b. Tujuan
1. Memahami perkarangan sebagai sumber plasma nutfah
c. Landasan Teori
Indonesia
merupakan negara dengan biodiversitas yang tinggi. Sekitar 30 persen jenis
hewan dan tumbuhan yang ada di muka bumi berada di Indonesia. Letak Indonesia
yang sangat strategis menyebabkan Indonesia memiliki keanekaragaman plasma
nutfah yang beragam. Hingga saat ini, para ilmuwan masih terus mencari jenis
tumbuhan baru yang ada di Indonesia. Seiring dengan ditemukannya jenis-jenis
baru, ternyata ribuan jenis tanaman terancam punah dan mengalami kepunahan.
Plasma nutfah
adalah substansi yang terdapat dalam setiap makhluk hidup dan merupakan sumber
sifat keturunan yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan atau ditarik untuk
menciptakan jenis unggul atau kultivar baru. Termasuk dalam kelompok ini adalah
semua kultivar unggul masa kini atau masa lampau, kultivar primitif, jenis yang
sudah dimanfaatkan tapi belum dibudidayakan, jenis liar kerabat jenis budidaya
dan jenis-jenis budidaya.
Tanaman obat di
Indonesia merupakan salah satu kekayaan plasma nutfah yang harus dijaga
kelestariannya. Karena plasma nutfah merupakan sebuah sumber genetik yang dapat
digunakan untuk tujuan penelitian dan pemuliaan. Namun pada umumnya industri
jamu menggunakan bahan tanaman obat yang berasal dari alam, misalnya hutan.
Tanpa adanya usaha pelestarian atau konservasi, tanaman obat di alam akan mulai
jarang dan akhirnya punah.
Seiring dengan
adanya keinginan untuk back to nature, masyarakan berlomba-lomba untuk kembali
ke alam, yaitu menggunakan bahan-bahan alami, khususnya obat herbal. Hal ini
mendorong munculnya tumbuhnya industri obat herbal yang semakin meningkat.
Produsen herbal mengambil bahan baku dari alam. Jika para produsen menggunakan
bahan baku dari alam secara terus menerus, tidak menutup kemungkinan jika suatu
vaietas tertentu akan punah. Untuk itu perlu adanya suatu pelestarian untuk
plasma nutfah tanaman obat-obatan tradisional,dengan cara pelestarian secara
In-situ maupun Ex-situ.
d. Data yang
dikumpulkan
Indonesia merupakan suatu negara yang beruntung karena terletak di daerah
katulistiwa yang mempunyai tipe hutan hujan tropik cukup unik dengan
keanekaragaman jenis tertinggi di dunia (Whitmore, 1980). Kekayaan jenis
tumbuhan di hutan Indonesia sampai sekarang belum didapat angka yang pasti.
Sampai sekarang paling tidak terdapat 30.000 jenis tumbuhan berbunga yang
sebagian besar masih tumbuh liar di hutan-hutan di berbagai kawasan di
Indonesia. Saat ini baru sekitar 4.000 jenis saja yang diketahui telah
dimanfaatkan langsung oleh penduduk dan hanya sekitar seperempatnya yang telah
dibudidayakan (Sastrapradja dan Rifai, 1972) bahkan mungkin kurang dari 10
persennya (Williams, et al, 1975).
Dengan demikian masih banyak jenis-jenis tumbuhan yang belum diketahui
pemanfaatannya dan jenis-jenis tersebut masih tumbuh liar diberbagai kawasan
hutan di Indonesia. Kekayaan keanekaragaman jenis buah-buahan asli Indonesia
juga cukup tinggi dan masih banyak yang belum dimanfaatkan secara baik. Hal ini
terlihat antara lain dengan masih banyaknya buah-buahan “import” yang dijual di
pasar-pasar ataupun di toko-toko swalayan di berbagai kota di seluruh
Indonesia. Sebagai contoh misalnya buah durian “Mon Thong” yang didatangkan
dari Thailand dan telah banyak dijual diberbagai daerah di Indonesia. Pada hal
Indonesia merupakan pusat keanekaragaman jenis dan plasma nutfah durian (Uji,
2005).
