PENGARUH PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TGT (TEAM GAMES TOURNAMENT) TERHADAP MOTIVASI BELAJAR BIOLOGI SISWA DENGAN SISTEM ASRAMA DAN NON ASRAMA PADA KONSEP FUNGI (Penelitian Di SMA Islam Al-Mukhlishin Ciseeng Bogor)


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk Tuhan yang mampu berpikir dan bertindak. Kemampuan yang dimilikinya tersebut didasari karena Allah SWT telah membekalinya dengan berbagai macam daya dan potensi. Sebagaimana yang terdapat dalam Al Qur’an yang berbunyi :
لَقَدْ خَلَقْنَا الاِنْسَانَ فِى أَحْسَنِ تَقْوِيْمٍ {التين : ٤}
Artinya : Sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam rupa (bentuk) yang sebaik-baiknya. (QS. At Tien Ayat 4)
Menurut M. Quraish Shihab, Allah telah menganugerahkan manusia empat daya: (1). Daya tubuh yang mengantar manusia berkekuatan fisik, berfungsinya organ tubuh dan panca indera berasal dari daya ini. (2). Daya hidup yang menjadikannya memiliki kemampuan mengembangkan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan serta mempertahankan hidupnya dalam menghadapi tantangan. (3). Daya akal yang memungkinkannya memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi. (4). Daya kalbu yang meyakinkannya bermoral, merasakan keindahan, kelezatan iman, dan kehadiran Allah. Dari daya inilah lahir intuisi dan indra keenam. [1]
Mendidik ialah memimpi anak. Mudah benar rupanya kata-kata itu. Tetapi, sesungguhnya tidak semudah apa yang kita sangka. Ucapan tersebut mengandung banyak masalah yang dalam dan luas serta pelik. Mendidik adalah pengertian yang sangat umum yang meliputi semua tindakan mengenai gejala-gejala pendidikan.[2]
Potensi peserta didik tersebut dapat dikembangkan melalui perantara sekolah-sekolah yang ada di negeri ini. Sekolah merupakan suatu lembaga pendidikan yang secara sengaja dirancang dan dilakukan sesuai aturan-aturan yang


ketat, seperti harus berjenjang dan berkesinambungan, sehingga disebut pendidikan formal.
Sekolah merupakan suatu lembaga khusus untuk menyelenggarakan pendidikan yang di dalamnya terdapat proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Proses pembelajaran di sekolah merupakan serangkaian kegiatan yang memungkinkan terjadinya perubahan struktur atau pola tingkah lakuseseorang dalam kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik yang selaras, seimbang, dan bersama-sama turut serta meningkatkan kesejahteraan sosial.
Mata pelajaran biologi pada umumnya kurang diminati oleh peserta didik. Hal ini disebabkan bayaknya konsep-konsep yang dirasa sukar dipelajari oleh peserta didik. Konsep-konsep tersebut seharusnya dikuasai oleh peserta didik agar dapat memecahkan masalah yang berkaitan dengan mata pelajaran biologi yang kelak akan mereka temukan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu faktor yang menyebabkan peserta didik menjadi bosan yaitu kurangnya kreativitas guru dalam menyampaikan materi. Guru terpaku pada penggunaan metode konvensional berupa metode ceramah yang cenderung membuat siswa menjadi pasif, tidak berpikir kritis dan tidak termotivasi dalam kegiatan pembelajaran di kelas.
Prestasi hasil belajar peserta didik dalam mata pelajaran biologi relatif rendah jika dibandingkan dengan mata pelajaran lain. Bisa dilihat dari hasil ujian nasional pada tahun 2014 dan 2015 menurut data yang dikeluarkan oleh litbang kemendikbud pada tahu 2014 rata-rata nilai UN biologi menempati 2 terendah dari 6 matapelajaran yang di UN kan dengan rata-rata nilai 61,02, sedangkan pada tahun 2015 rata-rata nilai UN biologi meningkat menjadi 64,04 namun masih menjadi nilai UN terendah ke 3 dibandingkan dengan mata pelajaran yang lain[3]. Rendahnya hasil belajar pada mata pelajaran biologi ini tidak hanya menjadi kesalahan peserta didik itu sendiri, akan tetapi sebagian besar disebabkan oleh faktor guru yang tidak menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, serta model belajar yang guru terapkan kurang tepat. Hasil belajar peserta didik yang rendah diduga ada kaitannya dengan proses pembelajaran biologi yang masih berpusat pada guru (teacher center) dan peserta didik hanya mendapatkan konsep-konsep yang bersifat informasi yang disampaikan oleh guru di kelas.
Rendahnya kreativitas guru untuk mendorong peran aktif peserta didik dalam pembelajaran biologi, dapat membuat siswa tidak termotivasi untuk belajar. Beberapa siswa tidak memeperhatikan penjelasan guru, bahkan siswa terlihat mengantuk. Proses pembelajaran yang demikian yang dapat menyebabkan hasil belajar tidak maksimal, sehingga tidak tercapainya tujuan pembelajaran.
Latar belakang peserta didikpun mempengaruhi motivasi belajar. pergaulan, tontonan dan suritauladan akan sangat mempengaruhi motivasi dan belajar siswa yang ada di sekolah, membadingkan siswa asrama dan siswa non asrama akan memperlihatkan bahwa motivasi ekstrenal sangat mempengaruhi motivasi dan prestasi siswa.
Berdasarkan fakta-fakta di atas, salah satu usaha untuk mengatasi permasalahan tersebut ialah dengan menerapkan pembelajaran kooperatif. Peserta didik diharapkan bisa lebih mudah memahami konsep-konsep yang sulit apabila peserta didik diarahkan untuk melakukan kegiatan diskusi dalam membahas masalah-masalah yang terkait pembelajaran biologi dengan teman-temannya. Model pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan pemahaman peserta didik terhadap konsep yang dibahas. Selain itu, model ini juga menumbuhkan kemampuan kerja sama, berpikir kritis, berkomunikasi, dan kemampuan membantu teman.[4]
Teams Games Tournament (TGT) merupakan salah satu tipe model pembelajaran kooperatif. TGT adalah pembelajaran kooperatif yang melibatkan kelompok, di antaranya terdapat diskusi kelompok dan di akhiri suatu game/turnamen. Dalam TGT, peserta didik dibagi menjadi beberapa tim belajar yang terdiri atas empat sampai enam orang yang berbeda-beda tingkat kemampuannya, jenis kelamin, dan latar belakang etniknya.
Berdasarkan lokasi yang akan dilaksanakan penelitian SMA Islam Al-Mukhlishin Bogor mempunyai dua program yaitu program asrama dan non asrama. Untuk program asrama dan non asrama dalam hal tingkat kecerdasan tidak terdapat perbedaan sama sekali, namun untuk perlakuan dari pihak sekolah ada sedikit perbedaan, antara lain: program asrama diberi fasilitas tambahan, seperti: asrama yang dipandu dan diawasi oleh pembina. Dapat dikatakan program asrama dapat dikontrol 24 jam oleh pihak sekolah. Selain itu sepulang sekolah siswa-siswa program asrama diberi tambahan pelajaran agama dan bahasa Arab. Sedangkan program non asrama tidak mendapat fasilitas tambahan sebagaimana siswa program asrama. Namun pada dasarnya  siswa dari kedua program tersebut sama, tidak ada perbedaan seleksi masuk. Hal tersebutlah yang membuat peneliti ingin mencari tahun perbedaan motivasi belajar siswa asrama dan non asrama, karena jelas dari kedua siswa tersebut memiliki kegiatan yang berbeda setelah pulang sekolah.
B.     Identifikasi Masalah
Bertolak dari latar belakang masalah di atas, maka beberapa masalah yang dapat diidentifikasi yaitu:
1.      Rendahnya motivasi belajar peserta didik SMA Islam Al-Mukhlisin pada mata pelajaran biologi.
2.      Terdapat perbedaan aktivitas antara siswa asrama dan non asrama SMA Islam Al-Mukhlishin setelah sepulang sekolah.
3.      Rendahnya kreativitas guru untuk mendorong peran aktif peserta didik di SMA Islam Al-Mukhlisin dalam proses pembelajaran secara kelompok. 

C.     Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya permasalahan yang diidentifikasi, agar tidak menyimpang dari permasalahan dan dapat mencapai tujuan yang diharapkan, maka penulis membatasi permasalahan yaitu pada pengaruh pembelajaran kooperatif tipe TGT ditinjau dari tempat tinggal asrama dan non asrama terhadap motivasi belajar biologi konsep fungi pada peserta didik di SMA Islam Al-Mukhlisin. Pengaruh pembelajaran kooperatif tipe TGT ditinjau dari tempat tinggal asrama dan non asrama terhadap motivasi belajar peserta didik yang dimaksud ialah:
1.      Penelitian dilakukan pada siswa Kelas X SMA Islam Pondok Pesantren Al-Mukhlisin Tahun Akademik 2016/2017.
2.      Hasil dari motivasi belajar peserta didik SMA Islam Al-Mukhlisin diperoleh dari hasil angket yang akan disebarkan setelah pembelajaran.
3.      Angket diberikan kepada siswa asrama dan non asrama SMA Islam Al-Mukhlishin.
4.      Materi biologi hanya pada materi konsep fungi.
D.    Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
”Apakah model pembelajaran kooperatif tipe TGT (Team Games Tournament) berpengaruh terhadap motivasi belajar peserta didik dengan sistem asrama dan non asrama di SMA Islam Al-Mukhlisin pada pembelajaran biologi konsep fungi?”
E.     Tujuan dan Manfaat Penelitian
`          Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan membandingkan peningkatan motivasi belajar biologi siswa kelas X ditinjau dari tempat tinggal asrama dan non asrama pada konsep fungi melalui pembelajaran kooperatif tipe TGT (Teams Games Tournament).
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1.      Bagi peserta didik
a.       Peserta didik menjadi senang dan tertarik terhadap biologi karena peserta didik dilibatkan secara aktif dalam pembelajaran.
b.      Peserta didik yang mengalami kesulitan akan lebih cepat paham.

2.      Bagi guru
a.       Guru dapat memilih model pembelajaran yang efektif.
b.      Sebagai motivasi untuk meningkatkan keterampilan memilih strategi pembelajaran yang bervariasi dan dapat memperbaiki sistem pembelajaran sehingga memberikan layanan yang terbaik bagi peserta didik.
3.       Bagi peneliti
Peneliti dapat mempelajari lebih mendalam model TGT (Team Games Tournament) serta mendapat pengalaman dan pengetahuan dalam melakukan penelitian.



















