Indonesia telah ditemukan yang sebagian besar masih tumbuh liar di hutan-hutan dan hanya sebagian kecil yang telah dibudidayakan. Dari 226 jenis buah-buahan tersebut sebagian besar berupa pohon (203 jenis), liana (26 jenis), perdu (17 jenis), herba (14 jenis) dan semak (4 jenis). Dengan adanya persentase jumlah jenis pohon yang paling besar (76%) hal ini menunjukkan bahwa untuk usaha pemuliaan tanaman buah-buahan diperlukan waktu yang cukup lama karena jenis pohon daur hidupnya panjang.
Disamping itu juga tercatat 62 jenis telah dibudidayakan, 18 jenis merupakan jenis endemik dan 4 jenis termasuk tumbuhan langka. Keempat jenis tumbuhan langka adalah kerantungan (Durio oxleyanus), lahong (Durio dulcis), lai (Durio kutejensis) dan burahol (Stelechocarpus burahol) (Mogea, dkk., 2001) (Tabel 1).
Apabila dilihat berdasarkan lokasi maka jumlah jenis yang paling banyak ditemukan adalah di Sumatra (148 jenis) kemudian Kalimantan (144 jenis), selanjutnya adalah Jawa (96 jenis), Sulawesi (43 jenis), Maluku (30 jenis), Nusa Tenggara (21 jenis), Papua (16 jenis) dan 34 jenis lainnya tersebar diseluruh Indonesia. Kawasan Papua tercatat paling sedikit apabila dibandingkan dengan keenam kawasan lainnya. Hal ini antara lain disebabkan data tentang kekayaan flora Papua khususnya data tentang flora buah-buahannya masih belum banyak yang diketahui dan dilaporkan.
Uji (2004) juga telah melaporkan terdapat 226 jenis buah-buahan asli Kalimantan yang dapat dimakan baik secara langsung maupun setelah melalui proses pengolahan serta yang bermanfaat sebagai sumber plasma nutfah buah-buahan.. Siregar (2006) juga melaporkan bahwa di Kalimantan terdapat 130 jenis pohon buah-buahan lokal (baik jenis asli maupun pendatang) yang telah dikonsumsi oleh masyarakat lokal.
Dari tabel 1 dapat dilaporkan bahwa ada beberapa suku yang jumlah jenisnya cukup besar, antara lain suku Euphorbiaceae (31 jenis), Anacardiaceae (29 jenis), Moraceae (28 jenis) dan Clusiaceae (22 jenis). Keempat suku yang mempunyai keanekaragaman jenis buah-buahannya yang tinggi ini berpotensi untuk diteliti dan dikembangkan, karena keanekaragaman jenis yang tinggi merupakan modal utama dalam melakukan usaha pemuliaan tanaman.
JENIS-JENIS YANG BERPOTENSI UNTUK DIKEMBANGKAN
Kekayaan keanekaragaman jenis dan sumber plasma nutfah buah-buahan asli Indonesia yang melimpah sampai sekarang belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini dapat dilihat antara lain dengan banyaknya buah-buahan import yang beredar diberbagai kota di Indonesia. Oleh karena itu kekayaan sumber daya hayati yang melimpah di Indonesia ini perlu didayagunakan semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan pangan khususnya buah-buahan.
Tercatat paling sedikit ada 4 marga dari 4 suku buah-buahan asli Indonesia yang bernilai ekonomi cukup tinggi dan juga mempunyai keanekaragaman jenis yang tinggi. Masing-masing adalah suku Anacardiaceae (marga Mangifera), Clusiaceae (marga Garcinia), Sapindaceae (marga Nephelium) dan suku Bombacaceae (marga Durio). Empat jenis komoditas buah-buahan dari keempat marga tersebut telah ditetapkan sebagai “buah-buahan unggulan nasional”, masing-masing adalah buah mangga, manggis, rambutan dan durian(Winarno, 2000). Berikut ini diuraikan empat marga dari empat suku buah-buahan asli Indonesia yang bernilai ekonomi dan berpotensi untuk dikembangkan.
1.    Durian dan kerabatnya (Durio sp)