Sampai saat ini, hasil hutan di Indonesia yang paling dikenal dan dianggap
bernilai ekonomi tinggi adalah hasil-hasil kayunya. Kelompok jenis tumbuhan
sebagai penghasil buah-buahan belum banyak dikenal. Hal ini disebabkan antara
lain karena dari sudut pandang kehutanan, buah-buahan hutan masih dianggap sebagai
hasil sampingan (minor product) yang secara ekonomis dianggap kurang penting.
Kekayaan keanekaragaman jenis dan plasma nutfah buah-buahan asli Indonesia yang
cukup besar sangat penting terutama sebagai modal dasar untuk pemuliaan tanaman
buah-buahan.
Inventarisasi kekayaan jenis buah-buahan asli Indonesia perlu dilakukan
agar dapat dimanfaatkan terutama dalam usaha meningkatkan kualitas dan
kuantitas buah-buahan asli Indonesia. dan dapat menambah dan meningkatkan usaha
penganekaragaman jenis buah-buahan yang dapat dimakan di Indonesia.
Dalam tulisan ini batasan untuk jenis buah-buahan yang dapat dimakan
(edible fruits) adalah mencakup semua jenis tumbuhan tahunan yang menghasilkan
buah dan dapat dimakan segar baik berupa buah masak ataupun masih mentah. Buah-buahan
ini juga mencakup baik sebagai fungsi utama (major functions) ataupun sampingan
(minor functions) (Prosea, 1991 ; Prosea, 1993). Untuk istilah jenis
buah-buahan “asli Indonesia” adalah jenis buah-buahan lokal yang tumbuh secara
alami ataupun yang berasal dari kawasan Indonesia (Uji, 2004). Jenis
buah-buahan yang berkulit keras, tidak pecah dan berbiji satu atau yang disebut
“nut” tidak termasuk dalam tulisan ini. Demikian pula untuk jenis-jenis yang
hanya berfungsi sebagai sumber plasma nutfah tetapi tidak dapat dimakan buahnya
maka jenis-jenis tersebut tidak dimasukan dalam daftar jenis dalam tulisan ini
namun dalam diskusinya akan dibahas. Jenis-jenis yang berperan sebagai sumber
plasma nutfah tersebut umumnya dikenal sebagai kerabat dekat dari kelompok
buah-buahan yang biasa dimakan, misalnya kerabat dekat dari kelompok durian
(Durio spp.), manggis (Garcinia spp.), rambutan (Nephelium spp,) mangga
(Mangifera spp.), rambai (Baccaurea spp.), dan lain-lainnya.
KEKAYAAN KEANEKARAGAMAN JENIS
Tidak kurang dari 329 jenis buah-buahan (terdiri dari 61 suku dan 148 marga) baik yang merupakan jenis asli Indonesia maupun pendatang (introduksi) dapat ditemukan di Indonesia (Rifai, 1986). Di kawasan Asia Tenggara dilaporkan terdapat sekitar 400 jenis buah-buahan yang dapat dimakan (Prosea, 1991). Dengan demikian lebih dari tiga perempatnya jenis-jenis buah-buahan yang dilaporkan terdapat di kawasan Asia Tenggara tersebut telah ditemukan di Indonesia.
Tidak kurang dari 329 jenis buah-buahan (terdiri dari 61 suku dan 148 marga) baik yang merupakan jenis asli Indonesia maupun pendatang (introduksi) dapat ditemukan di Indonesia (Rifai, 1986). Di kawasan Asia Tenggara dilaporkan terdapat sekitar 400 jenis buah-buahan yang dapat dimakan (Prosea, 1991). Dengan demikian lebih dari tiga perempatnya jenis-jenis buah-buahan yang dilaporkan terdapat di kawasan Asia Tenggara tersebut telah ditemukan di Indonesia.
Berdasarkan hasil pengumpulan data yang dilakukan tercatat 266 jenis
(termasuk 4 anak jenis dan 2 varietas) buah-buahan asli Indonesia telah
ditemukan yang sebagian besar masih tumbuh liar di hutan-hutan dan hanya
sebagian kecil yang telah dibudidayakan. Dari 226 jenis buah-buahan tersebut
sebagian besar berupa pohon (203 jenis), liana (26 jenis), perdu (17 jenis),
herba (14 jenis) dan semak (4 jenis). Dengan adanya persentase jumlah jenis
pohon yang paling besar (76%) hal ini menunjukkan bahwa untuk usaha pemuliaan
tanaman buah-buahan diperlukan waktu yang cukup lama karena jenis pohon daur
hidupnya panjang.