BAB II
DESKRIPSI TEORETIS, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS
A.    Deskripsi Teoretik
1.      Teori Belajar Kontruktivisme
a.       Pandangan Konstruktivisme tentang Belajar
Peran guru sebagai sumber belajar merupakan peran yang sangat penting. Peran sebagai sumber belajar berkaitan erat dengan penguasaan materi pembelajaran. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep-konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil atau diingat. Manusia harus mengonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.[5]
Di dalam proses pembelajaran, guru berperan sebagai fasilitator yaitu memfasilitasi proses pembelajaran dengan menggunakan cara-cara yang membuat sebuah informasi atau materi pembelajaran menjadi bermakna dan relevan bagi siswa. Tujuan utama mengajar adalah membelajarkan siswa. Oleh sebab itu, kriteria keberhasilan proses mengajar tidak diukur dari sejauh mana siswa telah menguasai materi pelajaran, tetapi diukur dari sejauh mana siswa telah melakukan proses belajar. Dengan demikian, guru tidak lagi berperan hanya sebagai sumber belajar, akan tetapi juga berperan sebagai orang yang membimbing dan memfasilitasi agar siswa mau dan mampu belajar. Jadi, hasil belajar tergantung dari proses belajar yang terjadi pada siswa.
Agar dapat melaksanakan peran sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran, ada beberapa hal yang harus dipahami, khususnya hal-hal yang berhubungan dengan pemanfaatan berbagai media dan sumber pembelajaran, yaitu:
1)      Guru perlu memahami menguasai berbagai media dan sumber belajar, media dan sumber belajar harus disesuaikan dengan materi yang akan diajarkan dan karekteristik siswa, dengan media dan suber belajar yang tepat peserta didik akan senang dalam belajar