Sebagai bagian dari kawasan Indo-Malaya, Indonesia merupakan salah satu dari delapan pusat keanekaragaman genetika tanaman di dunia khususnya untuk buah-buahan tropis seperti durian, bacang (mangga) dan rambutan (Sastrapradja dan Rifai, 1989). Di Indonesia terdapat 20 jenis Durio dan Kalimantan merupakan pusat persebaran jenis-jenis Durio (Durio spp.). Dari 27 jenis Durio yang ada di seluruh dunia, 18 jenis diantaranya terdapat di Kalimantan dan 14 jenis merupakan jenis-jenis yang endemik (Uji, 2005).
Tercatat ada sembilan jenis Durio di Indonesia yang dapat dimakan, masing-masing adalah Durio dulcis (lahong), D. excelsus (apun), D. grandiflorus (sukang), D. graveolens (tuwala), D. kutejensis (lai), D. lowianus (teruntung), D. oxleyanus (kerantungan), D. testudinarum (durian sekura) dan D. zibethinus (durian). Lima jenis diantaranya telah dibudidayakan, yaitu D. dulcis, D. grandiflorus, D. kutejensis, D. oxleyanus dan D. zibethinus (Tabel 1.).
Di Indonesia juga dapat ditemukan puluhan bahkan bisa mencapai ratusan kultivar (varietas) durian (Durio zibethinus) lokal. Kultivar-kultivar durian lokal tersebut sangat beragam baik dalam rasa, bau, tekstur dan warna daging buahnya, juga variasi dalam bentuk dan ukuran buah, duri-duri pada kulit buah dan bijinya. Ditemukan juga durian yang berbiji kempes atau tidak berbiji. Selain itu juga dapat ditemukan berbagai jenis Durio mulai dari yang ukuran buahnya sebesar bola tennis sampai sebesar buah kelapa ataupun yang arilusnya berwarna keputihan atau kekuningan sampai merah tua, juga yang rasanya manis sampai sangat manis serta yang tidak berbau sampai berbau tajam.
Penulis juga mencatat bahwa selain durian (D. zibethinus), lai (D. kutejensis) di Kalimantan juga mempunyai beberapa kultivar lokal. Kultivar-kultivar lokal lai tersebut antara lain lai putih, lai kuning dan lai merah atau lai leko. Besarnya keanekaragaman jenis dan plasma nutfah pada durian dan kerabat dekatnya merupakan modal dasar untuk melakukan usaha pemulian durian di Indonesia khususnya di Kalimantan. Harapannya dapat diperoleh bibit-bibit durian yang unggul baik kualitas maupun produksi buahnya.
2. Mangga dan kerabatnya (Mangifera spp.)
Diseluruh dunia dilaporkan terdapat sekitar 40 jenis Mangifera (Gruezo, 1991). Di Kalimantan saja terdapat 31 jenis Mangifera dan 3 jenis diantaranya endemik (Kostermans dan Bompard, 1993). Uji (2004) telah melaporkan bahwa di Kalimantan ditemukan 23 jenis Mangifera yang merupakan tumbuhan asli dan 4 jenis merupakan tumbuhan yang endemic, sehingga dapat dikatakan bahwa Kalimantan merupakan pusat persebaran jenis-jenis mangga (Mangifera spp.). Kalimantan juga merupakan pusat diversitas keanekaragaman genetika mangga.
Purwanto (2000) melaporkan bahwa di Kalimantan banyak ditanam beberapa jenis mangga yang mempunyai keanekaragaman plasma nutfah yang cukup tinggi. Jenis-jenis mangga tersebut antara lain adalah M. pajang, M. indica, M. odorata dan M. foetida. Di kawasan ini juga dapat ditemukan berbagai macam buah-buahan mangga, mulai yang buahnya berukuran mini (sebesar jari jempol manusia dewasa) sampai yang berukuran besar (sebesar buah kelapa).
Selain itu juga yang berdaging buah rasa asam sampai manis, tidak berserat sampai berserat kasar ataupun yang sedikit beraroma sampai yang berbau tajam. Sebagai contoh kasturi (Mangifera casturi), mangga ini ukuran buahnya kecil tetapi mempunyai warna buah yang bervariasi dari kuning orange sampai ungu kehitaman dan rasanya manis serta baunya harum. Berbeda dengan asem payang (M. pajang), jenis mangga ini mempunyai buah yang berukuran paling besar (bergaris tengah sampai 20 cm) dibandingkan buah mangga lainnya. Keistimewaan mangga ini kulit buahnya dapat dikupas seperti halnya kalau mengupas kulit buah pisang.
Dari tabel 1 tercatat ada 23 jenis mangga asli Indonesia yang dapat dimakan, 14 jenis diantaranya telah dibudidayakan dan 3 jenis merupakan tumbuhan yang endemik. Ketiga jenis mangga yang endemik adalah M. casturi, M. pajang dan M. havilandii. Khusus untuk M. casturi, jenis mangga ini telah dijadikan sebagai mascot flora identitas Provinsi Kalimantan Selatan (Anonim, 1995). Besarnya keanekaragaman jenis dan plasma nutfah Mangifera spp. di Indonesia khususnya di Kalimantan akan memberikan harapan dalam pengembangannya melalui usaha pemuliaan mangga.