Disamping itu juga tercatat 62 jenis telah dibudidayakan, 18 jenis
merupakan jenis endemik dan 4 jenis termasuk tumbuhan langka. Keempat jenis
tumbuhan langka adalah kerantungan (Durio oxleyanus), lahong (Durio dulcis),
lai (Durio kutejensis) dan burahol (Stelechocarpus burahol) (Mogea, dkk., 2001)
(Tabel 1).
Apabila dilihat berdasarkan lokasi maka jumlah jenis yang paling banyak
ditemukan adalah di Sumatra (148 jenis) kemudian Kalimantan (144 jenis),
selanjutnya adalah Jawa (96 jenis), Sulawesi (43 jenis), Maluku (30 jenis),
Nusa Tenggara (21 jenis), Papua (16 jenis) dan 34 jenis lainnya tersebar
diseluruh Indonesia. Kawasan Papua tercatat paling sedikit apabila dibandingkan
dengan keenam kawasan lainnya. Hal ini antara lain disebabkan data tentang
kekayaan flora Papua khususnya data tentang flora buah-buahannya masih belum
banyak yang diketahui dan dilaporkan.
Uji (2004) juga telah melaporkan terdapat 226 jenis buah-buahan asli
Kalimantan yang dapat dimakan baik secara langsung maupun setelah melalui
proses pengolahan serta yang bermanfaat sebagai sumber plasma nutfah
buah-buahan.. Siregar (2006) juga melaporkan bahwa di Kalimantan terdapat 130
jenis pohon buah-buahan lokal (baik jenis asli maupun pendatang) yang telah
dikonsumsi oleh masyarakat lokal.
Dari tabel 1 dapat dilaporkan bahwa ada beberapa suku yang jumlah jenisnya
cukup besar, antara lain suku Euphorbiaceae (31 jenis), Anacardiaceae (29
jenis), Moraceae (28 jenis) dan Clusiaceae (22 jenis). Keempat suku yang
mempunyai keanekaragaman jenis buah-buahannya yang tinggi ini berpotensi untuk
diteliti dan dikembangkan, karena keanekaragaman jenis yang tinggi merupakan
modal utama dalam melakukan usaha pemuliaan tanaman.
JENIS-JENIS YANG BERPOTENSI UNTUK DIKEMBANGKAN
Kekayaan keanekaragaman jenis dan sumber plasma nutfah buah-buahan asli Indonesia yang melimpah sampai sekarang belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini dapat dilihat antara lain dengan banyaknya buah-buahan import yang beredar diberbagai kota di Indonesia. Oleh karena itu kekayaan sumber daya hayati yang melimpah di Indonesia ini perlu didayagunakan semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan pangan khususnya buah-buahan.
Kekayaan keanekaragaman jenis dan sumber plasma nutfah buah-buahan asli Indonesia yang melimpah sampai sekarang belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini dapat dilihat antara lain dengan banyaknya buah-buahan import yang beredar diberbagai kota di Indonesia. Oleh karena itu kekayaan sumber daya hayati yang melimpah di Indonesia ini perlu didayagunakan semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan pangan khususnya buah-buahan.
Tercatat paling sedikit ada 4 marga dari 4 suku buah-buahan asli Indonesia
yang bernilai ekonomi cukup tinggi dan juga mempunyai keanekaragaman jenis yang
tinggi. Masing-masing adalah suku Anacardiaceae (marga Mangifera), Clusiaceae
(marga Garcinia), Sapindaceae (marga Nephelium) dan suku Bombacaceae (marga
Durio). Empat jenis komoditas buah-buahan dari keempat marga tersebut telah
ditetapkan sebagai “buah-buahan unggulan nasional”, masing-masing adalah buah
mangga, manggis, rambutan dan durian(Winarno, 2000). Berikut ini diuraikan
empat marga dari empat suku buah-buahan asli Indonesia yang bernilai ekonomi
dan berpotensi untuk dikembangkan.