2)      Guru perlu mempunyai keterampilan dalam merancang suatu media. Kemampuan merancang media harus dikuasai oleh guru karena agar pembelajaran yang berlangsung tidak membosankan, media yang berbasis teknologi akan sangat disenangi peserta didik.
3)      Guru dituntut untuk mampu mengorganisasikan berbagai jenis media serta dapat memanfaatkan berbagai sumber belajar. Perkembangan teknologi informasi menuntut setiap guru untuk dapat mengikuti perkembangan teknologi mutakhir. Guru tidak bisa menyamaratakan media pembelajaran setiap tahunnya, karena teknologi akan terus berkembang dan pola pikir peserta didik akan lebih keritis.
4)      Sebagai fasilitator, guru dituntut untuk mempunyai kemampuan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan siswa. Hal ini sangat penting karena kemampuan berkomunikasi secara efektif dapat memudahkan siswa menangkap pesan sehingga dapat meningkatkan motivasi belajar mereka.[6]
pembelajaran kontruktivisme membantu siswa menginternalisasi dan mentrasformasi informasi baru. Trasformasi terjadi dengan menghasilkan pengetahuan baru, yang selanjutnya akan membentuk struktur kognitif baru[7]. Dengan dasar ini, pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengonstruksi bukan menerima pengetahuan.
Jadi, berdasarkan beberapa pendapat tentang teori konstruktivisme tersebut, telah dijelaskan bahwa di dalam teori ini peserta didik didorong untuk membangun pengetahuannya sendiri dengan bantuan guru yang menjadi fasilitator di dalam proses pembelajaran. Peran guru di dalam kelas sebagai fasilisator tidak lagi menjadikan guru sebagai objek belajar, akan tetapi peserta didik itu sendiri yang menjadi objek belajar. Sehingga proses pembelajaran di kelas menjadikan peserta didik untuk mencari, berdiskusi, dan berpikir untuk mendapatkan pengetahuan.
b.      Konsep Belajar Kontruktivisme Jean Piaget
Piaget berpendapatbahwa pada dasarnya individu sejak kecil sudah memiliki kemampuan untuk mengkontruksi pengetahuannya sendiri.[8] Dalam pandangan konstruktivisme, pengetahuan tumbuh dan berkembang melalui pengalaman. Pemahaman berkembang semakin dalam dan kuat apabila selalu diuji oleh berbagai macam pengalaman baru. Pengalaman yang sama bagi seseorang akan dimaknai berbeda oleh masing-masing individu dan disimpan dalam otak yang berbeda. Setiap pengalaman baru akan dihubungkan dengan kotak-kotak atau struktur pengetahuan dalam otak manusia. Oleh karena itu, pada saat manusia belajar, sebenarnya telah terjadi dua proses dalam dirinya, yaitu proses organisasi informasi dan proses adaptasi.
Proses organisasi adalah proses ketika manusia menghubungkan informasi yang diterimanya dengan struktur-struktur pengetahuan yang sudah disimpan atau sudah ada sebelumnya dalam otak. Melalui organisasi inilah manusia dapat memahami sebuah informasi baru yang didapatnya dengan menyesuaikan informasi tersebut dengan struktur pengetahuan yang dimilikinya, sehingga manusia dapat mengasimilasikan atau mengakomodasikan informasi tersebut.
Proses adaptasi adalah proses yang berisi dua kegiatan. Pertama, menggabungkan atau mengintegrasikan pengetahuan yang diterima oleh manusia atau disebut dengan asimilasi. Kedua, mengubah struktur pengetahuan yang sudah dimiliki dengan struktur pengetahuan baru, sehingga akan terjadi keseimbangan (equilibrium).
Berdasarkan teori ini, Piaget mengungkapkan bahwa siswa mendapatkan pengetahuan yang seutuhnya jika siswa tersebut berperan di dalam proses belajar. Siswa harus membangun pengetahuan dengan mengaplikasikan pengetahuan yang telah di dapatkan dalam pengalaman, sehingga dengan pengalaman ini siswa dapat memahami pengetahuan yang telah diterimanya dan dapat menggabungkan dengan pengetahuan-pengetahuan yang telah diterima sebelumnya.
c.       Konsep Belajar Kontruktivisme Vygotsky
Salah satu konsep dasar pendekatan konstruktivisme dalam belajar adalah adanya interaksi sosial individu dengan lingkungannya. Menurut Vygotsk yang dikutip oleh Sri Wulandari, belajar adalah sebuah proses yang melibatkan dua elemen penting. Pertama, belajar merupakan proses secara biologi sebagai proses dasar. Kedua, proses secara psikososial sebagai proses yang lebih tinggi dan esensinya berkaitan dengan lingkungan sosial budaya.[9]
Pada teori ini, Vygotsky mengungkapkan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak akan terlepas dari lingkungan. Interaksi manusia dengan lingkungan yang ada menjadikan manusia dapat belajar dengan sendirinya melalui stimulus-stimulus yang berasal dari lingkungan. Stimulus ini yang merangsang alat indera untuk menyerap informasi yang kemudian informasi yang berupa data-data akan ditransformasikan ke otak yang nantinya akan menjadi sebuah pengetahuan baru.
Kemajuan perkembangan kognitif anak diperoleh sebagai hasil interaksi sosial dengan orang lain. Orang lain di sini tidak selalu orangtua, melainkan bisa orang dewasa lain atau bahkan teman sebaya yang lebih memahami suatu hal. Dengan kaitannya dengan pemikiran biologi, maka anak akan berkembang kemampuan berpikir pengetahuan biologinya melalui interaksi dengan orang lain yang menguasai materi biolodi dengan lebih baik.
2.      Pembelajaran Kooperatif
a.       Pengertian Pembelajaran Kooperatif
Cooperatif Learning menurut Davitson dan Worsham adalah model pembelajaran yang sistematis dengan mengkelompokan siswa untuk tujuan menciptakan pendekatan pembelajaran yang efektif yang mengintegrasikan keterampilan sosial yang bermuatan akademis.[10]
Pembelajaran kooperatif dapat menjalin komunikasi yang baik, meningkatkan rasa kepedulian antar sesama dan dapat mempererat hubungan. Dampak rasa kepedulian ditunjukan dengan berbagai pengetahuan dengan sesama. Siswa pandai dapat mengajarkan atau membagikan ide dan pengetahuannya kepada siswa yang kurang pandai sehingga dengan demikian suasana belajar dapat berjalan kondusif.
Sedangkan menurut Widyantini  pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran yang mengutamakan adanya kelompok-kelompok. Dalam satu kelompok siswa yang tergabung mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda-beda, baik dari kemampuan yang tinggi, kemampuan sedang, maupun kemampuan rendah. Jika memungkinkan anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta tetap memperhatikan kesetaraan jender[11]
Pembelajaran kooperatif tidak semata-mata bekerja kelompok begitu saja. Guru dalam hal ini ikut serta dalam membuat struktur dan rencana pembelajaran secara sistematis sehingga pada saat bekerja sama di dalam kelompok peserta didik terarah dengan benar dalam mengerjakan tugas, saling bertukar pendapat, dan menuangkan ide masing-masing dari anggota kelompoknya.
b.      Karakteristik Pembelajaran Koperatif
Menurut Wina Sanjaya, karakteristik pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut :
a.       Pembelajaran secara tim
Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran secara tim. Tim merupakan tempat untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, tim harus mampu membuat setiap siswa belajar.
b.      Didasarkan pada manajemen kooperatif
Sebagaimana pada umumnya, manajemen mempunyai empat fungsi pokok, yaitu fungsi perencanaan, fungsi organisasi, fungsi pelaksanaan, dan fungsi kontrol. Sama halnya dengan pembelajaran kooperatif.
c.       Kemampuan untuk bekerja sama
Keberhasilan pembelajaran kooperatif ditentukan oleh keberhasilan secara kelompok. Oleh sebab itu, prinsip kerja sama perlu ditekankan dalam proses pembelajaran kooperatif. Setiap anggota kelompok bukan saja harus diatur tugas dan tanggung jawab masing-masing, akan tetapi juga ditanamkan perlunya saling membantu.
d.      Keterampilan bekerja sama
Keterampilan bekerja sama itu kemudian dipraktikan melalui aktivitas dan kegiatan yang tergambarkan dalam keterampilan kerja sama. Dengan demikian, siswa perlu didorong untuk mau dan sanggup berinteraksi dan berkomunikasi dengan anggota lain.[12]
Menurut Suprayekti, ciri-ciri pembelajaran kooperatif yaitu : (1). Siswa belajar dalam kelompok.(2). Siswa memiliki rasa saling ketergantungan. (3). Siswa belajar berinteraksi secara kerja sama. (3). Siswa dilatih untuk bertanggung jawab terhadap tugas. (4). Siswa memiliki keterampilan komunikasi interpersonal.[13]
Jadi, berdasarkan beberapa pendapat mengenai karakteristik pembelajaran kooperatif dapat disimpulkan bahwa pembelajaran ini membentuk kelompok yang terdiri dari peserta didik  yang heterogen baik dari segi jenis kelamin, ras, dan tingkat intelegensi. Di dalam pembelajaran ini, setiap kelompok harus menguasai materi pembelajaran dan masing-masing anggota kelompok memiliki tanggung jawab atas kelompoknya masing-masing untuk saling membantu jika temannya diketahui belum menguasai materi pembelajaran.
c. Prinsip Pembelajaran Kooperatif
Terdapat empat prinsip dasar pembelajaran kooperatif menurut Wina Sanjaya sebagai berikut:
1.)    Prinsip ketergantungan positif
Dalam pembelajaran kelompok, keberhasilan suatu penyelesaian tugas sangat tergantung kepada usaha yang dilakukan oleh setiap anggota kelompoknya. Dengan demikian, semua anggota dalam kelompok akan merasa saling ketergantungan.
2.)    Tanggung jawab perseorangan
Prinsip ini merupakan konsekuensi dari prinsip pertama. Oleh karena keberhasilan kelompok tergantung pada setiap anggotanya, maka setiap anggota kelompok harus memiliki tanggung jawab sesuai dengan tugasnya.
3.)    Interaksi tatap muka
Pembelajaran kooperatif memberi ruang dan kesempatan yang luas kepada setiap anggota kelompok untuk bertatap muka saling memberikan informasi dan saling membelajarkan.
4.)    Partisipasi dan komunikasi
Pembelajaran kooperatif melatih siswa untuk dapat mampu berpartisipasi aktif dan berkomunikasi. Kemampuan ini sangat penting sebagai bekal mereka dalam kehidupan di masyarakat kelak.[14]
Sedangkan menurut Stahl, prinsip dasar cooperative learning  meliputi sebagai berikut:
1.)    Perumusan tujuan
Sebelum menggunakan strategi pembelajaran, hendaknya memulai dengan merumuskan tujuan pembelajaran dengan jelas dan spesifik. Tujuan tersebut menjadi acuan setiap guru untuk membentuk media pembelajaran, agar lebih efektif dan efisien. Perumusan tujuan harus sesuai dengan tujuan kurikulum dan tujuan pembelajaran. Apakah kegiatan belajar siswa ditekankan pada pemahaman materi pembelajaran, sikap dan proses dalam kerja sama, ataukah keterampilan tertentu.
2.)    Penerimaan yang menyeluruh
Guru hendaknya mampu mengondisikan kelas agar siswa menerima tujuan pembelajaran dari sudut kepentingan diri dan kepentingan kelas. Oleh karena itu, siswa dikondisikan untuk mengetahui dan menerima dirinya untuk kerja sama dalam mempelajari seperangkat pengetahuan dan keterampilan yang telah ditetapkan untuk dipelajari.
3.)    Ketergantungan yang bersifat positif
Untuk mengondisikan terjadinya interpendensi di antara siswa dalam kelompok belajar, maka guru harus mengorganisasikan materi dan tugas-tugas pelajaran sehingga siswa memahami dan mungkin untuk melakukan hal itu dalam kelompoknya. Guru harus merancang suatu kelompok untuk memungkinkan setiap siswa untuk sama-sama belajar dan sama-sama mengevaluasi dirisendiri dan teman kelompoknya.
4.)    Interaksi yang bersifat terbuka
Dalam kelompok belajar, interaksi yang terjadi bersifat langsung dan terbuka dalam mendiskusikan materi dan tugas-tugas yang diberikan oleh guru. Keterbukaan dan interaksi yang bersidat langsung dalam memberikan materi dan tugas-tugas membatu menumbuhkan sikap ketergantungan yang positif dan keterbukaan di kalangan siswa untuk memperoleh keberhasilan belajar menggunakan pembelajaran kooperatif. Mereka akan saling memberi dan menerima masukan, ide, saran, dan kritik dari temannya secara positif dan terbuka.
5.)    Tanggung jawab individu
Salah satu dasar penggunaan cooperative learning dalam pembelajaran adalah keberhasilan belajar akan lebih mungkin dicapai secara lebih baik apabila dilakukan secara bersama-sama. Oleh karena itu, keberhasilan belajar dalam model belajar strategi ini dipengaruhi oleh kemampuan individu siswa dalam menerima dan memberi apa yang telah dipelajarinya di antara siswa lainnya. Sehingga secara individual siswa mempunyai tanggung jawab, yaitu mengerjakan dan memahami materi atau tugas bagi keberhasilan dirinya dan juga bagi keberhasilan anggota kelompoknya.
6.)    Kelompok bersifat heterogen
Dalam pembentukan kelompok belajar, keanggotaan kelompok harus bersifat heterogen sehingga interaksi kerja sama yang terjadi merupakan akumulasi dari berbagai karakteristik siswa yang berbeda. Agar setiap kelompok berisikan siswa yang memiliki sikap dan kemampuan yang berbeda-beda, disetiap kelompok yang memiliki sikap yang berbeda-beda itulah akan tumbuh dan berkembang aspek nilai, sikap, moral, dan perilaku siswa.
7.)    Interaksi sikap dan perilaku sosial yang positif
Dalam mengerjakan tugas kelompok, siswa bekerja secara kelompok sebagai suatu kelompok kerja sama. Dalam interaksi dengan siswa lainnya, siswa tidak begitu saja bisa menerapkan dan memaksakan sikap dan pendiriannya pada anggota kelompoknya. Pada kegiatan bekerja dalam kelompok, siswa harus belajar bagaimana meningkatkan kemampuan interaksinya dalam memimpin, berdiskusi, bernegosiasi, dan mengklarifikasi berbagai masalah dalam menyelesaikan tugas-tugas kelompok.[15]
d. Keunggulan Pembelajaran Kooperatif
Keunggulan pembelajaran kooperatif sebagai suatu strategi pembelajaran di antaranya:
1.)    Melalui Strategi Pembelajaran Kooperatif (SPK) siswa tidak bergantung pada guru, akan tetapi meraka bisa mengembangkan ilmu pengetahuan dari sumber-sumberlain yang mereka cari sendiri sumber tersebut, dan mereka pun bisa belajar dengan teman sebaya.
2.)    Strategi Pembelajaran Kooperatif (SPK) dapat mengembangkan kemampuan mengungkapkan ide atau gagasan dengan kata-kata secara verbal karena setiap siswa yang sudah mengerti pembelajaran yang diajarkan akan menjelaskan materi tersebut keteman kelompoknya dan membandingkannya dengan ide-ide orang lain.
3.)    Strategi Pembelajaran Kooperatif (SPK) dapat membantu anak untuk peduli pada orang lain karena pembelajaran kooperatif ini bersifat kelompok menuntus siswa berinteraksi dengan teman sebaya serta saling membantu bila ada siswa lain yang sedang kesulitan dalam memahami materi pembelajaran dan menyadari akan segala keterbatasannya serta menerima segala perbedaan.
4.)    Strategi Pembelajaran Kooperatif (SPK) dapat membantu memberdayakan setiap siswa untuk lebih bertanggung jawab dalam belajar.
5.)    Strategi Pembelajaran Kooperatif (SPK) merupakan suatu strategi yang cukup ampuh untuk meningkatkan prestasi akademik sekaligus kemampuan sosial, termasuk mengembangkan rasa harga diri, hubungan interpersonal yang positif dengan yang lain, mengembangkan keterampilan me-manage waktu, dan sikap positif terhadap sekolah.
6.)    Strategi Pembelajaran Kooperatif (SPK) dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk menguji ide dan pemahamannya sendiri dalam menerima umpan balik. Siswa dapat praktik memecahkan masalah tanpa takut membuat kesalahan, karena keputusan yang dibuat adalah tanggung jawab kelompoknya.
7.)    Strategi Pembelajaran Kooperatif (SPK) dapat meningkatkan kemampuan siswa menggunakan informasi dan kemampuan belajar abstrak menjadi nyata.
8.)    Interaksi selama kooperatif berlangsung dapat meningkatkan motivasi dan memberikan rangsangan untuk berpikir. Hal ini berguna untuk proses pendidikan jangka panjang.[16]
Pembelajaran kooperatif berdasarkan pernyataan tersebut dalam proses pembelajaran memberikan keleluasaan kepada peserta didik untuk berpikir sendiri, mencari informasi sendiri sehingga peserta didik tidak bergantung pada guru. Peserta didik dalam proses pembelajaran kooperatif juga didorong untuk mengungkapkan ide dan gagasan sendiri serta dapat memiliki tanggung jawab terhadap ide atau gagasan tersebut.
Dengan keleluasaan yang diberikan kepada peserta didik membuat peserta didik memiliki rasa percaya diri yang tinggi dan dapat memberikan dampak yang positif terhadap prestasi belajarnya. Belajar secara kelompok dapat mengarahkan peserta didik untuk dapat belajar menghargai dan menerima pendapat dari teman-temannya. Pengaruh ini yang menjadi keunggulan pembelajaran kooperatif dibandingkan dengan pembelajaran lainnya.
e. Hal-hal yang Dilakukan Guru dalam Pembelajaran Kooperatif
1.)    Merancang Rencana Program Pembelajaran
Dalam merancang pembelajaran harus mengorganisasikan materi dan tugas-tugas yang mencerminkan sistem kerja dalam kelompok kecil. Untuk memulai pembelajaran guru harus menjelaskan tujuan dan sikap serta keterampilan sosial yang ingin dicapai dan diperlihatkan oleh siswa selama pembelajaran. Jal ini mutlak harus dilakukan oleh guru, karena dengan demikian siswa tahu dan memahami apa yang harus dilakukan selama proses belajar mengajar berlangsung.
2.)    Merancang Lembar Observasi
Pemahaman dan konsepsi guru terhadap siswa secara individual sangat menentukan kebersamaan dari kelompok yang terbentuk. Kegiatan ini dilakukan sambil menjelaskan tugas yang harus dilakukan oleh siswa dalam kelompok masing-masing. Pada saat siswa belajar secara berkelompok, maka guru akan mulai melakukan monitoring dan mengobervasi kegiatan belajar siswa berdasarkan lembar observasi yang telah dirancang sebelumnya.
3.)    Membimbing siswa baik secara individual maupun kelompok
Pemberian pujian dan kritik membangun dari guru kepada siswa merupakan aspek penting yang harus diperhatikan oleh guru pada saat siswa bekerja dalam kelompoknya. Di samping itu, pada saat kegiatan kelompok berlangsung, ketika siswa terlibat dalam diskusi dalam masing-masing kelompok, guru secara periodik memberikan layanan kepada siswa, baik secara individual maupun secara klasikal..
4.)    Memberikan Kesempatan Untuk Memprsentasikan Hasil Diskusi
Hal ini dimaksudkan untuk mengarahkan dan mengorientasikan pengertian dan pemahaman siswa terhadap materi atau hasil kerja yang telah ditampilkan. Pada saat prsentasisiswa berakhir, guru mengajak siswa untuk melakukan refleksi diri terhadap proses jalannya pembelajaran, dengan tujuan untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada atau sikap serta perilaku menyimpang yang dilakukan selama pembelajaran. [17]
Berdasarkan pernyataan tersebut, tugas guru dalam hal ini tidak hanya menjadi sumber pengetahuan akan tetapi tugas guru di dalam pembelajaran kooperatif yaitu menjadi fasilitator, motivator, serta evaluator sehingga proses belajar mengajar dengan menggunakan pembelajaran kooperatif sesuai dengan prinsip dasar pembelajaran kooperatif.
3. Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT
Charlton, Wiliams dan McLaughlin mengemukakan bahwa pembelajaran dengan games dapat membuat siswa lebih aktif dan merasa senang untuk belajar. Pembelajaran tersebut terlihat menarik ketika penjelasan guru dikombinasikan dengan games sehingga penyampaian materi menjadi lebih cepat tersampaikan.[18]
TGT adalah salah satu model pembelajaran kooperatif yang menempatkan siswa dalam kelompok-kelompok belajar yang beranggotakan 5-6 orang siswa yang memiliki kemampuan, jenis kelamin dan suku atau ras yang berbeda.[19]
Dalam aktivitas pembelajaran dengan menggunakan TGT, siswa diajak untuk melakukan lomba dalam menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru. Adapun langkah yang dilakukan oleh guru adalah 1). Siswa dibagi menjadi kelompok besar. 2). Siswa diminta untuk membaca kembali materi yang sudah dipelajari. 3). Guru menyiapkan kartu-kartu di depan kelas dan meminta 4 siswa dari kelompok yang berbeda untuk mengisi jawaban. 4). Seluruh siswa diminta secara bergiliran mengisi soal yang disediakan guru dan langsung keluar kelas. Ada 4 orang siswa yang tidak mendapat giliran menjawab soal. 5). Guru meminta siswa untuk kembali masuk ke dalam kelas untuk mengecek jawaban soal.[20]