3. Manggis dan kerabatnya (Garcinia spp.)
Di kawasan Asia Tenggara dilaporkan terdapat sekitar 30 jenis Garcinia yang dapat dimakan, tetapi kebanyakan rasa buahnya agak asam karena kandungan asam sitratnya (Jansen, 1991). Tercatat ada 21 jenis Garcinia asli Indonesia yang dapat dimakan, 5 jenis diantaranya telah dibudidayakan (Tabel 1). Uji (2004) telah melaporkan bahwa di Kalimantan terdapat 20 jenis Garcinia asli Indonesia, 4 jenis diantaranya telah dibudidayakan sedangkan jenis lainnya masih tumbuh liar di hutan-hutan.
Keanekaragaman jenis Garcinia (Garcinia spp.) yang tinggi di Indonesia sangat mengutungkan dalam usaha pemuliaan tanaman manggis. Oleh karena itu kekayaan keanekaragaman jenis Garcinia perlu didayagunakan untuk meningkatkan kualitas dan produksi buah-buahan khususnya buah manggis.
Manggis (Garcinia mangostana) dari Indonesia merupakan salah satu buah tropika terbaik yang paling disukai di dunia, bahkan karena kelezatan rasanya buah ini mendapat julukan “Queen of fruits”. Banyak kendala dalam budidaya manggis, antara lain lambatnya laju pertumbuhan, panjangnya dormansi mata tunas serta adanya getah kuning pada buahnya. Faktor-faktor yang menjadi kendala dalam budi daya manggis harus dapat diminimalisasi.
Purnomo, dkk., (2002) melaporkan bahwa jenis-jenis buah-buahan yang tumbuh liar di hutan-hutan mempunyai kontribusi besar untuk batang bawah atau interstem terhadap penampilan agronomi jenis tanaman budi daya. Sebagai contoh adalah kandis (Garcinia parvifolia) mempunyai perawakan pohon yang pendek yaitu antara 2 – 5 meter tingginya sehingga jenis ini berpotensi sebagai material batang bawah. Demikian pula pada baros (G. celebica) berpotensi sama sebagai material batang bawah karena jenis ini mempunyai laju pertumbuhan yang cepat (Syah, dkk., 2002).
Manggis (G.mangostana) yang tumbuh liar di hutan-hutan di Sumatra dan Kalimantan juga dapat dimanfaatkan sebagai pohon induk (sebagai sumber plasma nutfah) karena tahan terhadap serangan hama dan penyakit.
4. Rambutan dan kerabatnya (Nephelium spp.)
Siebert (1991) melaporkan bahwa di seluruh dunia terdapat 22 jenis Nephelium, 16 jenis diantaranya terdapat di Kalimantan dan 8 jenis termasuk tumbuhan endemik. Dari table 1 telah tercatat ada 9 jenis Nephelium asli Indonesia yang dapat dimakan buahnya, 5 jenis diantaranya telah dibudidayakan dan 2 jenis lainnya merupakan tumbuhan endemik. Kesembilan jenis Nephelium yang dapat dimakan tersebut semuanya dapat ditemukan di Kalimantan.
Kalimantan selain merupakan pusat persebaran Nephelium juga sebagai pusat keanekaragaman genetika rambutan. Sebagai contoh tidak kurang dari 15 kultivar rambutan (N. lappaceum) dapat ditemukan di desa Mekarjaya, kabupaten Sambas di Kalimantan Barat. Dilaporkan juga bahwa N. maingayi dan N. ramboutan-ake diperkirakan juga mempunyai banyak variasinya. Hal ini disebabkan karena kedua jenis Nephelium ini banyak ditanam oleh penduduk di sekitar halaman rumah dan di kebun-kebun di Kalimantan Barat. (Siregar, 2006).
Dalam upaya untuk meningkatkan kualitas dan produksi buah rambutan maka dapat dilakukan dengan cara memadukan antara sifat-sifat baik yang dimiliki oleh setiap kelompok populasi jenis. Harapannya dapat dihasilkan buah rambutan yang rasanya manis, tidak berair, ngelotok dan produksi buahnya lebat.
Beberapa jenis buah-buahan asli Indonesia lainnya yang juga bernilai ekonomi dan berpotensi untuk dikembangkan masih cukup banyak, antara lain salak (Salacca zalacca), duku (Lansium domesticum), buah merah (Pandanus conoideus) dan matoa (Pometia pinnata).