1. Durian dan kerabatnya (Durio sp)
Sebagai bagian dari kawasan Indo-Malaya, Indonesia merupakan salah satu
dari delapan pusat keanekaragaman genetika tanaman di dunia khususnya untuk buah-buahan
tropis seperti durian, bacang (mangga) dan rambutan (Sastrapradja dan Rifai,
1989). Di Indonesia terdapat 20 jenis Durio dan Kalimantan merupakan pusat
persebaran jenis-jenis Durio (Durio spp.). Dari 27 jenis Durio yang ada di
seluruh dunia, 18 jenis diantaranya terdapat di Kalimantan dan 14 jenis
merupakan jenis-jenis yang endemik (Uji, 2005).
Tercatat ada sembilan jenis Durio di Indonesia yang dapat dimakan,
masing-masing adalah Durio dulcis (lahong), D. excelsus (apun), D. grandiflorus
(sukang), D. graveolens (tuwala), D. kutejensis (lai), D. lowianus (teruntung),
D. oxleyanus (kerantungan), D. testudinarum (durian sekura) dan D. zibethinus
(durian). Lima jenis diantaranya telah dibudidayakan, yaitu D. dulcis, D.
grandiflorus, D. kutejensis, D. oxleyanus dan D. zibethinus (Tabel 1.).
Di Indonesia juga dapat ditemukan puluhan bahkan bisa mencapai ratusan
kultivar (varietas) durian (Durio zibethinus) lokal. Kultivar-kultivar durian
lokal tersebut sangat beragam baik dalam rasa, bau, tekstur dan warna daging
buahnya, juga variasi dalam bentuk dan ukuran buah, duri-duri pada kulit buah
dan bijinya. Ditemukan juga durian yang berbiji kempes atau tidak berbiji.
Selain itu juga dapat ditemukan berbagai jenis Durio mulai dari yang ukuran
buahnya sebesar bola tennis sampai sebesar buah kelapa ataupun yang arilusnya
berwarna keputihan atau kekuningan sampai merah tua, juga yang rasanya manis
sampai sangat manis serta yang tidak berbau sampai berbau tajam.
Penulis juga mencatat bahwa selain durian (D. zibethinus), lai (D.
kutejensis) di Kalimantan juga mempunyai beberapa kultivar lokal.
Kultivar-kultivar lokal lai tersebut antara lain lai putih, lai kuning dan lai
merah atau lai leko. Besarnya keanekaragaman jenis dan plasma nutfah pada
durian dan kerabat dekatnya merupakan modal dasar untuk melakukan usaha
pemulian durian di Indonesia khususnya di Kalimantan. Harapannya dapat
diperoleh bibit-bibit durian yang unggul baik kualitas maupun produksi buahnya.
2. Mangga dan kerabatnya (Mangifera spp.)
Diseluruh dunia dilaporkan terdapat sekitar 40 jenis Mangifera (Gruezo,
1991). Di Kalimantan saja terdapat 31 jenis Mangifera dan 3 jenis diantaranya
endemik (Kostermans dan Bompard, 1993). Uji (2004) telah melaporkan bahwa di
Kalimantan ditemukan 23 jenis Mangifera yang merupakan tumbuhan asli dan 4
jenis merupakan tumbuhan yang endemic, sehingga dapat dikatakan bahwa
Kalimantan merupakan pusat persebaran jenis-jenis mangga (Mangifera spp.).
Kalimantan juga merupakan pusat diversitas keanekaragaman genetika mangga.
Purwanto (2000) melaporkan bahwa di Kalimantan banyak ditanam beberapa
jenis mangga yang mempunyai keanekaragaman plasma nutfah yang cukup tinggi.
Jenis-jenis mangga tersebut antara lain adalah M. pajang, M. indica, M. odorata
dan M. foetida. Di kawasan ini juga dapat ditemukan berbagai macam buah-buahan
mangga, mulai yang buahnya berukuran mini (sebesar jari jempol manusia dewasa)
sampai yang berukuran besar (sebesar buah kelapa).
Selain itu juga yang berdaging buah rasa asam sampai manis, tidak berserat
sampai berserat kasar ataupun yang sedikit beraroma sampai yang berbau tajam.