3.      Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT
a.       Kelebihan
Kelebihan dari pembelajaran kooperatif tipe TGT adalah sebagai berukut:
1)      Melalui interaksi dengan anggota kelompok, semua memiliki kesempatan untuk belajar mengemukakan pendapatnya atau memperoleh pengetahuan dan hasil diskusi dengan anggota kelompoknya.
2)      Pengelolaan siswa secara heterogen dalam hal tingkat kemampuan, jenis kelamin, maupun ras diharapkan dapat membentuk rasa hormat dan saling menghargai di antara siswa.
3)      Dengan belajar kooperatif siswa mendapat keterampilan kooperatif yang baik.
4)      Dengan diadakan turnamen, diharapkan dapat membangkitkan motivasi siswa untuk berusaha lebih baik bagi diri maupun kelompoknya.
5)      Turnamen dapat membentuk siswa mempunyai kebiasaan bersaing sportif dan menumbuhkan keberanian dalam berkompetisi, sehingga siswa selalu dalam posisi unggul.
6)      Dengan pembelajaran kooperatif tipe TGT, dapat menanamkan betapa pentingnya kerjasama dalam pencapaian tujuan belajar baik untuk dirinya maupun seluruh anggota kelompok.
7)      Kegiatan belajar mengajar berpusat pada siswa sehingga dapat menumbuhkan keaktifan siswa.
b. Kekurangan
Kekurangan dari pembelajaran kooperratif tipe TGT adalah sebagai berikut:
1.)    Penggunaan waktu yang relatif lama dan biaya yang besar.
2.)    Jika kemampuan guru sebagai motivator dan fasilitator kurang memadai atau sarana tidak cukup tersedia maka pembelajaran kooperatif tipe TGT sulit dilaksanakan.
3.)    Apabila sportifitas siswa kurang, maka keterampilan berkompetisi siswa yang terbentuk bukanlah yang diharapkan.[21]
Dari segi kelebihan, ada beberapa hal yang diharapkan dalam penerapan TGT yaitu peserta didik memiliki kesempatan untuk belajar mengemukakan pendapatnya, peserta didik dapat membentuk rasa hormat dan saling menghargai, dapat membangkitkan motivasi peserta didik untuk berusaha lebih baik bagi diri maupun kelompoknya, peserta didik mempunyai kebiasaan bersaing sportif dan selanjutnya menimbulkan keberanian dalam kompetisi, peserta didik menyadari pentingnya kerjasama dalam pencapaian tujuan belajar, dan kegiatan belajar mengajar berpusat pada peserta didik sehingga proses belajar mengajar dapat lebih aktif.
Sedangkan dari segi kelemahan model pembelajaran TGT ini, jika guru tidak bisa berperan sebagai motivator dan fasilitator, maka proses pembelajaran dengan menggunakan model TGT tidak berjalan sesuai dengan yang diinginkan, karena jika guru terkesan monoton maka proses belajar yang seharusnya menyenangkan akan menjadi tidak menarik dan membuat peserta didik tidak merasa senang dalam mengikuti pembelajaran. Pembelajaran menggunakan model TGT memerlukan waktu yang cukup lama dan sarana yang memadai sehingga proses belajar menggunakan model ini berjalan dengan baik.
4.       Motivasi
a)             Pengertian Motivasi
Menurut Sardiman A. M., motif sebagai kata dasar dari motivasi, dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam untuk melakukan aktivitas guna mencapai tujuan tertentu. Motif dapat diartikan sebagai kondisi intern (kesiapsiagaan). Kata motif ini diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu.[22] Pada dasarnya stategi pembelajaran motivasional diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu (1) stategi pengorganisasian, (2) stategi penyampaian, (3) stategi pengelolaan. Stategi pengorganisasian membuat pembelajaran secara terstruktur sehingga terget yang kita akan mencapai target yang sudah ditetapkan; strategi penyampaian, car penyampaian materi pembelajaran kepad peserta didik harus menarik dan tidak monoton; dan strategi pengelolaan berkaitan dengan penataan interaksi antara siswa dan variabel strategi perorganisasian serta strategi penyampaian.[23]
Menurut Djamarah, motivasi adalah kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Jadi, motivasi untuk belajar adalah kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk belajar.[24] Menurut Crider dalam Ramayulis, motivasi adalah sebagai abstrak keinginan yang timbul dari seseorang dan langsung ditujukan kepada suatu objek. Sedangkan menurut Hamzah B Uno, motivasi adalah keuatan baik dari dalam maupun dari luar yang mendorong sesorang untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya. Atau dengan kata lain, motivasi dapat diartikan sebagai dorongan mental terhadap perorangan atau orang-orang sebagai anggota masyarakat.[25]. Menurut Mc. Donald yang dikutip oleh Sardiman A.M motivasi mengandung tiga elemen penting, yaitu:
1)      Bahwa motivasi itu mengawali terjadinya perubahan energi pada diri setiap individu manusia.
2)      Motivasi ditandai dengan munculnya rasa/feeling dan afeksi seseorang.
3)      Motivasi akan dirangsang karena adanya tujuan. Jadi, motivasi dalam hal ini sebenarnya merupakan respons dari suatu aksi, yakni tujuan.[26]
Menurut M. Alisuf Sabri, motivasi adalah segala sesuatu yang menjadi pendorong tingkah laku yang menuntut/mendorong orang untuk memenuhi suatu kebutuhan dan sesuatu yang dijadikan motivasi itu merupakan suatu keputusan yang telah ditetapkan individu sebagai suatu kebutuhan/tujuan yang nyata ingin dicapai.[27]
Motivasi itu tumbuh di dalam diri seseorang dan juga dapat distimulir dari luar diri seseorang. Motivasi dalam kegiatan belajar adalah keseluruhan daya penggerak di dalam diri peserta didik yang menjamin kelangsungan kegiatan belajar dan yang memberikan arah pada kegiatan belajar. Motivasi belajar merupakan faktor psikis yang bersifat non intelektual, karena berperan sebagai menumbuhkan gairah, merasa senang dan menyemangati belajar. Peserta didik yang memiliki motivasi belajar, akan mempunyai energi untuk melakukan kegiatan belajar. Hal ini dapat dibuktikan ketika seorang peserta didik yang memiliki intelegensi tinggi, boleh jadi gagal karena kekurangan motivasi. Namun, akhirnya bahwa hasil belajar akan optimal kalau memiliki motivasi yang tepat.
Berdasarkan beberapa definisi belajar yang diuraikan diatas, penulis menyimpulkan bahwa belajar dapat dipahami sebagai suatu proses yang menuntut perubahan-perubahan yang relatif positif dan menetap sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungannya.
Jadi, motivasi belajar merupakan daya penggerak dalam diri peserta didik yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan yang memberikan arah pada kegiatan belajar itu. Selain itu, juga merupakan dorongan dari dalam dan luar diri seseorang (guru, orang tua, atau orang lain) untuk berusaha mengubah diri, baik pada tingkah laku atau sikap, maupun pada keterampilan dan ilmu pengetahuannya yang dihasilkan dari latihan dan pengalaman untuk mencapai tujuan. Dengan demikian, motivasi belajar tidak hanya dikatakan sebagai suatu energi menggerakkan. Peserta dituntut untuk belajar, tetapi juga sebagai suatu usaha yang mengarahkan kegiatan siswa kepada tujuan belajar.