5. Salak (Salacca zalacca)
Salak dapat ditemukan tumbuh liar hanya di Jawa Barat dan Sumatra bagian Selatan, tetapi asal tanaman salak tepatnya tidak diketahui (Uji, dkk., 1998). Di Indonesia terdapat cukup banyak kultivar salak dan paling sedikit ada 20 kultivar yang umumnya diberi nama berdasarkan lokasi dimana salak tersebut dibudidayakan (Schuiling & Mogea, 1991).
Beberapa contoh kultivar salak yang cukup dikenal antara lain salak “Condet”, “Bali”, “Pondoh” dan salak “Suwaru”. Bahkan salak “Condet” telah dipergunakan sebagai mascot flora identitas Provinsi di DKI Jakarta (Anonim, 1995). Selain itu tanaman salak juga termasuk dalam salah satu “buah-buahan unggulan nasional” (Winarno, 2000). Salah satu dari keempat kultivar yaitu salak “Pondoh” mempunyai keistimewaan apabila dibandingkan dengan kultivar lainnya. Karena buah yang masih muda dari salak “Pondoh” rasanya sudah cukup manis dan enak dimakan.
6. Duku (Lansium domesticum)
Di Indonesia terdapat cukup banyak kultivar duku. Salah satu kultivar yang paling terkenal adalah duku “Palembang”. Oleh karena itu pemerintah daerah Provinsi Sumatra Selatan telah memilih duku “Palembang” sebagai flora. Duku juga termasuk dalam salah satu “buah-buahan unggulan daerah (Winarno, 2000). Duku Palembang terkenal di dunia perdagangan karena rasanya sangat manis dan berkulit tipis.

7. Buah merah (Pandanus conoideus)
Buah merah merupakan salah satu tumbuhan asli Indonesia yang terdapat di Maluku dan Irian Jaya. Sebagian dari masyarakat Irian Jaya tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan buah merah. Hal ini disebabkan buahnya sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pangannya dan sangat disukai penduduk sebagai makanan tambahan di samping sagu. Buah merah juga sangat bermanfaat sebagai tanaman obat karena kandungan gizinya kaya zat antioksidan seperti karoten, betakaroten dan tokoferol. Buah merah dilaporkan dapat meningkatkan daya tahan tubuh seorang penderita HIV positif (Rovihandono, 2005).