Sebagai contoh kasturi (Mangifera casturi), mangga ini ukuran buahnya kecil
tetapi mempunyai warna buah yang bervariasi dari kuning orange sampai ungu
kehitaman dan rasanya manis serta baunya harum. Berbeda dengan asem payang (M.
pajang), jenis mangga ini mempunyai buah yang berukuran paling besar (bergaris
tengah sampai 20 cm) dibandingkan buah mangga lainnya. Keistimewaan mangga ini
kulit buahnya dapat dikupas seperti halnya kalau mengupas kulit buah pisang.
Dari tabel 1 tercatat ada 23 jenis mangga asli Indonesia yang dapat
dimakan, 14 jenis diantaranya telah dibudidayakan dan 3 jenis merupakan
tumbuhan yang endemik. Ketiga jenis mangga yang endemik adalah M. casturi, M.
pajang dan M. havilandii. Khusus untuk M. casturi, jenis mangga ini telah
dijadikan sebagai mascot flora identitas Provinsi Kalimantan Selatan (Anonim,
1995). Besarnya keanekaragaman jenis dan plasma nutfah Mangifera spp. di
Indonesia khususnya di Kalimantan akan memberikan harapan dalam pengembangannya
melalui usaha pemuliaan mangga.
3. Manggis dan kerabatnya (Garcinia spp.)
3. Manggis dan kerabatnya (Garcinia spp.)
Di kawasan Asia Tenggara dilaporkan terdapat sekitar 30 jenis Garcinia yang
dapat dimakan, tetapi kebanyakan rasa buahnya agak asam karena kandungan asam
sitratnya (Jansen, 1991). Tercatat ada 21 jenis Garcinia asli Indonesia yang
dapat dimakan, 5 jenis diantaranya telah dibudidayakan (Tabel 1). Uji (2004) telah
melaporkan bahwa di Kalimantan terdapat 20 jenis Garcinia asli Indonesia, 4
jenis diantaranya telah dibudidayakan sedangkan jenis lainnya masih tumbuh liar
di hutan-hutan.
Keanekaragaman jenis Garcinia (Garcinia spp.) yang tinggi di Indonesia
sangat mengutungkan dalam usaha pemuliaan tanaman manggis. Oleh karena itu
kekayaan keanekaragaman jenis Garcinia perlu didayagunakan untuk meningkatkan
kualitas dan produksi buah-buahan khususnya buah manggis.
Manggis (Garcinia mangostana) dari Indonesia merupakan salah satu buah
tropika terbaik yang paling disukai di dunia, bahkan karena kelezatan rasanya
buah ini mendapat julukan “Queen of fruits”. Banyak kendala dalam budidaya
manggis, antara lain lambatnya laju pertumbuhan, panjangnya dormansi mata tunas
serta adanya getah kuning pada buahnya. Faktor-faktor yang menjadi kendala
dalam budi daya manggis harus dapat diminimalisasi.
Purnomo, dkk., (2002) melaporkan bahwa jenis-jenis buah-buahan yang tumbuh
liar di hutan-hutan mempunyai kontribusi besar untuk batang bawah atau
interstem terhadap penampilan agronomi jenis tanaman budi daya. Sebagai contoh
adalah kandis (Garcinia parvifolia) mempunyai perawakan pohon yang pendek yaitu
antara 2 – 5 meter tingginya sehingga jenis ini berpotensi sebagai material
batang bawah. Demikian pula pada baros (G. celebica) berpotensi sama sebagai
material batang bawah karena jenis ini mempunyai laju pertumbuhan yang cepat
(Syah, dkk., 2002).
Manggis (G.mangostana) yang tumbuh liar di hutan-hutan di Sumatra dan
Kalimantan juga dapat dimanfaatkan sebagai pohon induk (sebagai sumber plasma
nutfah) karena tahan terhadap serangan hama dan penyakit.