b)      Macam-macam Motivasi
Menurut Sardiman A.M., jenis motivasi ini dapat dilihat dari berbagai sudut pandang.
1)   Motivasi dilihat dari dasar pembentukannya
(a). Motif-motif bawaan, yaitu motif yang dibawa sejak lahir, jadi motivasi itu ada tanpa dipelajari, misalnya dorongan untuk makan, dorongan untuk minum, dorongan seksual, dorongan untuk bekerja, dan untuk beristirahat.
(b). Motif-motif yang dipelajari. Maksudnya motif-motif yang timbul karena dipelajari. Sebagai contoh, dorongan untuk belajar suatu cabang ilmu pengetahuan, dorongan untuk mengajar sesuatu di dalam masyarakat. Motif motif ini seringkali disebut dengan motif-motif yang diisyaratkan secara sosial karena manusia hidup dalam lingkungan sosial dengan sesama manusia lain sehingga motivasi itu terbentuk.
2)   Jenis motivasi menurut pembagian dari Woodworth dan Marquis
(a). Motif atau kebutuhan organis, misalnya: kebutuhan untuk minum, makan, bernapas, seksual, dan kebutuhan untuk beristirahat.
(b). Motif-motif darurat. Yang termasuk dalam jenis motif ini antara lain: dorongan untuk menyelamatkan diri, dorongan untuk membalas, untuk berusaha, atau untuk memburu. Jelasnya motivasi jenis ini timbul karena rangsangan dari luar.
(b). Motif-motif objektif. Dalam hal ini menyangkut kebutuhan untuk melakukan eksplorasi, melakukan manipulasi, untuk menaruh minat. Motif-motif ini muncul karena dorongan untuk dapat menghadapi dunia luar secara efektif.
3)   Motivasi jasmaniah dan rohaniah. Ada beberapa ahli yang menggolongkan jenis motivasi itu menjadi dua jenis, yakni motivasi jasmaniah dan motivasi rohaniah. Yang termasuk motivasi jasmani yaitu refleks, insting otomatis, dan nafsu. Sedangkan yang termasuk motivasi rohaniah adalah kemauan.
4)      Motivasi Intrinsik dan ekstrinsik
(a). Motivasi Intrinsik
Yang dimaksud dengan motivasi intrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Sebagai contoh seseorang yang senang membaca, tidak usah ada yang menyuruh atau mendorongnya, ia sudah rajin mencari buku-buku untuk dibacanya. Siswa yang memiliki motivasi intrinsik akan memiliki tujuan menjadi orang yang terdidik, yang berpengetahuan, yang ahli dalam bidang studi tertentu. Jadi, memang motivasi itu muncul dari kesadaran diri sendiri dengan tujuan secara esensial, bukan sekedar simbol dan seremonial.
(b). Motivasi ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsinya karena adanya perangsang dari luar. Sebagai contoh seseorang itu belajar, karena besok pagi akan ujian dengan harapan mendapatkan nilai baik, sehingga akan dipuji oleh pacarnya atau temannya. Jadi, kalau dilihat dari segi tujuan kegiatan yang dilakukannya, tidak secara langsung bergayut dengan esensi apa yang dilakukannya itu. Bukan berarti bahwa motivasi ekstrinsik ini tidak baik dan tidak penting. Dalam kegiatan belajar-mengajar tetap penting. Sebab kemungkinan besar keadaan siswa itu dinamis, berubah-ubah, dan juga mungkin komponen-komponen lain dalam proses belajar-mengajar ada yang kurang menarik bagi siswa, sehingga diperlukan motivasi ekstrinsik.[28]
c)      Bentuk-bentuk Motivasi di Sekolah
Di dalam kegiatan belajar mengajar, peranan motivasi baik intrinsik maupun ekstrinsik sangat diperlukan. Dengan motivasi, pelajar dapat mengembangkan aktivitas dan inisiatif, dapat mengarahkan dan memelihara ketekunan dalam melakukan kegiatan belajar. Dalam kaitan itu, perlu diketahui bahwa cara dan jenis menumbuhkan motivasi adalah bermacam-macam. Menurut Sardiman A.M., ada beberapa bentuk dan cara untuk menumbuhkan motivasi dalam kegiatan belajar di sekolah, yaitu:

1)      Memberi angka
Angka dalam hal ini sebagai simbol dari nilai kegiatan belajarnya. Banyak siswa belajar, yang utama justru untuk mencapai angka/nilai yang baik. Angka-angka yang baik itu bagi para siswa merupakan motivasi yang sangat kuat.
2)      Hadiah
Hadiah dapat juga dikatakan sebagai motivasi, tetapi tidaklah selalu demikian.
3)      Saingan/kompetisi
Saingan/kompetisi dapat digunakan sebagai alat motivasi untuk mendorong belajar siswa. Persaingan, baik persaingan individual maupun persaingan kelompok dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.
4)      Ego-involvement
Menumbuhkan kesadaran kepada siswa agar merasakan pentingnya tugas dan menerimanya sebagai tantangan sehingga bekerja keras dengan mempertaruhkan harga diri adalah sebagai salah satu bentuk motivasi yang cukup penting.
5)      Memberi ulangan
Para siswa akan menjadi giat belajar kalau mengetahui akan ada ulangan. Oleh karena itu, memberi ulangan ini juga merupakan sarana motivasi.
6)      Mengetahui hasil
Dengan mengetahui hasil pekerjaan, apalagi kalau terjadi kemajuan, akan mendorong siswa untuk lebih giat belajar lagi. Semakin mengetahui bahwa grafik belajar meningkat, maka ada motivasi pada diri siswa untuk terus belajar, dengan suatu harapan hasilnya terus meningkat.
7)      Pujian
Apabila ada siswa yang sukses menyelesaikan tugas dengan baik, perlu diberikan pujian. Pujian ini adalah bentuk reinforcement yang positif dan sekaligus merupakan motivasi yang baik.
8)      Hukuman
Hukuman sebagai reinforcement yang negatif tetapi kalau diberikan secara tepat dan bijak bisa menjadi alat motivasi.
9)      Hasrat untuk belajar
Hasrat untuk belajar berarti ada unsur kesengajaan, ada maksud untuk belajar. Hal ini akan lebih baik bila dibandingkan segala sesuatu kegiatan yang tanpa maksud. Hasrat untuk belajar berarti pada diri anak didik anak itu memang ada motivasi untuk belajar, sehingga sudah tentu hasilnya akan lebih baik.
10)  Minat
Motivasi muncul karena ada kebutuhan, begitu juga minat sehingga tepatlah kalau minat merupakan alat motivasi yang pokok.
11)  Tujuan yang diakui
Rumusan tujuan yang diakui dan diterima baik oleh siswa, akan menjadi alat motivasi yang sangat penting. Sebab dengan memahami tujuan yang harus dicapai, karena dirasa sangat berguna dan menguntungkan, maka akan timbul gairah untuk terus belajar.[29]
d)     Upaya Meningkatkan Motivasi Belajar
Guru di sekolah menghadapi banyak siswa dengan bermacam-macam motivasi belajar. Oleh karena itu, menurut Dimyati, Mudjiono, peran guru cukup banyak untuk meningkatkan belajar.
1)      Optimalisasi Penerapan Prinsip Belajar
Dalam upaya pembelajaran, guru berhadapan dengan siswa dan bahan belajar. Prasyarat untuk dapat membelajarkan atau mengajarkan bahan pelajaran, yaitu: (1) guru telah mempelajari bahan pelajaran, (2) guru telah memahami bagian-bagian yang mudah, sedang, dan sukar, (3) guru telah menguasai cara-cara mempelajari bahan, dan (4) guru telah memahami sifat bahan pelajaran tersebut.
2)      Optimalisasi Unsur Dinamis Belajar dan Pembelajaran
Guru adalah pendidik dan sekaligus pembimbing belajar. Guru lebih memahami keterbatasan waktu bagi siswa. Seringkali siswa lengah tentang nilai kesempatan belajar. Oleh karena itu, guru dapat mengupayakan optimalisasi unsur-unsur dinamis yang ada dalam diri siswa dan yang ada di lingkungan siswa.
3)      Optimalisasi Pemanfaatan Pengalaman dan Kemampuan Siswa
Guru adalah penggerak perjalanan belajar bagi siswa. Sebagai penggerak, maka guru perlu memahami dan mencatat kesukaran-kesukaran siswa. Guru wajib menggunakan pengalaman belajar dan kemampuan siswa dalam mengelola siswa belajar.
4)      Pengembangan Cita-cita dan Aspirasi Belajar
Motivasi belajar tampak pada keinginan anak sejak kecil seperti keinginan belajar berjalan, makan makanan yang lezat, berebut permainan, dapat membaca, dapat menyanyi dan lain-lain selanjutnya. Keberhasilan mencapai keinginan tersebut menumbuhkan kemauan bergiat, bahkan dikemudian hari menimbulkan cita-cita dalam kehidupan. Timbulnya cita-cita dibarengi oleh perkembangan akal, moral, kemauan, bahasa dan nilai-nilai kehidupan. Timbulnya cita-cita juga dibarengi oleh perkembangan kepribadian.[30]
e)      Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar
Timbulnya motivasi belajar, dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya:
1.      Cita-cita/aspirasi pembelajar
2.      Kemampuan pembelajar
3.      Kondisi pembelajar
4.      Kondisi lingkungan belajar
5.      Unsur-unsur dinamis belajar/pembelajaran
6.      Upaya guru dalam membelajarkan pembelajar
Selain itu Sardiman mengatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi motivasi bertalian erat dengan kebutuhan-kebutuhan. Kebutuhan inilah yang memberi pengaruh utama adanya motivasi. Dalam hal ini, ada beberapa teori tentang motivasi yang selalu berkaitan dengan kebutuhan, yaitu:
1.      Kebutuhan fisiologis, seperti: lapar, haus, kebutuhan untuk istirahat, dan sebagainya.
2.      Kebutuhan akan keamanan (security), yakni rasa aman, bebas dari rasa takut dan cemas.
3.      Kebutuhan akan cinta kasih: rasa diterima dalam suatu masyarakat atau golongan (keluarga, sekolah dan kelompok).
4.      Kebutuhan untuk mewujudkan diri sendiri, yakni mengembangkan bakat dengan usaha mencapai hasil dalam bidang pengetahuan, sosial, pembentukan pribadi.[31]
f)     Indikator Motivasi Belajar
Motivasi yang ada pada diri setiap orang itu memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1)      Tekun menghadapi tugas (dapat bekerja terus-menerus dalam waktu yang lama, tidak pernah berhenti sebelum selesai).
2)      Ulet menghadapi kesulitan (tidak lekas putus asa). Tidak memerlukan  dorongan dari luar untuk berprestasi sebaik mungkin (tidak cepat puas dengan prestasi yang telah dicapainya).
3)      Menunjukan minat terhadap macam-macam masalah ”untuk orang dewasa (misalnya masalah pembangunan, agama, politik, ekonomi, keadilan, pemberantasan korupsi, penentangan terhadap terhadap setiap tindak kriminal, amoral, dan sebagainya).
4)      Lebih senang kerja sendiri.
5)      Cepat bosan pada tugas-tugas yang rutin (hal-hal yang bersifat mekanis, berulang-ulang begitu saja, sehingga kurang kreatif).
6)      Dapat mempertahankan pendapatnya (kalau sudah yakin akan sesuatu).
7)      Tidak mudah melepaskan hal yang diyakini itu.
8)      Senang mencari dan memecahkan masalah soal-soal.[32]
Hakikat motivasi belajar adalah dorongan internal dan eksternal pada siswa-siswi yang sedang belajar untuk mengadakan perubahan tingkah laku. Indikator motivasi belajar dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1)      Adanya hasrat dan keinginan untuk melakukan kegiatan
2)      Adanya dorongan dan kebutuhan melakukan kegiatan
3)      Adanya harapan dan cita-cita
4)      Adanya penghargaan dan penghormatan atas diri
5)      Adanya lingkungan yang baik
6)      Adanya kegiatan yang menarik.[33]
Indikator motivasi yang akan digunakan oleh penulis untuk dijadikan angket yaitu indikator motivasi Attention, Relevance, Confidence, satisfaction (ARCS). Model ARCS adalah pendekatan pemecahan masalah untuk merancang aspek motivasi serta lingkungan belajar dalam mendorong dan mempertahankan motivasi siswa untuk belajar[34].
Indikataor motivasi ARCS sebagai berikut:
1)      Attention (perhatian)
Perhatian adalah dorongan rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu seseorang ini muncul karena dirangsang oleh elemen-elemen baru, aneh, lain dengan yang sudah ada dan kontradiktif/kompleks. Ada beberapa strategi untuk merangsang minat dan perhatian yaitu (1) gunakan metode penyampaian yang bervariasi, memberikan penyampaian materi yang monoton cenderung membuat siswa jenih dan tidak termotivasi untuk belajar. Gunakanlah media pembelajaran yang bervariasi sesuai dengan materi yang akan diajarkan. (2) gunakan media untuk melengkapi dan membantu dalam pembelajaran. Media akan mempermudah siswa untu mengerti materi yang diajarkan. (3) gunakan humor dalam penyampaian pembelajaran. (4) gunakan peristiwa nyata, ankdot dan contoh-contoh untuk memperjelas konsep yang diutarakan.
2)      Relevance (Relevansi)
Relevansi yaitu adanya hubungan yang ditunjukan antara materi pembelajaran, kebutuhan dan kondisi siswa. Ada tiga strategi yang digunakan untuk menunjukan relevansi dalam pembelajaran, yaitu: (1) sampaikan kepada siswa yang akan dapat mereka lakukan setelah mempelajari materi pembelajaran. (2) jelaskan manfaat pengetahuan/keterampilan yang akan dipelajari. (3) berikan contoh, latihan/tes yang langsung berhubungan dengan kondisi siswa atau profesi tertentu
3)      Confidence (kepercayaan diri)
Percaya diri yaitu merasa diri kompeten atau mampu merupakan potensi untuk dapat berinteraksi dengan lingkungan. Motivasi akan meningkat sejalan dengan meningkatnya harapan untuk berhasil. Ada sejjumlah strategi untuk meningkatkan kepercayaan diri, yaitu: (1) meningkatkan harapan siswa untuk berhasil dengan memperbanyak pengalaman berhasi. (2) menyusun pembelajaran ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil, sehingga siswa tidak dituntut mempelajari banyak konsep sekaligus. (3) meningkatkan harapan untuk berhasil dengan menggunakan persyaratan untuk berhasil. (4) menggunakan strategi yang memungkinkan kontrol keberhasilan diri ditangan siswa. (5) berikan umpan balik konstruktif selama pembelajaran, agar siswa mengetahui sejauh mana pemahaman dan prestasi belajar mereka.
4)      Satisfaction (kepuasan)
Kepuasan merupakan keberhasilan dalam mencapai suatu tujuan akan menghasilkan kepuasan, siswa akan termotivasi untuk terus berusaha mencapai tujuan yang serupa. Ada sejumlah strategi untuk mencapai kepuasan, yaitu: (1) gunakan pujian secara verbal, umpan balik yang informatif, bukan ancaman dan sejenisnya. (2) berikan kesempatan kepada siswa untuk segera menggunakan/mempraktikan pengetahuan yang baru dipelajari. (3) minta kepada siswa yang telah menguasai untuk membantu teman-temannya yang belum berhasil. (4) bandingkan prestasi siswa dengan prestasinya sendiri di masa lalu dengan suatu standar tertentu, bukan dengan siswa lain.[35]
B.     Hasil Penelitian yang Relevan
Beberapa penelitian telah dilakukan berkaitan dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TGT, antara lain sebagai berikut:
Penelitian Ade Ilham Husain yang bertujuan untuk mengetahui hasil belajar elektronika analog siswa kelas X TKJ 1 Negeri 1 sidereng melalui pembelajaran kooperatif tipe TGT subjek penelitian ini adalah siswa kelas X YKH SMKN 1 sidereng tahun ajaran 2012-2013 dengan jumlah 44 orang. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah pemberian tes pada setiap akhir siklus sesuai dengan materi yang diajarkan dan lembar observasi untuk melihat aktivitas siswa. Teknik analisis data yang digunakan adalah kuantitatif dan kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disumpulkan bahwa hasil belajar elektronika analog siswa kelas  TKJ SMKN 1 sidereng mengalami peningkatan melalui metode pembelajaran kooperatif tipe TGT.[36]
Di penelitian lain yang dilakukan oleh Arturo Gonzales dan Enrique Covian Enhacing student performance through a competitive team tournament hasil penelitiannya menyatakan bahwa dalam materi yang berkonsep abstrak agar peserta didik mencapai keberhasilan pembelajaran, peneliti mencoba membuat skenario pembelajaran untuk mencapai keberhasilan pembelajaran konsep abstrak dengan membuat kelompok, di dalam kelompok harus saling membantu untuk mencapai keberhasilan kelompoknya dalam tournamen, setiap kelompok di adu dalam tournamen dan hasil penelitian ini menunjukan adanya keberhasilan hasil belajar dengan menggunakan metode team tournament dalam mencapai keberhasilan belajar[37].
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh I Kadek Wiradarma, penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan meningkatkan partisipasi aktifitas siswa kelas XI IPS 3 SMA Negeri 1 sawan semester genap tahun ajaran 2014/2015 melalui penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TGT pada pembelajaran sejarah hasil dari penelitian ini persentasi rata-rata aktif siswa kelas XI IPS 3 SMA Negeri 1 sawangan pada siklus 1 adalah 52,96% dengan kategori sedang, meningkat menjadi 77,3%. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe teams games tournament (TGT) dapat meningkatkan partisipasi aktif dan prestasi belajar sejarah siswa kelas XI IPS 3 SMA Negeri 1 Sawan semester genap tahun pelajaran 2014/2015 serta memperoleh respon yang positif.[38]
Penelitian yang dilakukan oleh Taufan Faizal Muslim dan kawan-kawan, menerangkan bahwa. Subjek penelitian kelas IV Sekolah Dasar Negeri Margasari dengan jumlah 21 siswa yang terdiri 9 laki-laki dan 12 perempuan motede dan design penelitian yang digunakan yaitu penelitian tindakan kelas model Eliot yang terdapat tiga tindakan pada tiga siklus yang dilakukan. Untuk mengetahui  peningkatan prestasi belajar digunakan lembar observasi, catatan lapangan, tes evaluasi, lembar wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian yang didapatkan yaitu siklus ke-I nilai rata-rata 65, siklus ke-2 nilai rata-rata 75, dan silus ke-3 nilai rata-rata 80. Berdasarkan hasil tersebut maka dapat disimpulkan penerapan model Team Games Tournament (TGT) pada pembelajaran konsep energi dan perubahannnya dapat meningkatkan prestasi hasil belajar siswa.[39]
Penelitian yang dilakukan oleh Luluk Fajri bertujuan untuk mengetahui peningkatan proses dan hasil belajar pada materi koloid dengan penerapan pembelajaran kooperatif tipe TGT dilengkapi dengan teka teki silang. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) penerapan pembelajaran TGT yang dilengkapi dengan TTS dapat meningkatkan kualitas proses belajar pada materi koloid. Hal ini dapat dilihat dari keaktifan siswa pada siklus I dan II. Persentase keaktifan siswa pada siklus I 60.72% dan 71.43% pada siklus II (2) penerapan model pembelajaran TGT yang dilengkapi dengan TTS dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi koloid. Dalam penelitian ini, hasil belajar yang dimaksud adalah ketuntasan belajar dan afektif siswa. Pada siklus I, persentasi ketuntasan belajar siswa 64.29% dengan rata-rata nilai 72.3 dan pada siklus II persentasi ketuntasan belajar siswa menjadi 89.29% denag rata-rata nilai 76.1. sedangan untuk aspek afektif, pencapaian rata-rata indikator adalah 64.29% pada siklus I dan 75% pada siklus II.[40]
C.     Kerangka Pikir
Pembelajaran biologi hendaknya menggunakan metode pembelajaran yang menarik untuk dapat memberikan kesempatan kepada peserta didik dalam menumbuhkembangkan kemampuan peserta didik secara maksimal. Dengan semakin banyaknya media dan sumber belajar (learning resources) yang dapat digunakan dalam pembelajaran biologi, siswa tidak berharap banyak dari guru. Siswa bisa diberi kemandirian untuk belajar dengan memanfaatkan aneka sumber belajar tersebut. Dengan demikian, pembelajaran biologi menuntut keaktifan siswa dan guru hanya sebagai fasilitator untuk membantu peserta didik dalam pembelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif, siswa harus mampu untuk bekerja sama dalam kelompok kecil yang heterogen, adanya ketergantungan positif (saling membutuhkan), saling membantu, dan saling memberikan motivasi.
Pada saat pembelajaran kooperatif sedang berlangsung, guru terus melakukan pemantauan melalui obsevasi dan penekanan belajar tidak hanya pada penyelesaian tugas tetapi juga hubungan interpersonal. Jadi, pembelajaran kooperatif menekankan pada kehadiran teman sebaya yang berinteraksi dengan sesamanya. Model pembelajaran TGT (Team Games Tournament) termasuk dalam pembelajaran kooperatif. Dalam model pembelajaran TGT (Team Games Tournament), siswa ditempatkan dalam kelompok-kelompok kecil (4 sampai 5 siswa) yang heterogen untuk menyelesaikan tugas kelompok yang sudah disiapkan oleh guru.
Pembelajaran kooperatif secara teoritis dapat membuat siswa lebih aktif dalam belajar sehingga pembelajaran tidak terasa membosankan, sehingga motivasi siswa dalam belajar biologi akan semakin meningkat. Banyak hal yang mempengaruhi tingkat motivasi belajar siswa baik secara eksternal maupun internal, kegiatan diluar sekolah dapat mempengaruhi motivasi siswa dalam belajar.
 








Gambar 2.1 Skema Kuis
Text Box: Model Pembelajaran
1. Kooperatif Tipe TGT
2. Ceramah
Text Box: Asrama 
Non Asrama
Kerangka Pikir dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
 







Gambar 2.2 Kerangka Pikir



D.    Hipotesis
Berdasarkan kerangka berfikir di atas, maka dapat dirumuskan suatu hipotesis:
1.      Terdapat pengaruh metode pembelajaran Teams Games Tournament  TGT Terhadap Motivasi Belajar.
2.      Terdapat pengaruh sistem asrama dan non asrama terhadap motivasi belajar siswa.
3.      Terdapat pengaruh interaksi antara metode pembelajaran Teams Games Tournament TGT dan sistem asrama dan non asrama terhadap motivasi belajar siswa.






















BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.    Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di SMA Islam Pondok Pesantren Al-Mukhlishin, di Jl. H Usa Po Box 23/pru kec. Ciseeng kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat, dilaksanakan pada bulan Januari 2017.
B.     Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode quasi experimental design, yaitu metode penelitian dengan desain mempunyai kelompok kontrol, tetapi tidak dapat berfungsi sepenuhnya untuk mengontrol variabel-variabel luar yang mempengaruhi pelaksanaan ekperimen. Penelitian eksperimen ini menggunakan Factorial Design 2x2 desain penelitian dengan memperhatikan kemungkinan adanya variabel moderator yang mempengaruhi perlakuan (variabel bebas) terhadap hasil (variabel terikat). Paradigma factorial design dapat digambarkan sebagai berikut:
Tabel 3.1 Desain Penelitian
              Gaya belajar
Siswa  
TGT
Konvensional
Asrama
TA
CA
Non Asrama
TN
CN
Total
TATN
CACN
Keterangan      :
TA       :
Siswa asrama yang mendapat perlakuan pembelajaran TGT
CA      :
Siswa asrama yang mendapat perlakuan pembelajaran konvensional
TN       :
Siswa non asrama yang mendapat perlakuan pembelajaran TGT
CN      :
Siswa non asrama yang mendapat perlakuan pembelajaran konvensional


TATN:
Siswa asrama dan non asrama yang mendapat perlakuan pembelajaran TGT
CACN:
Siswa asrama dan non asrama yang mendapat perlakuan pembelajaran konvensional
Dari desain di atas dapat dijelaskan bahwa ada dua kelompok dalam pembelajaran biologi yakni, kelompok yang belajar dengan menggunakan pembelajaran TGT (T) dan kelompok yang belajar menggunakan metode covensional (C) dalam masing-masing kelompok terdapat dua kelompok siswa dengan kategori siswa berasrama (A) dan kelompok siswa yang non asrama (N).
Kelompok siswa yang belajar menggunakan metode pembelajaran TGT dengan siswa berasrama (TA) dan kelompok siswa yang belajar menggunakan metode pembelajaran TGT dengan siswa non asrama (TN). Dan kelompok yang belajar menggunakan metode konvensional dengan siswa asrama (CA) dan metode pembelajaran konvensional dengan siswa non asrama (CN). Sehingga pada kolom total terdapat kelompok siswa yang belajar menggunakan metode pembelajaran TGT dengan siswa asrama dan non asarama (TATN) dan metode pembelajaran konvensional dengan siswa asrama dan non asrama (CACN). 
Sebelum pembelajaran setiap kelompok akan mendapatkan soal pretes dan angket yang harus diisi, dan setelah pembelajaran setiap kelompok akan mengisi soal postes dan angket motivasi belajar.
C.    Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data yang diperlukan, penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
1.      Kuesioner (angket)
”kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawab”[41]
Penelitian ini menggunakan pernyataan tertutup. Sehingga responden tidak harus berpikir terlalu mendalam dan memberikan alasan dalam menjawab pernyataan dari penulis.
Penetapan skor untuk skala motivasi belajar siswa adalah sebagai berikut:
Tabel 3.2 Skor Skala Motivasi Belajar
No
Pernyataan
Kategori
SS
S
TS
STS
1
Pernyataan positif
4
3
2
1
2
Pernyataan negatif
1
2
3
4
Keterangan :
SS              : sangat setuju
S                : setuju
TS              : tidak setuju
STS           : sangat tidak setuju
 Tabel 3.3 Kisi-Kisi Instrumen Motivasi Belajar
No
Indikator
Angket Motivasi
Nomor Pernyataan Positif
Nomor Pernyataan Negatif
1
Perhatian (attention)
2, 8, 9, 11,
17, 20, 23,
24, 28
12, 15, 22,
29
2
Relevansi (relevance)
4, 6, 16, 18,
30, 33
26, 31
3
Percaya Diri (confidence)
1, 13, 25,
35
3, 7, 19
4
Kepuasan (Satisfaction)
5, 10, 14,
21, 27, 32,
36
34
            Hasil uji coba angket dengan menggunakan program microsoft Excel dengan hasil valid sebanyak 23 pernyataan dari 37 pernyataan ARCS, yaitu pernyataan no 1, 2, 3, 4, 6, 10, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 19, 20, 21, 23, 26, 29, 30, 31, 33, 34, 36.

2. Observasi
Secara umum pengertian observasi adalah cara menghimpun bahan-bahan keterangan yang dilakukan dengan mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap fenomena-fenomena yang dijadikan obyek pengamatan.[42]
Menurut Sutrisno Hadi yang dikutif dari Sugiyono mengemukakan bahwa ” Observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari berbagai proses biologis dan psikologis”[43]
Dalam penelitian ini, lembar observasi dibuat untuk mengamati sejauh mana guru melakukan rencana pelaksanaan pembelajaran yang sudah dirancang. Lembar observasi ini dibuat untuk kedua kelompok, yakni kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Penskoran dilakukan dengan mengkonversi skor ke dalam standar 100. Observer dalam penelitian ini adalah guru bidang studi SMA Islam Al-Mukhlishin Bogor.
3. Tes
Tes dalam penelitian ini hanya sebagai pendukung indikator keberhasilan belajar, tes yang meliputi pretes dan postes. Pretes adalah tes yang dilakukan untuk mengetahui berapa besar pengetahuan awal siswa sebelum diberi perlakuan (kegiatan pembelajaran). Sedangkan postes adalah tes yang dilakukan setelah dilakukannya kegiatan pembelajaran untuk melihat hasil belajar siswa akibat adanya perlakuan.
D.    Instrumen Penelitian
Data mengenai motivasi belajar siswa terhadap metode pembelajaran kooperatif menggunakan angket, sebelum digunakan akan diuji terlebih dahulu dengan uji validitas dan uji realibilitas sebagai berikut:
1.      Uji validitas
Sebelum angket motivasi disebarkan, angket tersebut harus diuji coba untuk mengetahui apakah angket tersebut memenuhi persyaratan validitas dan reliabilitas.
Validitas yang digunakan pada instrumen ini adalah dengan menggunakan validitas item. Pengertian secara umum validitas item adalah bahwa sebuah item (butir angket) dikatakan valid jika mempunyai dukungan kuat terhadap skor total. Dengan kata lain, sebuah item dikatakan mempunyai validitas yang tinggi terhadap skor kejajaran (korelasi yang tinggi positif terhadap skor total item).
Dengan demikian, berdasarkan konsep statistika, maka pengujian terhadap validitas item baik instrumen yang berbentuk tes objektif, esai, atau angket skala sikap. Jumlah butir soal 36 dapat dilakukan melalui ukuran korelasi antara subjek pada item (butir angket) bersangkutan dengan skor totalnya dan menggunakan formula produk mommen dari Pearson yang dimodifikasi sebagai berikut :
Keterangan :
rxy        : koefisien korelasi
N         : banyak siswa
x          : skor butir soal instrumen
y          : skor total
xy        : hasil kali skor X dengan Y untuk setiap responden
x2         : kuadrat skor butir soal
y2            : kuadrat skor tital
            Dengan kriteria validitas sebagai berikut:
Jika rhitung > rtabel maka valid
Jika rhitung < rtabel maka tidak valid
2.      Uji Reliabilitas
Reliabilitas alat penelitian adalah ketepatan atau keajegan alat tersebut dalam menilai apa yang dinilai, artinya kapanpun alat penelitian tersebut digunakan akan memeberikan hasil yang relatif sama. Uji reliabilitas yang digunakan adalah dengan menggunakan rumus alpha cronbach, yaitu:
r11 =
keterangan:
r11       = realibilitas instrument
si2        = jumlah variasi skor tiap-tiap butir angket
s2         = varians angket
n          = banyak butir angket yang valid
E.     Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan kegiatan setelah data dari seluruh responden atau sumber data lain terkumpul[44]. Teknik analisis data dalam penelitian ini dengan menggunakan statistik.
Pengujian ini menggunakan poendekatan uji-t yang memerlukan beberapa syarat, yaitu sampel acak, data interval, populasi berdistribusi normal dan kesamaan varians. Dengan demikian sebelum dilakukan pengujian hipotesis dengan uji-t perlu dilakukan uji prasyarat terlebih dahulu dilakukan uji normalitas sebagai syarat dilakukannya analisis data.
1.      Uji normalitas
Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah data yang diteliti berdistribusi normal atau tidak. Uji kenormalan secara ninprametrik dikenal dengan nama uji Lilifors,[45] dengan langkah- langkah :
a.       Pengamatan x1,x2,...,xn dijadiakan bilangan baku z1, z2,..., zn dengan menggunakan rumus dimana  dan s masing-masing merupakan rata-rata dan simpangan baku sampel
b.      Untuk tiap bilangan baku ini dan menggunakan daftar distribusi normal baku, kemudian dihitung peluang F(zi) = P(z(<zi).
c.       Selanjutnya dihitung proporsi z1, z2,...,zn yang lebih kecil atau sama dengan zi, jika proporsi ini dinyatakan oleh S (zi), maka S  
d.      Hitunglah selisih F(zi)-S(zi) kemudian tentukan harga mutlak.
e.       Ambil hargayang paling besar antara harga-harga mutlak selisih tersebut.
2.      Uji Homogenitas
Uji homogenitas adalah pengujian mengenai sama tidaknya variasi-variasi dua buah distrubusi atau lebih.[46]
H0 : σ12 = σ22
H1 : σ12 ≠ σ22
Uji Fhitung =
Ftabel diperoleh dari daftar distribusi
Ftabel dengan peluang σ 0,05, sedangkan derajat kebebasan V1 dan V2 masing-masing sesuai dengan pembilang dan penyebut. Kriteria pengujiannya H1 jika Fhitung ≤ F σ(V­1, V2) didapat dari daftar distribusi F dengan dk V1 dan V2.
3.      Pengujian hipotesis
Apabila uji normalitas dan homogenitas menunjukan bahwa data berdistribusi normal dan memiliki varians yang homogen maka analisis dilanjutkan dengan melakikan uji hipotesis penelitian[47]. Dalam penelitian ini uji hipotesis penelitian menggunakan uji analisis varians atau disingkat menjadi ANAVA. Uji ANAVA dilakukan untuk menguji hipotesis yang berkaitan dengan dua atau lebih nilai rata-rata. Lebih sfesifik lagi uji ANAVA yang dilakukan dalam penelitian ini adalah uji ANAVA 2 jalur yang digunakan untuk menguji hipotesis tentang rata-rata kelompok sampel.
Sesuai dengan rumusan masalah dan hipotesis dalam penelitian ini uji ANAVA dua jalur dilakukan untuk mengetahui 3 hal, yang pertama apakah terdapat pengaruh metode pembelajaran TGT terhadap motivasi belajar?. Kedua, apakan terdapat pengaruh sistem asrama dan non asrama terhadap motivasi belajar?. Ketiga, apakah terdapat interaksi antar metode pembelajaran TGT dengan sistem asrama dan non asrama terhadap motivasi belajar siswa?. Ketiga hipotesis akan diuji dengan kriteria pengujian yang berbeda-beda untuk masing-masing bagiannya. Dalam penelitian ini penghitungan ANAVA menggunakan software SPSS dengan memanfaatkan fasilitas analisis univariate, dengan menetapkan faktor analisis yang melibatkan dua variabel yaitu metode pembelajaran dan tingkat kemampuan kognitif maka akan diperoleh tiga hasil nilai signifikansi yang berbeda. Pembahasan mengenai hasil uji ANAVA akan dilakukan pada bab berikutnya.
Untuk melakukan pengujian hipoteis dengan menggunakan ANAVA 2 jalur, langkah-langkah yang harus dilakukan adalah:
a.       Menghitung jumlah kuadrat total (JKt), antar A(JKa), Antar B (JKb), interaksi A x B (JKab), dan dalam kelompok (JKd), dengan formula sebagai berikut.
b.      Menghitung derajat kebebasan total (dbt), antar A (dbA), antar B (dbB), interaksi A x B (dbAB), dam dalam kelompok (dbd)
dbt = N – 1,
dbA = K – 1,
dbB = K – 1,
dbAB = dbA X dbB
dbd = dbt – (dbA + dbB + dbAB)
c.       Menghitung rata-rata kuadrat antar A (RKA), antar B (RKB), interaksi A x B (RkAB), dan dalam kelompok (RKD)
                       