8. Matoa (Pometia pinnata)
Meskipun matoa penyebarannya di Indonesia cukup luas namun yang paling terkenal adalah matoa yang berasal dari Irian Jaya, karena mempunyai rasa buah yang manis dan harum. Penduduk lokal mengenal adanya 3 varietas lokal, yaitu matoa”papeda”, “kenari” dan matoa “kelapa”. Matoa “kelapa” dan “kenari” mempunyai kualitas buah yang lebih baik dari pada matoa “papeda”. Ketiga matoa varietas lokal ini termasuk dalam Pometia pinnata f. glabra (Kuswara dan Sumiasri, 1997). Pemerintah daerah propinsi Papua juga telah memilih dan menetapkan matoa sebagai flora identitas daerahnya (Winarno, 2000)
e.       Hasil dan analisis yang diakukan
1.      List/daftar kawasan konservasi Indonesia
Berikut ini daftar Taman Nasional yang ada di Indonesia:
1. Gunung Leuser *) **)
1. Ujung Kulon **)
2. Siberut *)
3. Komodo *) **)
6. Berbak ***)







   
1. Bunaken
2. Danau Sentarum ***)
4. Lorentz **)
5. Wasur
6. Kutai 



Keterangan:
*)      Cagar Biosfer
**)    World Heritage Sites
***)   Ramsar Sites
2.      Deskripsi kawasan konservasi
Kawasan/Hutan konservasi dalam katagorisasi nasional mencakup 2 kelompok besar, yaitu kawasan suaka alam (KSA) dan kawasan pelestarian alam (KPA). Kawasan Suaka Alam yanf terdiri Cagar Alam dan Suaka Margasatwa, bertujuan untuk perlindungan system penyangga kehidupan dan pengawetan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Sementara untuk KPA yang terdiri dari Taman Nasional, Tahura, Taman Wisata Alam dan Taman Buru, selain kedua tujuan tersebut, juga bertujuan untuk pemanfaatan yang lestari.
Cagar Alam (strictly nature reserve and wilderness area) adalah suatu kawasan yang ditetapkan untuk menjaga agar suatu species,, habitat, kondisi geologi, ekosistem, juga proses ekologis agar tetap seperti apa adanya, tanpa campur tangan manusia dengan tujuan utama untuk kepentingan ilmiah atau pemantauan lingkungan. Pengelolaan dalam Cagar Alam hanya berupa monitoring (termasuk riset) dan pengamanan saja (sehingga sering dikenal sebagai zero manajemen). Kegiatan pemanfaatan yang diperbolehkan dalam Cagar Alam sangat terbatas, terutama yang berkaitan dengan kepentingan ilmiah serta bukan kegiatan yang sifatnya ekstraktif (mengambil sesuatu yang berupa fisik dari kawasan).
                Suaka Margasatwa adalah kawasan yang ditetapkan untuk melindungi populasi dan habitat dari 1 atau lebih species tertentu yang memiliki nilai penting secara ilmiah. Dalam suaka margasatwa intervensi pengelola untuk menjaga keberlangsungan populasi species tersebut diperkenankan, misalkan dalam bentuk perbaikan habitat, control populasi dan sebagainya.