4. Rambutan dan kerabatnya (Nephelium spp.)
Siebert (1991) melaporkan bahwa di seluruh dunia terdapat 22 jenis
Nephelium, 16 jenis diantaranya terdapat di Kalimantan dan 8 jenis termasuk
tumbuhan endemik. Dari table 1 telah tercatat ada 9 jenis Nephelium asli
Indonesia yang dapat dimakan buahnya, 5 jenis diantaranya telah dibudidayakan
dan 2 jenis lainnya merupakan tumbuhan endemik. Kesembilan jenis Nephelium yang
dapat dimakan tersebut semuanya dapat ditemukan di Kalimantan.
Kalimantan selain merupakan pusat persebaran Nephelium juga sebagai pusat
keanekaragaman genetika rambutan. Sebagai contoh tidak kurang dari 15 kultivar
rambutan (N. lappaceum) dapat ditemukan di desa Mekarjaya, kabupaten Sambas di
Kalimantan Barat. Dilaporkan juga bahwa N. maingayi dan N. ramboutan-ake
diperkirakan juga mempunyai banyak variasinya. Hal ini disebabkan karena kedua
jenis Nephelium ini banyak ditanam oleh penduduk di sekitar halaman rumah dan
di kebun-kebun di Kalimantan Barat. (Siregar, 2006).
Dalam upaya untuk meningkatkan kualitas dan produksi buah rambutan maka
dapat dilakukan dengan cara memadukan antara sifat-sifat baik yang dimiliki
oleh setiap kelompok populasi jenis. Harapannya dapat dihasilkan buah rambutan
yang rasanya manis, tidak berair, ngelotok dan produksi buahnya lebat.
Beberapa jenis buah-buahan asli Indonesia lainnya yang juga bernilai
ekonomi dan berpotensi untuk dikembangkan masih cukup banyak, antara lain salak
(Salacca zalacca), duku (Lansium domesticum), buah merah (Pandanus conoideus)
dan matoa (Pometia pinnata).
5. Salak (Salacca zalacca)
5. Salak (Salacca zalacca)
Salak dapat ditemukan tumbuh liar hanya di Jawa Barat dan Sumatra bagian
Selatan, tetapi asal tanaman salak tepatnya tidak diketahui (Uji, dkk., 1998).
Di Indonesia terdapat cukup banyak kultivar salak dan paling sedikit ada 20
kultivar yang umumnya diberi nama berdasarkan lokasi dimana salak tersebut
dibudidayakan (Schuiling & Mogea, 1991).
Beberapa contoh kultivar salak yang cukup dikenal antara lain salak
“Condet”, “Bali”, “Pondoh” dan salak “Suwaru”. Bahkan salak “Condet” telah
dipergunakan sebagai mascot flora identitas Provinsi di DKI Jakarta (Anonim,
1995). Selain itu tanaman salak juga termasuk dalam salah satu “buah-buahan
unggulan nasional” (Winarno, 2000). Salah satu dari keempat kultivar yaitu
salak “Pondoh” mempunyai keistimewaan apabila dibandingkan dengan kultivar
lainnya. Karena buah yang masih muda dari salak “Pondoh” rasanya sudah cukup
manis dan enak dimakan.
6. Duku (Lansium domesticum)
Di Indonesia terdapat cukup banyak kultivar duku. Salah satu kultivar yang
paling terkenal adalah duku “Palembang”. Oleh karena itu pemerintah daerah
Provinsi Sumatra Selatan telah memilih duku “Palembang” sebagai flora. Duku
juga termasuk dalam salah satu “buah-buahan unggulan daerah (Winarno, 2000).
Duku Palembang terkenal di dunia perdagangan karena rasanya sangat manis dan
berkulit tipis.
7. Buah merah (Pandanus conoideus)
7. Buah merah (Pandanus conoideus)
Buah merah merupakan salah satu tumbuhan asli Indonesia yang terdapat di
Maluku dan Irian Jaya. Sebagian dari masyarakat Irian Jaya tidak dapat
dipisahkan dengan keberadaan buah merah. Hal ini disebabkan buahnya sangat
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pangannya dan sangat disukai penduduk
sebagai makanan tambahan di samping sagu. Buah merah juga sangat bermanfaat
sebagai tanaman obat karena kandungan gizinya kaya zat antioksidan seperti
karoten, betakaroten dan tokoferol. Buah merah dilaporkan dapat meningkatkan
daya tahan tubuh seorang penderita HIV positif (Rovihandono, 2005).