                    
d.      Menghitung rasio FA, FB, FAB
          Kriteria pengujian, jika Fhitung > Ftabel pada taraf signifikan yang dipilih dengan db pembilang db yang sesuai, maka H0 ditolak. Jadi terdeapat perbedaan rata-rata antara kelompok-kelompok yang diuji, sebaliknya untuk Fhitung < Ftabel, maka H0 diterima. Untuk ANAVA 2 jalur, langkah pertama yang dilakukan adalah melakukan pengujian terhadap hipotesis statistik pengaruh interaksi, yaitu F(OB). Jika F(OB) < Ftabel atau H0diterima berarti tidak terdapat pengaruh interaksi, maka selanjutnya dilakukan uji hipotesis pengaruh utama (main effect), yaitu uji F(OA) untuk melihat perbedaan rerata antar A, dan uji F(OB) untuk mempelajari perbedaan antar B. Sebaliknya jika F(OB) > Ftabel atau H0 ditolak, berarti terdapat pengaruh interaksi yang signifikan maka konsekuensinya harus uji pengaruh sederhana (simpel effect). Simple effect adalah perbedaan rerata antar A pada tiap kelompok Bi (i = 1, 2, 3, ...).[48]
F.     Hipotesis Statistik
Adapun hipotesis statistik yang akan diujikan adalah sebagai berikut:
1.      Masalah 1
(metode Pembelajaran)
H0 : β1 = β2 = 0
H1 : ada βi ≠ 0
2.      Masalah 2
(asrama atau Non asrama)
H0 : α1 = α2 = α3 = 0
H1 : ada αj ≠ 0
3.      Masalah 3
(Metode pembelajaran dan sistem asrama dan non asrama siswa)
H0 : (αβ)11 = (αβ)12 = ... = 0
H1 : ada (αβ)ij ≠ 0
Keterangan :
β1                   :
pengaruh metode TGT terhadap motivasi belajar siswa
β2                    :
pengaruh metode konvensional terhadap motivasi belajar siswa
α1           :
pengaruh tempat tinggal asrama terhadap motivasi belajar siswa
α2                   :
pengaruh tempat tinggal non asrama terhadap motivasi belajar     siswa
(αβ)11         :
pengaruh interaksi metode pembelajaran dan sistem asrama non asrama siswa terhadap motivasi belajar
            Adapun kriteria pengujian untuk uji ANAVA dua jalur ini adalah :
            Jika Frasio > Ftabel maka H0 ditolak
            Jika Frasio < Ftabel maka H0 diterima





[1] M. Quraish Shihab, Membumikan Al Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Jakarta,Lentera Hati 2001), h. 198
[2] Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis, ( Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1998), h.3
[3] Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Penilaian Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,  Laporan Hasil Ujian Nasional Tahun 2014, (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014), h. 52.
[4]Sutarto, Model Pembelajaran Kooperatif Bersifat Konstruktivis pada Topik Klasifikasi Hewan Antrhopoda, dalam Jurnal Pengajaran MIPA vol.13 No 1 April, h. 24
[5] Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran: Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h.21.
[6]Ibid  h.23-24.
[7] Eveline Siregar, Teori Belajar dan Pembelajaran. (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h.42
[8] Wina Sanjaya.,Op.Cit, h.123-124.
[9] Sri Wulandari. Teori Belajar Kontruktivis Piaget dan Vygotsky.  Indonesian Digital Journal of Matematics and Education. Vol 2 no 3 tahun 2015. h.194
[10] Zulfiani Tonih Feronika dan Kinkin Suartini, Stategi Pembelajaran Sains, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta)h. 130.
[11]Widyantini, Penerapan Pendekatan Kooperatif STAD dalam Pembelajaran Matematika (Yogyakarta: Departemen Pendidikan Nasional PPPTK Matematika, 2006), h. 4.
[12]Wina Sanjaya.,Op.Cit, h. 244-246.
[13]Suprayekti, Strategi Penyampaian Pembelajaran Kooperatif, Jurnal Pendidikan Penabur, No. 07, Th V, 2006, h. 89.
[14]Wina Sanjaya, Op. cit.,  h. 246-247.
[15]Entin Solihatin dan Roharjo, Cooperative Learning: Analisis Model Pembelajaran IPS, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h.7-8.
[16] Wina Sanjaya.,Op.Cit, h.249-250.
[17] Entin Solihatin dan Roharjo.,Op.Cit, h.11-12.
[18] Charltin B., Williams, R. L dan McLAughlin, TF. 2005. Education Games: A Technique to Accelerate the Acquisition of Reading Skills of Children with Learning Disabilities. International Journal of Special Education. Volume 20, Number 2, h.66-72.
[19] Dedi Rohendi dkk, Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournament Berbasis Mutimedia dalam meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pemalajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi, Jurnal PendidikanTeknologi Informasi dan Komunikasi vol 3 No 1., 2010, h 19.
[20] Surato, Model Pembelajaran Kooperatif Bersifat Kontruktivis Pada Topik Klasifikasi Hewan Antropoda, Jurnal Pengajaran MIPA, Vol 13. No 1. April. 2009. h.29.
[21] Leonard Kiki Dwi Kusumaningsih, Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams-Games-Tournament (TGT) Terhadap Peningkatan Hasil Belajar Biologi Pada Konsep Sistem Pencernaan Manusia, Jurnal Ilmiah Exacta Vol 2 No 1 Mei 2009, Universitas Indraprasta PGRI. h. 90-91.
[22] Sardiman A.M, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), h. 73.
[23] Made Wena, Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer, (Jakarta: Bumi Aksara), h. 34
[24]Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 148.
[25]Hamzah B Uno, Teori Motivasi & Pengukurannya, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), h. 1.
[26] Sardiman, A.M., Op.Cit.h.74.
[27]M. Alisuf Sabri, Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1998), h. 129.
[28] Sardiman, A.M., Op.Cit h.86-91.

[29]Ibid h. 92.
[30]Dimyati, Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 101.
[31]Sardiman A.M, op.cit, h. 80-81.
[32] Ibid.,h. 83-84.
[33] Hamzah B. Uno, Op.Ci. h 10.
[34] John M Keller, What Is The ARCS Model, http://www.arcsmodel.com/arcs-model, diakses pada tanggal 19 Desember 2016 pukul 08.30 WIB
[35] Eveline Siregar., Op.Cit.h 52-53
[36] Ade Ilham Husain, Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Times Games Tournament Dalam Meningkatkan Hasil Belajar Elektronika Analog Siswa Kelas X TKJ SMK negeri 1 Sidereng, (Jurnal nalar pendidikan volume 3 nomor 1 jan-jun 2015) h. 256.
[37] Gonzalez,E Covian. Enchancing Student Performance Though a Competitive Team Tournament. (University Collage Dublin;2015)
[38] I Kadek Wiradana. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournament (TGT) Untuk Meningkatkan Partisipasi Aktif dan Presentasi Belajar Sejarah Siswa Kelas XI IPS 3 SMA Negeri 1 Sawan Semester Genap Tahun Pelajaran 2014/2015.( Universitas Pendidikan Ghanesa, 2015). h. 1.
[39] Taufan Faizal Muslim dkk. Perapan Model Team Games Tournament (TGT) Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa Pada Pembelajaran Konsep Energi dan Perubahannya. (Bandung, Universitas Pendidikan Indonesia) 2015.h.1.
[40] Luluk Fajri. Upaya Peningkatan Proses dan Hasil Belajar Kimia Materi Koloid Melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT (Teams Games Tournament) Dilengkapi Dengan Teka-Teki Silang Bagi Siswa Kelas XI SMA Negeri 2 Boyolali Pada Semester Genap Tahun Ajaran 2011/2012.(jurnal pendidikan kimia vol1 no 1 tahun 2012 universitas sebelas maret). h.89.
[41] Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2012) Cet. XVII, h. 142.
[42] Ibid,
[43] Ibid., h.145
[44] Ibid., h. 147
[45] Deny Kurniawan, Uji T berpasangan (Paired T-Test), http://indeffeni.wordpress.com, diakses pada tanggal 20 februari 2016
[46] Ruseffendi. Statistik Dasar Untuk Penelitian Pendidikan,(Bandung: IKIP Bandung Press,1998) h. 294
[47] Husaini Usman. Penghantar Statistika, ( Jakarta: Bumi Aksara, 2006) h 119
[48] Tulus Winarsunu, Statistik dalam Penelitian Psikologi dan Pendidikan, (Malang: UMM Press, 2009) h. 108-112.

No comments:

Post a Comment