                Taman Nasional merupakan suatu pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan system zonasi, yang dimanfaatkan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Taman Nasional di Indonesia dalam prakteknya merupakan kawasan konservasi yang paling terorganisir, baik dari sisi infrastruktur maupun kelembagaannya. Kiteria yang digunakan untuk penetapan suatu kawasan menjadi Taman Nasional adalah sbb:
1.      kawasan yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami (TN terkecil di Indonesia saat ini, adalah TN Kelimutu seluas 5000 ha)
2.      memiliki sumber daya alam khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami.
3.      memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh.
4.      memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam,
                Adanya system zonasi dalam Taman Nasional merupakan upaya untuk mengakomodasi kepentingan dari aspek ekologi, ekonomi dan social budaya. Zona inti sebagai inti dari Taman Nasional memiliki pengelolaan yang identik dengan Cagar Alam, dimana intervensi pengelolaan sangat minimal. Zona pemanfaatan merupakan kawasan dalam Taman nasional yang dapat dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan pemanfaatan dengan pembatasan-pembatasan tertentu. Ada beberapa turunan dari zona pemanfaatan ini yang merupakan variasi dari satu taman nasional ke taman nasional lain di Indonesia, seperti Zona Pemanfaatan Tradisional, Zona Pemanfaatan Terbatas, Zona Pemanfaatan Internsif, Zona Reghabilitasi, Zona Budaya dan sebagainya.  Penetapan atau alokasi masing-masing zona seharusnya mempertimbangkan ketiga aspek yaitu aspek ekologi, ekonomi dan social budaya. Metoda pendekatan yang bisa digunakan dalam penentuan alokasi zona diantaranya dapat menggunakan Multicriteria Analysis (MCA). Pendekatan Multikriteria didefinisikan sebagai konsep pendekatan global model dan metode untuk membantu pengambilan keputusan dalam hal memodelkan masalah, mengevaluasi, menyederhanakan, melakukan rangking, memilih atau menolak suatu obyek/alternative (calon, produk, pilihan dsb) (Sarifi dalam Hermawan dkk, 2005).
Tahura (Taman Hutan Raya) secara prinsip hampir mirip dengan Taman Nasional, namun memiliki derajat kepentingan keragaman hayati yang lebih rendah, serta dikelola untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa alami maupun bukan alami, jenis asli maupun tidak asli. Ada pembagian blok-blok pengelolaan yang hampir serupa dengan system zonasi, namun lebih ditujukan untuk penataan koleksi.
Taman Wisata Alam dan Taman Buru merupakan bentuk kawasan yang dilindungi/hutan konservasi yang memiliki tujuan pemanfaatan tertentu (wisata alam dan perburuan). Meskipun bertujuan untuk wisata dan perburuan namun sebagai hutan konservasi maka aktivitas wisata dan perburuan harus sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi.
Saat ini pemanfaatan di kawasan pelestarian alam (KPA), kebanyakan masih bertumpu pada kegiatan-kegiatan yang berbasis pada wisata alam dan pengambilan hasil hutan non kayu
3.      Deskripsi spesifikasi setiap kawasan dengan perbandingan antar kawasan
4.      Sebaran kawasan dan peta sebaran kawasan

f.       Kesimpulan
Kawasan/Hutan konservasi dalam katagorisasi nasional mencakup 2 kelompok besar, yaitu kawasan suaka alam (KSA) dan kawasan pelestarian alam (KPA). Kawasan Suaka Alam yanf terdiri Cagar Alam dan Suaka Margasatwa, bertujuan untuk perlindungan system penyangga kehidupan dan pengawetan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Sementara untuk KPA yang terdiri dari Taman Nasional, Tahura, Taman Wisata Alam dan Taman Buru, selain kedua tujuan tersebut, juga bertujuan untuk pemanfaatan yang lestari.






g.      Daftar pustaka
Damanik, J. dan Helmut F.Weber., 2006.Perencanaan Ekowisata dari Teori ke Aplikasi. diterbitkan atas kerjasama Pusat Studi Pariwisata (PUSPAR) Universitas Gadjah Mada dan Penerbit Andi. Yogjakarta.

Fandeli, C. dan Mukhlison.,2000.Pengusahaan Ekowisata. Diterbitkan atas kerjasama Fakultas Kehutanan UGM. Pustaka Pelajar, Unit Konservasi Sumber daya Alam Daerah Istimewa. Yogjakarta.
Elisa. 2010. Konservasi Biodiversitas. http://elisa1.ugm.ac.id/files/t3hermawan/.../10-Konservasi%20Biodiversitas.doc (diakses 5 November 2015).
Kholid . 2012. Konservasi Ex-situ. http://eprints.undip.ac.id/3212/1/KHOLID_2.BAB_I.doc (diakses 5 November 2015).



No comments:

Post a Comment