8. Matoa (Pometia pinnata)
8. Matoa (Pometia pinnata)
Meskipun matoa penyebarannya di Indonesia cukup luas namun yang paling
terkenal adalah matoa yang berasal dari Irian Jaya, karena mempunyai rasa buah
yang manis dan harum. Penduduk lokal mengenal adanya 3 varietas lokal, yaitu
matoa”papeda”, “kenari” dan matoa “kelapa”. Matoa “kelapa” dan “kenari”
mempunyai kualitas buah yang lebih baik dari pada matoa “papeda”. Ketiga matoa
varietas lokal ini termasuk dalam Pometia pinnata f. glabra (Kuswara dan
Sumiasri, 1997). Pemerintah daerah propinsi Papua juga telah memilih dan
menetapkan matoa sebagai flora identitas daerahnya (Winarno, 2000)
e. Hasil dan
analisis yang diakukan
1. List/daftar
kawasan konservasi Indonesia
Berikut ini daftar Taman Nasional
yang ada di Indonesia:
Keterangan:
**)
World Heritage Sites
***) Ramsar
Sites
2. Deskripsi
kawasan konservasi
Kawasan/Hutan konservasi dalam katagorisasi nasional mencakup 2 kelompok
besar, yaitu kawasan suaka alam (KSA) dan kawasan pelestarian alam (KPA).
Kawasan Suaka Alam yanf terdiri Cagar Alam dan Suaka Margasatwa, bertujuan
untuk perlindungan system penyangga kehidupan dan pengawetan sumberdaya alam
hayati dan ekosistemnya. Sementara untuk KPA yang terdiri dari Taman Nasional,
Tahura, Taman Wisata Alam dan Taman Buru, selain kedua tujuan tersebut, juga
bertujuan untuk pemanfaatan yang lestari.
Cagar Alam (strictly nature reserve and wilderness area) adalah suatu
kawasan yang ditetapkan untuk menjaga agar suatu species,, habitat, kondisi
geologi, ekosistem, juga proses ekologis agar tetap seperti apa adanya, tanpa
campur tangan manusia dengan tujuan utama untuk kepentingan ilmiah atau
pemantauan lingkungan. Pengelolaan dalam Cagar Alam hanya berupa monitoring
(termasuk riset) dan pengamanan saja (sehingga sering dikenal sebagai zero
manajemen). Kegiatan pemanfaatan yang diperbolehkan dalam Cagar Alam sangat
terbatas, terutama yang berkaitan dengan kepentingan ilmiah serta bukan
kegiatan yang sifatnya ekstraktif (mengambil sesuatu yang berupa fisik dari
kawasan).
Suaka
Margasatwa adalah kawasan yang ditetapkan untuk melindungi populasi dan habitat
dari 1 atau lebih species tertentu yang memiliki nilai penting secara ilmiah.
Dalam suaka margasatwa intervensi pengelola untuk menjaga keberlangsungan
populasi species tersebut diperkenankan, misalkan dalam bentuk perbaikan
habitat, control populasi dan sebagainya.
Taman
Nasional merupakan suatu pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli,
dikelola dengan system zonasi, yang dimanfaatkan untuk keperluan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Taman
Nasional di Indonesia dalam prakteknya merupakan kawasan konservasi yang paling
terorganisir, baik dari sisi infrastruktur maupun kelembagaannya. Kiteria yang
digunakan untuk penetapan suatu kawasan menjadi Taman Nasional adalah sbb:
1.
kawasan yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin
kelangsungan proses ekologis secara alami (TN terkecil di Indonesia saat ini,
adalah TN Kelimutu seluas 5000 ha)
2.
memiliki sumber daya alam khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun
satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami.
3.
memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh.
4.
memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai
pariwisata alam,
Adanya
system zonasi dalam Taman Nasional merupakan upaya untuk mengakomodasi
kepentingan dari aspek ekologi, ekonomi dan social budaya. Zona inti sebagai
inti dari Taman Nasional memiliki pengelolaan yang identik dengan Cagar Alam,
dimana intervensi pengelolaan sangat minimal. Zona pemanfaatan merupakan
kawasan dalam Taman nasional yang dapat dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan
pemanfaatan dengan pembatasan-pembatasan tertentu. Ada beberapa turunan dari
zona pemanfaatan ini yang merupakan variasi dari satu taman nasional ke taman
nasional lain di Indonesia, seperti Zona Pemanfaatan Tradisional, Zona
Pemanfaatan Terbatas, Zona Pemanfaatan Internsif, Zona Reghabilitasi, Zona
Budaya dan sebagainya. Penetapan atau alokasi masing-masing zona
seharusnya mempertimbangkan ketiga aspek yaitu aspek ekologi, ekonomi dan
social budaya. Metoda pendekatan yang bisa digunakan dalam penentuan alokasi
zona diantaranya dapat menggunakan Multicriteria Analysis (MCA).
Pendekatan Multikriteria didefinisikan sebagai konsep pendekatan global model
dan metode untuk membantu pengambilan keputusan dalam hal memodelkan masalah,
mengevaluasi, menyederhanakan, melakukan rangking, memilih atau menolak suatu
obyek/alternative (calon, produk, pilihan dsb) (Sarifi dalam Hermawan dkk,
2005).
Tahura (Taman Hutan Raya) secara prinsip hampir mirip dengan Taman
Nasional, namun memiliki derajat kepentingan keragaman hayati yang lebih
rendah, serta dikelola untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa alami
maupun bukan alami, jenis asli maupun tidak asli. Ada pembagian blok-blok pengelolaan
yang hampir serupa dengan system zonasi, namun lebih ditujukan untuk penataan
koleksi.
Taman Wisata Alam dan Taman Buru merupakan bentuk kawasan yang
dilindungi/hutan konservasi yang memiliki tujuan pemanfaatan tertentu (wisata
alam dan perburuan). Meskipun bertujuan untuk wisata dan perburuan namun
sebagai hutan konservasi maka aktivitas wisata dan perburuan harus sesuai
dengan kaidah-kaidah konservasi.
Saat ini pemanfaatan di kawasan pelestarian alam (KPA), kebanyakan masih
bertumpu pada kegiatan-kegiatan yang berbasis pada wisata alam dan pengambilan
hasil hutan non kayu
3. Deskripsi
spesifikasi setiap kawasan dengan perbandingan antar kawasan
4. Sebaran kawasan
dan peta sebaran kawasan
f. Kesimpulan
Kawasan/Hutan konservasi dalam katagorisasi nasional mencakup 2 kelompok
besar, yaitu kawasan suaka alam (KSA) dan kawasan pelestarian alam (KPA).
Kawasan Suaka Alam yanf terdiri Cagar Alam dan Suaka Margasatwa, bertujuan
untuk perlindungan system penyangga kehidupan dan pengawetan sumberdaya alam
hayati dan ekosistemnya. Sementara untuk KPA yang terdiri dari Taman Nasional,
Tahura, Taman Wisata Alam dan Taman Buru, selain kedua tujuan tersebut, juga
bertujuan untuk pemanfaatan yang lestari.
g. Daftar pustaka
Damanik, J. dan Helmut F.Weber.,
2006.Perencanaan Ekowisata dari Teori ke Aplikasi. diterbitkan atas
kerjasama Pusat Studi Pariwisata (PUSPAR) Universitas Gadjah Mada dan
Penerbit Andi. Yogjakarta.
Fandeli, C. dan Mukhlison.,2000.Pengusahaan
Ekowisata. Diterbitkan atas kerjasama Fakultas Kehutanan UGM. Pustaka
Pelajar, Unit Konservasi Sumber daya Alam Daerah Istimewa. Yogjakarta.
Elisa. 2010. Konservasi
Biodiversitas. http://elisa1.ugm.ac.id/files/t3hermawan/.../10-Konservasi%20Biodiversitas.doc (diakses 5 November 2015).
Dahe, Rahnan. 2009. http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/584/jbptunikompp-gdl-rahnandahe-29153-8-unikom_p-i.pdf (diakses 5 November 2015).
Kholid . 2012. Konservasi Ex-situ.
http://eprints.undip.ac.id/3212/1/KHOLID_2.BAB_I.doc (diakses 5 November 2015).
No comments:
Post a Comment